Pada masa pemerintahan Arya Ngurah Mecutan Bija, terjadi
perselisihan antara Sri Aji Jambe Puri Ksatria dengan Puri Kaleran Kawan.
Adapun Arya Ngurah Mecutan Bija tidak berada di salah satu pihak tetap di
tengah-tengah.
Kiyai Agung Gde Oka di Jero Kaleran Kawan mempunyai 2
orang putra yaitu Kyai Ngurah Rai dan Kyai Ngurah Made. Setelah keduanya
meningkat dewasa, Kiyai Ngurah Rai mengabdi di Puri Agung Satria
Diceritakan Kyai Jambe Ksatrya mempunyai kesenangan
berjudi sabung ayam. Beliau mempercayakan ayam – ayamnya dipelihara oleh I
Gusti Ngurah Rai karena Kiyai Ngurah Rai mempunyai bakat membina ayam kurungan,
beliau terkenal sebagai pekembar yang bijaksana.
Akibat seringnya I Gusti Ngurah Rai ke kediaman Kyai
Jambe Haeng untuk mengurus ayam sang Raja, terjadi hubungan gelap antara I
Gusti Ngurah Rai dengan salah satu istri raja yang masih muda. Pada suatu hari
kebetulan ada sabungan ayam di bencingah Puri Agung Satriya. Kiyai Ngurah Rai
sedang berada di kalangan Tajen sebagai pekembar. Kedua belah tangannya
memegang ayam yang sedang diikat dengan taji. Nampak jelas ditangan kirinya
memakai sebuah cincin bermata berlian, cincin yang mana sering dipakai oleh
selir Kiyai Jambe Haeng Raja Satriya. Seorang pengawal istana segera melaporkan
kepada Kiyai Jambe Haeng apa yang telah dilihatnya perihal cincin yang
dikenakan Kiyai Ngurah Rai.
Menerima laporan tersebut Kiyai Jambe Haeng menjadi
sangat marah dan memberikan perintah untuk menangkap Kiyai Ngurah Rai, namun
Kiyai Ngurah Rai sudah tidak berada di kalangan tajen tersebut. Kiyai Ngurah
Rai mendapat firasat yang tidak baik sehingga terlebih dahulu meninggalkan
kalangan tajen dan pulang ke Jero Kaler Kawan. Di rumahnya beliau merebahkan
diri untuk menghilangkan rasa letih dan memikirkan apa gerangan yang akan
terjadi.
Tiba tiba datanglah Kiyai Made Tegal Cempaka Oka dengan
sangat tergesa- gesa dan menyampaikan berita yang didengarnya dibencingah Puri
Agung Satria kepada Kiyai Ngurah Rai. Berita tersebut adalah perintah untuk
menangkap Kiyai Ngurah Rai hidup atau mati karena dianggap telah berani berbuat
serong di dalam Puri Agung Satria.
Tanpa berpikir panjang lagi Kiyai Ngurah Rai segera
meninggalkan Jero Kaler Kawan untuk menuju Desa Jimbaran. Tidak diceritakan
dalam perjalanan menuju Desa Jimbaran bertemulah beliau dengan I Gde Mekel
Jimbaran dan mohon perlindungan. Kebetulan pada waktu itu Kiyai Lanang Jimbaran
putra Kiyai Agung Lanang Dawan sedang berada di rumah ibunya di desa Jimbaran.
Kedatangan Kiyai Ngurah Rai kemudian mendapat perlindungan
dari kiyai Lanang Jimbaran dan minta kepada I Gde Mekel Jimbaran supaya menjaga
dengan baik Kiyai Ngurah Rai dari pengejaran prajurit Puri Satriya. Diceritakan
Laskar Puri Satriya sudah menyeberang Tukad Badung dan terus menuju Jero kaler
Kawan untuk mengkap Kiyai Ngurah Rai. Akan tetapi orang yang dicarinya sudah
tidak ada lagi dan akhirnya penggeledahan tersebut sampai juga ke Desa Jimbaran
di rumahnya I Gde Mekel Jimbaran.
Kebetulan pada waktu itu semua keluarga I Gde Mekel
Jimbaran sedang menumbuk padi di halaman rumahnya. Mereka tidak menghiraukan
sama sekali kedatangan laskar Puri satriya yang mencari Kiyai Ngurah Rai.
Matahari sudah hampir terbenam, Laskar Puri Satria belum juga menemukan orang
yang dicari. Karena hari sudah gelap maka kepala pasukan memerintahkan
menghentikan pencaharian dan memerintahkan untuk kembali. Ke Puri Satriya.
Sebenarnya waktu penggeledahan di rumah I Gde Mekel
Jimbaran Kiyai Ngurah Rai sedang berada di dalam sumur yang ditutup dengan
beberapa ikat padi yang baru di ketam. Dari luar memang nampak seperti tumpukan
padi sehingga laskar Puri Satriya tidak menyangka sama sekali kalau Kiyai
Ngurah Rai bersembunyi disana.
Akhirnya Kiyai Ngurah Rai selamat dari maut dan untuk
mengenang kejadian tersebut Kiyai Ngurah Rai membuat pelinggih ditempat
tersebut dan samapai sekarang masih dipelihara oleh keturunan Jero Kaler Kawan.
Ditempat itu juga dibuat pelinggih Kiyai Agung Lanang Dawan yang berjasa
menyembuhkan penduduk Desa Jimbaran dari wabah penyakit yang menyerang Desa Jimbaran
yang sampai sekarang masih dipelihara oleh keturunan I Gede Mekel Jimbaran.
Entah berapa lamanya Kiyai Ngurah Rai berada di desa
Jimbaran kemudian atas prakarsa I Gde Mekel Jimbaran, Kiyai Ngurah Rai berhasil
diseberangkan ke Pulau Lobok dengan prahu Bugis. Atas Jasanya I Gde Mekel
Jimbaran diberi penghargaan diganti namanya menjadi I Gde Mekel Perahu
(Pewarisnya sekarang bernama Ni Luh Gerinding).
I Gusti Ngurah Rai diterima baik oleh raja Sasak, dan
diperlakukan seperti keluarga sendiri. Di sana beliau dapat pelajaran dan
pengalaman lain yang menambah kematangannya dalam urusan politik dan
ketata-negaraan. Sementara itu pihak keluarga Kaleran mengatur siasat untuk
menghadapi kekuasaan. Kiyai Ngurah Rai mengadakan kontak dengan Kiyai Tegal
Cempaka Oka, dari Jero Tegal, Kiyai Jero Kuta, Kiyai Agung Belaluan, Kiyai Gde
Gelogor dan I Gde Bandem di Pemedilan yang menjadi tulang punggung kekuatan
laskar gerak cepat di Gerenceng. Gerenceng berarti gerak cepat.
Kontak Rahasia yang dibuat Kiyai Made Cempaka Oka
semuanya berjalan dengan baik dan sepakat untuk membatu Kiyai Ngurah Rai untuk
menggulingkan kekuasaan Kiyai Jambe Haeng dari Puri Satriya. Kemelut yang
berkepanjangan antara Puri Kaleran dari Sub Dinasti Pemecutan dengan Puri Alang
Badung yang berkuasa, sangat mengganggu aktifitas sehari-hari kerajaan dan
rakyat Badung. Sementara itu Puri Pemecutan mengambil sikap netral tidak
memihak manapun, karena yang berseteru ini adalah keluarga sendiri. Ada seorang
puteri dari Puri Agung Pemecutan kawin dinikahi oleh Kyai Anglurah Jambe
Ksatrya. Oleh karena itu Puri Pemecutan tidak banyak berperan dalam
penggulingan kekuasaan Sub Dinasti Jambe.
Setelah semua persiapan disusun rapi dan sangat rahasia
maka Kiyai Made Tegal Cempaka Oka memberikan isyarat kepada Kiyai Ngurah Rai
untuk segera pulang ke Bali. I Gusti Ngurah Rai setelah pulang dari Lombok,
mencari dukungan ke kerajaan Gianyar, yang waktu itu diperintah oleh Dewa
Manggis Api. Beliau juga mencari dukungan ke Gerya Jro Gede Sanur, karena salah
seorang puteri dari Sub Dinasti Pemecutan ada yang kawin ke Gerya Jero.
Demikian juga I Gusti Ngurah Rai mengadakan kunjungan ke Puri Jro Kuta untuk
mencari dukungan. Diplomasi di Jro Kuta memang berat dan riskan, karena Puri
Jro Kuta adalah bagian dari keluarga Sub Dinasti Jambe.
Pada hari yang ditentukan datanglah utusan dari Kiyai
Jambe Jero Kuta ke Puri Satria yang mengabarkan bahwa beliau sedang sakit dan
kalau Kiyai Jambe Haeng tidak berhalangan supaya menengok sebentar ke Jero
Kuta. Kiyai Jambe Haeng memenuhi permintaan tersebut dan segera bergegas
meninggalkan Puri Satrya untuk pergi menuju Jero Kuta. Kiyai Ngurah Rai yang
sudah kembali dari Lombok bersama Kiyai Made Tegal Cempaka Oka sekarang sudah
berada di tepi Sungai Badung (Tukad Badung) di daerah Wangaya untuk menunggu
kedatangan Kiyai Jambe Haeng. Tidak beberapa lama datanglah rombongan Kiyai
Jambe Haeng yang menuruni tepi sungai Badung sebelah timur kemudian
menyeberangi sungai badung secara perlahan lahan.
Setibanya beliau di tepi sungai, secara tiba tiba Kiyai
Ngurah Rai melakukan serangan mendadak yang menyebabkan Kiyai Jambe Aeng tidak
sempat mempersiapkan diri terlebih dahulu sehingga beliau terkena tikaman keris
sakti dari Kiyai Ngurah Rai. Kiyai Jambe Haeng kemudian tersungkur dengan luka
yang sangat parah, Namun beliau masih sempat berbicara.
Sesungguhnya matiku ini tidak wajar, sebagai seorang
kesatria utama sebenarnya kamu harus menantang perang terlebih dahulu. Karena
perbuatanmu yang melanggar hukum perang maka sebelum aku mati aku akan memberikan
kutukan kepada kalian berdua supaya selama 7 keturunan kalian berdua tidak
menemukan kerahayuan.
Tiba tiba Kiyai Ngurah Made adik dari Kiyai Ngurah Rai
datang menyusul dan terkejut melihat apa yang terjadi. Darah terus mengalir
dari luka yang diakibatkan tusukan kiyai Ngurah Rai terus meleleh. Dengan
secepat kilat Kiyai Ngurah Made membopong tubuh Kiyai Jambe Haeng dan
membawanya ke Jero Kuta. Kiyai Ngurah Made tidak dapat menahan kesedihannya
melihat kondisi Kyai Jambe Haeng.
Di Jero Kuta Kiyai Ngurah Made terus mendampingi Kiyai
Jambe Haeng yang sedang menunggu saat saat terakhirnya. Namun sebelum
menghembuskan napasnya yang terakhir Kiyai Jambe Haeng sempat menyampaikan
pesan kepada Kiyai Ngurah Made
Adikku Kiyai Ngurah Made dengarlah baik baik apa yang
kukatakan, karena adikku yang memberikan pertolongan kepadaku maka kepada
adiklah saya serahkan tahta Puri Satriya dan sebagai bakal adinda menduduki
tahta Puri Satria terimalah Keris Singapraga ini.
Setelah beliau menyampaikan amanat yang terakhir maka
wafatlah Kiyai Jambe Haeng Raja Puri Agung Satriya yang terakhir dan
berakhirlah pula masa Dynasti Kejambean di wilayah Badung. Apa yang menjadi
pesan terakhir dari Kiyai Jambe Aeng semuanya didengar oleh yang hadir pada
saat itu.
Kembali ke keadaan di Puri Agung Satriya, setelah
mendengar Wafatnya Kiyai Jambe Haeng seluruh Laskar Puri Agung Satriya
disiagakan. Patih Agung Kalanganyar mempersiapkan laskar Puri Agung Satriya
untuk menyerbu Jero Kaler Kawan. Namun secara tiba tiba laskar Jero Taensiat yang
berada disebelah Utara Puri Satria menyerbu Jero kalanganyar sehingga
pertempuran tidak bisa dihindari lagi. Benar bernar peperangan yang sangat
dahsyat di sore hari itu sehingga sukar membedakan siapa kawan siapa lawan,
sampai akhirnya patih Agung Kalanganyar tewas dalam peperangan tersebut.
Tabeng Dada atau Tameng Puri Satriya yang berada di
Tampakgangsul bersiap untuk memberikan bantuan ke Puri Satriya namun ditengah
jalan dicegat oleh laskar Taensiat sehingga peperangan tidak terhindarkan dan
menimbulkan korban dikedua belah pihak. Namun bantuan dari Puri Satria tersebut
dapat dipukul mundur sampai kearah barat Tukad Badung dan selanjutnya membuat
perkemahan di Panti dan Blong.
Setelah itu Laskar Taensiat kemudian menyerbu ke dalam
Puri Agung Satriya dan memporak porandakan bangunan yang ada didalamnya. Dalam
keadaan yang kacau balau tersebut seorang bayi berhasil diselamatkan oleh
pengasuhnya dan setelah dewasa dibuatkan Jero di Celagi Gendong.
Puri Satriya sudah
porak poranda akibat peperangan tersebut, Bekas Jero Karanganyar dijadikan Jero
Kaliungu Kaja, Bekas Tameng Jambe Merik dijadikan Jero Tampakgangsul. Semenjak
peristiwa tersebut Kiyai Agung Belaluan dirubah namanya menjadi Kiyai Agung
Taensiat , Tampakgangsul sebelumnya bernama Satriya semenjak perang tersebut
dirubah menjadi Tampakgangsul, Tampak berarti Kelihatan, Gangsul artinya
membantu.
Demikianlah akhir kekuasaan Puri Agung Satriya, dan
sesuai pesan terakhir Kiyai Jambe Haeng sebelum wafat maka Kiyai Ngurah Made
Dinobatkan sebagai Raja di Puri Denpasar pada tahun 1788 dengan gelar Kiyai
Ngurah Made Pemecutan untuk meneruskan kekuasaan dari Puri Satriya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar