Adityawarman / Arya Damar
yang bergelar Udayadityawarman
Prataparakramarajendra Mauliwarmadewa, adalah seorang panglima Majapahit abad
ke-14 yang kemudian menjadi uparaja (raja bawahan) Majapahit untuk wilayah
Sumatera. Di katakan bahwa Arya Damar menjadi raja di Palembang, sebab penulis
babad Jawa menganggap Palembang yang dulunya pusat Sriwijaya, mengacu pada
Melayu atau Sumatera. Sebenarnya Arya Damar alias Adityawarman bukan menjadi raja
di Palembang melainkan di Hulu Batang Hari Jambi, tepatnya di Kerajaan
Darmasraya yang merupakan kerajaan kakeknya yaitu Prabu Mauliwarmadewa yang
merupakan ayah dari Dara Jingga ibu dari Adityawarman.
Adityawarman adalah pendiri Kerajaan Pagaruyung di
Sumatra Barat pada tahun 1347, dan ia adalah seorang panglima Kerajaan
Majapahit yang berdarah Melayu. Ia adalah anak dari Adwaya Brahman seorang
kerabat Raja Kertanegara dari Kerajaan Singhasari yang memangku jabatan sebagai
Menteri Hino yaitu jabatan tertinggi setelah Raja pada masa pemerintahan
Kerajaan Singhasari.
Dalam beberapa babad di Jawa dan Bali, Adityawarman juga
dikenal dengan nama Arya Damar dan merupakan sepupu sedarah dari pihak ibu
dengan raja Majapahit kedua, yaitu Sri Jayanagara atau Raden Kala Gemet. Nama
Adityawarman sendiri berasal dari kata bahasa Sansekerta, yang artinya kurang
lebih ialah "Yang berperisai matahari" (adhitya: matahari, varman:
perisai). Adityawarman dibesarkan di lingkungan istana Majapahit, yang kemudian
membuatnya memainkan peranan penting dalam politik dan ekspansi Majapahit. Hal
ini antara lain terlihat bahwa setelah dewasa, ia diangkat menjadi Wrddhamantri
atau menteri senior, bergelar "Arrya Dewaraja Pu Aditya".
Adanya prasasti pada Candi Jago di Malang (bertarikh 1265
Saka atau 1343 M), yang menyebutkan bahwa Adityawarman menempatkan arca
Maňjuçrī (salah satu sosok bodhisattya) di tempat pendarmaan Jina (Buddha) dan
membangun candi Buddha di Bumi Jawa untuk menghormati orang tua dan para
kerabatnya.
Asal-usul Adityawarman
Untuk mengetahui siapa sebenarnya Adityawarman, perlu
kita tinjau kembali hasil dari ekspedisi Pamalayu oleh Kartanegara pada tahun
1275 dibawah pimpinan Mahesa Anabrang , Setelah ekspedisi itu berhasil, maka
sewaktu rombongan ekspedisi kembali ke Jawa, mereka membawa dua orang putri
dari Prabu Sri Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa yaitu Dara Jingga dan Dara Petak
dari kerajaam Damasraya. Sesampai di Jawa kerajaan Singasari telah runtuh dan
telah muncul kerajaan baru sebagai penerus kerajaan Singhasari yaitu kerajaan
Majapahit. Raden Wijaya yang bergelar Sri Rajasa Jayawardhana adalah raja
Majapahit pada waktu itu sehingga kedua putri tersebut diserahkan kepada Raden
Wijaya. Oleh Raden Wijaya, Dara Petak kemudian diambil sebagai selir dengan gelar
Indreswari. Dari perkawinan tersebut lahir Jayanegara yang menjadi Raja
Majapahit ke dua.
Sedangkan Dara Jingga kemudian menikah dengan Adwaya
Brahman seorang kerabat Raja Kertanegara dari Kerajaan Singhasari yang memangku
jabatan sebagai Menteri Hino yaitu jabatan tertinggi setelah Raja pada masa
pemerintahan Kerajaan Singhasari. Dari pernikahan tersebut lahir putra yang
bernama Adityawarman . Nama kecil Adityawarman yaitu “Tuhan Janaka“ atau Aji
Mantrolot. Dengan demikian Adityawarman merupakan keturunan dari dua darah kaum
bangsawan, satu darah bangsawan Sumatera dan satu darah bangsawan Majapahit.
Raja Majapahit yang kedua yaitu Jayanegara adalah saudara sepupu dari
Adityawarman.
Adityawarman sendiri menggunakan gelar Mauli Warmadewa.
Hal ini menunjukkan kalau ia adalah keturunan Srimat Tribhuwanaraja. Maka,
dapat disimpulkan kalau Dara Jingga dan juga Dara Petak adalah putri dari raja
Dharmasraya tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa keduanya lahir dari
permaisuri raja Malayu bernama Putri Reno Mandi.
Adityawarman lahir tepatnya di Siguntur dekat nagari
Sijunjung. Setelah dewasa Adityawarman kembali ke Majapahit, tempat dia dididik
disekeliling pusat pemerintahan dalam suasana keraton Majapahit. Kesempatan
yang didapatkan karena Adityawarnan masih bersaudara sepupu dengan Jayanegara
yang merupakan Raja Majapahit pada waktu itu. Mengenai tempat kelahiran
Adityawarman dan hubungan kekeluargaannya dengan Kerajaan Majapahit diperkuat
oleh Pinoto yang mengatakan, bahwa Adityawarman adalah seorang putera Sumatera
yang lahir di daerah aliran Sungai Kampar dan besar kemungkinan dalam tubuhnya
mengalir darah Majapahit. Hubungan dengan kerajaan Majapahit bersifat
geneologis dan politis.
Adityawarman dididik ilmu perang dan ilmu kertatanegaraan
oleh Majapahit sehingga di keraton Majapahit kedudukan Adityawarman sangat
tinggi, yaitu berkedudukan sebagai salah seorang menteri atau perdana menteri
yang diperolehnya bukan saja karena hubungan darahnya dengan raja Majapahit
tetapi juga berkat kecakapannya sendiri. Adityawarman mempunyai kedudukan yang
setaraf dengan Mpu Nala dan Maha Patih Gajah Mada. Karena itu Adityawarman
adalah salah seorang Tri Tunggal Kerajaan Majapahit.
Tahun 1325 raja Jayanegara mengirim Adityawarman sebagai
utusan ke negeri Cina yang berkedudukan sebagai duta. Bersama dengan Patih
Gajah Mada, Adityawarman ikut memperluas wilayah kekuasaan Majapahit di
Nusantara. Tahun 1331 Adityawarman memadamkan pemberontakan Sadeng dengan suatu
perhitungan yang jitu. Tahun 1332 dia dikirim kembali menjadi utusan ke negeri
Cina dengan kedudukan sebagai duta.
Setelah Bali berhasil ditundukkan, Adityawarman akhirnya
kembali ke Majapahit dan atas jasa-jasanya oleh Ratu Tribuana Wijaya Tunggadewi
pada tahun 1347 Adityawarnan diangkat sebagai wakil (uparaja) Kerajaan
Majapahit di Sumatra untuk menanamkan pengaruh Majapahit di Sumatra.
Adityawarman memutuskan pergi ke Sumatra karena dengan lahir dan semakin
dewasanya Hayam Wuruk tidak ada lagi kesempatan bagi Adityawarman untuk
menjujung mahkota kerajaan Majapahit sebagai ahli waris yang terdekat. Pada
sisi lain, kedatangan Adityawarman ke Darmasraya selain menemui kakeknya, juga
mempunyai tugas khusus yaitu merebut kembali daerah Lada Sungai Kuntu dan
Sungai Kampar.
Dahulu sesudah “Pamalayu” menurut ceritanya, daerah kaya
ini tunduk pada kekuasaan Singosari. Setelah Kerajaan Singosari runtuh dan
Majapahit belum lagi begitu kuat, daerah-daerah Kuntu / Kampar tersebut dapat
direbut oleh Kesultanan Aru-Barumun yang telah memeluk agama Islam.
Pada tahun 1347 Adityawarman dinobatkan menjadi Raja
Minangkabau bergelar Dang Tuanku (Sutan Rumandung). Pernikahan Adityawarman
dengan Puti Bungsu melahirkan anak yang bernama Ananggawarman. Hal ini dapat
dibuktikan dengan prasasti yang dipahatkan pada bagian belakan arca Amogapasa
dari Padang Candi. Dalam Prasasti itu Adityawarman memakai nama :
“Udayadityawarman Pratakramarajendra Mauliwarmadewa” dan
bergelar “Maharaja Diraja”
Adityawarman dididik dan dibesarkan di Majapahit dan
pernah menjabat beberapa jabatan penting di kerajaan Majapahit, sehingga paham
betul dengan seluk beluk pemerintahan di Majapahit. Dengan demikian corak
pemerintahan kerajaan Majapahit sedikit banyaknya berpengaruh pada corak
pemerintahan Adityawarman di Pagaruyung. Hal ini dibuktikan pada prasasti yang
ditinggalkan Adityawarman terdapat nama Dewa Tuhan Perpatih dan Tumanggung yang
oleh Pinoto dibaca Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan.
Istana Pagaruyung
Selama pemerintahannya Adityawarman berusaha membawa
kerajaan Pagaruyung ke puncak kejayaannya. Dalam usaha memajukan kerajaan itu
Adityawarman mengadakan hubungan dengan luar negeri, yaitu dengan Cina. Tahun
1357, 1375, 1376 Adityawarman mengirim utusan ke negeri Cina. Pemerintahan Adityawarman
Pagaruyung yang berlangsung dari tahun 1349 sampai 1376, kerajaan Pagaruyung
berada di puncak kejayaannya. Bahkan dapat dikatakan pada waktu itu Indonesia
bagian barat dikuasai kerajaan Pagaruyung dan Indonesia bagian Timur berada di
bawah pengaruh kekuasaan Majapahit. Kalau dizaman Datuk Ketumanggungan dan
Datuk Perpatih Nan Sabatang, kerajaan Minangkabau terkenal dengan aturan adat
dan filsafahnya, maka dizaman Bundo Kanduang, Adityawarman dan Ananggawarman
kerajaan Minangkabau terkenal dengan keahlian Cindur Mato sebagai panglima
perangnya.
Adityawarman Penganut Budha Tantrayana
Adityawarman adalah tokoh penting dalam sejarah
Minangkabau. Di samping memperkenalkan sistem pemerintahan dalam bentuk
kerajaan, dia juga membawa suatu sumbangan yang besar bagi alam Minangkabau.
Kontribusinya yang cukup penting itu adalah penyebaran agama Budha. Agama ini
pernah punya pengaruh yang cukup kuat di Minangkabau. Terbukti dari nama
beberapa nagari di Sumatera Barat dewasa ini yang berbau Budaya atau Jawa seperti
Saruaso, Pariangan, Padang Barhalo, Candi, Biaro, Sumpur, dan Selo.
Adityawarman diperkirakan penganut yang taat dari agama
sinkretis Buddha Tantrayana dan Hindu Siwa, sebagaimana yang banyak dianut oleh
para bangsawan Singhasari dan Majapahit. Ia diperlambangkan dengan Arca
Bhairawa Amoghapasa. Selama masa pemerintahannya di Pagaruyung, Adityawarman
banyak mendirikan biaro (bahasa Minang, artinya Vihara) dan Candi sebagai
tempat pemujaan Dewa Yang Agung. Sampai sekarang, masih dikenal nama tempat Parhyangan
yang kemudian berubah tutur menjadi Pariangan, yaitu di Kabupaten Tanah Datar,
Sumatra Barat
Arca Bhairawa memegang mangkuk dan belati
Arca Bhairawa Museum Nasional di Jakarta ditemukan di
kawasan persawahan di tepi sungai di Padang Roco, Kabupaten Sawahlunto,
Sumatera Barat. Arca Bhairawa dengan tinggi hampir 3 meter ini merupakan jenis
arca Tantrayana. Arca Bhairawa tidak dalam kondisi utuh lagi, terutama
sandarannya. Arca ini tidak banyak dijumpai di Jawa, karena berasal dari
Sumatera. Sebelum ditemukan hanya sebagian saja dari arca ini yang menyeruak
dari dalam tanah. Masyarakat setempat tidak menyadari bahwa itu merupakan
bagian dari arca sehingga memanfaatkannya sebagai batu asah dan untuk menumbuk
padi. Hal ini dapat dilihat pada kaki sebelah kirinya yang halus dan sisi dasar
sebelah kiri arca yang berlubang.
Arca Bhairawa tangannya ada yang dua dan ada yang empat.
Namun arca di sini hanya memiliki dua tangan. Tangan kiri memegang mangkuk
berisi darah manusia dan tangan kanan membawa pisau belati. Jika tangannya ada
empat, maka biasanya dua tangan lainnya memegang tasbih dan gendang kecil yang
bisa dikaitkan di pinggang, untuk menari di lapangan mayat damaru/ ksetra.
Penggambaran Bhairawa membawa pisau konon untuk upacara ritual Matsya atau Mamsa.
Membawa mangkuk itu untuk menampung darah untuk upacara minum darah. Sementara
tangan yang satu lagi membawa tasbih. Wahana atau kendaraan Syiwa dalam
perwujudan sebagai Syiwa Bhairawa adalah serigala karena upacara dilakukan di
lapangan mayat dan serigala merupakan hewan pemakan mayat. Walaupun banyak di
Sumatera, beberapa ditemukan juga di Jawa Timur dan Bali. Bhairawa merupakan
Dewa Siwa dalam salah satu aspek perwujudannya. Bhairawa digambarkan bersifat
ganas, memiliki taring, dan sangat besar seperti raksasa. Bhairawa yang
berkategori ugra (ganas).
Siwa berdiri di atas mayat bayi korban dan tengkorak
Arca ini berdiri di atas mayat dengan singgasana dari
tengkorak kepala. Arca Siwa Bhairawa ini konon merupakan arca perwujudan Raja
Adithyawarman, pendiri Kerajaan Pagaruyung di Sumatra Barat pada tahun 1347.
Nama Adityawarman sendiri berasal dari kata bahasa Sansekerta, yang artinya
kurang lebih ialah “Yang berperisai matahari” (adhitya: matahari, varman:
perisai).
Di dekat Istano Basa, Batusangkar, ada sekelompok batu
prasasti yang menceritakan tidak saja sejarah Minang, tapi sepenggal sejarah
Nusantara secara utuh. Dari buku panduan disebutkan bahwa batu-batu prasasti
yang disebut “Prasasti Adityawarman” itu menghubungkan Nusantara secara
keseluruhan berkaitan dengan Kerajaan Majapahit.
Bukit Siguntang
Bukit Siguntang dikeramatkan sejak jaman Sriwijaya
Kemasyhuran Bukit Siguntang tidak hanya berkutat di Palembang, tetapi menyebar
hingga ke seluruh Sumatera, Malaysia, dan Singapura. Kawasan perbukitan di
Kelurahan Bukit Lama, Kecamatan Ilir Barat I, Palembang, Sumatera Selatan, itu
menjadi cikal bakal pertumbuhan Kerajaan Melayu. Hingga kini Bukit Siguntang
merupakan cikal bakal Kerajaan Malaka. Bukit Siguntang pernah menjadi pusat Kerajaan
Palembang yang dipimpin Parameswara, adipati di bawah Kerajaan
Majapahit.Sekitar tahun 1511, Parameswara memisahkan diri dari Majapahit dan
merantau ke Malaka. Di sana dia sempat bentrok dengan pasukan Portugis yang
hendak menjajah Nusantara. Adipati itu menikah dengan putri penguasa Malaka,
menjadi raja, dan menurunkan raja-raja Melayu yang berkuasa di Malaysia,
Singapura, dan Sumatera. Sekitar tahun 1554 muncul Kerajaan Palembang yang
dirintis Ki Gede Ing Suro, seorang pelarian Kerajaan Pajang, Jawa Tengah.
Kerajaan ini juga mengeramatkan Bukit Siguntang dengan mengubur jenazah
Panglima Bagus Sekuning dan Panglima Bagus Karang.
Situs Bukit Siguntang di Kelurahan Bukit Lama, Ilir Barat
I, Palembang, tidak dilengkapi teks yang menjelaskan sejarah kompleks itu.
Kondisi itu membuat sejarah keberadaan bukit yang dikenal pada masa Kerajaan
Sriwijaya dan Kerajaan Palembang itu kabur dan pengunjung kebingungan. Situs
Bukit Siguntang merupakan kawasan perbukitan yang memiliki tujuh makam tokoh
yang terkenal dalam cerita tutur rakyat. Ketujuh makam itu adalah Makam Raja
Sigentar Alam, Panglima Tuan Djundjungan, Putri Kembang Dadar, Putri Rambut
Selako, Pangeran Raja Batu Api, Panglima Bagus Sekuning, dan makam Panglima
Bagus Karang. Makam-makam itu berbentuk bangunan makam dari tembok atau batu
yang berada dalam rumah. Pada makam itu hanya diberi keterangan nama tokoh yang
terkubur, tanpa satu teks yang menjelaskan siapa tokoh itu, riwayat hidupnya,
dan perannya dalam sejarah Palembang. Sebagian besar pengunjung yang mendatangi
situs kebingungan. Apalagi, beberapa juru kunci menceritakan versi sejarah yang
berbeda-beda.
Kedua tokoh itu berjasa memimpin pasukan kerajaan saat
menundukkan pasukan Kasultanan Banten yang menyerang Palembang. Sultan Banten,
Sultan Hasanuddin, tewas dalam pertempuran sengit itu. Tetapi, ada juga versi
sejarah yang menyebutkan, makam Bagus Sekuning yang sebenarnya justru ada di
kawasan Bagus Kuning, di Plaju, Palembang. Jauh sebelum itu, Bukit Siguntang
menjadi pusat keagamaan pada masa Kerajaan Sriwijaya yang berkembang sampai
abad ke-14. Sejumlah peninggalan dari kerajaan yang didirikan Dapunta Hyang
Srijayanasa itu ditemukan di sini. Ada kemudi kapal Sriwijaya yang ditemukan di
kaki bukit, ada arca Buhda Amarawati, dan prasasti Bukit Siguntang yang menjadi
bukti penting keberadaan Sriwijaya. "Jadi, Bukit Siguntang itu memang
kawasan yang dikeramatkan sejak zaman Kerajaan Sriwijaya, pemerintahan
perwakilan Majapahit, dan Kerajaan Palembang. Sampai sekarang pun bukit itu
masih dikeramatkan dengan diziarahi banyak pengunjung,"
Sosok Adityawarman dari penerawangan beberapa sumber yang
telah didatangi beliau dalam mimpinya, menyatakan bahwa Adityawarman
berperawakan tinggi besar, berpakain serba hitam dan rambut panjang serta
dikiri kanannya terselip pedang dengan ukuran panjang dan pendek. Dalam
kaitannya dengan Adityawarman , Bukit siguntang diyakini sebagai tempat
disimpannya salah satu senjata andalan beliau yaitu pecut yang selalu dibawa
dalam setiap pertempuran yang dilaluinya. Pada hari hari tertentu paranormal
banyak berdatangan ke daerah tersebut untuk memohon berkah dan berkeinginan
memiliki senjata tersebut, namun untuk memilikinya bukan hal yang mudah karena
dibutuhkan syarat syarat tertentu dan orang tersebut harus keturunan langsung
dari Adityawarman. Adapun senjata pecut tersebut secara kasat mata tidak
kelihatan namun bagi orang orang tertentu yang memiliki tingkat ilmu kebatinan
yang tinggi pecut tersebut berwarna keemasan dan melingkar ditopang oleh dua
buah penyangga. Pecut tersebut terakhir kali di pegang oleh Kyai Jambe Pule
yang menjadi raja di Kerajaan Badung dan setelah beliau wafat pecut tersebut
kembali lagi keasalnya yaitu Bukit Siguntang.
Penaklukan Bali
Nama Arya Damar ditemukan dalam Kidung Pamacangah dan
Usana Bali sebagai penguasa bawahan di Palembang yang membantu Majapahit
menaklukkan Bali pada tahun 1343. Dikisahkan, Arya Damar memimpin 15.000
prajurit menyerang Bali dari arah utara, sedangkan Gajah Mada menyerang dari
selatan dengan jumlah prajurit yang sama. Di dalam beberapa babad di Jawa dan
Bali, Adityawarman juga dikenal dengan nama Arya Damar. Adityawarman turut
serta dalam ekspansi Majapahit ke Bali pada tahun 1343 yang dipimpin oleh Patih
Gajah Mada. Dalam catatan Babad Arya Tabanan, disebutkan bahwa Gajah Mada
dibantu seorang Ksatria bernama Arya Damar, yang merupakan nama alias
Adityawarman.
Dari uraian Kitab Purana Bali Dwipa dinyatakan "
Perang Arya Dhamar saking kulwan anekani perang lan sutanire anama Arya
Kenceng, Arya Dhalancang, arya Tan Wikan (Arya Belog) " yang artinnya
bahwa pada waktu Adityawarman ke Bali ikut serta pura beliau yaitu
- Arya Kenceng
- Arya Dhalancang
- Arya Tan Wikan ( Arya Belog )
Arya Damar diperkirakan lahir tahun 1294 M dan pada waktu
ekspedisi Majapahit ke Bali tahun 1343 beliau diperkirakan berusia 50 tahunan
sehingga sudah sewajarnya mempunyai putra yang sudah menginjak dewasa dan ikut
serta berperang membantu ayahnya.
Kerajaan Bedahulu adalah kerajaan kuno yang berdiri sejak
abad ke-8 sampai abad ke-14 di pulau Bali, dan diperintah oleh raja-raja
keturunan wangsa Warmadewa. Ketika menyerang Bali, Raja Bali yang menguasai
saat itu adalah seorang Bhairawis penganut ajaran Tantrayana. Untuk mengalahkan
Raja Bali itu, maka Adityawarman juga menganut Bhairawis untuk mengimbangkan
kekuatan.
Kembali ke sejarah Arya Damar dalam ekspedisi Majapahit
Ke Bali, Setelah Gajah Mada mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk
menyerang Bali maka terjadilah ekspedisi Gajah Mada ke Bali pada tahun 1334
dengan Candrasangkala Caka isu rasaksi nabhi (anak panah, rasa, mata pusat).
Pasukan Majapahit dipimpin oleh Gajah Mada sendiri bersama panglima perang Arya
Damar dibantu oleh beberapa Arya. Setelah sampai di pantai Banyuwangi, tentara
Majapahit berhenti sebentar untuk mengatur siasat peperangan. Dari Hasil
perundingan tersebut diputuskan untuk menyerang bali dari 3 arah yang berbeda
sebagai berikut :
Dari Arah Timur
Penyerangan Bali dari arah timur akan dipimpin oleh Patih
Gajah Mada bersama dengan para patih keturunan Mpu Witadarma, Krian Pemacekan,
Ki Gajah Para, Krian getas akan mendarat di Toya Anyar
Dari Arah Utara
Penyerangan Bali dari arah utara akan dipimpin oleh Arya
Damar bersama dengan Arya Sentong dan Arya Kutawaringin akan mendarat di
Ularan.
Dari Arah Selatan
Penyerangan Bali dari arah utara akan dipimpin oleh Arya
Kenceng bersama dengan Arya Belog (Tan Wikan) Arya Pengalasan dan Arya
Kanuruhan akan mendarat di pantai Kuta
Kedatangan prajurit Majapahit tersebut membuat Pulau Bali
bagaikan bergetar, rakyat Bali menjadi panik dan melaporkan hal tersebut kepada
pangeran Sri Madatama yang merupakan putra mahkota kerajaan Bali serta
kehadapan Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten. Setelah mendengar laporan
tersebut, Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten kemudian mengutus putranya
pangeran Sri Madatama untuk menyelidiki kebenaran berita tersebut. Setelah
memastikan kebenaran berita tersebut Krian Pasung Grigis beserta para patih
lainnya segera punggawa menyiapkan pasukannya masing masing dengan membagi
pasukan menjadi 3 sesuai arah pengepungan pasukan dari Majapahit.
- pertahanan di wilayah Utara dijaga oleh Ki Pasung Grigis, Si Buwan dan Krian Girikmana.
- Pertahanan di wilayah Barat dijaga oleh Sri Madatama, Ki Tambyak, Ki Walumgsingkat dan Ki Gudug Basur.
- Pertahanan di wilayah Timur dijaga oleh Ki Tunjung Tutur, Kom Kopang dan Ki Tunjung Biru.
Pertempuran di Bali bagian utara tidak kalah serunya.
Daerah Ularan dipertahankan oleh Ki Girikmana diserang oleh pasukan dari
Majapahit dibawah pimpinan Panglima Arya Damar. Terjadi pertempuran antara
kedua pimpinan pasukan yaitu Arya Damar dengan Si Girikmana. Kedua pasukan yang
tadinya bertempur menghentikan pertempuran untuk menyaksikan perang tanding ke
dua tokoh tersebut.
Dalam perang tanding yang berlangsung sangat seru tersebut
masing masing menunjukkan kesaktiannya untuk secepatnya melumpuhkan musuhnya,
sampai akhirnya Si Girikmana tidak mampu menandingi kesaktian Arya Damar
sehingga gugur dalam pertempuran sebagai kesatria sejati. Gugur pula dari pihak
kerajaan Bali Krian Jembrana sebagai prajurit yuda. Pasukan Majapahit di
wilayah Selatan dibawah pimpinan Arya Kenceng menggempur habis habisan, tiada
henti hentinya mengurung pasukan musuh dari segala arah. Pasukan Ki Gudug Basur
dan Ki Tambyak mulai terdesak dan banyak yang mati terluka.
Dalam keadaan terdesak Ki Tambyak berhasil mengalahkan
Kyai Lurah Belambangan. Tubuhnya dilemparkan oleh Ki Tambyak sehingga
terpelanting ke tempat yang agak jauh. Kyai Lurah Belambangan menghembuskan
napasnya yang terakhir, gugur sebagai prawira yuda yang gagah berani. Melihat
kawan seperjuangannya gugur, Arya Balancang, Arya Sentong, Arya Wangbang dan
Kyai Banyuwangi maju bersamaan untuk mengimbangi kekuatan musuh.
Ki Tambyak adalah seorang patih kerajaan Bali yang sangat
teguh dan sakti sehingga sulit untuk dikalahkan, kalau hal tersebut terus
dibiarkan maka makin banyak korban yang berjatuhan dari pihak Majapahit. Untuk
menghindari hal tersebut maka pimpinan pasukan Majapahit di wilayah selatan
yaitu Arya Kenceng memutuskan menghadapi langsung Ki Tabyak. Dalam pertempuran
satu lawan satu tersebut masing masing pihak berusaha saling mengalahkan.
Karena hebatnya perang tanding tersebut prajurit dari kedua belah pihak sampai
menghentikan pertempuran untuk menyaksikan kedua tokoh sakti tersebut saling
mengalahkan. Namun demikian ternyata Arya Kenceng dapat memanfaatkan kelengahan
Ki Tambyak sehingga dapat terus menekannya. Ki Tambyak akhirnya gugur dalam
pertempuran sampai kepalanya terpisah dari badannya.
Dengan gugurnya Ki Tambyak pertahanan Bali di wilayah
selatan menjadi lemah karena hanya menyisakan Ki Gudug Basur. Dalam Pertempuran
tersebut Ki Gudug basur diserang dari segala arah oleh para Arya dari
Majapahit. Namun I Gudug basur ternyata mempunyai ilmu yang sangat tinggi yaitu
teguh, kebal oleh senjata apapun sehingga para Arya mengalami kesulitan untuk
mengalahkannya. Namun demikian walaupun tubuhnya tidak dapat terluka apabila
terus menerus digempur dari segala arah lama kelamaan Ki Gudig Basur kehabisan
tenaga dan sehingga dapat dikalahkan oleh pasukan dari Majapahit. Dengan
Gugurnya Ki Gudug Basur dan Ki Tambyak maka daerah Seseh, Tralangu, Padang
Sambian, Kedonganan, Benua, jimbaran, Kuta, Mimba, Suwung, Sesetan, Tuban,
Renon, Batankendal, Sanur, Tanjungbungkah, Kaba Kaba, Kapal, Tanah barak,
Camagi, Munggu, Parerenan, Dukuh, Kemoning, Pandak, Kelahan, Pancoran, Babahan,
Keliting, Cengkik dan Kerambitan dapat dikuasai oleh Prajurit Majapahit dibawah
pimpinan Arya Kenceng.
Sisa sisa langkar Bedahulu yang masih tersisa setelah
mengalami kekalahan dalam pertempuran menyelamatkan diri dan mengungsi ke
daerah Songan, Kedisan, Abang, Pinggan, Munti, Bonyoh, Tarobayan, Serahi,
Sukawana, Panarajon, Kintamani, Pludu, Manikliu, dan ada pula yang mengungsi ke
daerah timur seperti Culik, Tista, Margatiga, Muntig, Got, Garbawana,
Lokasarana, Garinten, Sekul Kuning, Puhan, Hulakan, Sibetan, Asti, Watuwayang,
Kadampai, Bantas, Turamben, Crutcut, Datah, Watidawa, Kutabayem Kemenangan
Pasukan Majapahit di wilayah selatan yang dipimpin oleh Arya Kenceng melengkapi
kemenangan pasukan Majapahit yang terlebih dahulu berhasil mengusai wilayah
Utara dan Timur Pulau Bali sehingga praktis semua daerah pesisir Bali dapat
dikuasai.
Sekarang tinggallah Krian Pasung Grigis yang bertahan di
desa Tengkulak di wilayah Bali Bagian Tengah. Pertempuran yang terjadi berakhir
dengan kekalahan Bedahulu, dan patih Bedahulu Kebo Iwa gugur sementara raja Sri
Astasura Ratna Bumi Banten pergi mengasingkan diri. Setelah Bali berhasil
ditaklukan, Arya Damar kembali ke Majapahit. Sebagian kerabat Arya Damar ada
yang menetap di Bali, dan di kemudian hari salah seorang keturunan dari Arya
Damar mendirikan Puri Denpasar dan Puri Pemecutan di Denpasar.
BABAD versi Lainnya
Dari sumber lontar babad Arya Tabanan (Ratu
Tabanan), disebutkan bahwa Arya Kenceng dan Arya Belog merupakan adik dari Arya
Damar. Pada sumber-sumber lain yang saya temukan juga banyak yang menyebutkan
bahwa terdapat 6 ksatriya di kediri bersaudara (Satrianing Kediri) yang
keenamnya terdiri dari:
- Raden Cakradara (Suami Tribhuana)
- Arya Dhamar
- Arya Kenceng
- Arya Sentong
- Arya Tan Wikan
- Arya Kutawandira
Ada pula yang menyebutkan bahwa Arya Damar dan Arya
Kenceng adalah satu. Nama Arya Kenceng adalah nama lain dari Arya Damar.
Penjelasan ini tentunya bukan tidak berdasarkan sumber.
Dengan adanya
pendapat-pendapat di atas yang saya sebutkan di atas kiranya dapat dijadikan
sebagai bahan perhitungan untuk mengetahui kebenaran bahwa bagaimanakah
hubungan antara Arya Damar dan Arya Kenceng.
Kebenaran tersebut
harus dipertimbangkan dengan masak dan dapat diuraikan dari sumber yang jelas
dan pasti. Dari sumber yang ada di blog ini, dikatakan bahwa dari Kitab Purana
Bali Dwipa yang menyatakann " Perang Arya Dhamar saking kulwan anekani
perang lan sutanire anama Arya Kenceng, Arya Dhalancang, arya Tan Wikan (Arya
Belog) ". Namun tidak dijelaskan siapa dan dari mana asal istri dari Arya
Damar yang melahirkan putra-putra itu, tidak dijelaskan pula di mana anak-anak
itu dibesarkan.
demikian yang dapat diceritakan tentang ARYA DAMAR. mohon masukan demi kesempurnaan artikel ini. terima kasih.
Maaf sebelumnya tanpa ada maksud apapun sekedar untuk meluruskan sejarah Aditya warman Raja melayu di darmasraya minang kabaw dan Arya damar raja palembang.
BalasHapuspakta sejarah baik itu babad di jawa babad Bali, babad lombok dan prasasti dan catatan dinasti ming Arya damar raja palembang lah sebagai panglima Majapahit yang ikut bersama gajah mada dalam rangka penyatuan nusantara dibawah Maja pahit. bukan Aditya warman.
menurut prof ulikozok tentang Aditya warman
1. bukan anak dara jingga. anak Dara jingga itu Arya Damar.
2. tidak pernah kebali. yang kebali itu Arya damar.
3. tidak pernah menjadi utusan majapahit ke cina. yang jadi utusan Majapahit itu Arya Damar
4. Tidak pernah melakujan penaklukan kesumatra. yang kelakukan pebaklukan disumatra untuk Majapahit itu Arya Damar
5.Tidak ada hubungan dengan krluarga raja maja pahit. yang ada hubungaun itu Arya damar.
6. Arya damar itu raja palembang bawahan majapahit. bergelar Sang Arya Warma dewa.
7. Aditya warman Raja melayu minangkabau di Darmasraya mengaku setara dengan Majapahit dengan memproklamirjan diri sebagai Maharaja diraja th 1347. yang membuat marah raja mahapahit sehingga memerintahkan Arya damar maharaja palemvang bawahan majapahit untuk menghancurkan melayu didarnasraya .
8. Arya damar memang benar raja Palembabg. bukan raja paruyung.
9. Istilah gelar / nama Arya Damar tidak pernah ada dalam darmasraya apa lagi pagaruyung.
10. istilah Arya Damar itu adalah nama penguasa palembang di era Majapahit.
istilah nama nama gekar raha raja mibang javau adalah Maha raja diraja, Dang tuanku.
Nama nama Aditya warnan raja melayu di darmasraya itu adalah Srimat Udayadityawarman rajendra Mauli Warma Dewa, Dang Tuanku, Tuan Suruwasa setelah Aditya warman pindah keSuruwasa dia memakai gelar Tuan Suruwasa tidak jagi bergelar Maharajadiraja. kerana kerajaannya sudah dihancurkan Majapahit.
Nama nama/ gelar Arya Damar maharaja palembang sebagai bawahan Majapahit adalah Tuan janaka Aji Mantrolot, Sang Arya Dewa Raja empu Aditya, Mahana polinfong, Manachawuli dan Sengkialiyulan..
Aditya warman anak putri kumani keturunan Raja bumi Melayu Sangsapurba/Srimat tribuana raja dan putri Sari lawik.
Arya Damar adalah anak Dara jingga keturunan Sangsapurba/ srimat tri buana raja mauli warma dewa dan Wan Sundari putri Palembang.
Ayah Arya Damar adalah Adwaya brahman/ Siraki Dewa sedangkan ayah Aditya Warman Adwaja warman . Mungkin kefua nama ini adalah orang yang sama. jika sama artinya Aditya warman dan Arya Damar adslah saudara seayah lainn ibu.
Bila Arya Damar tidak sama dengan Adityawarman (dua tokoh yang berbeda), sumber referensinya harus jelas dan valid, minimal ada prasasti dengan tahun prasastinya, bisa membedakan yang mana prasasti yang dikeluarkan oleh Arys Damar dan yang mana dikeluarkan oleh Adityawarman ???
Hapus