Google+

Sastra sebagai alat komunikasi

Sastra sebagai alat komunikasi


Filsafat secara umum dapat diartikan bahwa usaha manusia dengan menggunakan akal, untuk memperoleh pemahaman Jagat Raya dalam memenuhi suatu kepuasan dalam kebijaksanaan, sedangkan aksara adalah simbol (lambang) sebagai alat komunikasi.

Komunikasi menggunakan bahasa akan mengandung unsur simbolik dan emotif, dalam komunikasi ilmiah sebenarnya proses komunikasi itu harus terbebas dari unsur emotif ini, agar pesan yang disampaikan bisa diterima secara reprodukdif, artinya identik dengan pesan yang dikirim. 
Umpamanya jika dalam sebuah komunikasi ilmiah kita mempergunakan akal seperti “epistemology” atau “oftimal” maka kita harus menjelaskan lebih lanjut apa yang kita maksudkan dengan kata-kata itu. Hal ini harus kita lakukan untuk mencegah si penerima komunikasi memberi makna lain yang berbeda dengan makna yang dimaksudkan. Tentu saja kata-kata (simbol) yang sudah jelas dan kecil kemungkinannya untuk disalah artikan dan tidak lagi membutuhkan penjelasan lebih lanjut. (Jujun, 2002:175,181). 

Nama Rudra sering diartikan sama dengan Siwa, sehingga untuk menggambarkan siwa sebagaimana halnya dengan Rudra dihubungkan dengan sebelas aksara sebagai bentuk lingga Atma, menurut Jnana Sidharta: Sing, Tang, Mang, Bang, Ang, Wang, Nang, Ang, Ung, Mang dan Ong.

Selanjutnya dalam Rg.Weda X.36.14. menyebutkan:

“Sawita Pascatat Sawita Purastat, Sawitottarattat Saidharattat Sawita Nah Suwatu, Sarwatatim Sawita No Rasa Tam Dirgha Ayuh”
Artinya:
 Dewa dari arah Barat, Dewa dari arah timur, Dewa dari arah Utara, Dewa dari arah Selatan. Semoga ia melimpahkan rahmatNya kepada kita dengan umur panjang.(Pudja, 1984:31-33). 

Untuk jelasnya penulisan kini menguraikan kejadian aksara vokal (suara) dan konsonan (wyanjana) serta menggolongkan terbagi tiga jenis, yaitu: 
  1. Wreastra, yang digunakan untuk menunulis Bahasa Bali lumrah, misalnya urak, pipil, pengeling-eling dan sejenisnya, 
  2. Swalalita, aksara untuk menuliskan Bahasa Kawi dan lainnya lagi, 
  3. Modre, adalah aksara bagian kedyatmikan misalnya: Japa-mantra, perlambang (simbol) dalam keagaman, upacara dan yang berhubungan dengan dunia kegaiban, do’a-do’a dan pengobatan. 
Terakhir adalah aksara suci ini adalah aksara mati karena banyak dengan busana (taleng, tedong, surang, gantungan, dan gempelan). Untuk membacanya menggunakan Krakah/Griguh (Kaler,1982: iii-iv).

Pesamuan Agung Bahasa Bali tahun 1957 (dengan hasilnya) sebagai berikut: 
  • Vokal 6 buah, yaitu: a, i, u, e, o, e. Lambang e taling tidak memakai corek atau tanda diakritik. Tanda deakritik dapat dipakai hanya pada permulaan belajar membaca atau dalam perkamusan. 
  • Konsonan 18 buah, yaitu: h, n, c, r, k, g, t, m, ng, b, s, w, l, p, d, y, ny. 
Perlu kami ingatkan bahwa dalam penulisan kalimat atau cerita bahasa Bali memakai tulisan latin jangan berpegang dengan tulisan Bali, melainkan ke Bahasa Indonesia. 
Contoh: 
Rontal Ramayana becik pisan, Prabu Kresna sareng mayuda, Sang panca pandawa lunga ke alase”. 
Kalau tulisan Balinya "Rãmãyana, Prabhu Krésna, mayudha dan Pañca Pãndawa". 

Dalam buku ejaan bahasa Daerah bali yang disenpurnakan juga dicantumkan abjad Bahasa Indonesia dari a s/d z. Hal ini dimaksudkan untuk menyerap bahasa asing pada tahap permulaan sebelum beradaptasi dengan bahasa Bali. (Tinggen, 1993:3).

Pengulangan Lalitasahasranama dan Trisat’i, khususnya Trisakt. Untuk dapat meresapkan keamhakuasaan Sang Hyang Widhi agama Hindu memberikan Simbol pada kekuatannNya ini dalam aksara suci OM. Kata Om adalah aksara suci untuk mewujudkan Sang Hyang Widhi dengan ketiga prabawanya yaitu: Brahma Hyang Widhi dalam prabawanya mahapencita disimbolkan dengan aksara A, Wisnu Hyang Widhi dalam prabawanya memelihara disimbolkan dengan aksara U dan Siwa Hyang Widhi dalamp rabawanya pelebur disimbolkan dengan aksara M. Suara A, U, M, ini ditunggalkan menjadi OM (Upadesa, 1978:16). 

Aksara Bali terbagi atas aksara biasa, dan aksara suci. Akasara biasa terdiri atas aksara wreastra, aksara yang dipergunakan sehari-hari terdiri atas 18 aksara (ha, na, ca ra ka dst), dan aksara swalalita atau aksara yang dipergunakan pada kesusastraan Kawi yang terdiri atas 47 aksara, misalnya: a, i, u, e, o. 
Akasara Suci terbagi atas:
  • akasara wijaksara atau bijaksana (aksara swalalita + aksara amsa, misalnya: ong, ang, ung, mang)
  • modre atau aksara lukisan magis. 
Akasara amsa terdiri atas:
  1. Arddhacandra (bulan sabit),
  2. windhu (matahari, bulatan) dan
  3. nadha (bindang, segi tiga). 
Ketiganya melambangkan Dewa Tri Murti-Utpatti, Sthiti-pralina atau lahir hidup mati. Selain itu, dalam aksara Bali ada yang disebut pengangge tengenan, aksara wianjana (huruf konsonan, huruf mati) yang terletak pada akhir kata yang melambangkan fonem konsonan (Ngurah Nala, 2005 Bali Post)

Kemudian padangan dari persfektif Sastra, “Durga Puja”. Dilaksanakan dengan Kata Dum dibentuk dengan menambahkan Maya, Adri, Karna, Bindu/Windu dan Pranawa/ongakra serta pisarga pada permulaan kata. Aksara-aksara ini identik dengan Aksara Swalita dan Akasara Suci/Modre yang dipergunakan oleh para Pujangga atau Rohaniawan dalam Simbolis ritual. Kalau di Bali aksara tersebut dapat diidentikan dengan Tuhan disimboliskan aksara Ongkara dalam wujud Tunggal, dan dalam berbagai manifestanya terdapat berbagai macam. Tri Murti: Ang Ung Mang dan dalam wujud Dasa aksara adalah: Sang Bang Tang Ang Ing dan Nang Mang Sing Wang Yang.

Dengan menggunakan media aksara/sastra keharmonisan mikrokosmos dengan makrokosmos, diharapkan dapat mencipkan kedmaian dihati, kedamaian di dunia dan kedamaian di akhirat. Terkait dalam pembelajaran mantra, maka aksara yang digunakan adalah aksara biasa Wreastra tanpa dilakukan upakara. Kemudian setelah ada pemaham lebih lanjut, dan ada keinginan untuk menjadi: Pemangku, Sulinggih baru dilanjutkan dengan upakara dan upacara Mawinten atau Madwijati. Dengan menggunakan aksara Modre/aksara suci. (Watra, 2006:52-58)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar