Babad Bali Kisah Gde Pasar Badung
Tersebutlah keturunan Gde Pasar badung diangkat menjadi Bandesa di Desa Kayuan
(Karangasem). Sebab itu ia disebut Bandesa Kayuan. Entah berapa lama ia menjadi
Bandesa di desa Kayuan, ia lalu menurunkan du anak laki-perempuan yang bernama:
- Luh Kayuan
- De Kayuan.
Selagi jejaka,
De Kayuan meninggal dunia. Bandesa Kayuan sangat sedih hatinya, karena ditinggal
oleh anaknya. Jenazahnya sudah diupakarakan sebagai mana mestinya. Kemudian
datanglah brahmana Buddha dari pasraman dalam Wanakeling, Madura. Brahmana
yang sedang melakukan perjalanan dharma wisata itu bernama Danghyang Kanaka. Di
dalam perjalanannya keliling Bali, beliau sampai di desa Kayuan dan beristirahat di
depan rumah Bandesa Kayuan.
Ketika Bandesa Kayuan keluar rumah, ia menjumpai Danghyang Kanaka.
Danghyang Kanaka menjelaskan, bahwa beliau datang ke sana di dalam perjalanannya
berdharma wisata ingin mengetahui keadaan sebenarnya. Danghyang Kanaka juga
menjelaskan, Pulau Bali sangat terkenal keindahannya.
Bandesa Kayuan lalu mempersilahkan Danghyang Kanaka memasuki rumahnya.
Bagi Danghyang Kanaka, rumah itu terasa sunyi. Danghyang Kanaka lalu bertanya
mengapa rumah Bandesa terasa sepi. Danghyang Kanaka juga melihat Bandesa Kanaka
memendam kesedihan. Bandesa Kayuan lalu menjelaskan bahwa anaknya yang laki-laki
meninggal dunia saat masih jejaka. Yang masih hidup adalah anaknya yag perempuan
saja. Yang juga menyedihkan, Bandesa Kayuan sudah lanjut umur sehingga tidak
mungkin lagi menurunkan parati Santana. Danghyang Kanaka lalu bertanya apakah
Bandesa Kayuan menginginkan keturunan lagi. Bandesa kayuan menjawab ia. Oleh
sebab itu, Luh kayuan lalu dinikahkan dengan Danghyang Kanakaa. Mereka
mengadakan upacara perkawinan di rumah Bandesa kayuan.
Kemudian dari perkawinannya, lahir 2 orang anak laki-laki yang benama:
- Pangeran Mas, diserahkan kepada Bandesa Kayuan sebagai keturunanya.
- Pangeran Wanakeling, diajak kembali ke Wanakeling, Madura.
Sebelum berangkat, Danghyang Kanaka berpesan
kepada Bandesa Kayuan, supaya desa tersebut mulai saat itu diganti namanya menjadi Desa Kayumas. Sedang pangeran Mas sudah menggantik kedudukan menjadi
Bandesa,bergelar Bandesa Kayumas. Lama-kelamaan seketal Mpu Asthapaka (penganut
agama Buddha) datang di Bali dan bertemnpat tinggal di desa Kayumas, desa Kayumas
kemudian diubah namanya menjadi Desa Budakeling. Nama itu dijadikan sebagai
kenang-kenangan bahwa beliau berasal dari Keling yang memeluk Agama Buddha.
Sekarang Mpu Asthapaka disebut Brahamana Buddha.
Pada tahun Caka 1768(tahun 1846 M) yang berkuasa di Pejeng adalah Cokorda
Pinatih. Salah seorang putrinya dipinang oleh I Dewa Manggis Dhirangki, Raja
Gianyar. Namun pinanganya ditolak Cokorda Pinatih, I Dewa Manggis Dhirangki
menjadi sangat marah.
Panglima pasukan Gianyar I Gusti Ngurah Jelantik XVIII mohon
izin kepada Raja Gianyar untuk menggempur Pejeng. Permohonan ini disetujui Raja
Gianyar. Sebab itu I Gusti Ngurah Jelantik dengan pasukan pilihannya mendatangi
Pejeng dan melakukan penyerbuan. Akan tetapi pihak lawan tidak melakukan
perlawanan. Sebaliknya I Gusti Ngurah Jelantik diterima dengan ramah oleh Cokorda
Pinatih serta dipersilahkan masuk ke Puri Pejeng. Dengan kejadian ini, I Gusti Ngurah
Pejeng berpendapat bahwa sengketa antara Pejeng dengan Gianyar tidak perlu
diselesaikan dengan kekerasan. Mengingat keramah-tamahan Cokorda Pinatih, sengketa
ini dapat diselesaikan melalui perundingan.
I Gusti Ngurah Jelantik dengan seluruh pasukanya lalu tinggal di Puri Pejeng pada
malam hari itu. Disana dibahas tentang rencana perkawinan tersebut, untuk
menghindari pertumpahan darah. Tatkala hari mulai gelap, pasukan Belahbatuh sedang
beristirahat. Namun tiba-tiba pasukan Pejeng bersenjata lengkap mengurung Puri
Pejeng. Sekeliling Puri dibakar. Lalu I Gusti Ngurah Jelantik memerintahkan agar
pasukannya menerobos blockade pasukan Pejeng. Karena memakan waktu yang sangat
lama, pertempuran sampai di tengah sawah di sebelah selatan Pejeng. Adik I Gusti
Ngurah Pejeng gugur, dan akhirnya bantuan pasukan dari Gianyar tiba dibawah
pimpinan putra mahkota Gianyar.
Dengan tibanya Pasukan Gianyar, pasukan Pejeng menyerah kalah setelah
menderita kerugian, baik harta benda maupun jiwa. Sedang Cokorda Pinatih
menyelamatkan jiwanya di tengah hutan. Karen tidak tahan bersembunyi di hutan, lalu ia menyerah dan Cokorda Pinatih dihukum selong ke Nusa Penida. Sesudah pejeng kalah,saudaranya bernama Cokorda Oka penguasa di desa Belusung ingin membalaskan
dendam karena kekalahan adiknya. Begitu pula Cokorda Rembang di Pejengaji
Tegalalang menyatakan melepaskan diri dari kekuasaan Gianyar. Rakyat Pejeng
sebanyak 6oo orang melarikan diri dan memohon perlindungan kepada Raja Bangli.
Yang mohon perlindungan termasuk Pasek Gelgel keturunan Bandesa Pejeng.
Adapun perbedaan jati diri atau sebutan yang terdapat pada Pasek Gelgel keturunan
I Gusti Pasek Gelgel di Banjar Pegatepan desa Gelgel (Klungkung), yang tidak lain
akibat perbedaan fungsi yang dijabat, antara lain:
- Bandesa Manik mas yaitu Pasek Gelgel yang berhasil menyelamatkan harta kekayaan Dalem Gelgel di antaranya berupa perhiasan yang terdiri dari permata manik dan mas
- Pasek Pegambuhan yaitu Pasek Gelgel yang berwenang mengatur bidang kebudayaan dan kesenian. Kata gambuh diambil dari nama tarian gambuh yang sangat terkenal.
- Pasek Galengan yaitu Pasek Gelgel yang berwenang mengatur dan menentukan batas suatu wilayah. Kata galengan berasal dari kata galeng yang artinya batas.
- Pasek Bea yaitu Pesek Gelgel yang berwenang mengatur dan menentukan upacara atiwa-tiwa atau Pitra Yadnya atau Palebon. Upacara ini juga lazim disebut mbeanin dan kata bea diambil dari kata mbeanin
- Pasek Dawuh dan sering disebut Pasek Dawuhalang yaitu Pasek Gelgel yang berwenang menentukan dan nibakang dawuh atau dewasa (memberikan hari baik) untuk melakukan sesuatu.
Demikian antara lain keturunan I Gusti Pasek Gelgel di Banjar Pegatepan Desa
Gelgel (Klungkung), yang memakai berbagai jati diri atau sebutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar