Google+

membedah Hari Siwaratri dalam Siwa Ratri Kalpa

Hari Siwaratri dalam Siwa Ratri Kalpa

Hari Siwaratri dilaksanakan setiap setahun sekali, yaitu pada hari ke 14 paruh gelap bulan ke tujuh (panglong ping 14 sasih kepitu). Penyambutannya ditandai dengan pelaksanaan brata Siwaratri yang terdiri atas : jagra, upawasa, dan mono brata. Dalam hal ini siwaratri bagi umat hindu adalah sebagai malam perenungan dosa.

Siwaratri dalam agama hindu memiliki ajaran-ajaran yang terkandung didalamnya untuk manusia bagaimana untuk melakukan suatu perubahan untuk penyadaran diri. Siwaratri terdapat sumber-sumber ajaran siwaratri. Dalam kepustakaan sansekerta uarian tentang siwaratri, upacaranya sekaligus dengan si pemburunya yang naik sorga, tepatnya mendapat anugerah siwa di siwa loka, dapat ditemui dalam empat buah purana yaitu dalam padma purana, siwa purana, skanda purana,dan Garuda Purana. 

Demikianlah sumber sansekerta yang memuat tentang uraian siwaratri. Dalam Kekawin siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung. Kekawin yang dibentuk oleh 20 wirama dan dnegan jumlah bait 232 buah ini, di samping dengan secara indah menguraikan kisah perjalanan si lubdaka, Bagaimana sadhana atau pencarian tersebut yang penuh dengan makna simbol-simbol akan dibahas dalam makna filosofis Siwaratri, juga dengan cukup mendasar menguraikan pelaksanakan upacara dan brata siwaratri.


Dari sumber-sumber yang disebutkan diatas, pelaksanaan Brata Siwaratri diambil sehingga dalam pelaksanaannya di Indonesia dibagi menjadi 3 bagian yaitu Mona, Upawasa, Jagra. Dari sumber-sumber di atas juga akan diperoleh makna dan arti filosofis dari Siwaratri seperti makna kata Lubdaka, tempat tinggal Lubdaka sampai arti simbol dari Lubdaka naik pohon Bila. Pahala Brata Siwaratri yang diperoleh oleh Lubdaka beupa Sorga Loka dan terhapus segala dosanya. Jika mengacu pada hukum karma sungguh sulit dan tidak bisa menghapus dosa yang telah menempel pada raga kita, karena setiap perbuatan yang kita lakukan pasti akan mendapatkan hasilnya. Perbuatan baik tentu menghasilkan yang baik dan perbuatan buruk akan menghasilkan yang buruk. (Rasti dkk :2004:58).

Pada intinya, kekawin siwaratri mengandung bersifat paradoks. Lalu melalui manggala tersebut Mpu Tanakung mengajak pembaca karyanya untuk bersama-sama belajar memecahkan masalah hidup. Masalah paradoks dimaksud oposisi berpasangan antara siwa dengan ratri.

Kata siwa menandakan hal yang dimaksud dengan “siang, kesadaran, cinta kasih, kebajikan, kebenaran, tanpa kekerasan, kedamaian, kebahagiaan dan segala dipandang bernilai luhur lainnya”. Bagi manusia siang adalah penuh gairah, hari penuh aktivitas memburu tujuan, Hari yang merepresentasikan waktu manusia sadar diri. Sementara ratri adalah kata yang menandakan hal yang dimaksud dengan malam”kealpaan, kebencian, kekerasan, kebiadapan, dan segala yang dianggap bernilai rendah lainnya. Malam yang gelap adalah waktu istirahat, waktu tidur. Hari yang merepresentasikan waktu manusia lupa diri singkatnya, siwaratri itulah kata penanda inti dilema manusia. Secara filosofis, dilema tersebut ternyata warisan yang berasal dari asas purba semesta yang padanya secara potensial mengandung sifat dualis.(UNHI: 2008:30-31).

Arti Filosofis Makna Siwaratri.

Seorang pemburu bernama Lubdhaka, setiap hari mengelilingi hutan dan gunung. Hidupnya tidak pernah susah. Ia selalu bersenang-senang dengan anak dan istrinya. Sejak kecil ia tidak pernah berbuat kebenaran, kebajikan, perbuatannya hanya membunuh binatang seperti rusa, badak dan gajah. Itulah yang dilakukan setiap hari sebagai satu-satunya mata pencaharian yang dapat memenuhi kebutuhan keluarganya.

Pada hari keempat belas bulan ketujuh (panglong ping pat belas ke pitu), Lubdhaka berburu seorang diri kedalam hutan memakai bajuhitam kebiruan . Perjalannya ke dalam hutan menuju timur laut, ketika itu hujan gerimis, Ia melewati Pura besar (dharma agung) yang keadaanya sudah rusak, namun dewanya tetap kokoh berstahana di dalam relung pelangkiran. Oleh karena kekuatan keutamaan dari malam Siwa (siwaratri), keadaan hutan menjadi sepi. Keadaan ini membuat Lubdhaka berjalan sampai jauh ketengah hutan.

Karena merasa penasaran, Lubdhaka terus menelusuri hutan selama satu hari berputar-putar mengelilingi lereng gunung. Setelah sore ia sampai di sebuah ranu besar yang didalamnya terdapat Siwalinggga (tidak ada yang membuat ), Perjalanan berputar-putar membuat Lubdhaka lesu, payah,haus,lapar. Karena itu, ia beristirahat dan minum air serta mencuci muka sambil menunggu binatang yang mungkin datang minum air.

Namun harapan itu sia-sia, karena sampai malam tidak ada binatang yang datang minum air. Akhirnya ia memutuskan untuk menginap di seputar ranu itu. Untuk menghindari bahaya (dari sergapan binatang), ia memanjat pohon bilva dan menaungi ranu dan membawa busur serta anak panahnya. Setelah larut malam ia tidak bisa menahan kantuknya. Agar tidak tertidur, ia memetik daun pohon maja (bila) itu satu persatu sampai fajar. Tanpa disengaja daun-daun yang dipetiknya jatuh di dalam ranu dan semua kandas mengenai Siwalingga. Dewa Siva yang sedang beryoga disitu sangat senang memperhatikan ketekunan lubdhaka menyertai yoganya.

Keesokan harinya, setelah pagi, keadaan di sekitar , mulai terang disinari matahari. Ia berkemas-kemas pulang, setibanya dirumah dijemput oleh istri dan anak-anaknya dengan rasa gembira. Setelah diceritrakan perjalanannya tidak mendapat buruan, suasana berubah menjadi sedih karena mereka sedang lapar. Mungkin istri dan Lubdhaka juga tidak tidur semalam karena menanti kedatangan ayah atau suami yang tidak kunjung pulang.

Beberapa tahun kemudian, Lubdhaka jatuh sakit dan kematian tidak dapat dielakan. Atmanya melayang-layang di angkasa. Dalam keadaan demikian, Dewa Siva segera memerintahkan abdinya (para gana) untuk menjemputnya agar dibawa ke Siwaloka. Tindakan itu dilakukan Dewa Siva karena beliau masih ingat dengan perbuatan lubdhaka yang sangat terpuji, yaitu melakukan brata Siwaratri pada panglong ping pat belas sasih kepitu pada zaman kreta dahulu semasih hidupnya. Walaupun hal itu tidak sengaja dilakukannya, karena brata itu yang utama, dapat membersihkan segala dosa. Berapapun banyaknya berbuat kejahatan akan dilebur oleh keutamaan brata itu. Oleh karena itu, sudah sepantasnya Lubdhaka untuk menikmati kebahagiaan di Siwaloka. Itulah ceritra Lubdhaka yang termuat dalam Siwatari Kalpa.

Hari Perayaan Siwaratri.

Siwaratri yang datang setahun sekali yaitu pada hari 14 paruh gelap malam mahapalguna (januari-Februari), sehari sebelum Tilem kapitu, menyediakan seperangkat pengetahuan, nilai, norma-norma, pesan, dan symbol. Kata ratri berarti malam, Karena itu Siwaratri berarti malam siva. Siva berarti baik hati, suka memaafkan, memberikan harapan, Dengan demikian siwaratri adalah malam untuk melebur kegelapan hati menu jalan yang terang.

Siwaratri jatuh setahun sekali pada purwaning tilem ke pitu (panglong ping 14 sasih kepitu). Menurut astronomi malam tersebut merupakan malam yang paling gelap dalam satu tahun, maka buana agung terdapat malam yang paling gelap, maka di buana alit pun ada. Kegelapan di buana alit dikenal dengan nama peteng pitu (sapta timira), yaitu:

  1. mabuk karena rupawan (Surupa), 
  2. mabuk karena kekayaan (Dana), 
  3. mabuk karena kepandaian (Guna), 
  4. mabuk karena kebangsawanan (Kulina), 
  5. mabuk karena keremajaan (yohana), 
  6. mabuk karena minuman keras(Sura), dan 
  7. mabuk karena kemenangan (Kasuran).

Kegelapan inilah terjadi karena kesimpang siuran dalam struktur alam pikiran. Kesimpang siuran ini terjadi karena pengaruh dasendriya, sehingga menghasilkan manusia yang mengumbar hawa nafsu.

Sumber Ajaran Siwaratri

Dalam kepustakaan Sanskerta uraian tentang Siwaratri, upacaranya sekaligus dengan si pemburuannya yang naik sorga, tepatnya mendapat anugrah Siwa di Siwa Loka, dapt ditemui di empat buah Purana yaitu : Padma Purana, Siwa Purana, Skanda Purana dan Garuda Purana. Uraian yang terdapat dalam bagian Kedarakanda dari Maheswarakanda dalam Skanda Purana antara lain memuat percakapan antara Lomasa dengan para Rsi. Lomasa menceritakan kepada para Rsi tentang si Canda yang jahat, pembunuh segala mahluk, sampai membunuh para Brahmana, akhirnya dapat mengerti dan menghayati apa yang disebut “ Kebenaran”. Dalam purana ini diuraikan pula tentang asal mula upacara siwaratri tersebut.

Siwalatri dalam Garuda Purana

Bagian Acarakanda dari Purwakanda dalam Garuda purana memuat uraian singkat tentang siwaratri. Diceritakan bahwa suatu ketika Parwati bertanya kepada Siwa tentang pelaksanaan brata yang terpenting. Dalam menjawab pertanyaan itulah Siwa menguraiankan tentang brata pelaksanaan Siwaratri.

Dalam bagian tersebut dikisahkan seorang raja dari Para Nisada yang bernama Sundarasena. Sundarasena membawa anjingnya untuk berburu kedalam hutan. Akan tetapi dalam perburuannya itu ia tidak mendapatkan satupun binatang buruan. Maka tampaklah pemandangan dimana binatang kesayangan dan tuannya lapar dan haus. Mereka tidak makan dan minum. Di tengah hutan mereka menjumpai Siwalinggam tepat dibawah pohon Bila. Ketika ia memasuki semak-semak daun pohon bila berjatuhan dan menimpa Siwalinggam dan secara tidak sengaja sebuah anak panah jatuh dari tangan Sundarasena dan ketika ia berusaha untuk mengambil benda itu, tangannya menyentuh linggam. Sundarasena kemudian kembali tanpa membawa binatang buruan. Seiring dengan berjalannya waktu, maka ia meninggal dunia, saat itu datanglah utusan Dewa Yamaa untuk membawanya ke neraka. Akan tetapi para pengawal dewa Siwa tidak mengijinkan roh Sundarasena dibawa ke neraka. Nisada ini telah berdoa kepada Siwa pada hari Siwaratri meski itu dilakukannya secara tidak sengaja. Sundarasena dan anjingnya dibawa kepada Dewa Siwa dan tinggal di alam itu dengan bahagia.

Siwaratri dalam Siwa Purana

Bagian Jnanasamhita dari Siwa Purana yang memuat percakapan antara para Suta dan para Rsi menguraikan pula pentingnya dan jalannya upacara Siwaratri. Uraian tersebut disertai oleh kisah Si orang kejam bernama Rurudruha yang setelah melakukan brata Siwaratri akhirnya menjadi sadar akan kekejaman dan kedangkalan pikirannya.

Siwaratri dalam Siwaratri Kapla

Sumber Sansekrta yang paling dekat dengan kakawin Siwaratri Kalpa (Kakawin Lubdhaka ) sebuah kakawin yang banyak dikenal di Bali adalah bagian Uttarakanda dari Padma Purana. Didalamnya termuat percakapan antara raja Dilipa bahwa Siwaratri tersebut adalah brata yang sangat utama yang jatuh antara bulan Magha dan Palguna. Apabila dalam kakawin si pemburu bernama Lubdhaka, maka dalam Padma Purana ini memakai nisada (kadang-kadang disebut pulinda atau sabhara). Dalam Padma Purana kata Lubdhaka bermakna “ Pemburu” : Tisthad yawad astan gato rawih ;tasya gandham samasadhya lubdakasya waranane. Berkat brata Siwaratri yang dilakukannya akhirnya ia pun berhasil diterima oleh Bharata Siwa di Siwa Loka.

Demikianlah sumber Sansekrta yang memuat uraian Siwaratri. Sudah pula kita tunjukan bahwa dalam kepustakaan Jawa Kuna kita mengenal kakawin Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung. Kakawin yang dibentuk oleh 20 wirama dan dengan jumlah bait 232 buah ini disamping dengan secara indah menguraiakan perjalanan si Lubdhaka, juga dengan cukup mendasar menguraiakan pelaksaan upacara dan brata Siwaratri.

Apabila kita mengetahui bahwa Padma Purana adalah sebuah teks didaktik tanpa sebuah sebuah pretensi estetis, sedangkan Siwaratrikalpa adalah teks didaktik yang mempubyai pretensi estetis, maka dapat kita ketahui bahwa Mpu Tanakung mengharapkan supaya karya sastra yang ditulisnya lebih menarik dan menyebar. Dalam arti pula bahwa Mpu Tanakung memakai metode estetik dalam menyebarkan ajaran agama, yaitu dengan memanfaatkan media sastra (kakawin) yang digemari oleh masyarakat. Karya Mpu Tanakung yang satu ini oleh peneliti sastra dianggap sebagai karya “ Trobosan”, karena karya sastra ini adalah satu-satunya kakawin yang menjadi manusia biasa (malah manusia papa) sebagai tokoh utamanya, dan karya sastra ini berhasil hadir dalam suatu kegiatan keagamaan.

Mpu Tanakung memang dikenal sebagai seorang kawi yang produktif dan kreatif. Disamping kakawin Siwaratrikalpa, pengarang ini juga mewariskan karya-karya kakawin Wreta sancaya, Bhasa sadana yoga, Bhasa mretamasa, Bhasa sangutangis, Bhasa Kinalisan,Bhasa Tanakung, Bhasa Gumiringsing, Bhanawa Sekar, Puja Smara, Patibrata. Lewat studi terhadap beberapa kakawin tersebut menunjukkan bahwa Mpu Tanakung telah menyuratkan dan menyiratkan tentang konfensi sastra dan konfensi budaya kakawin, yang paling menarik adalah gambaran yang diberi tentang filsafat keindahan yang dianut oleh para Kawi samapai pada cita-cita hidup yang Kawi.

Sumber lain yang terdapat dalam kepustakaan Bali adalah lontar Lubdhaka Carita (milik Faksas unud no 774 ) dan Lubdhaka gending no 705 sedangkan dalam lontar Aji Brata (milik gedong Kirtya Singaraja no IIIb.1875/7) kita dapat baca secara cukup terperinci tentang pelaksanaan brata Siwaratri tersebut.

Pada bagian Santi Parwa yang tedapat pada Mahabrata, Bisma sementara berada dipembaringan anak-anak panahnya dan membahas tentang masalah Dharma, megacu pada perayaan Maha Siwaratri oleh raja Citrabhanu.

Tata Cara Brata Siwaratri Menurut Lontar Kakawin Siwaratri Kalpa

Berikut Kekawin Siwaratri dapat memberikan penjelsan yentang brata beserta pelaksanaan upacara Siwaratri tersebut:
Ring enjing i huwus ning anggelaranusmara datenga ring guru greha/
Manembaha jugawitanglekasaken brata suhunana pada sang guru/
Ri sampun ika madyus asisiga mang gelarakena Sivanarcana/
Teher duluranopawasa saha mona manigasana sudha kangsuga// [37.1]
Pagi hari sesudah siap menyatukan pikiran yang berkepentingan patut menghadap sang pendeta, Bersujud dan memaklumkan untuk melaksanakan “brata” dengan mematuhi petunjuknya, Sesudah mandi dan berlansir lalu melakukan pemujaan kehadapan Hyang Siva, Dilanjutkan dengan Puasa dan “ monobrata ” serta mengenakan pakaian putih.
Ri sampun telas nikang rahina ring wengi niyata matanghya tan mrema/
Bhatara Sivalingga kewala sirarcanan i dalem ikang suralaya/
Kumara nguniweh Gajendrawadana ng ruhhunnana sira kapwa pujane/
Rikang rajani yama pat gelarana kramanira manutang sakabwatan// [37.2]
Setelah siang hari berlalu pada malam harinya melek jangan sekali-kali tidur, Setelah memuja Hyang Siwa dalam perwujudan “sivalingga” yang bersemayam di alam siva, Didahuluhi dengan memuja Hyang Gana dan Hyang Kumara, Pada malam harnya “yamapat” yang disesuaikan menurut batas kemampuan.

Menur kenyeri gambir arja kacubung saha waduri putih lawan putat/
Asoka saha nagapuspa hana tangguli bakula kala macampaka/
Makadi semining majarja sulasih panekara ning angarcana sira// [37.3] 
Bunga menur, kanyeri,gambir,kacubung,waduri putih dan putat, Asoka nagaari tangguli bakula kalak dan cempaka, Seroja meah putih biru dan segala sejenis bunga yang harus disiapkan pada saat itu, Utamanya pucuk muda daun bila dan bunga sulasih sebagai sarana untuk memujaku ( Hyang Siva).

Lawan sahananing gandha pakadhupa saha ghreta sudipa ring kulem/
Ikang caru bubur pehan saha bubbur gula liwet acarub hatak wilis/
Yateka pinakadining caru yadin dulurana phala matsyaka/
Samangkana ketang kramolahakenang sawengi saka sayana tan lupa// [37.4]
Segala wangi-wangian dupa susu dan lampu disiapkan pada malam hari itu, Dengan sajen bubur dicampur susu dan bubur kacang hijau dicampur gula merah, Itulah antara lain jenis sesajen dilengkapi dengannbuah-buahan nasi dan lauk pauk, Hal itu patut dilaksanakan semalam suntuk dan jangan lupa memusatkan pikiran.

Mredangga saha onyan-unyan asameni kapalimur arip ing mata/
Yadin mangucapang kidung rumasanang kakawinn apasang arja len nita/
Sabhagya keta yan weruh angucapaken Sabharakatana ring samangkana/
Awas katemu tang padadhika tekap akathana Lunbdhakatmaka// [37.5]
Gong dan bunnyi-bunyian sebagai penghibur untuk manghalau kantuk, Dapat juga dengan membaca “kidung” dan membaca lontar kekawin atau olah rasa dan pikiran kecuali judi, Syukur bila dapat membaca dan menghayati kisah si Lubdhaka pada saat itu, Pada akan menemukan sorga bagi orang yang membaca cerita Lubdhaka

Ring moksa nikanang kulem ri tekanang rahina masunga dana ring sabha/
Suwarna Sivalingga dana ri Mahadwija parama susila wedawit/
Asing lwir nikang dateng sungna dana sukawasa hayo juga tulak/
Teher kaluputeng turu ri rahinannya sagawaya hayo kurang tutur// [37.6] 
Ketika malam sudah berlalu dan menjelang pagi hari patut memberikan dana punia pada tempat tertentu, “Siwalingga” dar emas dipersembahkan kepada Sang Pendeta Utama, Setiap orang yang datang patut diberikan “ dana punia “ sesuai dengan kemampuan dan jangan sekali ditolak, Dilanjutkan dengan tidak tidur pada siang harinya dan jangan bekerja tanpa kesadaran.

Petikan panjang yang dicantumkan disina diharapkan telah dapat memberikan kejelasan tentang pelaksanaan brata serta upacara Siwaratri. Mona, Upawasa dan Jagra adalah tiga brata yang semestinya dilakukan pada hari suci Siwaratri. Jagra dilakukan selama 36 jam, mulai dari pagi hari pada panglong ke 14 sampai pada senja hari panglong ke 15 ( tilem ) kepitu, sedangkan monad an upawasa dilakukan 24 jam, mulai pagi hari panglong ke 14 sampai pada pagi hari panglong 15 (tilem). Disamping melakukan brata, melakukan pemujaan kepada Siva, Gana dan Kumara adalah kegiatan yang Utama. Empu Tanakung tidak saja menekankan hal-hal tersebut tetapi pada pelaksaan dana punya yang semestinya dilakkan pula.

Secara tersirat Empu Tanakung menyatakan pula bahwa brata Siwaratri tidak mesti dilakukan dengan paksa, artinya perlu diadakan tahapan (tingkatan) dalam pelaksanaaan brata tersebut. Karenanya pada malam panglong ke 14 itu dianjurkan untuk membaca kekawin, kidung, mengadakn pertunjukan kesenian dan yang penting membaca atau menceritakan kisah si pemburu,si Lubdhaka. Bagi yang melaksanakan pembaca kekawin,kidung pertunjukan kesenian maka mona brata hanya dilaksanakan 12jam yaitu mulai pikul 06.00 s/d 18.00.

Lontar Aji Brata juga membuat brata dn puja serta upakara menekankan pemakaian daun maja dalam upacara Siwaratri seperti berikut : 
Inilah tata cara melaksanakan brata siwaatri. 
Sarana yang digunakan; 
Sanggar tawang 4 dandanan, catur, banten gana, banten sumur, banten palingghan semuanya satu dandanan. Bubur pehan, bubur gula dicampur kacang ijo. Lengkapi dengan suci, harum-haruman, dupa, pula gembal, sesayut beserta peras, lis, gelar sanga. Simbol Bhatara pergunakan Lingga Emas sebagai alas dari Lingga adalah daun pisang susu, dirajah padmasana dibawah diatasnya padma anglayang , itu yang paling utama, jangan lup caniga, daun cemara, daun swaha, serta berbagai bunga dan parijata dan daun kalewi, utamanya adalah caniga, daun yang menengah. Lakukan kesaksian3 kali sampai pagi hari.pertama sore hari, kedua malam hari dan ketiga menjelang pagi (brahmamuhurta).pada saat pemujaan disertai dengan tepung tawar,segau,setelah pemujaan siwaratri dilanjutkan dengan mohon tirtha. Setelah selesai pemujaan dan mohon tirtha ambillah daun maja, buang ke kumba yang tlah berisi air,bayangkan daun maja terjatuh pada padmasana yang berada ditengah lautan, mohon saksi pada Sanghyang Siwaraditya, dan Sanghyang Pradana, Purusa serta Sanghyang Trayodasa Saksi juga pada Sanghyang Jagatnata dan Sanghyang Prajapati. Disamping daun maja sejumlah 108 juga bunga yang bagus digunakan adalah menur, kenyeri, bambir, kecubung, widuuri putih, putat, angsoka, tangguli, tanjubg, kalak, cempaka, tunjung biru, tunjung bang, tunjung putih, sulasih mrik, tidak ketinggalan rumput dreman. (Ajibrata lempir 22)

Lagi pemujaan pertama pada pagi harinya,mohon disanggar surya dan rumah guru,kwangen dilengkapi dengan sesari uang 2 kepeng. Selesai memuja dilanjutkan dengan monad an upawasa. Sore hri kembali melaksanakan puja ditujukan kepadanSanghyang Surya, Iswara, Wisnu, Brahma, Siwa, Sumur, Gana. Puja pada malam hari ditujukan kepada Surya, Iswara, Wisnu, Brahma, Siwa, Kumara. Kwangen yang dipakai saranan puja diisi dengan daun maja serta ang 11 kepeng. Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Hari Raya Siwaratri

Brata Siwaratri mencakup tiga hal, yaitu 

Jagra berarti tidak tidur, berjaga, dan bangkit. 

Istilah lain dari jagra adalah atanghi dan atutur. Untuk memahami istilah-istilah tersebut perlu dipahami ajaran Siwa tentang Jagra. Menurut Wrehaspati Tattwa, alam semesta dan manusia dibentuk oleh Cetana (sumber kesadaran) dan Acetana (sumber ketidaksadaran). Hal senada juga disampaikan dalam ajaran Samkhya dengan istilah Purusha dan Predana. Akibat dibentuk oleh unsur Cetana dan Acetana, atau Purusha dan Predana, menyebabkan manusia hidup dalam ayunan alam sadar dan ketidaksadaran.

Orang-orang yang berprilaku semata-mata untuk memenuhi tuntunan keinginan (raga) disebut sebagai orang yang sedang tidur (turu). Orang yang senantiasa tidur (tidak sadar) disebut sebagai orang yang papa, yang secara spiritual tidak ada bedanya dengan mayat (sawa). Untuk membebaskan diri dari papa, Bhatara Iswara dalam Wrehaspati Tattwa Bersabda “ yan matutur ikang atma ri jatinya. “ artinya, jika Atma memahami akan jati dirinya. dengan demikian hakekat melek (jagra) dalam brata Siwaratri adalah kesadaran akan diri.

Setiap orang mesti menyadari bahwa dirinya bisa khilap karena alam pikirannya diselimuti oleh kegelapan (awidya). Pada saat kegelapan menyelimuti pikirannya, yang dikenal sebagai Peteng Pitu (sapta timira) dan di bhuwana agung dilambangkan sebagai gelapnya Purwanining Tilem Kepitu, maka manusia harus mendekatkan diri dengan sumber sinar (dewa), khususnya sinar yang mampu melebur kegelapan pikiran terebut yaitu Siwa.

Upawasa tidak hanya berarti tidak makan, tetapi yang lebih penting adalah mengendalikan diri akan makanan dan minuman (aharalagawa) berkaitan dengan karateristik dan kesucian. 

Bhagawadgita memaparkan bahwa prilaku ditentukan oleh pikiran, dan pikiran dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi. Atas dasar itu, kita harus berhati-hati agar mendapatkan makanan yang sattwik sesuai dengan cara untuk mendapatkannya, kandungan kimia dan nilai gizinya, proses pembuatan, dan kesuciannya. Makanan yang diperoleh dengan cara tidak benar, mengandung racun, bahannya tidak sattwik, proses pembuatannya tidak mempertimbangkan aspek kesucian, tidak ada persembahan kepada Brahman, semua itu tidak layak dikonsumsi. Itulah makanan (bhoga) yang akan menjadi penyakit (roga) di dalam diri.

Upawasa menyangkut segala macam upaya untuk mendekatkan diri dan menyatu dengan Brahman (upa = dekat, wasa = penguasa). Upaya penyatuan dengan Brahman dapat dilakukan dengan membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri, dilambangkan dengan Lubdaka (pemburu) yang senantiasa membunuh binatang-binatang buruan. Menundukan keinginan diri, sebagai musuh utama dalam diri, adalah prasyarat keberhasilan upawasa. Lubdaka dengan bersenjatakan panah (manah = Pikiran) memburu binatang-binatang besar seperti gajah, babi hutan, macan. Gajah (asti) merupakan lambang astiti bhakti, babi hutan (waraha) akronim waranugraha, dan macan (wiagra) merupakan puncak utama perjumpaan astiti bhakti seorang bhkta dan waranugraha Siwa. Jika dilihat dari suara huruf awalnya, dalam rangkaian kata astiti, waraha, macan, maka akan kita temukan kata AUM sebagai aksara suci Brahman. Pustaka suci Weda menyebutkan “ Aum iti ewam dhyayathamanam, swasti wah paraya tamasah parastat”. Artinya, dengan bermeditasi kepada Atman swbagai AUM (OM) dan berbahagia, engkau akan menyebrangi kegelapan (Mundaka Upanisad II.2.6). meditasi kehadapan Dewa Siwa dilambangkan dengan aktivitas Lubdaka memetik daun Bila dan dilemparkan ke bawah mengenai Lingga Siwa.

Mona tidak hanya bermakna tidak berbicara, tetapi yang lebih penting adalah berbicara dengan kesadaran diri. 

Jika upawasa berkaitan dengan yang masuk, maka mona berhubungan dengan yang keluar. Orang-orang yang menyadari akan hakekat sang diri pasti akan melakukan kontrol secara ketat berkaitan dengan kedua hal itu. Pustaka suci Weda menyebut mona sebagai salah satu bentuk tapa, sebagai langkah awal penyatuan diri dengan Brahman (Bhagawadgita XVII : 15). Selanjutnya, dalam kaitannya dengan hidup bermasyarakat, kekawin Nisastra V. 3 menyebutkan dengan berbicara seseorang bisa mendapatkan kebahagian (lakshmi), kematian (pati), kesusahan (dukha), sahabat (mitra).

Para orang bijak menyampaikan rambu-rambu berbicara dalam rumusan “ satyam wada, dharmam cara” yang artinya katakana kebenaran dengan cara yang bajik dan bijak. “ sastra putam waded wakyas bhusayate dhanam,” yang artinya sesuaikan dulu dengan sastra suci barulah anda berbicara. “ priyamapyahitam na waktawyam, “ yang artinya jangan mengucapkan kata-kata manis dan menarik, tetapi tidak mengandung kebaikan dan kebenaran. Demikianlah petunjuka para orang bijak berkaitan dengan berbicara. (Rasti dkk, 2004 : 30-33).

Manfaat Puasa

Pada jaman sekarang banyak orang yang berpendidikan tidak melakukan puasa pada hari yang suci ini. Ini karena pengaruh dari kekuatan gelap, kejam dan materialistic. Ketika kecerdasan sedikit berkembang, orang-orang mulai berargumen dan melakukan diskusi yang tidak penting. Kecerdasan sudah menjauhkan mereka dari jalan spiritual. Mereka yang belum mengembangkan hati tetapi telah mengembangkan kecerdasannya, mulai ragu-ragu dan bertanya dalam setiap langkahnya. Mereka menjadi salah jalan. Mereka menginginkan jawaban “ mengapa “ dan “ bagaimana” untuk hal apapun. Mereka menginginkan penjelasan yang ilmiah untuk semua hal yang terjadi.

Hendaknya sekarang mulai sadar untuk menuntun dirinya dalam pengendalian mencapai keseimbangan. Berbicara mengenai pengendalian puasa merupakan sebuah sadhana dalam mengendalikan nafsu. Puasa juga memeriksa kesetabilan emosi dan mampu mengendalikan indra-indra. Puasa merukan jalan penebusan dosa yang hebat, disamping itu dengan puasa dapat mengendalikan lidah yang merupakan musuh manusia yang paling mematikan. Puasa dapat membersihkan system pernapasan, peredaran darah, pencernaan dan system urin. Seperti emas yang dimurnikan dengan melelehkannya berulang-ulang, begitu pula pikiran kotor dapat dijernihkan dengan melaksanakan puasa.

Puasa merupakan salah satu bagian dari 10 prinsip utama yoga. Bagaimana pun hindarilah puasa yang berlebihan, karena hal ini akan menyebabkan kelemahan. Jika kita tidak dapat berpuasa sehari 24 jam, berpuasalah 10-12 jam dan makanlah buah dan minum susu. Perlahan-lahan tingkatkan puasa kalian menjdi 15 jam dan kemudian 24 jam. Berpuasa membuat orang kuat, baik secara mental dan spiritual.

Pada prinsipnya pelaksanaan puasa ini tidak hanya dianjurkan pada saat pelaksanaan Siwaratri, namun dibutuhkan pelaksanaan yang rutin dan terarah. Disamping puasa ini berguna sebagai sadhana mendekatkan diri kepada Tuhan juga sangat bermanfaat menjaga kesehatan tubuh dan memelihara keseimbangan organ tubuh. (Rasti dkk, 2004 : 47-49)

Makna Kata Lubdhaka.

Kata Lubdhaka (sansekerta) berarti pemburu . Secara umum pemburu adalah diartikan sebagai orang yang suka mengejar buruan yaitu binatang (sattwa). Kata Sattwa berasal dari kata sat yang artinya mulia sedangkan twa artinya sifat. Jadi sattwa adalah sifat inti atau hakekat. Dengan demikian Lubdhaka adalah orang yang selalu mengejar atau mencari inti hakekat yang mulia.
tetapi oleh beberapa narasumber di bali, mengidentikan kata lubdaka dipilah menjadi 2 kata, yaitu: luba (loba) = rakus, dan Drawaka (durhaka) = tidak mengindahkan aturan. sehingga makna yang terkandung adalah orang yang dalam keadaan gelap pengetahuan, yang penuh dengan kiasan adharma. orang seperti inilah yang perlu melakukan YOGA pemujaan untuk meringankan dosanya.

Tempat Tinggal Lubdhaka, 

Lubdaka dikisahkan tinggal di puncak gunung yang indah . gunung didalam bahasa sansekerta disebut acala yang tidak bergerak. Bahkan dalam ceritra wrespati kalpa dikisahkan Betara siwa dipuja di puncak gunung kailasa. Jadi tempat tinggal Lubdhaka di puncak gunung dapat diartikan bahwa ia adalah orang yang taat dan tekun memuja siwa (Siwa Lingga) atau yang sering disebut seorang Yogi

Alat Perburuan dan binatang Buruan.

Alat bebrburu si Lubdhaka adalah panah, symbol dari manah / pikiran. Dengan senjata pikiran ia selalu berburu budhi sattwa. Agar ia mendapatkan budhi sattwam mesti ia mengendalikan indrianya ( melupakan bekal makanan) Binatang yang diburu oleh Lubdhaka adalah, gajah, badak, babi hutan. Dalam bahasa sansekerta gajah berarti asti, simbolis dari astiti bhakti. Sedangkan badak sama dengan warak bermakna tujuan sedangkan babi hutan (waraha) mengandung makna wara nugraha. Selanjutnya terdapat simbol harimau (wiagra). Wiagra berasal dari kata wi (utama) dan agra (puncak). Dengan demikian wiagra mengandung makna puncak utama. Puncak utama dalam kaitan pelaksanaan yoga adalah samadhi. Samadhi berarti berkumpul atau kontak dengan Yang Mulia.

Mereka yang telah mencapai tingkat samadhi, segala papa nerakanya akan terbakar oleh api gaib yang timbul dari kematangan yoganya. Karena papa merupakan pahala dari dosa, maka berarti pula terleburnya dosa yang telah diperbuatnya. Anugrah yang diterima sang yogi sebagai anugrah yang diterima si Lubdhaka dari Dewa Siwa adalah manunggalnya atma dengan Paramatman. Sebagaimana sabda Dewa Siwa, “kantenanya tanera bheda awakta lawan iki sariraninghulun. “Artinya tiada bedanya dirimu dengan diri-Ku. Selain itu dari Wrehaspati tattwa disebutkan bahwa seorang yogiswara yang tentu telah mencapai kesadaran diri disebut sebagai seorang pawak Bhatara dan memiliki sifat-sifat Asta Iswarya. Selain itu dalam kesehariannya dia akan menampakkan sifat yang sesuai dengan kata samadhi tersebut, sama berarti sama dan dhi berarti berpikir.

Jadi samadhi berarti berpikir sama atau seimbang. Pikirannya tetap seimbang atau sama disaat menemukan kebahagian dan juga disaat menderita. Dengan demikian binatang buruan tersebut mengandung makna bahwa Lubdhaka dengan pikirannya yang dijiwai oleh budhi sattwam senantiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang didasari oleh astiti bhakti dengan tujuan mendapatkan wara nugraha dari Ida Hyang widhi wasa ( Siwa).

Berangkat berburu pada panglong ping 14.

Hari ke 14 paro terang di bulan magha ini Si Lubdaka tumben sial, tidak mendapat binatang. Ini adalah waktu kosmis yang tepat untuk melakukan laku spiritual. Bulan dikatakan memiliki 16 kala kekuatan duniawi ini simbolik dari 1 + 6 = 7, yaitu sapta timira. Pada hari ke 14 paro simbolik 1+4 = 5 melambangkan panca indra. Jadi pada pang long ping 14 terang ini telah kehilangan 14 kala’ dan saat itu hanya masih tinggal 2 kala yakni raga (ego) dan kama ( nafsu ). Jadi jika kedua kala tadi mampu kita kalahkan maka disana Siwa akan memberikan rahmatnya.

Pagi hari memakai pakaian hitam kebiruan.

Hitam adalah lambang keberanian, keperkasaan. Pagi hari disebut Brahman muhurta “ hari Brahman, waktu yang baik untuk melakukan olah spiritual atau memuja Tuhan.

Berjalan sendirian.

Pemberani. Hanya orang yang tidak mengenal atau mampu mengatasi rasa takut yang berani sendirian masuk hutan lebat. Simbolik dari mengikuti jalan yang disebut nirwrwti marga : jalan spiritual bagi seorang pertapa atau jnanin. Dalam makna berangkat sendirian maka tidak ada teman bicara itu berarti mona brata “ tidak berbicara”.

Menuju arah timur laut.

Menuju kiblat suci merupakan sandi dari kiblat utara symbol Ratri “ malam, gelap, hitam,dengan kiblat timur symbol Siwa atau Iswara siang, putih, terang, Simbolik paham sakti dengan paham Siwa.

Selama perjalanan banyak menemukan tempat suci yang rusak .

Simbolik dari merosotnya situasi politik dan merosotnya kehidupan religius umat Hindu.

Tidak seekor binatangpun didapatkan.

Binatang symbol “ ego” sifat binatang itu tidak lagi ditemukan pada diri sang pertapa , artinya pertapa telah berhasil mengalahkan keakuannya dan rasa kepemilikannya.

Tidak terasa senjapun tiba.

Symbol dari daya konsentrasinya kuat. Vivekananda mengatakan bahwa, semakin banyak waktu yang terlewatkan tanpa kita perhatikan , semakin berhasil kita dalam konsentrasi. Ketika yang lampau dan sekarang berdiam menjadi satu berarti saat itulah pikiran memusat. Sandyakala adalah hari sandi antara terang dan gelap yang menyebabkan kenyataan menjadi tidak jelas. Oleh karena seorang pertapa harus lebih awas dengan meningkatkan spiritualnya.

Naik pohon bilwa yang tumbuh di pinggir danau, dan duduk dicabang

Pohonya Symbol dari meningkatnya kesadaran dengan jalan meditasi untuk memurnikan pikiran agar daya budi terungkap. Pohon bilwa disimbolkan sebagai tulang punggung yang di dalamnya terdapat cakra-cakra , simpul-simpul energi spiritual yang satu dengan yang lainya saling berhubungan. Duduk di campang pohon melambangkan daya keseimbangan konsentrasi antara otak kiri dan kanan, yakni otak tengah. Naik keatas pohon melambangkan bangkitnya daya sakti yang disebut kundalini sang pertapa.

Ranu atau danau

Symbol Yoni lambang sakti atau Dewi, saktinya siwa adalah lambang kesuburan.

Di tengah danau ada Siwalingga nora ginawe.

Batu alami yang kebetulan ada ditengah danau. Batu tersebut yang dikenal dengan nama Lingga. Lingga adalah symbol Siwa Memetik daun bilwa.

Memetik ajaran Siwa. Kata Rwan atau ron, don, berarti daun dan dapat juga berarti tujuan. Jika dirangkai dengan kata maja atau bilwa maka melambangkan tujuan. Yakni mengembangkan kesadaran. Dengan demikian dapat diartikan dimana sang pertapa selalu memetik sari ajaran untuk mengembangkan kesadaran. Dalam hubungan jagrabrata olah kesadaran dengan mempelajari siwa tattwa ( ajaran hakekat ketuhanan) sampai akhirnya mencapai pencerahan rohani. Jadi Mpu tanakung disini menuliskan dengan simbolis yaitu olah budi dan rasa terpusat kepada Tuhan.Untuk itu disebutkan oleh Mpu tanakung ,mahaprabhawa nikanang brata panglimur kadusta kuhaka, setata turun mapunya yasa dharma len brata gatinya kasmala dahat. Artinya brata siwararti adalah mampu meruwat sifat dusta dan keji. Cara meruwat itu adalah dengan melakukan dyana (meditasi), menyanyikan syair pujian, merafal mantra,melakukan japa ( menyebut nama Tuhan berkali-kali), Tiba dipondok sore hari, menjelang petang (hari tilem).

Kenyataan umum setiap orang berburu pasti akan kembali pulang. Simbolnya kembali dari perjalanan suci yang dilakuakan selama dua hari satu malam : 36 jam.

Tiba di pondok Lubdaka baru makan.

Perjalanan berburu Lubdaka tidak membawa bekal, karena memang tidak rencana menginap. Simbol dari melakuakan upawasa, puasa tidak makan, minum selama 36 jam, yakni dari pagi hari pada hari ke 14 paro terang, purwani tilem sampai besok senja kala hari ke 15 tilem.


Hubungan Siwaratri Dengan Karmaphala

Dalam ajaran beberapa agama, meyakini bahwa dosa dapat ditebus. Melalui upacara penebusan dosa atau melalui pengucapan kalimat tertentu maka dosa penganutnya akan tertebus atau dengan kata lain akan hilang atau terhapus. Memang kita akui tentang keberagaman pendapat yang muncul dikalangan umat hindu tentang makna Sivaratri, antara lain siwaratri sebagai perimbangan dosa untuk itu disini akan diungkapkan dapat atau tidaknya dosa seseorang dihapus melalui sivaratri.

Jika ditinjau dari ajaran hukum karmaphala, maka dosa itu tidak dapat dihapus atau dilebur begitu saja oleh suatu perbuatan baik. Karena apapun perbuatan seseorang pasti akan mendapatkan phala atau hasilnya. Sudah tentu perbuatan baik akan menghasilkan yang baik dan yang buruk akan menghasilkan perbuatan buruk. Sekecil apapun perbuatan yang dilakukan oleh seseorang pasti akan menikmati hasilnya, entah pada saat ia masih hidup atau setelah mati atau setelah menjelma kemudian. Dosa itu ibarat setetes tinta dalam gelas. Perbuatan baik ibarat air putih zyang bersih, semakin banyak air putih yang bersih dituangkan dalam gelas tadi noda tintanya akan semakin tidak terlihat, namun bukan berarti setetes tinta disana menjadi hilang, tetapi noda tinta tadi seamakin tidak terlihatan.

Dalam uraian di atas dapat diartikan bahwa dosa seseorang tidak dapat dilebur atau dihapus dengan brata Siwaratri, tetapi hanya dapt diimbangi. Jika pengimbanngan dengan perbuatan baik semakin besar maka dosa semakin tak tampak. Dalam beberapa sumber menyatakan bahwa dosa dapat dilebur melalui yoga, sebagaimana yang tercantum dalam Wrehaspati tattwa sebagai berikut : “sakwehning papa san yogiswara lawan ikang wasana kabeh ya tika tininum de Bhatara ring Sivagni ri wuwusnia hilang ikang karmawasana” artinya : semua paap Yogiswara dan semua bekas-bekas karma akan terbakar oleh Sivagni, sesudahnya karma wasana akan hancur.

Yapwan tiksna samadhi nira Sang Yogiswara geseng pwekang tattwa I sorning pradhana tattwa katekaning triguna tattwa” 
artinya : 
apabila samadhi Sang Yogiswara mencapai puncak, maka terbakarlah pradana tattwa sampai pada triguna tattwa. 
Jika menyimak bunyi kutipan Wrehaspati tattwa tersebut diatas maka secara tegas dapat diartikan bahwa dosa seseorang akan dapat lebur melalui yoga. Dengan demikian setiap orang yang mampu melaksanakan tapa, yoga, samadhi pada saat Siwaratri dosanya akan dapat dilebur atau dihapus. Mampu atau tidaknya seseorang melakukan tapa, yoga samadhi sehingga mencapai puncak, hanya Hyang Widhi dapat menilai. (Rasti dkk, 2004 : 57-60)

KESIMPULAN

Hari suci siwaratri datang setahun sekali pada hari ke 14 paruh gelap bulan ke 7 (panglon ping 14 sasih kepitu) sekitar bulan januari sampai februari. Siwaratri merupakan hari yang baik dan tepat untuk melaksanakan brata yaitu jagra, upawasa, mona brata kepada Sang Hyang siwa sebagai perwujudan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan tujuan untuk dapat meningkatkan kesadaran bathin, kelancaran dalam menapak kehidupan sehari-hari dan spiritual. Lubdhaka berhasil mencapai alam siwa stelah melaksanakan bharata siwaratri secara tidak sengaja, tetapi banyak kalangan kita yang meragukan keberhasilan tersebut. Dalam melaksanakan siwaratri tentunya melakukan suatu puasa. Puasa artinya mampu mengendalikan nafsu. Puasa juga memeriksa kestabilan emosi. Siwaratri memiliki 4 sumber ajaran yaitu Padma Purana, Siva Purana, Skanda Purana dan Garuda Purana. Jika ditinjau dari hukum karmaphala, maka dosa itu tidak dapat dihapus atau dilebur begitu saja oleh suatu perbuatan yang baik. Karena apapun perbuatan seseorang pasti akan mendapatkan phala atau hasilnya. Sekecil apapun perbuatan seseorang pasti akan menikamati hasilnya, entah pada saat ia masih hidup atau setelah dia mati atau setelah menjelma kemudian.

Dalam beberapa sumber bahwa dosa dapat dilebur melalui yoga, sebagai mana yang tercantum dalam Wrehaspati Tattwa sebagai berikut : “sakwehning papa san yogiswara lawan ikang wasana kabeh ya tika tininum de Bhatara ring Sivagni ri wuwusnia hilang ikang karmawasana” artinya : semua paap Yogiswara dan semua bekas-bekas karma akan terbakar oleh Sivagni, sesudahnya karma wasana akan hancur.

Yapwan tiksna samadhi nira Sang Yogiswara geseng pwekang tattwa I sorning pradhana tattwa katekaning triguna tattwa” artinya : apabila samadhi Sang Yogiswara mencapai puncak, maka terbakarlah pradana tattwa sampai pada triguna tattwa. Jika menyimak bunyi kutipan Wrehaspati tattwa tersebut diatas maka secara tegas dapat diartikan bahwa dosa seseorang akan dapat lebur melalui yoga. Dengan demikian setiap orang yang mampu melaksanakan tapa, yoga, samadhi pada saat Siwaratri dosanya akan dapat dilebur atau dihapus. Mampu atau tidaknya seseorang melakukan tapa, yoga samadhi sehingga mencapai puncak, hanya Hyang Widhi dapat menilai.

DAFTAR PUSTAKA
Agastia IBG.1997.Memahami Makna Siwaratri. Denpasar : Yayasan Dharma Sastra.
Fakultas Ilmu Agama Universitas Hindu Indonesia.2008. Denpasar : Widya Dharma.
Rasti Ni Wayan,dkk. 2004. Siwaratri Tinjauan Sosio Religius dan Filososfis. Surabaya : Paramita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar