Lahirnya Sampradaya
Sumber ajaran Agama Hindu adalah kitab suci catur veda. Syair-Syair
kitab suci Weda Sruti disebut Mantra. Sedangkan syair-syair kitab Sastra
weda disebut Sloka. Kitab suci Catur Weda itu terdiri dari 20389 Mantra.
Empat kitab suci weda itu dipelajari oleh 1180 Sakha atau kelompok
spiritual.
- Rg Weda dengan jumlah Mantra sebanyak 10552 dipelajari oleh 21 Sakha.
- Sama Weda dengan jumlah Mantra 1.875 dipelajari oleh 1000 Sakha.
- Yajur Weda dengan jumlah Mantra 1975 Mantra dipelajari oleh 109 Sakha ,dan
- Atharwa Weda dengan jumlah Mantra 5.967 dipelajari oleh 50 Sakha.
Sampradaya lahir dari Upanisad
Setiap Sakha dibahas atas bimbingan Resi yang benar-benar menghayati Weda baik teori maupun praktek.
Resi itu disebut Sadaka karena telah mampu melakukan Sadana atau
mewujudkan ajaran suci Weda dalam kehidupannya sehari-hari. Orang yang
mampu melakukan Sadana itulah yang disebut Sadaka. Sakha itu ibarat
sekolah. Sedangkan kitab suci Weda itu ibarat “kurikulum” yang harus
diterapkan oleh sekolah tersebut. Meskipun kurikulum yang diterapkan
oleh setiap sekolah itu sama, pasti setiap sekolah itu memiliki ciri
khas tersendiri yang membedakan satu sekolah dengan sekolah yang
lainnya. Demikian jugalah halnya dengan proses mendalami kitab suci Weda
sumber ajaran Hindu. Disamping itu Weda adalah kitab suci yang sangat
memberikan kemerdekaan pada setiap orang yang meyakininya menyerap
ajaran Weda sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing umat.
Pandangan setiap
Upanisad tentunya memiliki penekanan yang berbeda-beda. Perbedaan itu
adalah perbedaan aspek yang ditekankan. Perbedaan tersebut bukan
merupakan pertentangan dalam Hindu. Perbedaan itu semua mengacu pada
batas yang diberikan oleh Weda.
Karena itu Upanisad
adalah sari-sari dari pada kitab suci Weda. Dari Sakha itulah berkembang Sampradaya atau garis perguruan.Tiap-tiap garis perguruan
tentunya mempertahankan ciri-ciri khas mereka atau mencapai apa yang
disebut Parampara.
Parampara artinya berkesinambungan
atau tidak putus-putusnya. Tiap-tiap Sampradaya tentunya berlomba secara
sehat untuk mengimplementasikan ajaran Weda dalam meningkatkan kwalitas
hidup. Perbedaan cirri khas inilah yang sering disebut SEKTA (sekte) oleh para
ilmuwan social.
Di Indonesia sedikit saja ada perbedaan
dengan tradisi cara penampilan orang beragama Hindu sudah dituduh sekta
bahkan sering dituduh aliran sesat. Sialnya lagi tanpa meneliti konsep
dasar dan aplikasi dari onsep tersebut dalam kegiatan hidup
sehari-hari. Di Bali khususnya dan di Indonesia umumnya Agama Hindu yang
dianut oleh umat Hindu terdiri dari berbagai sekta. Sekta yang paling
mendominasi sekta lainnya adalah sekta siwa sidhanta. Namun kembali saya
nyatakan istilah sekte itu kuranglah tepat. tetapi karena istilah itu
sudah kadung popular agak sulit juga mengembalikan pada istilah yang
benar yaitu Sampradaya.
Dari keanekaragaman
Sampradaya itulah muncul keaneka ragaman budaya rohani dan budaya duniawi
yang memberikan kegairahan hidup untuk menghapus kejenuhan rutinitas
yang berkepanjangan. Sekte-sekte tersebut memberikan warna warni pada
kehidupan beragama Hindu. Warna-warni itu memotivasi setiap orang atau
kelompok untuk terus berkreasi mengembangkan tradisi Weda. Memang hidup
tanpa tradisi menjadi risi. Namun tradisi tanpa kreasi menjadi
basi. Kreasi dalam tradisi harus tetap membawa visi dan misi Weda.
Mahatma
Gandhi mengatakan berenang dilautan tradisi adalah suatu
keindahan. Namun kalau sampai menyelam dilautan tradisi adalah suatu
ketololan. Kehidupan beragama yang sering diintervensi oleh penguasa
menyebabkan tersendatnya kreasi untuk menanamkan esensi weda kedalam
lubuk hati sanubari umat penganutnya. Penguasa umumnya sangat takut pada
perubahan kalau bukan perubahan itu atas kehendaknya. karena itulah
kreasi untuk menanamkan nilai-nilai weda pada umat itu menjadi agak
tersendat-sendat. Karena setiap kreasi dituduh sekretarian. Yang
dipentingkan dalam kehidupan beragama adalah outputnya berupa kwalitas
hidup yang semakin meningkat baik moral maupun mental.
Sakha-sakha
yang mendalami Mantra Weda tersebut bagaikan sekolah yang mendalami
kesucian Weda. Dari sinilah munculnya kelompok-kelompok yang kemudian
oleh para ilmuwan tertentu disebut sekte bahkan ada yang menyebut
aliran. Munculnya hal itu setelah jaman purana. Setelah purana kelompok
belajar mendalami Weda yang pada mulanya disebut sakha itu semakin
berkembang. Ada kelompok yang memuja Tuhan dengan menonjolkan nama Tuhan
tertentu. Misalnya ada yang lebih menekankan pemujaan pada parama siwa, ada
yang menekankan pada Maha Wisnu, ada yang menekankan pada Param Brahma
ada yang menekankan pada pemujaan Sri Krisna sebagai Tuhan Yang Maha
Esa,demikian seterusnya. Bagi yang benar-benar memahami Agama Hindu
perbedaan penekanan Nama Tuhan yang disebut Ista Dewata itupun tidak akan
menjadi persoalan. Mengapa demikian karena dalam kitab Rg Weda I.164.46
disebutkan sebagai berikut: Ekam Satvipraa bahudha vadanti artinya Tuhan
itu ESA adanya pada Vipra (orang bijaksana) menyebutkan dengan banyak
nama. Kalau dalam purana nama Tuhan itu disebutkan dengan berbagai nama
hal itu syah saja menurut kitab suci Weda.
Yang penting
jangan saling menyalahkan. Jangan ada yang memuja Tuhan sebagai Sri
Krisna merendahkan orang yang memuja Tuhan dengan nama Siwa. Demikian
juga sebaliknya. Pemuja Tuhan dengan Nama Siwa jangan menganggap salah
kalau ada umat Tuhan dengan Nama Sri Krisna. Nama-nama Tuhan tersebut
sama-sama ada dalam kitab purana. Purana itu adalah tergolong kitab
Sastra Weda. Bukan Weda Sruti. Umumnya dikenal adanya 18 purana. Dari 18
purana itu dapat dibagi menjadi tiga kelompok;
- Satvika Purana dengan menekankan pada pemujaan Wisnu sebagai Nama Tuhan Yang Mahaesa.
- Rajasika Purana dengan menekankan Brahma sebagai Nama Tuhan Yang Mahaesa.
- Thamasika Purana dengan menekankan Siwa sebagai Nama Tuhan Yang Mahaesa.
Brahma, Wisnu, Siwa adalah tergolong Guna
Awatara yaitu tiga fungsi Tuhan yang turun menjelma kedunia sebagai
pengendali Tri Guna. Wisnu adalah Tuhan sebagai pemelihara sifat-sifat
Sattwam, Brahma sebagai pengendali sifat Rajas agar selalu menimbulkan
aspek positifnya. Demikian juga Siwa adalah Tuhan
sebagai pengendali sfat-sifat Thamas agar sifat Thamas dapat
mengekspresikan aspek positifnya.
Brahma,Wisnu dan Siwa ini disebut juga
Dewa Tri Murti dengan tiga fungsi yaitu sebagai pencipta, sebagai
pemelihara dan sebagai pemralina. Dalam perkembangan selanjutnya
sekte-sekte atau sampradaya itupun terus berkembang. Misalnya sekte siwa. Ada sekte Siwa Pasupata ada sekta Siwa Sidhanta, Sekte Waisnawa juga
berkembang ada yang menekankan Maha Wisnu sebagai Nama Tuhan yang
Mahaesa. Ada juga sekta Bhagawata yang menekankan Sri Bhagawan Krisna
sebagai Nama Tuhan Yang Mahaesa. Adanya berbagai kelompok-kelompok
tersebut adalah suatu keindahan dalam Agama Hindu.
Swami Siwananda
menyatakan: Hinduisme menampung segala tipe manusia dan memberikan
hidangan spiritual bagi setiap orang sesuai dengan kemampuan dan
pertumbuhannya masing-masing. Hal ini merupakan keindahan dari Agama
Hindu yang menarik hati ini itulah kemuliaan Hinduisme. Oleh karena itu
tidak ada pertentangan dalam perbedaan Hinduisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar