Guru Palsu: Ketika Manudia dijadikan Tuhan
Di zaman ini, tak sedikit manusia mengangkat sosok gurunya menjadi Tuhan. Mereka tidak hanya menghormati, tapi juga menyembah , memuja , dan menganggap bahwa gurunya adalah penjelmaan Tuhan itu sendiri . Bahkan di antara para pengikut sekte tertentu seperti Hare Krishna dan pengagum Sai Baba, muncul keyakinan bahwa sang guru tidak hanya membimbing, tetapi juga menggantikan posisi Tuhan di hati mereka .
Saat Murid Menjadi Budak
Hubungan guru dan murid dalam ajaran dharma bukan sekadar hubungan pengagum dan penyembahan berhala. Seorang guru sejati memerdekakan muridnya—bukan mengikatnya. Seorang murid yang bijak menghormati gurunya—bukan menuhankannya. Namun di zaman ini, garis batas itu mulai kabur. Di banyak sekte, guru dipuja layaknya Tuhan , bahkan lebih tinggi dari Tuhan. Fenomena ini mengingatkan kita pada satu kisah klasik dalam Mahābhārata:
Kisah Ekalavya: Murid Hebat yang Menjadi Budak Pemujaan
Ekalavya adalah pemuda dari kalangan Nishada yang bercita-cita menjadi pemanah ulung. Drona Ācārya menolak mengajarinya karena ia bukan dari kasta bangsawan. Namun karena tekadnya yang kuat, Ekalavya membuat patung Drona dan setiap hari berlatih panah di hadapan patung itu, menyembahnya seperti Tuhan.
Berkat kesungguhannya, ia menjadi pemanah luar biasa. Namun, saat Drona mengetahui kehebatan Ekalavya, ia meminta ibu jari notifikasi sebagai guru-dakṣiṇā (hadiah untuk guru) —dan Ekalavya, yang memuja patung itu sebagai guru ilahi, memberikannya tanpa berpikir.
Sejak saat itu, kehebatannya sirna. Ia bukan lagi pemanah unggul, tapi hanya bayangan dari kejayaannya sendiri.
Mengapa ini terjadi?
Karena Ekalavya menyerahkan logikanya kepada simbol yang ia ciptakan sendiri. Ia tidak pernah benar-benar belajar dari sang guru, tetapi menciptakan sekte pemujaan atas nama sang guru. Dan pada akhirnya, “Tuhan-nya” sendiri yang merampas masa depannya.
Kisah Krishna dan Para Guru: Belajar Tanpa Pemujaan Buta
Sebaliknya, lihatlah Kṛṣṇa , perwujudan kebijaksanaan itu sendiri. Dalam berbagai teks, ia tidak pernah menuhankan gurunya. Saat muda, ia berguru kepada Mahārṣi Sāndīpani, dan kemudian mendalami filsafat Atman dari Mahārṣi Angiras (diceritakan dalam Chāndogya Upaniṣad ) dan kepada Mahārṣi Upamanyu dalam kedewataan dan dharma.
Tapi tak ada satupun sloka yang menyatakan Kṛṣṇa membangun altar untuk gurunya , atau menyembah gurunya sebagai wujud Tuhan. Ia menghormati mereka, belajar dari mereka, lalu melampaui mereka .
Karena tujuan guru sejati bukan agar dirinya dipuja, tapi agar muridnya tercerahkan.
Analogi dan Bahaya: Dari Murid Menjadi Robot Fanatik
Menganggap guru sebagai Tuhan membuka pintu kehancuran logika. Murid tidak lagi berpikir, hanya berpendapat. Murid tidak lagi mengejar kebebasan, hanya mengejar restu. Akhirnya mereka berubah menjadi robot spiritual , yang tidak berkembang, hanya mengulang pujian dan mantra untuk sang guru, bukan untuk Atman, bukan untuk Brahman.
Inilah yang tidak pernah diajarkan dalam Mahābhārata, Rāmāyaṇa, atau Purāṇa. Bahkan dalam teks-teks bhakti sekalipun, Tuhan tidak pernah berkata agar seorang guru disembah sebagai Diri-Nya sendiri.
apakah benar ajaran Veda yang murni membenarkan pandangan ini?
I. TUHAN ADALAH TANPA WUJUD DAN TAK TERBAYANGKAN (Śruti)
1. Rgveda 1.164.46
ekam sad viprā bahudhā vadanti
terjemahannya: "Yang Esa itu disebut dengan banyak nama oleh para bijak."
Sloka ini tidak pernah menyebut “guru” sebagai Tuhan. Ia menyatakan bahwa Realitas Tertinggi adalah satu, tidak berbadan, dan tidak bisa diwakili oleh satu wujud manusia, apalagi dijadikan objek pemujaan pribadi.
2. Atharva Veda 10.8.1
yaḥ sarvāṇi bhūtāni ātmany evānupaśyati...
terjemahannya: "Dia yang melihat semua makhluk dalam dirinya, dan dirinya dalam semua makhluk, itulah yang melihat Kebenaran."
Yang menjadi pusat kenyataan adalah Kesadaran Semesta , bukan tokoh atau individu spiritual, betapa pun karismatiknya mereka.
3. Muṇḍaka Upaniṣad 1.1.6
parīkṣya lokān karmacitān brāhmaṇaḥ... śrotriyaṁ brahmaniṣṭham
terjemahannya: "Seorang pencari sejati setelah menyelidiki dunia dan ritual, datang kepada guru yang memahami Śruti dan berdiam dalam Brahman."
Guru adalah pembuka jalan , bukan objek pemujaan. Ia bukan Tuhan; ia adalah penunjuk arah menuju Tuhan .
II. KRISHNA PUN MENOLAK PEMUJAAN DIRINYA SEBAGAI PRIBADI (Smṛti)
1. Bhagawad Gita 7.24
avyaktaṁ vyaktim āpannaṁ manyante māṁ abuddhayaḥ
terjemahannya: "Orang bodoh berpikir bahwa Aku yang tidak berwujud ini mengambil wujud manusia dan membatasi Diri-Ku."
Krishna sendiri berpendapat bahwa Tuhan mengambil tubuh manusia sebagai bentuk final-Nya. Ini jelas menolak anggapan bahwa guru yang lahir dan mati bisa dianggap sebagai inkarnasi Tuhan.
2. Mahābhārata, Śānti Parva 12.285.4
na jātam na janayiṣyati tulyam
terjemahannya: "Tidak pernah lahir, dan tak akan pernah lahir seseorang yang setara dengan-Nya."
Dengan demikian, menganggap ada guru zaman modern yang sederajat atau lebih tinggi dari Tuhan seperti Krishna adalah kesalahan besar.
3. Harivaṁśa Parva 2.114.9
tvam eva māṁ pratyag-ātmānam ātmānaṁ vettha kevalam
terjemahannya: "Engkau hanya bisa dikenal oleh Diri-Mu sendiri."
Tuhan hanya bisa dikenal oleh dirinya sendiri , bukan oleh klaim orang-orang yang mengatakan "saya adalah Tuhan" atau "guru saya adalah Tuhan."
III. APA KATA UPANIṢAD TENTANG PENYEMBAHAN GURU?
1. Bṛhadāraṇyaka Upaniṣad 1.4.10
ātmā vā are draṣṭavyaḥ śrotavyo mantavyo nididhyāsitavyaḥ
terjemahannya: "Atman harus dilihat, didengar, direnungkan, dan direalisasikan."
Fokusnya adalah pada realisasi Atman , bukan pemujaan pada sosok manusia.
2. Kaṭha Upanisad 1.2.23
nāyam ātmā pravacanena labhyo... yam evaiṣa vṛṇute tena labhyaḥ
terjemahannya: "Atman tidak bisa dicapai dengan ceramah atau ajaran verbal saja. Ia hanya dapat direalisasikan oleh siapa yang dipilih oleh-Nya."
Tak ada satupun yang menyatakan bahwa guru adalah Tuhan. Guru hanyalah instrumen, bukan sumber realitas.
IV. TANDA-TANDA GURU PALSU
A. Mengklaim sebagai Tuhan, titisan Tuhan atau utusan Tuhan.
B. Menuntut pemujaan seperti kepada Tuhan.
C. Menjadikan pengikut fanatik dan anti kritik.
D. Menggantikan Sruti dengan kata-katanya sendiri.
E. Menghalangi jalan kebebasan spiritual dan menggantinya dengan kultus kepribadian.
Guru palsu itu bukan hanya manis di bibir dan fasih berfilsafat, tapi juga lihai berjualan sulap, dagang “kitab suci” versi wacananya sendiri, dan tak segan mencaci guru lain demi terlihat paling suci—padahal ia hanya pedagang ego yang berkedok rohani."
Semua ini bertentangan dengan ajaran para ṛṣi sejati , dan menyeret pemuja ke dalam māyā kolektif yang memuja manusia sebagai ilahi.
KESIMPULAN: TUHAN BUKAN ARTIS ATAU TOKOH SPIRITUAL
Memuja Tuhan bukan seperti mengidolakan artis atau tokoh agama.
Tuhan bukan selebritas spiritual yang bisa dipanggil “Swami”, disalami, diciumi, atau ditaruh di atas altar.
Tuhan adalah Kesadaran Murni, melampaui tubuh, nama, dan tempat.
yasya nama smaraṇāt muktiḥ , kata smṛti – bahkan hanya mengingat nama-Nya , manusia bisa bebas. Maka mengapa menyembah tubuh guru, yang justru menuntut pemujaan?
Ketika guru dipuja seperti Tuhan, maka ajaran Veda telah dibelokkan menjadi sekte. Ketika Tuhan tiba menjadi tokoh karismatik, maka spiritualitas berubah menjadi fanatisme.
Jangan biarkan Tuhan yang tanpa wujud disempitkan oleh ego manusia yang berbaju spiritual.
Kembalilah kepada Sruti. Hormati guru, tapi sembahlah hanya Brahman.
Mereka menyebut guru, tapi memperlakukannya seperti Tuhan; mereka bilang mencari pencerahan, tapi justru membangun altar bagi manusia yang bisa mati, sakit, dan tidur. Ini bukan bhakti, ini penyembahan berhala spiritual berkedok suci. Mereka menjadikan manusia sebagai pusat semesta dan mengafirmasi setiap kentut sang guru sebagai sabda ilahi. Inilah tragedi zaman: ketika akal diserahkan pada sandal gurunya, dan hati ditambatkan pada jubah yang wangi dupa. Mereka menyebutnya cinta spiritual, padahal itu hanya candu kolektif, tempat di mana asal mula berputar dalam lingkaran pujian, dan logika dicekik atas nama wahyu.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar