Kesalahpahaman Kasta dan Wangsa di bali
WANGSA VERSI BALI
Di Bali penduduknya sejak awal mayoritas beragama hindu. Di Bali ini pun system pelapisan sosial mengalami sejarah pertumbuhan, oleh masyarakat disebut Wamsa dan berkembang menjadi Wangsa. Wangsa membeda-bedakan masyarakat berdasarkan keturunan.dalam sistim ini ada satu keturunan yang dipandang lebih tinggi dan ada yang dipandang lebih rendah, demikian pula ada kelompok keturunan yang secara tradisional mendapatkan hak-hak istimewa terutama dalam pergaulan adat.
Timbulnya sistim ini semenjak pemerintahan dalem di bali pada abad ke XV. Umat hindu di Bali menurut sumber tradisional sebagian besar dari jawa yang diawali oleh kedatangan Dang Hyang Markandya yang membawa petani-petani dari gunung rawung di Jawa Timur.
Masyarakat bali dalam kenyataan dewasa ini dibagi menjadi tiga golongan (tri wangsa), yaitu
- Golongan pertama, yang secara tradisional dikatakan berasal dari keturunan Dang Hyang Dwijendra dan Dang Hyang Astapaka, yang kemudian diyakini sebagai cikal bakal Wangsa Brahmana Siwa dan Brahmana Budha. Umumnya, rumah tinggal kedua Wangsa Brahmana ini disebut Geria.
- Golongan kedua, adalah golongan yang berasal dari keturunan para Ksatria yang berasal dari Kediri dan Majapahit. Keturunan ini disebut Wangsa Ksatria, yang tempat tinggalnya disebut dengan Jero atau Puri.
- Golongan ketiga adalah golongan yang bertempat tinggal di luar Jero, Puri dan Geria. Mereka disebut orang Jaba.
Namun, dalam hal keagamaan ketiganya sama saja. Ketiganya dapat “Mediksa”(belajar kerohanian) untuk menjadi pendeta dwijati. Yang berbeda adalah gelarnya karena masing-masing golongan memberi nama sendiri-sendiri.
Di bali pengertian Wangsa, Kasta di India dan Catur Warna menjadi kabur, karena pendidikan yang rendah dan kurang tersebarnya kitab-kitab Weda. Sehingga para rohaniawan yang memang Brahmana sesuai konsep Catur Warna, misalnya, sampai keturunannya pun disebut Brahmana. Para penguasa kerajaan dan pemerintahan beserta keluarganya disebut golongan Ksatria, padahal itu salah.
KESALAH PAHAMAN KASTA DI BALI
Selama masa Bali kuno, masyarakat menjadikan Tuha-tuha pemegang adat (yang di tuakan) sebagai panutan. Kemudian tampil Raja, para Penguasa dan para Pendeta mengambil peranan lebih menonjol. Ketika itu, sesuai dengan konsep Catur Warna dalam Agama Hindu, masing-masing Warna tidaklah merupakan hak turun-temurun.
Keadaan demikian berlangsung sampai pemerintahan Raja Bali kuno terakhir, Sri Astasura Ratna Bhumi Banten. Setelah kekalahan Beliau melawan Majapahit tahun 1343, kemudian diangkat seorang keturunan Brahmana, Mpu Kresna Kepakisan dari Kediri menjadi Raja Bali.
Semenjak itulah sistem Warna perlahan-lahan berubah menjadi sistim Wangsa, yang secara umum dapat disebut sebagai sistim kasta khas Bali. Namun demikian, pelapisan sosial masyarakat Bali ke dalam sistim kasta itu tidak nampak dianut seluruh daerah ini. Dalam masyarakat Bali Aga, sistim kasta tidak ditemukan.
Ketika Mpu Kresna Kepakisan dipilih menjadi Raja di Bali, Beliau segera mengubah kedudukanya menjadi Ksatria. Namanya pun diganti dari Mpu, gelar seorang Brahmana, menjadi Sri, gelar seorang Ksatria.
Demikian jelas, pada awal pemerintahan Sri Kresna Kepakisan, sistem Wangsa sebagai sistim kasta khas Bali masih belum ada. Bahkan pergantian gelar Mpu menjadi Sri itu menunjukan sistim Warna seperti yang dianut masyarakat Bali kuno masih dipakai.
Setelah Sri Kresna Kepakisan bersama para Arya Majapahit yang memerintah di bali inilah mulai menciptakan Wangsa - wangsa, yang kemudian dikelompokkan sebagai Ksatria dan Waisya dalam sistim kasta. Sedangkan Dang Hyang Nirartha dan Dang Hyang Astapaka, menurunkan Wangsa Brahmana yang kemudian dikelompokan ke dalam kasta Brahmana. Sementara keturunan Raja dan Ksatria Bali Aga yang dikalahkan nyaris tidak berhak menyandang gelar ketiga “Kasta” tersebut, kecuali mereka yang diperlukan wibawanya dalam menegakkan stabilitas pemerintahan yang baru. Tetapi mungkin juga seperti masyarakat Bali Aga umumnya, keturunan Raja dan Ksatria Bali Aga itu tetap menolak sistem “kasta”. Mereka dikelompokkan sebagai “Sudra” yang kemudian menyebut diri mereka sendiri sebagai “Jaba”(luar), yang berarti golongan di luar ketiga kasta tersebut.
Tetapi untuk menyesuaikan dengan sistim warna, ada yang menyebut para “Ksatria” di luar “Satria Dalem”(keturunan raja-raja Dinasti Kresna Kepakisan), sebagai kasta “Waisya”.
Pengelompokan wangsa-wangsa di Bali dikukuhkan lagi dengan hukum adat, yang memberi hak-hak lebih istimewa kepada wangsa yang lebih tinggi. Dengan melekatnya hak-hak istimewa itu, yang melekat secara turun-menurun, semakin kuatlah anggapan masyarakat bahwa wangsa itu sesungguhnya sama dengan kasta.
Pada masa pemerintahan Sri Kresna Kepakisan ini sudah muncul gelar-gelar baru, seperti Gusti dan Dewa, bercampur dengan gelar-gelar lama, seperti Arya, Krian dan Kyai. Perkembangan selanjutnya menunjukkan sistim wangsa yang sengaja dimirip-miripkan dengan kasta menumbuhkan pula sejenis sub-sub kasta seperti di India.
- Istilah “Pungakan (Ngakan)", sebagai pecahan kasta ksatria.
- Sebutan “Ngurah” untuk menamai anak yang lahir dari Ayah Ksatria dengan Ibu Jaba.
- istilah “Astra” untuk sebutan anak yang lahir dari seorang Ibu berkasta lebih rendah dari Ayah, namun tidak dinikahi atau dinikahi setelah hamil.
- istilah “Si atau Gusi" (beda dengan Gusti), yang mirip dengan sub-sub kasta yang ada di India.
Meskipun kemudian masalah kasta di Bali tidak berkembang setajam dan serumit di India, namun sistim wangsa telah menimbulkan gejolak-gejolak social. Hal ini didahului dengan semacam perebutan pengaruh lewat “Politik Keagamaan” seperti tercermin di dalam Babad-babad.
Para ksatria Bali Aga yang telah ditaklukan secara pisik sehingga tergeser dari panggung kekuasaan kaum elit, dinistakan oleh Prapanca (pujangga Majapahit) seperti tercantum dalam Kitab Nagarakertagama, nyanyian 49, bait 4, tentang Raja Bali terakhir, Sri Astasura Ratna Bhumi Banten sebagai seorang Raja Bali yang hina. Dalam bait itu disebutkan
“…….tahun saka 1265 raja Bali yang jahat dan nista diperangi oleh Majapahit dan semua binasa. Takutlah semua pendurhaka pergi jauh….”
tuduhan Prapanca itu tidak benar karena Raja Bali tersebut raja yang gagah berani dan menghendaki orang Bali tetap berdaulat dan merdeka, serta merupakan Negara yang sejajar dengan Majapahit. Karena sifat tersebut, beliau disebut dengan gelar Paduka Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten yang berarti sang raja yang kesaktiannya ibarat delapan Dewa, permata pulau Bali. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tuduhan pujangga Prapanca tersebut disebabkan oleh karena Raja Astasura (Dalem Bedahulu) tidak mau tunduk kepada raja Majapahit.
Karena para Ksatria Bali Aga telah dapat disingkirkan dari panggung kekuasaan dan direndahkan derajatnya, maka kemudian kaum Brahmana Bali Agalah yang menjadi sasaran karena tidak menyetujui sistim kasta.
I Gusti Bagus Sugriwa (yang menyalin babad Dwijendra Tattwa) menyebutkan Brahmana Bali Aga termasuk Empu, Dukuh, dan Sengguhu (Bhujangga) yang dikenal sebagai penganut sekta Wisnu (Waisnawa) yang terutama menjadi sasaran.
Dalam kaitan “Politik Keagamaan” diciptakan babad-babad (semacam penulisan sejarah) seperti Dwijendra Tattwa dan Kundalini yang berusaha mengecilkan peranan warga Bhujangga. Misalnya dibuat dongeng bahwa seluruh warga Bhujangga telah punah (moksah), dan sengguhu yang ada di bali tidak lain daripada keturunan pelayan Dang Hyang Nirarta yang bernama I Kelik. Jika menjadi pendeta harus ditapak oleh Pedanda dari wangsa Brahmana dan julukan yang patut diterima kepadanya adalah “Jero Gede”. Politik keagamaan ini nyari berhasil, karena beberapa warga Bhujangga sempat di-Diksa (dibaptis sebagai pendeta) oleh wangsa Brahmana dan kemudian diberi julukan Jero Gede.
Namun belakangan sebagian umat Hindu sadar bahwa apa yang diperjuangkan oleh para Brahmana dan Ksatria Bali Aga adalah sesuai dengan inti kebenaran ajaran Hindu. Umat Hindu juga sadar bahwa “Politik Keagamaan” yang bertujuan memecah belah umat hanya akan menimbulkan gejolak social, penderitaan dan kerugian bagi umat Hindu sendiri. Gejolak sosial kemudian terjadi setelah masyarakat Bali lebih leluasa dapat mempelajari agama dan meningkatkan pendidikan mereka.
Artikel yang terkait dengan Kesalahpahaman Kasta dan Wangsa di Bali:
- Produk Pasupati - perlengkapan Ritual di Bali
- Nama Orang Bali
- Riwayat Kasta di Bali
- Arya Pre-Gusti Menjadi Warna Sudra
- Kawin Lari salah satu alternatif pernikahan Adat Bali
- Catur Warna dan Profesionalisme
- Tat twam Asi, antara konflik dan perdamaian
- Pura Dasar Bhuana, pemersatu umat
- Mencari Kawitan Orang Bali
- Tugas, Peran dan Fungsi Warna, bukan Kasta ataupun Wangsa
- Sekilas Ajaran Hindu
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa:
- Warna merupakan pembagian masyarakat Hindu menjadi empat kelompok profesi secara pararel horizontal sedangkan Wangsa merupakan pembagian masyarakat Hindu berdasarkan Garis Keturunan (Klan).
- Wangsa dimilai/lahir setelah pemerintahan Sri Kresna Kepakisan dan setelah kedatangan Dang Hyang Nirarta dan Dang Hyang Astapaka.
- Wangsa hanya sebagai alat untuk membedakan Orang-orang Majapahit terutama yang mempunyai kedudukan, dengan Orang-orang Keturunan Bali Aga ataupun orang yang tidak mempunyai kedudukan pada jaman pemerintahan Sri Kresna Kepakisan.
- Wangsa bukan merupakan ajaran Agama Hindu.
suksma atas artikelnya yg sangat bermanfaat..saya bantu share ya
BalasHapusSuksma atas pengetahuannya bli,
BalasHapuskalau bisa tolong disertakan referensi ataupun pustaka yang digunakan,
supaya para pembaca dapat menjadikan ini sebagai salah satu bahan pelajaran untuk kemudian diulas kebenarannya.
Matur sukseme pencerahsnnya. Dirunut dari Kerajaan bali kuno,( shre astasura Ratna bumi banten, sampai dikalahlahkanya oleh pasukan majapahit ,sampai sampai keturunan Ksatria bali aga tdk dikasih jabatan dan malah dihina oleh seorang mpu ( prapanca) . Jadi sistem penjahsn agama dan politik agama memang sdh dari sejak dlu sdh ada. Demikian kali semeton, sukseme.
BalasHapusWangsa ada di Hindu, ada Surya wangsa, ada Candra wangsa.
BalasHapusSuksma pencerahannya....
BalasHapus