Pura Dasar Bhuana Pemersatu Umat, Penghormatan pada Empu Ghana
Pura Dasar Bhuana di Desa Gelgel, Klungkung merupakan salah satu
peninggalan sejarah Klungkung yang notabene sebagai pusat kerajaan di
Bali. Selain sebagai satu-satunya pura dasar yang ada di Bali, pura ini
juga memiliki keunikan dan fungsi khusus.
Seperti apa keunikan dan
fungsi dari keberadaan pura ini?
PURA Dasar Bhuana dibangun Mpu Dwijaksara dari Kerajaan
Wilwatikta (Kerajaan Majapahit) pada tahun Caka 1189 atau tahun 1267
Masehi. Pura ini merupakan salah satu Dang Kahyangan Jagat di Bali. Pada
masa Kerajaan Majapahit, Pura Dang Kahyangan dibangun untuk menghormati
jasa-jasa pandita (guru suci). Pura Dang Khayangan dikelompokkan
berdasarkan sejarah. Di mana, pura yang notabene tempat pemujaan di masa
kerajaan di Bali, dimasukkan ke dalam kelompok Pura Dang Kahyangan
Jagat. Keberadaan Pura Dang Kahyangan tidak bisa dilepaskan dari ajaran
Rsi Rena dalam agama Hindu.
Pura atau Ashram dibangun pada tempat di mana Maharsi
melakukan yoga semadi. Itu dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada
Sang Maharsi. Seperti Pura Silayukti di Karangasem. Silayukti diyakini
sebagai tempat moksanya Mpu Kuturan. Demikian pula dengan Pura Dasar
Bhuana Gelgel yang dibangun sebagai penghormatan terhadap Empu Ghana. Di
pura inilah Mpu Ghana yang notabene seorang Brahmana yang memiliki
peran penting perkembangan agama Hindu di Bali, beryoga semadi
(berparahyangan).
”Sebagaimana namanya, Pura Dasar Bhuana merupakan dasar jagatnya
Bali. Kalau pura luhur, jumlahnya banyak. Pura Dasar Bhuana satu-satunya
pura dasar di Bali”. Selain sebagai Dang Kahyangan, pura yang berjarak
sekitar 3 kilometer dari Kota Semarapura, Klungkung itu juga merupakan
pusat panyungsungan catur warga yang berasal dari soroh/klan di
antaranya soroh/klan Satria Dalem, Pasek (Maha Gotra Sanak Sapta Rsi),
soroh Pande (Mahasamaya Warga Pande) dan klan Brahmana Siwa. Semuanya
merupakan pengabih Ida Batara di Pura Dasar Bhuana Gelgel.
Masing-masing warga memiliki panyungsungan, seperti:
- Meru Tumpang Solas — panyungsungan Para Arya dan Satria Dalem.
- Meru Tumpang Tiga — panyungsungan Keturunan Mpu Geni yang menurunkan trah Pasek.
- Meru Tumpang Tiga sebagai penyungsungan warga Pande.
- Padma Tiga yang berada di antara Meru Tumpang Solas dan Meru Tumpang Sia (sembilna), panyungsungan warga Brahmana.
Dengan banyaknya soroh/klan
yang ada di dalamnya, diyakini Pura Dasar Bhuana merupakan pemersatu
jagat dengan konsep bersatunya semua klan yang ada di Bali dengan konsep
”kaula gusti menunggal”. ”Konsep itu sangat terasa begitu masuk ke pura
itu,” ketika manusia berada
di hadapan-Nya, tidak ada lagi istilah perbedaan trah. Pande, Pasek atau
Satria Dalem, semuanya sama.
Pura yang dibangun di atas areal cukup luas itu, juga
menjadi panyungsungan Subak Gde Suwecapura. Di antaranya Subak
Pegatepan, Kacang Dawa, Toya Ehe dan Toya Cawu. Panyungsungan dilakukan
saat Karya Pedudusan Agung lan Pawintenan yang bertepatan dengan Purnama
Kapat. Agung Anom Wijaya juga menambahkan, Pura Dasar Bhuana sempat
dijadikan objek penelitian oleh peneliti asal Belanda. Di mana, hasilnya
diyakini bahwa situs Pura Dasar Bhuana Gelgel hampir mirip dengan situs
bekas Kerajaan Majapahit. ”Katanya Gelung Kori Agung mirip dengan
Gelung Kori Kerajaan Majapahit”.
Pura Dasar Bhuana terletak di Desa Gelgel, Klungkung.
Dari Denpasar, berjarak sekitar 42 kilometer. Pura ini berdiri di atas
lahan yang cukup luas. Berdiri megah dan tampak asri di pinggir jalan
utama Gelgel-Jumpai. Sebagimana umumnya Pura-pura di Bali, Pura Dasar
Bhuana memiliki tiga mandala — Nista Mandala, Madya Mandala dan Utama
Mandala. Di bagian Nista Mandala terlihat keangkeran pohon beringin
besar yang tumbuh sejak berabad-abad lamanya.
Masuk ke Madya Mandala, pamedek bisa melihat
bangunan-bangunan berupa Pelinggih Bale Agung. Pelinggih ini tampak unik
karena panjangnya mencapai 12 meter. Bersebelahan dengan Bale Pesanekan
dan pelinggih tempat berstanakan seluruh petapakan dan pratima
Pura-pura yang ada di Desa Pakraman Gelgel. Pratima maupun petapakan itu
tedun dan distanakan saat berlangsung Karya Agung Pedudusan (Ngusaba)
yang dilaksanakan bertepatan dengan Purnama Kapat.
Sementara di Utama Mandala terdapat belasan pelinggih
di antaranya Meru Tumpang Solas, Meru Tumpang Telu, Padma Tiga dan
banyak lagi pelinggih lainnya. Dalam setahun, ada dua wali/karya digelar
yakni wali bertepatan dengan Pamacekan Agung, serta wali/karya
Padudusan yang jatuh pada Purnama Kapat.
Pura Dasar Bhuana di-empon Desa Pakraman Gelgel yang
terdiri atas 28 banjar dan tiga desa dinas — Desa Gelgel, Desa Kamasan
dan Desa Tojan. Keberadaannya berkaitan erat dengan keberadaan Keraton
Suwecapura tempo dulu yang juga berada di Gelgel. Namun, jika melihat
tahun berdirinya, pura ini sudah ada jauh sebelum Gelgel diperintah raja
pertama, Dalem Ketut Ngulesir (1380-1400). Pura yang merupakan warisan
maha-agung ini didirikan pada tahun Saka 1189 atau tahun 1267 Masehi.
Sebagaimana sejarahnya, Pura Dasar Bhuana erat
kaitannya dengan Mpu Ghana yang hidup pada akhir abad IX Masehi. Pura
Dasar Bhuana dibangun Mpu Dwijaksara dari Kerajaan Wilwatika sebagai
bentuk penghormatan terhadap Mpu Ghana. Empu Ghana merupakan seorang
brahmana dengan peran sangat besar terhadap perkembangan agama Hindu di
Bali.
Empu Ghana adalah orang suci yang berasal dari Jawa.
Tiba di Bali pada masa pemerintahan (suami-istri) Udayana Warmadewa dan
Gunapraya Gharmapatni yang berkuasa dan memerintah Bali pada tahun Caka
910 sampai tahun Saka 933 (tahun 988-1011 Masehi). Empu Ghana merupakan
brahmana penganut paham Ghanapatya. Seumur hidup menjalankan ajaran
Sukla Brahmacari yakni tidak menjalani masa Grahasta (tidak menikah).
Kaitannya setelah berdirinya Kerajaan Suwecapura, pura ini dipakai
sebagai merajan keluarga raja saat itu. Letak pura ini persis berada di
timur laut Keraton Suwecapura. Pada zaman itu, Keraton Suwecapura
berdiri di Banjar Jero Agung, Gelgel.
”Letak pura ini berada di hulu Keraton Suwecapura.
Dulunya, disungsung keluarga Raja Gelgel,” tutur Agung Anom Wijaya. Pura
ini memang erat kaitannya dengan keberadaan Kerajaan Suwecapura.
Sejumlah situs peninggalan Kerajaan Suwecapura masih tetap dilestarikan
di pura ini sampai sekarang.
seperti dijelaskan dalam ayat Yajurveda.XXX.5, disebutkan bahwa
Brahmane brahmanam, ksatraya
rajanyam, marudbhyo vaisyam
tapase sudra
Artinya:
Tuhan telah menciptakan Brahmana untuk mengembangkan pengetahuan. Ksatria untuk perlindungan, Vaisya untuk kesejahteraan dan Sudra untuk pekerjaan jasmani.
SALAH satu swadharma pemimpin negara seperti raja adalah membangun sistem sosial yang dapat membangun kebersamaan yang dinamis untuk menciptakan kerukunan sosial. Rukun itu adalah terminal sosial untuk mengantarkan kehidupan bersama dalam keadaan aman dan damai. Keadaan aman dan damai itu sebagai kondisi yang dibutuhkan agar tumbuh potensi-potensi material dan spiritual yang seimbang dan kontinu untuk membangun manusia yang seutuhnya lahir batin sebagai manusia yang hidup bahagia.Masyarakat yang aman dan damai itu adalah masyarakat yang di dalamnya ada kesetaraan, persaudaraan dan kemerdekaan mengembangkan diri sesuai dengan profesi dan fungsi masing-masing.
Dalam ajaran Hindu ada filosofi dasar membangun masyarakat yang rukun secara vertikal dan horizontal. Bagaikan tampak dara yaitu ada dua garis menyilang. Ada garis vertikal dari bawah ke atas dan ada garis horizontal. Garis vertikal dan horizontal ini menyilang di tengah-tengah. Itulah yang membentuk apa yang disebut dalam simbol Hindu di Bali sebagai tampak dara.
Rukun secara vertikal antargenerasi berdasarkan konsep Catur Asrama. Brahmacari hormat dan bakti pada generasi tua yang Gerhasta Asrama. Demikian juga seterusnya dengan Asrama yang selanjutnya. Demikian juga rukun secara horizontal antara profesi berdasarkan Catur Varna.
Sebagaimana dinyatakan dalam Yajurveda Sloka ke 30, 5 berbunyi:
Brahmane Brahmanam,
Ksatraya, Rajanyam,
Marudbhyo Vaisyam,
Tapase Sudram
artinya:
Ya Tuhan Yang Maha Esa telah menciptakan Brahmana untuk pengetahuan, para Ksatriya untuk perlindungan, para Vaisya untuk perdagangan, dan para Sudra untuk pekerjaan jasmaniah.
Catur Varna itu sama-sama ciptaan Tuhan berdasarkan Guna dan Karma.
Artinya berdasarkan bakat dan pekerjaannya. Catur varna itu kedudukannya
paralel horizontal, tidak membeda-bedakan harkat dan martabat sesama
manusia.
Keberadaan Pura Dasar Bhuana di Desa Gelgel Klungkung ini sebagai tempat pemujaan untuk menyatukan berbagai golongan yang ada di Bali saat kejayaan Kerajaan Klungkung ketika beribu kota di Gelgel yang waktu itu disebut Sweca Pura. Di Pura Dasar Bhuwana ini di samping ada sarana memuja Tuhan Yang Maha Esa juga terdapat pemujaan Dewa Pitara (roh suci leluhur) dari beberapa warga atau wangsa.
Ada pemujaan Warga Satria Dalem, Warga Pasek Maha Gotra Sanak Sapta Resi, Warga Pande dan Wangsa Dang Hyang Nirartha. Pemujaan berbagai warga nampaknya baru didirikan saat kejayaan Kerajaan Klungkung yang beribu kota di Sweca Pura.
Sebagaimana umumnya pura di Bali berkembangnya secara evolusi sesuai dengan perkembangan kebudayaan masyarakatnya. Oleh para peneliti pura ini sudah ada sejak abad ke-10 Masehi sebagai Pasraman Pandita Mpu Graha. Kalau kita perhatikan perkembangan berbagai tempat pemujaan umat Hindu di Bali umumnya pura itu dikembangkan oleh setiap generasi. Ini artinya lewat sistem pemujaan itu umat Hindu menghormati peninggalan-peninggalan leluhurnya dengan melanjutkan apa yang diwariskan oleh generasi sebelumnya. Inilah yang dapat disebut adanya kerukunan antara generasi.
Mengembangkan warisan leluhur itu disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Meskipun demikian substansi universal dari warisan itu sebagai tempat pemujaan untuk membina hidup yang benar dan suci tetap dilanjutkan.
Dalam sistem pemujaan Hindu di samping adanya pemujaan pada Tuhan sebagai unsur yang tertinggi, ajaran Hindu mengajarkan juga pemujaan leluhur atau Dewa Pitara. Karena menurut Sarasamuscaya 250 ada empat pahala orang yang berbakti pada leluhurnya yaitu Kirti, Bala, Yasa dan Yusa.
Sementara dalam Manawa Dharmasastra II.121 dinyatakan bahwa mereka yang tekun berbakti pada leluhurnya akan memperoleh pahala: Ayu, Widya, Yasa dan Bala. Dari ajaran inilah menimbulkan adanya sistem pengelompokan warga. Pandhaninath Prabhu dalam bukunya ”Hindu Social Organisation” menyatakan ada tiga sistem pengelompokan leluhur yaitu berdasarkan Sapinda, Gotra, dan Pravara.
Sapinda kesamaan leluhur berdasarkan kesamaan darah keturunan yang dapat dilacak dengan pasti. Gotra kesamaan keluarga berdasarkan tokoh yang diyakini sebagai leluhurnya sebagai pembentuk wangsa. Pravara kesamaan keluarga didasarkan pada kesamaan sampradaya atau sekte Hindu yang dianutnya.
Di India umat Hindu juga dikelompokkan berdasarkan sistem Gotra. Karena itu ada ratusan bahkan ribuan Gotra. Sistem pengelompokan berdasarkan sistem wangsa ini tidak ada kaitannya dengan kasta, apalagi Catur Varna. Sistem wangsa atau sistem klan Hindu adalah untuk memantapkan ajaran pemujaan leluhur sebagai tangga untuk memuja Tuhan.
Umat Hindu amat yakin akan pahala mulia bagi mereka yang berbakti pada leluhurnya sebagaimana dijanjikan oleh Pustaka Sarasamuscaya dan Manawa Dharmasastra tersebut. Tidaklah tepat kalau sistem wangsa ini dicampuradukkan dengan sistem Catur Varna. Sistem Varna adalah sabda Tuhan sebagai ajaran untuk mengembangkan profesi melalui pengembangan dan pembinaan Guna dan Karma.
Keberadaan Pura Dasar Bhuana ini sebagai pengejawantahan sabda Tuhan menjadi sistem religi untuk menata masyarakat Hindu agar bersatu padu dalam kebhinekaan swadharma sesuai dengan wangsa dan varna-nya. Karena itu sistem wangsa atau soroh harus tetap ditegakkan untuk memuja leluhur mewujudkan empat pahala mulia yaitu:
- hidup sehat sejahtera (ayu),
- berilmu (widya),
- mampu berbuat jasa pada sesama hidup ini (yasa) dan
- memiliki daya tahan diri yang kuat lahir batin (bala).
Sementara menegakkan sistem Catur Varna untuk membina agar setiap orang memiliki profesi yang jelas, benar dan andal. Lebih-lebih di era post modern ini hidup tanpa profesi yang jelas, andal dan berkualitas tidak mungkin dapat memenangkan persaingan hidup yang makin penuh tantangan ini. Karena itu berbagai lembaga Hindu di Bali, baik lembaga tradisional maupun lembaga modern, seyogianya menegakkan sistem pemujaan leluhurnya sebagai tangga memuja Tuhan. Demikian juga dalam membina pengembangan profesi melalui ajaran Catur Varna agar dapat hidup bersaing secara sehat di era global yang semakin penuh dengan hiruk-pikuk persaingan dalam berbagai bidang kehidupan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar