Setelah Perang puputan Badung terjadi kekosongan
pemerintahan selama beberapa tahun di Puri Pemecutan, kemudian atas prakarsa
keluarga besar Puri Agung Pemecutan dan Warga Ageng Pemecutan dan untuk
melestarikan budaya leluhur terdahulu maka dicarilah kandidat untuk diangkat
sebagai Cokorda Pemecutan ke X.
Kyahi Ngurah Gde Pemecutan merupakan keponakan dari
Cokorda Pemecutan IX , dalam Perkembangannya karena Raja Pemecutan IX hanya
meninggalan seorang Putri yaitu Anak Agung Sagung Ibu maka berdasarkan hasil
Musyawarah Keluarga Puri Agung Pemecutan kemudian memutuskan untuk mengangkat
Kyahi Ngurah Gde Pemecutan sebagai Keluarga terdekat dari Raja Pemecutan IX
dari Jero Kanginan sebagai Raja Pemecutan X dengan gelar Ida Cokorda Ngurah Gde
Pemecutan.
Sebagai wakil beliau ditetapkan kakak belaiu dari lain
ibu yang berasal dari Desa Munggu yang bernama Kiyayi Agung Gede Lanang
Pemecutan/ Anak Agung Gede Lanang Pemecutan. Beliau sebagai kakak beradik
menampakkan kehidupan yang rukun dan selalu merundingkan berbagai permasalahan
untuk dicarikan jalan pemecahannya sehingga masyarakat sangat segan dan hormat
kepada beliau.
Pembangunan Puri Agung Pemecutan Yang Baru
Karena Puri Pemecutan yang lama telah hancur dan yang
tersisa hanya bale kulkul di sebelah selatan puri maka Jero Kanginan yang
berlokasi tepat di depan Puri Pemecutan yang lama (disebelah Timur) direhab
untuk dijadikan Puri Agung Pemecutan yang baru.
Bangunan bangunan di Puri Yang lama seperti Pemerajan
Agung dipindahkan ke puri yang baru dan dibuatkan upacara Ngeteg Linggih pada
tahun 1966. Sebagai Arsitek pembangunan puri tersebut yaitu Anak Agung Made Gde
dari Jero Grenceng.
Pada Mandala puri baik saren daje maupun saren kelod juga
dibangun (pawongan) puri seperti saren daje, saren delod, saren dangin, saren
dauh, bale bali tradisional, begitu pula bale lantang sama seperti di Jero
Grenceng.
Pada (palemahan) Puri Agung Pemecutan bagian dari Tri
Mandala dibangun Kori Agung dan bhetelan sebagai bagian dari bangunan puri
untuk keluar masuk sehari hari. Begitu pula candi bentar menghadap ke barat
sebagai gerbang utama Puri Agung Pemecutan yang baru.
Keturunan Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan X
Istri ke I ( A.A Biyang Putu Raka ) Putri dari Kiyahi
Lanang Kepaon - Jero Batanmoning tidak mempunyai keturunan
Istri ke II ( A.A. Biyang Raka ) dari Jero Kelodan Peken
Pasah tidak mempunyai keturunan
Istri ke III ( A.A. Sagung Ibu ) Putri dari Raja
Pemecutan IX yang merupakan misan kepurusa tidak mempunyai keturunan namun
mengangkat anak dari Istri ke V yaitu
- A.A Ngurah Mayun Parwaka
Istri ke IV ( A.A. Biyang Made Rai ) putri dari Kiyahi
Lanang Tanjung mempunyai anak 4 orang :
- A.A. Ngurah Manik Parasara (Dinobatkan sebagai Raja Pemecutan XI)
- A.A. Sagung Parasari
- A.A. Sagung Mirah Pranyadari
- A.A. Sagung Putri Paraniti
Istri ke V ( A.A. Biyang Ketut Adi ) Putri Kiyahi Lanang
Ketut Meregan dari Jero Pasah Pemedilan mempunyai 8 orang putra :
- A.A. Ngurah Gede Parasurama
- A.A. Ngurah Rai Parwata
- A,A, Sagung Bintang Paranawati
- A.A. Ngurah Putra Pranayama
- A.A. Ngurah Ketut Parwa
- A.A. Ngurah Putu Pranacita
- A.A. Ngurah Agung Gde Parmadi
- A.A. Ngurah Alit Parasuwanta
Istri ke VI ( A.A. Biyang Ketut Rai ) Putri Kiyahi Lanang
Kedisan dari Jero Pemedilan mempunyai 4 orang putra :
- A.A. Ngurah Alit Partiwa
- A.A. Ngurah Oka Partayadnya
- A.A. Sagung Bulan Partiwi
- A.A. Ngurah Parikesit
Istri Ke VII ( A.A Biyang Oka ) Putri Kiyahi Lanang
Kerobokan dari Jero Kerobokan Kajanan mempunyai putra 5 orang :
- A.A. Ngurah Bagus Paramarta
- A.A. Sagung Putra Paramawati
- A.A. Sagung Alit Parmita
- A.A. Ngurah Made Parwata
- A.A. Sagung Istri Parcinti
Istri ke VIII ( A.A. Sagung Oka ) Putri Kiyahi Made Tegal
dari Jero Ukiran mempunyai putra 1 orang :
- A.A. Ngurah Agung Paranaraga
Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan Dalam Perang Kemerdekaan
- Tanggal 30 September 1927 Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan Magang di Kantor Asisten Residen di Denpasar, kemudian diangkat menjadi juru tulis Pembantu di Kantor yang sama.
- Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan mengadakan pertemuan dengan I Gusti Ngurah Rai, I Made Wijayakusuma dan I Gusti Putu Merta membahas kesewenang wenangan Jepang
- Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan dan I Gusti Putu Merta memperkenalkan I Gusti Ngurah Rai dan I Made Wijayakusuma kepada Letnan Hera Uei wakil serei Angkatan Laut Jepang Sunda Kecil di Denpasar
- Tanggal 23 Agustus 1945, Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan bersama Ida Cokorda Alit Ngurah Raja Badung mendukung terbentuknya Republik Indonesia dan pembentukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dengan pimpinan pasukan Letkol I Gusti Ngurah Rai.
- Tanggal 14 Desember 1945 bertempat di Puri Kesiman, Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan bersama Ida Cokorda Alit Ngurah Raja Badung, I Gusti Ngurah Rai, Ngurah Wisnu, Sudiaryo Joko, I Gusti Ngurah Pidha, Ida Bagus Anom Ngurah, Tiaga, Pugeg, Punggawa Kesiman, Guru Reta, Les Subroto Aryo Mataram dikurung tentara Jepang. Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan berkata bahwa penyerangan terhadap Ringsitai Jepang sedikit sekali hasilnya berupa senjata, sekarang kita harus perang habis habisan dengan tentara Jepang.
- Tanggal 8 April 1946 bertempat di desa Pagutan, Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan bersama I Gusti Putu Merta dan I Gusti Ngurah Rai mengadakan rapat untuk pelaksanaan Serangan Umum di Kota Denpasar.
- Tanggal 10 April 1946 Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan bersama pengiring beliau ikut serta dalam serangan Umum Kota Denpasar. Ida Bagus Japa (Kakak Prof Dr Ida Bagus Mantra Gubernur Bali) gugur dalam pertempuran.
- Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan ditangkap pasukan Nika dibawah pimpinan Letnan Jon Yoseph. beliau diintograsi selama 3 jam di penjara Pekambingan Denpasar untuk selanjutnya ditahan selama 8 hari sebagai tahanan politik, namun atas desakan masyarakat beliau dibebaskan kembali.
- Juli 1946 I Gusti Ngurah Rai menitipkan istrinya yaitu Desak Putu Kari dan 3 putranya kepada Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan untuk tinggal di Puri Pemecutan. Adapun Tiga putra I Gusti Ngurah Rai yaitu I Gusti Ngurah Gde Yudana (4 Th) I Gusti Ngurah Tantera (2 Th) dan I Gusti Ngurah Alit Yudha (2 bln). Upacara 3 bulanan dan Otonan (6 bln) I Gusti Ngurah Alit Yudha dilaksanakan di Puri Pemecutan.
- Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan mengutus orang kepercayaan beliau yaitu A.A. Kompyang Candri untuk memberi bantuan logistik kepada I Gusti Ngurah Rai.
- Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan mengutus Ketut Tugir untuk mengadakan hubungan dengan I Gusti Ngurah Rai, namun utusan ini tertangkap di daerah sengkidu sehingga komunikasi antara Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan dengan I Gusti Ngurah Rai menjadi terputus.
- Tanggal 21 Nopember 1946 pagi harinya ajudan Sibler dari paskan Nica memberitahukan Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan bahwa I Gusti Ngurah Rai sudah gugur pada perang puputan Margarana tanggal 20 Nopember 1946.
- Tanggal 21 Nopember 1946, Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan bersama A.A. Kompyang Candri dan para pejuang lainnya menuju desa Behe untuk menjemput jenazah pahlawan kemerdekaan I Gusti Ngurah Rai, I Gusti Putu Wisnu dan I Gusti Bagus Sugianyar.
- Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan bersama I Gusti Putu Merta bertemu dengan Menteri dalam Negeri N.I.T yaitu A.A. Gde Agung mendesak agar segera diadakan aksi untuk keluar dari cengraman pengaruh Belanda dan mendukung berdirinya Negara Republik Indonesia.
- Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan bersama I Gusti Putu Merta mengecam kepergian A.A. Gde Agung ke PBB mewakili pemerintah Belanda melawan Indonesia, namun dibantah oleh A.A. Gde Agung bahwa kepergiannya hanya sebagai tourist dan tidak turut dalam perdebatan dan pembicaraan di PBB mengenai Indonesia.
- Tanggal 1 Mei 1947 Cokorda Alit Ngurah dari Puri Satria pensiun sebagai Raja Badung dan digantikan oleh Ida Cokorda Ngurah Gede Pemecutan sebagai Raja Badung
Kesalah Pamahan Dengan Pejuang Kemerdekaan
Satu hal yang kadangkala membingungkan masyarakat apakah
beliau sorang penghianat bangsa ataukah seorang pejuang kemerdekaan. Hanya
orang yang terkait langsung dengan beliau yang dapat memahami pribadi beliau
pada saat perjuangan kemerdekaan di Bali yang dapat membantah dan membenarkan.
Berikut kronoli sehingga timbulnya permasalahan tersebut :
Dewan Raja-Raja di Bali pada tanggal 26 Maret 1947
bersama Residen Bali dan Lombok dan Komandan Tentara Belanda yaitu A.A. Panji
Tisna, Dr. M Boon dan Kapten Konig bersama sama menandatangani surat selebaran
berupa seruan ditujukan kepada para pemuda pejuang agar segera menyerahkan diri
karena adanya perjanjian Linggarjati yang telah ditandatangani oleh Pemerintah
Republik Indonesia dengan Pemerintah Belanda.
Persetujuan Linggarjati tersebut menempatkan Pulau Bali
bukan sebagai bagian dari Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu para
pejuan diminta agar turut serta dalam pembangunan di Negara Indonesia Timur.
Bagi Para Pejuang yang tidak mau menyerah akan dianggap sebagi pengacau,
perusuh dan perampok dan akan ditindak tegas.
Adanya Persetujuan Renville yang ditandatangani oleh
wakil wakil Pemerintah Negaa Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda pada
tanggal 17 Januari 1948 yang disaksikan lleh komisi Tiga Negara antara lain
berisi pengakuan Republik Indonesia terhadap Negara Indonesia Timur.
Presiden Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia
dalam pidatonya secara tegas menyatakan bahwa perjuangan sekarang bukan lagi
perjuangan bersenjata tetapi perjuangan di tingkat diplomasi atu perundingan.
Oleh karena itu mak dilakukan gencatan senjata dan perdamaian antara Pemerintah
Republik Indonesia dengan Pemerintah Belanda. Ditegaskan lagi bahwa di Jawa
tidak ada lagi perjuangan bersenjata untuk mencapai tujuan tetapi hanya ada
perjuangan diplomasi sehingga dengan demikian para pejuang di daerah harus
mengikuti cara cara perjuangan di Jawa.
Perdana Menteri Amir Syarifuddin menegaskan bahwa
angkatan bersenjata yang sah adalah TNI (Tentara Nasional Indonesia), diluar
ketentuan itu adalah pengacau, perusuh dan perampok. Para Pejuang Bali belum
masuk Tentara Nasional Indonesia sehingga para pejuang Bali dilanda
kebingungan.
Terdapat jaminan tertulis dari Residen Bali dan Lombok
bersama Komandan Tentara Belanda di Bali dan Ketua Dewan Raja-Raja bahwa para
pejuang yang menyerahkan diri secara sukarela akan mendapat perlakuan yang
sebaik baiknya dan yang tidak melakukan pelanggaran kriminal akan dibebaskan
dan dikembalikan kepada keluarganya. Tetapi yang melakukan pelanggaran kriminal
akan diajukan ke pengadilan sesuai dengan hukum yang berlaku di Negara
Indonesia Timur.
Pada mulanya para pejuang tidak mau menyerahkan diri
bahkan melalui Pucuk Pimpinan MBU DPRI Sunda Kecil I Made Wijakusuma mengirim
surat kepada Bung Karno, Presiden Republik Indonesia tanggal 14 Maret 1948
minta agar Pemerintah RI mendesak Negara Indonesia Timur mengakui DPRI Sunda
Kecil, dengan harapan kalau terjadi pengakuan negara Indonesia Timur terhadap
DPRI subda Kecil maka para pejuang tidak harus menyerahkan diri tetapi langsung
menjadi Tenatara Negara Indonesia Timur.
Sayang sekali surat tersebut tidak pernah mendapat
balasan sehingga nasib para pejuang menjadi terombang ambing karena bantuan
logistik dari rakyat sangat sulit didapat karena ancaman dari Belanda akan
membakar kampung kampung yang memberi bantuan kepada para pejuang.
Atas Kesepakatan Pimpinan MBU DPRI Sunda Kecil maka
setelah berunding dengan Ketua Dewan Raja-Raja yaitu A.A. Panji Tisna maka
diberikan jaminan keamanan bagi para pejuang yang akan menyerahkan diri oleh
Komandan Belanda.
Maka sejak tanggal 24 Mei 1948 para pemuda pejuang secara
berabgsur angsur menyerahkan diri kepada Raja-Raja setempat. Bagi para pejuang
yang berasal dari wilayah Badung menyerahkan diri kepada Raja Badung yaitu Ida
Cokorda Ngurah Gde Pemecutan.
Setelah para pejuang berada dalam perlindungan Raja Raja
maka negara Indonesia Timur merintahkan agar para tahanan agar segera
dipindahkan ketempat tahanan milik Pemerintah, agar pemuda pejuang lebih mudah
diseleksi tingkat pelanggarannya.
Oleh karena Dewan Raja Raja merupakan bagian dari aparat
Pemerintah Negara Indonesia Timur, maka dengan berat hati Ida Cokorda Ngurah
Gde Pemecutan tunduk kepada putusan atasan Beliau yaitu Pemerintah Negara
Indonesia Timur sehingga para pemuda pejuang yang berada dalam lindungan beliau
terpaksa dipindahkan dari Puri Pemecutan ke tangsi tangsi milik Pemerintah di
seluruh Bali.
Dengan demikian tidak benar adanya tuduhan bahwa Ida
Cokorda Ngurah Gde Pemecutan dengan sengaja atas kemauan beliau sendiri
menyerahkan para pejuang ketangan serdadu Nica Belanda. Bahkan Beliau sangat
marah kepada Mayor Polak, asisten Residen atas keputusan yang merugikan
pejuang. Demikianlah kesalahanpahaman yang terjadi antara Pejuang kemerdekaan
dengan Ida Cokorda Ngurah Gde Pemecutan sebagai Raja Badung.
Kedudukan terakhir beliau dalam pemerintahan yang
tergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebagai Bupati Badung
sampai beliau pensiun tahun 1959
Tidak ada komentar:
Posting Komentar