Karang Buncing - Pura Gaduh, Tugu Akhir Raja Bali
Pura Gaduh, Gagaduhan Prabhu Bali
Mengutip Transkrip Piagem Dukuh Gamongan diatas tentang keberadaan Pura Gaduh, Blahbatuh, Gianyar, berbunyi:
. . . sira Sri Jaya Katong, amrajaya ring yusaning bumi, Isakawarsa, Asti Bhaskara Netraning Ulan, Sri Jaya Katong, amukti maring Batahanyar, angamong wadwa sira, amuter maring Batahanyar, kasung kasiwi denira Sri Jaya Katong, hanata Glungkori, ring mahameru, kapolo denira Sri Jaya Katong, maka tunggul ira, ring Barabatu, lingganira hyang wawu dateng, Meru tumpang 5, hana ta kori agung, agelung tumpang lima, maka tungguling Prabhu Bali, araning Pura Gaduh, Gagaduhan Prabhu Bali. maring Bhatahanar . . .
(Piagem Dukuh Gamongan, 8a-8b).
Terjemahan:
. . . beliau Sri Jaya Katong menjadi penguasa, umur bumi, tahun Isaka 1238/1316 Masehi, Sri Jaya Katong yang dimuliakan di Batahanyar, memerintahkan rakyat baginda pusatnya di Batahanyar, tempat persembahyangan baginda Sri Jaya Katong adalah Kori Agung, tempat suci sangat agung, dibangun oleh Sri Jaya Katong, sebagai bukti baginda ada di Blahbatuh, sebagai wujud atau simbol Dewa sesembahan yang baru, Meru tumpang lima, lambang kesatuan para raja Bali, namanya Pura Gaduh, tempat suci para raja Bali, terhadap Bhatahanyar . . .
. . . risampun makudang kudang warsa nira Sri Karang Buncing, angamong kresmin, lawan arinira, nora hana adwe putra, neher sira angasti hyang, maring Pura Gaduh, kahyangan gagaduhan Prabhu Bali, asung kerta nugraha Hyang Sapta Giri, mabwaya ta stri nira Sri Karang Buncing . . .
(Piagem Dukuh Gamongan, 10a).
<
Terjemahan:
. . . setelah beberapa tahun Sri Karang Buncing hidup bersuami istri dengan adiknya, dan belum mempunyai putra, lalu beliau memohon kepada Bhatara yang ada di Pura Gaduh, tempat suci para Raja Bali, atas rahmat ida bhatara Hyang Sapta Giri, akhirnya ngidam istri beliau Sri Karang Buncing . . .
Dalam Prasasti Pura Maospahit Keberadaan Pura Gaduh Dijelaskan:
Yan asapunapi suwen Ida Arya Karang Buncing merabian, nenten maduwe putra. Punika mawinan sedih pisan pakayunan idane. Rikala wenten dewasa sane becik raris Ida nunas ica ring ida Sanghyang Widhi ring Pura Bedugul Gaduh. Raris wenten suwecan Ida Sanghyang Widhi polih putra lanang asiki. Kasuwen-suwen sampun apongahan yusan ida raris ida mapesengan Kebo Waruga.
(Prasasti Pura Maospahit).
Terjemahan:
Entah berapa lama Ida Arya Karang Buncing hidup bersuami istri, belum juga dikaruniai putra, hati beliau sangat sedih, lalu pada hari yang baik, beliau berkeinginan nunas ica memohon kemurahan hati Ida Sanghyang Widhi, di Pura Bedugul Gaduh, lalu beliau mendapatkan seorang putra, yang lama kelamaan diberi nama Kebo Waruga.
Dalam Lontar Usana Bali, Bhisama setelah wafatnya Ki Kebo Iwa, dijelaskan:
Hana pitekenia Kawitan sira Karang Buncing, kita sentanan ingsun makabehan away kita tan eling ring kawitan anyungsung anyiwi ring Pura Karang Buncing, ring Pura Karang Gaduh, makadi ring Lempuyang, yan kita lali, wastu sira anadi jadma sudra jati, rered pabuktianta, mentik, mentik, punggel.
(Lontar Usana Bali).
Terjemahan:
Ada kewajiban dari leluhur Sri Karang Buncing, kalian keturunanku semuanya, jangan kamu tidak ingat dengan Kawitan (leluhur) menjungjung dan memuja di Pura Karang Buncing, di Pura Karang Gaduh, juga di Pura Lempuyang, jika kamu melupakannya, dikutuk oleh beliau menjadi orang melarat sekali, surut kekayaanmu, bertumbuh, bertumbuh, terpotong.
Pura Gaduh terletak di Jalan Kebo Iwa, Banjar Tengah, Desa Pakraman Blahbatuh, atau perempatan pasar Blahbatuh ke timur, jalan menuju Desa Bona. Pura Gaduh awalnya merupakan satu kesatuan dengan beberapa pura yang lain atau satu paleban dengan Pura Batur Sari, Pura Puseh, Palinggih Pangulu, dan Pura Kuru Baya, tepatnya halaman barat Pura Puseh dan di timur Pura Kuru Baya. Arca Pangulu yang terletak di Pura Puseh, merupakan peninggalan dari Sri Jaya Katong maka lingganira hyang wawu dateng, sebagai simbol ajaran baru Sri Jaya Katong pada era itu atau dengan kata lain sebagai simbol suci Tuhan dan pusat konsentrasi di kala melakukan sembah bakti kepada Hyang Widhi/Tuhan.
Oleh para sejarawan menyimpulkan Arca Pangulu merupakan peninggalan sekte Siwa Bhairawa yang ada di Bali pada zaman itu. Kadang-kadang masyarakat sekitarnya Arca Pangulu disebut palinggih pangulu ratu gede kebo iwa. Arca batu Pangulu yang berdiameter sekitar 1x1 meter, berwujud kepala bermuka seram, mata melotot, kuping lebar, rambut ikal berperucut, hidung besar, gigi taring menyembul, mempunyai nilai filosofis yang sangat tinggi, karena bagian kepala inilah diharapkan mampu membawa kemajuan spiritual dan material bagi setiap manusia, untuk bisa dicapai karena semua kemampuan itu ada di kepala. Disamping beberapa arca batu yang lain, seperti, patung Ganesa, patung para Resi, yang di stanakan di Pura Batur Sari. Juga terdapat tujuh arca perunggu yang bermotif primitif sebagai perwujudan bhatara sapta giri atau simbol tujuh gunung yang dipuja saat itu yang di stanakan di Pura Gaduh. Arca-arca bhatara sapta giri ini sangat disucikan oleh pangamong dan pangempon pura.
Seperti telah diuraikan diatas karena saling keterkaitan dan saling kawin mengawini dua keluarga penguasa di Wadwasila (Blahbatuh) antara keturunan I Gusti Karang Buncing, treh akhir raja-raja Bali Kuno dengan keturunan Sri Paduka Agung Made Jambe yang disebut juga Raja Agung Tengah dari dinasti Dalem Kepakisan pada masa transisi pemerintahan Bali dengan Majapahit.
Peralihan kekuasaan tentunya membawa dampak politik psikologis bagi masyarakat sekitar, sehingga Pura Gaduh yang sebelumnya berfungsi sebagai tempat suci bagi para raja Bali, berubah status dan fungsinya menjadi Pura Puseh, Desa Pakraman Blahbatuh. Disamping itu Pura Gaduh mempunyai beberapa sebutan lain, dalam Usana Bali disebut Pura Karang Gaduh. Dalam Prasasti Pura Maospahit disebut Pura Bedugul Gaduh. Dalam salinan purana Pura Puseh, Desa Pakraman Blahbatuh disebut Pura Puseh Gaduh, karena dalam satu leban ada Pura Puseh dan Pura Gaduh. Media Bali Post, tanggal 8 Oktober 1997 berkembang berita menjadi Pura Pasek Gaduh, walaupun sudah diklarifikasi oleh pemangku pura beserta pangemong dan pangempon pura. Pura Gaduh disamping sebagai momentum kebersamaan dua dinasti, juga sebagai tugu penyatuan Hindu Bali dan Hindu Jawa dari hampir kepunahan setelah jatuhnya kerajaan Majapahit oleh Sultan Demak yang beragama Islam. Pura Gaduh termasuk situs purbakala yang wajib dilindungi oleh Negara. Pura Gaduh sebagai gagaduhan prabhu Bali atau Tugu akhir raja-raja Bali Kuno dimana keturunan Sri Karang Buncing sebagai treh akhir raja-raja Bali, agar tidak melupakan bhisama yang telah dikukuhkan oleh Danghyang Nirartta bersama para leluhur terdahulu, agar selalu ingat dengan tiga kahyangan tersebut diatas yaitu: Pura Kawitan Karang Buncing, Pura Gaduh, dan Pura Lempuyang Gamongan, Karangasem.
Sri Kebo Iwa Lahir
Sri Karang Buncing setelah lama hidup bersuami istri dengan adiknya, dan belum mempunyai putra, lalu beliau memohon anak di Pura Gaduh, atas rahmat Ida Bhatara Hyang Sapta Giri, akhirnya ngidam istri Sri Karang Buncing, setelah cukup umur kandungan maka lahir seorang putra bernama Sri Kbo Iwa, perawakannya tinggi besar tak ada yang menyamainya di jagat Bali ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar