Google+

sunya dan Ke-Sunyata-an

sunya dan Ke-Sunyata-an

Ketiga kata ini amat sering kita dengar, baca bahkan gunakan dalam konteks filsafat atau spiritual. Sunya misalnya; sering diterjemahkan sebagai 'kekosongan'. Kekosongan mengandung pengertian sifat atau kondisi yang abstrak, yang tidak dapat dipersamakan dengan nihil atau nol, oleh karena nol merupakan besaran kwantitatif; sedangkan 'kekosongan' lebih bersifat kwalitatif.

Suatu wadah bila tak berisi kita sebut 'kosong', atau tidak ada yang mengisinya. Jadi, kosong tidak mengandung pengertian kwantitatif atau numerikal. Kekosongan, merupakan abstraksi dari kondisi wadah yang kosong tersebut. Ia tidak bersifat atau berkwalitas, yang bersifat atau berkwalitas adalah isinya. Sebuah contoh dalam hal ini adalah 'gelas kosong', menurut persepsi umum ini bermakna tanpa isi; akan tetapi bagi para ilmuwam (fisikawan) tidak demikian. Gelas kosong bagi fisikawan berisi, namun isinya tak tampak oleh indrya pengelihatan kita yaitu udara atau gas. Gas tertentu berbau, jadi bisa dideteksi indrya penciuman, namun banyak gas yang tidak berbau sehingga tak terlihat dan tercium. Bahkan ada gas yang tak mudah dipengaruhi oleh suhu udara sekitarnya, sebaliknya ada yang amat mudah beradaptasi dengan udara sekitar. Gas jenis terakhir ini, tentu lebih sulit lagi kita deteksi keberadaannya dalam gelas kosong tadi.


Jadi, kita ketahui atau tidak sebetulnya gelas tersebut tidak 'kosong'. Gas di dalamnya mempunyai sifat, bobot, terkadang warna, bau, volume dan besaran lainnya. Jadi 'kekosongan' dalam hal ini, lebih tepat bila disebut 'kehampaan bahkan tanpa aktivitas mental'; inilah yang dimaksudkan dengan 'Sunya'. Bila demikian, jelas ia tak sama dengan sunyi atau sepi, seperti anggapan kita selama ini (secara tidak sadar).

Di dalam dunia IPTEK, telah diadakan serangkaian percobaan-percobaan mahal untuk mengetahui keistimewaan dari kehampaan. Percobaan ini membutuhkan kondisi ideal yang nir-gravitasi, sehingga mesti diadakan di luar angkasa (outer-space) di dalam laboratorium pesawat ulang-alik (space-shuttle). Apa yang ditemukan dari percobaan-percobaan tersebut? Secara garis besar diketahui beberapa prinsip dari sifat kondusif kehampaan terhadap:

  • Pertumbuhan makhluk hidup; di mana makhluk hidup tumbuh dan berkembang lebih cepat dengan amat mengagumkan, dan
  • Reaksi kimia menjadi lebih sempurna, yang tidak dapat dicapai di tempat manapun di bumi.

Dua hal penting itulah yang perlu kita garis bawahi dari hasil penelitian fisis dan khemis dalam kehampaan (tanpa bobot, substansi dan aktivitas). Pengkondisian di luar angkasa tentu amat ideal, dimana hampir tak (belum) mungkin dibuat oleh manusia kini. Dalam dunia spiritual, temuan IPTEK ini mengindikasikan hal yang kurang lebih serupa pada kita yaitu : melalui kehampaan dapat capai pengembangan batin yang mengagumkan dan bisa dikatakan mendekati sempurna.

Fenomena ini sebetulnya telah ditangkap, dipahami bahkan telah diperaktekan oleh para Rsi, pertapa dan Yogi dahulu. Beliau bertapa di gunung (tempat tinggi)1, yang dalam fisika diketahui bahwa semakin tinggi suatu tempat maka semakin kecil gravitasi bumi dan tekanan udara (mendekati kehampaan fisis hingga tahap tertentu). Rupanya beliau memahami kondisi ideal serupa ini. Dalam babad Arya Kenceng (Tegeh Kori), I Gusti Ketut Bendesa setelah bertapa-bhrata-Yoga-Samadhi di Gunung Batur, mendapat 'panugrahan' dari Bhatari Batur.

Nararya Kenceng dalam perjalanan pulang ke Majapahit singgah dan beryoga di Gunung Batukaru di mana beliau memperoleh petunjuk dari Sanghyang Embang untuk tidak kembali ke Majapahit (ketika itu Majapahit telah jatuh ke tangan pasukan muslim di bawah Sunan Giri Cs.), sehingga akhirnya beliau putuskan untuk menetap di Bali. Rsi Markandeya sebelum ke Bali, menerima wahyu di Gunung Raung; dan banyak lagi kisah-kisah pertapaan para suciwan dan leluhur yang mengambil tempat di gunung. Kiranya semua itu sekurangnya merupakan petunjuk dan sekaligus bukti betapa kondusifnya kondisi fisis yang mendekati kehampaan dalam peningkatan dan pengembangan spiritual.

Kisah-kisah atau mithologi kuno, yang seringkali kita remehkan dan anggap hanya dongeng sebelum tidur (bobok), ternyata menyimpan petunjuk penting dalam pelaksanaan Yoga-Samadhi. Satu hal yang tersirat dari penelitian luar angkasa tentang kehampaan adalah posisi kontelasi benda-benda langit yang sedemikian rupa sehingga amat ideal dan kondusif. Mengenai hal ini juga telah disadari oleh para pendahulu kita melalui pemilihan hari raya Nyepi, Çiwa-Ratri, Saraswati, Banyu-Pinaruh, Pagerwesi, Galungan Nadhi dan lain-lain, yang pada prinsipnya sangat dianjurkan sebagai hari baik untuk melaksanakan Yoga-Samadhi.

Bagi generasi muda kita, mungkin sekali ini dipandang sebagai takhyul yang hanya bikin seram saja. Ini dapat dimaklumi karena keterbatasan pemahaman dan terutama pengalaman mereka. Praktek Tapa-Bhrata-Yoga-Samadhi (Yoga Sadhana) amat membutuhkan ketekunan, arah dan tujuan yang jelas serta bimbingan seorang Ghuru. Ghuru, dapat memberi pandangan serta membagi pengalaman beliau pada kita. Pengalaman dalam pelaksanaan Yoga-Sadhana amatlah berharga dan tak akan pernah kita dengar di radio atau tonton di TV; ia diturunkan dari Ghuru kepada siswa (sisya) secara tradisional. Jadi, jelas ia merupakan pengetahuan khusus yang tidak dengan mudah diketahui oleh sembarang orang.

Di sinilah tampak permasalahan kita, yang timbul dari keterbatasan kita sebagai manusia. Kita amat cenderung keburu nafsu untuk memahami sesuatu, kemudian serta merta merasa faham padahal apa yang dimaksud jauh dari apa yang kita pahami. Bila pandangan kita terbentuk dengan cara seperti ini, maka inilah yang disebut 'pandangan keliru (micca-ditthi)'. Ada disebutkan 'keburu nafsu'; rupanya inilah yang menjadi masalah kita dalam memahami sesuatu. Apakah itu pengetahuan umum (keduniaan), maupun Agama. Kita amat 'mudah percaya' pada keterbatasan persepsi kita. Sunyata, berasal dari Sunya-atta; dimana tambahan 'atta' memberi pengkondisian dari 'sunya'. Sehingga 'sunyata' menyatakan kondisi dari 'sunya'.

Bila demikian, apakah 'Kesunyataan' itu? Sunyata yang berawalan 'ke', menggambarkan abstraksi dari Sunyata. Ia menggambarkan keberadaan dari Sunyata secara abstraktif yang sebetulnya sulit untuk digambarkan dengan kata, dan lebih bersifat pengalaman empiris metafisik (astral). Kesunyataan sebetulnya mesti kita pahami melalui perenungan dan pengalaman empiris, tanpa cara seperti itu kita hanya menerka-nerka dan menghayalkannya, dimana hal itu amat jauh dari 'Kesunyataan' seperti 'apa adanya'. Dalam dunia spiritual, banyak hal-hal yang amat sulit diungkapkan secara verbal maupun tulisan.

Apa yang kita dengar atau baca, hanyalah petunjuk jalan; tidak lebih dari itu. Suatu petunjuk tak pernah akan mengantar kita ke tujuan bila tanpa dijalani secara langsung, oleh karenanya amat beralasan bila Yoga juga dipersamakan dengan Marga (Magga-bhs.Pali). Penggambaran seperti yang kita coba ini pun sering menimbulkan salah pengertian (tafsir), karena menimbulkan kesan seolah bersinonim dengan 'kekosongan' bahkan lebih jauh lagi bisa menimbulkan pengertian yang identik dengan 'kenyataan' (realitas).
Ada pula yang mendekatinya melalui istilah 'Realitas-absolut'. Sebetulnya penyebutan adalah sah-sah saja mengingat keterbatas kata-kata dalam mengungkap sesuatu yang (hampir) tak mungkin diungkap dengan kata-kata.

Memang mesti kita akui betapa terbatasnya pemahaman kita yang antara lain disebabkan oleh karena kita cenderung keburu nafsu, mudah percaya dan suka ikut campur2. Kencendrungan tersebutlah yang membatasi kita, ia juga sering kali menimbulkan salah faham yang akhirnya menimbulkan pertikaian, permusuhan dan bahkan peperangan. Bila telah begini jadinya, tentu tak ada lagi yang disebut 'kedamaian'.

Yang lebih penting adalah bagaimana pengetahuan kita akan ajaran, telah kita pahami dengan benar untuk kemudian dijadikan kemudi dalam mengarungi samudra 'Samsara'. Inilah inti dari ajaran para Orang Suci pendahulu kita. Setiap petunjuk yang beliau berikan membutuhkan suatu perenungan hingga kedalaman tertentu. Yang jelas dibutuhkan sekurang-kurangnya sedikit waktu untung menenangkan batin kita terlebih dahulu (heneng-bhs.Bali) sebelum dapat memandangnya dengan jernih, netral dan tanpa pretensi.

Sebagai ilustrasi dan penutup dari tulisan singkat ini, saya sunting bait yang amat populer dari Dharma-Sunya, karya dari Danghyang Nirartha sebagai berikut3:
"Ketika batin telah hening, ia semakin halus dan cemerlang, kemudian menyusuplah ke alam sunya, alam maha sempurna yang tak terlukiskan, pikiran bagai melingkupi dan menyusupi seluruh semesta dan tida terbatas, demikianlah batin Sang Wiku ketika telah lebur di alam Samadhi".
Semoga tulisan ini cukup layak untuk sekedar menambah koleksi pandangan dan dijadikan bahan perenungan ke dalam batin4. Semoga setiap makhluk mencapai pandangan Sunyata dan memcapai Kesunyataan secepatnya.

Denpasar, 20 Pebruari 1999.
anatta-bali

  1. Hyang Çiwa Natharaja, yang disebutkan sebagai pencetus sistem Yoga, bertapa di puncak Gunung Kailesa (peg.Himalaya) pada kira-kira 7000 tahun yang lalu (sumbernya saya lupa).
  2. petunjuk dari seorang Wiku pada bulan Januari 1998.
  3. disunting dari Ida Bagus Gde Agastya, Nyepi: Surya dan Sunya - Warta Hindu Dharma No.373, April 1998.
  4. dalam Asthangga-Yoga disebut 'Pratyahara'.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar