Perjalanan Trah Panji Sakti - Babad Buleleng 2
PEMERINTAH BELANDA MENCARI DUKUNGAN
Dengan peristiwa pemberontakan I Nyoman Gempol pemerintah kolonial Belanda tentu saja menemukan kesulitan dalam menjalankan pemerintahannya kalau tidak didukung oleh pemerintah lokal. Untuk mengatasi situasi itu maka pemerintah kolonial Belanda di bawah pimpinan asisten residen P. L. van Bloemenwaanders berusaha membentuk pemerintah lokal yang definitif. Beliau menpersilahkan tokoh dan keturunan raja Buleleng untuk mengadakan musyawarah. Disamping itu juga mendengarkan pendapat masyarakat umum. Akan tetapi siapakah atau yang manakah sentana raja Buleleng itu? Suasana panas dingin mulai timbul diantara keiuarga di seluruh pelosok Buleleng ini yang merasa terkait dengan keturunan raja di Buleleng.
PESAMUAN AGUNG
Sebuah pertemuan dinasti I Gusti Ngurah Panji sakti yang semestinya dipimpin oleh I Gusti Made Batan tetapi beliau sudah mendahului wafat. Pertemuan diselenggarakan oleh I Gusti Putu Batan Singaraja (Sedahan Agung) di Puri Kanginan. Setelah melalui berbagai hambatan dan tantangan dari berbagai pihak, akhirnya berhasil mempertemukan para semeton yang bisa mewakili "seluruh" keluarga besar:
Para panglingsir atau pamucuk yang hadir adalah:
- I Gusti Putu Kari (Kebon) puri Kubutambahan beserta putra: 1 Gusti Ketut Jlantik
- I Gusti Ketut Jlantik Prasi Puri Bangkang, beserta putranya l Gusti Wayan Jlantik
- I Gusti Putu Batan Singaraja sendiri bersama adik-adik: 1 Gusti Bagus Jlantik dan I Gusti Ketut Banjar, semua dari Puri Tukadmungga.
Juga ikut hadir para panglingsir dan semeton lainnya untuk berkumpul di Puri Kanginan, tidak lain membicarakan masalah pembentukan pemerinatahan lokal mendampingi penerintah Belanda.
SISTEM SENIORITAS ATAU DEMOKRASI / MUSYAWARAH
Sesuai dengan aturan dresta, l Gusti Putu Batan Singaraja adalah putra tertua I Gusti Made Batan, dipandang dari sistem adat atau dresta sudah selayaknya beliau duduk sebagai putra mahkota dan pamucuk dalam pemerintahan. Namun beliau menolak jabatan itu, karena sudah cukup tua dan sibuk di Pura Desa.
Maka secara mufakat diangkatlah 1 Gusti Putu Kari (Kebon) sebagai raja Buleleng. Beliau berkantor di Puri Kanginan. Beliau ini dipilih sesuai kehendak masyarakat umum. Beliau masih terkait kekeluargaan dengan baik puri Sukasada, maupun keluarga puri Buleleng, Bangkang dan Tukadmungga. Beliau menerima kedudukan sebagai regent, tetapi tak lama kemudian beliau menunjuk putranya yaitu I Gusti Ketut Jlantik yang bisa mewakili dari generasi muda. I Gusti Putu Kari kemudian disebut Anak Agung Aji.
Bertempat di Puri Kanginan, pada tanggal 20 Desember 1860 I Gusti Ngurah Ketut Jlantik bersama-sama para punggawa mengangkat sumpah jabatan dan beliau dinobatkan dan oleh Asisten Residen atas nama Residen Banyuwangi Nieuwenhuyzen dengan pangkat "regent" atau raja. Tetapi kekuasaan raja masih tetap dibawah pemerintahan kolonial Hindia Belanda dibawah Asisten Residen di Buleleng.
Untuk lebih mempererat hubungan antar kekerabatan dalam keluarga, A. A. Ngurah Ketut Jlantik mengambil isteri dari Puri Kanginan / Tukadmungga tidak lain adik I Gusti Putu Batan Singaraja, yang bernama I Gusti Ayu Panji dengan gelar A. A. istri Parameswari. Seorang lagi putri 1 Gusti Bagus Jlantik Batupulu bernama I Gusti Ayu Mas dengan gelar A. A. lstri Mahadewi. Sayang dari kedua istri beliau ini tidak mendapatkan putra. Selain itu ada dua istri yang lain, yaitu seorang asal dari Kubutambahan dengan pungkusan Jero Dauh mendapatkan seorang putri bernama I Gusti Ayu Kompiang.
Selanjutnya pemerintah Belanda mengangkat I Ketut Liarta dari Banjar Dangin Peken sebagai Patih Buleleng yang bertugas membantu Raja. Kemudian anaknya Patih I Ketut Liarta yang bernama Ni Wayan Liarti diperisteri oleh Raja A. A. Ngurah Ketut Jlantik dan diberi pungkusan Jero Trena. Sayang Jero Trena tidak mendapatkan anak.
Kurang lebih satu tahun I Gusti Ngurah Ketut Jlantik berkantor di Puri Kanginan, beliau pindah ke Puri Gde.
Jabatan Sedahan yang dipegang I Gusti Putu Batan yang beristeri dari desa Selat Sukasada diganti oleh I Wayan Mudiasta (Pan Suma) dari Banjar Tegal. Karena dianggap kurang cakap, tidak lama kemudian diganti oleh 1 Gusti Made Tauman dari Banjar Liligundi. Adik I Gusti Putu Batan, yaitu 1 Gusti Bagus Jlantik tetap menjadi punggawa di Penarukan.
I Gusti Ngurah Ketut Jlantik, Anak Agung Buleleng, masih muda usianya sebagai raja dalam situasi politik sangat pelik. Beliau masih memerlukan panduan sang ayah. Namun ayah beliau I Gusti Putu Kari wafat tahun 1865 di puri Kubutambahan. Jenazah beliau
diangkut ke Singaraja dan dipelebon di Puri Gde diselenggarakan oleh keluarga besar puri Kanginan, Bangkang / Tukadmungga.
PERANG BANJAR 1868
Walaupun pemerintah Belanda sudah menjalankan divide er empera dengan memecah wilayah kerajaan Buleleng menjadi tiga bagian tetapi rupanya di wilayah Buleleng di bagian Barat yang berpusat di desa Banjar masih menyimpan sekam membara di bawah pennukaannya. Waktu itu yang menjabat assistant resident di Buleleng adalah L.de Scheemaker.
Keputusan Raja / pemerintah Belanda dalam masalah mengangkat seorang punggawa di Banjar menimbulkan masalah. Punggawa yang baru ini, Ida Ketut Anom tidak mendapat persetujuan dari sebagian rakyat. Keputusan Raja waktu itu tidak lain adalah atas rekomendasi pemerintah kolonial Belanda. Terjadilah pemberontakan rakyat Banjar yang dikepalai oleh Ida Made Rai seorang punggawa yang teiah disingkirkan raja atas nama pemerintah Belanda. Pernasalahan makin membesar sehingga pihak pemerintah Hindia Belanda perlu mengirim pasukan militer ke Buleleng pada bulan September 1868. Tetapi pasukan Belanda dibawah komando W.E.F Heemskerk mendapat perlawanan sengit dari rakyat Banjar sehingga mengalarni kegagalan. Banyak korban dalam peperangan tersebut. Dengan cara ultimatum yang berubi-tubi ditujukan kepada rakyat agar menyerahkan Ida Made Rai maka akhirnya Ida Made Rai dtangkap di desa Den Kayu. Ida Made Rai akhirnya kembali lagi menjalani hukuman buang ke daerah Priangan.
ANAK AGUNG NGURAH KETUT JLANTIK DI HUKUM BUANG
Setelah perang Banjar selesai pemerintah kolonial Belanda tetap kukuh mencengkeram di Buleleng. Entah bagaimana perrnasalahan sebenarnya, hanya pemerintah Belanda yang tahu. Raja Buleleng A. A. Ngurah Ketut Jlantik dianggap membahayakan pemerintah yang berkuasa waktu itu. Beliau mendapat tuduhan memupuk keuntungan pribadi yang sangat besar dari cukai candu dan dengan demikian dituduh menyalah gunakan wewenang. Beliau tercatat sebagai seorang raja yang kaya raya. Maka beliau diperiksa oleh jaksa yang didatangkan dari Banyuwangi. Pada tahun 1872 A A Ngurah Ketut Jlantik diturunkan dari takhta raja Buleleng. Beliau dibawa keatas kapal, yang membawa beliau ke Surabaya, kemudian diadili di Buitenzorg (Bogor) yang akhirnya diekstradisi ke Bengkulu, Padang, Sumatera Utara. Diantara empat istri beliau, hanya seorang yang ikut, yaitu Jero Trena.
Semenjak itu pemerintah kolonial Belanda merasa perlu untuk menunda pengangkatan raja untuk Buleleng dalam waktu yang tidak ditentukan karena harus mencari tokoh
yang bisa lebih di terima oleh Belanda sendiri dan juga oleh kalangan rakyat.
Ternyata Belanda terlalu berhati-hati sampai menunda selama 57 tahun lamanya. Selama itu pemerintahan Buleleng tidak dipimpin oleh raja, melainkan pemerintahan langsung (direct rule) oleh asisten residen dibawah residen Banyuwangi. Walau pun demikian, budaya di masyarakat Buleleng masih tetap berjalan sebagai sediakala. Tokoh lokal masih ada yang duduk dilembaga pemerintahan walaupun di bawah Belanda. Namun banyak calon pemimpin lokal merasa tertekan sampai ada yang meninggalkan Buleleng.
Dengan diturunkannya I Gusti Ngurah Ketut Jlantik dari takhta kerajaan, maka pemerintahan Belanda harus berpikir lebih cermat untuk mencari calon raja di Buleleng.
I Gusti Bagus Jlantik, punggawa Penarukan, putra I Gusti Putu Batan, hanya diangkat sebagai Patih kerajaan Buleleng, menggantikan I Ketut Liarta yang telah meninggal dunia. I Gusti Bagus Jlantik masih merangkap sebagai Punggawa Penarukan.
Sedianya, I Gusti Bagus Jlantik sebagai calon regent secara suksesi, tetapi karena ada gejolak di masyarakat pengangkatannya ditangguhkan. Tetapi beliau diberikan kekuasaan penuh sebagai penguasa lokal dibawah Asisten Residen L. de Scheemaker. Dalam menjalankan tugas beliau dibantu oleh Pedanda Nyoman Mas sebagai anggota Raad Kerta beserta I Ketut Anjaran dari Banjar Peguyangan.
Tugas berat ada di pundak beliau. Selain mengurusi pemerintahan beliau juga harus menjaga dan memelihara dua puri yaitu Puri Kanginan dan Puri Gde. Tanah pekarangan Puri Kanginan dan Puri Gde keadaanya cukup memprihatinkan karena terbengkalai. Beberapa bagian pekarangan puri ada yang telah beralih pemilik atau diambil orang lain.
Beliau mengangkat putranya sendiri I Gusti Putu Intaran dari puri Tukadmungga sebagai Wakil Patih untuk membantu pekerjaan beliau. Namun sayang I Gusti Putu Intaran terkena sakit yang tak tersembuhkan dan akhirnya meninggal dalam usia yang masih muda. I Gusti Putu Intaran meninggalkan seorang isteri dan beberapa putra.
I Gusti Bagus Jlantik Patih mempunyai adik bernama I Gusti Ketut Banjar tinggal di Puri Tukadmungga yang menjabat sedahan. I Gusti Ketut Banjar juga mendahului wafat dan almarhum meninggalkan seorang janda bernama Ni Gusti Kompyang Keramas berasal dari Banjar Penataran Singaraja. Beliau memiliki beberapa putra dan putri. Diantaranya yang laki-laki disebut, 1 Gusti Putu Geria, I Gusti Nyoman Raka dan 1 Gusti Ketut Jlantik. I Gusti Bagus Jlantik Patih kemudian mengambil iparnya yang menjanda itu sebagai isteri dan bersama-sama ikut tinggal di Puri Kanginan.
Di sisi lain, pemerintah Belanda mendapat desakan dari pihak masyarakat agar segera mengangkat penguasa lokal atau raja. Tuntutan itu datang dari I Gusti Bagus Bebed putra dari mantan raja Buleleng I Gusti Made Rai dari puri Sukasada. Bahkan untuk mempengaruhi rakyat dan pemerintah Belanda mereka mengerahkan pendukungnya berdemonstrasi di sepanjang jalan di daerah Pabean. Mereka juga minta agar Patih diberhentikan atau tidak diberikan kekuasaan besar.
PURI KANGINAN HENDAK DISERBU
Dari hangatnya politik yang didorong oleh ketidak puasan selama ini akhirnya hampir menyulut sebuah peristiwa keributan. Yaitu pada tahun 1876 ketika asisstent resident dijabat oleh F.C. Valck. Pada hari itu semua anggota keluarga Puri Kanginan pergi bersembanhyang pada hari piodalan di Pamerajan Tukadmungga. Di Puri Kanginan hanya ada I Gusti Bagus Jlantik Patih dengan isterinya Gusti Biang Kompyang Keramas. Waktu itu masih pagi. Datanglanglah orang berduyun-duyun membawa senjata tajam seperti tombak, keris, golok dan semacamnya dari arah desa Sukasada dikepalai oleh I Gusti Bebed. Sampai di Banjar Liligundi mereka dicegat oleh Tuan van der Tuuk seorang Belanda. Kemudian datang juga assistent resident F.C. Valck. Setelah ditanya mereka menerangkan akan menghancurkan Puri Kanginan dan membunuh I Gusti Bagus Djlantik Patih dan semua orangnya.
Assistant resident memerintahkan dengan tegas agar mereka kembali saja pulang. Para perusuh itupun pada akhirnya menurut dan kembali pulang ke rumahnya rnasing-masing.
I Gusti Bagus Jlantik Patih yang berada di dalam puri tidak tahu kalau ada bahaya di luar yang mengancam jiwanya. Untung ada parekan I Gusti Ketut Liran dari Banjar Penataran dan I Kanten dari desa Pakisan memberi tahukan peristiwa itu. I Gusti Bagus Jlantik segera keluar menghunus keris ke perempatan jalan menunggu kedatangan tamu yang bersenjata itu. Isteri beliau Gusti Kompyang Keramas sangat cemas. Lalu seketika itu juga seorang panjeroan bernama I Klebit disuruh segera ke Puri Tukadmungga melalui Puri Bangkang membawa berita kepada semua keluarga perihal tersebut. Seketika itu berdatangan pemuda-pemuda dari Puri Tukadmungga dan Bangkang masuk ke Puri Kanginan mencari perusuh itu. Tetapi kedapatan Puri sedang kosong. I Gusti Bagus Jlantik Patih sedang dipanggil ke kantor asisten residen untuk dimintai keterangan mengenai peristiwa tadi. Para pemuda lalu menjemput I Gusti Bagus Jlantik ke kantor asisten residen dan menghantar beliau kembali ke Puri Kanginan. Berselang beberapa hari kemudian ditangkaplah beberapa orang diantaranya Pan Gumiasih yang dianggap sebagai biang keladi kerusuhan itu lalu di hukum buang ke Banyuwangi dan meninggal disana.
I Gusti Bagus Jlantik Patih sempat dipanggil ke Banyuwangi oleh tuan Residen untuk merundingkan hal yang sangat penting perihal pemerintahan. Waktu itu Buleleng di bawah ke-residenan Banyuwangi. Tetapi apa hasil rundingan itu tidak ada yang tahu kecuali Gusti Patih. Tidak lama kemudian I Gusti Made Rai dari puri Sukasada yang pernah duduk sebagai raja juga dipanggil ke kantor Residen di Banyuwangi. Setelah itu dibebaskan pulang ke Puri Sukasada.
Akhirnya baru disadari dan diakui oleh masyarakat luas bahwa I Gusti Bagus Jlantik mempunyai pengaruh sangat besar dalam pemerintahan waktu itu yang juga dipercaya oleh Pemerintah untuk diberi kekuasaan sebagai penguasa lokal. Hanya belum diangkat sebagai raja karena beberapa pertimbangan. Kiranya hal itu dimaklumi juga oleh keluarga Puri Anyar Sukasada.
Berselang beberapa waktu kemudian setelah kejadian yang genting telah lewat, suatu pagi datanglah seseorang bernama I Riama dari desa Bantangbanua yang langsung saja menghadap Patih I Gusti Bagus Jlantik di Puri Kanginan untuk membawa pesan dari I
Gusti Made Rai. Maksudnya supaya tidak lagi saling membenci satu sama lain, antara Puri Anyar Sukasada dengan Puri Bangkang dan Puri Kanginan dan bersama-sama menjaga perdamaian dan kerukunan.
Kepada I Riama diberikan jawaban oleh I Gusti Patih, bahwa pikiran itu sebenarnya sudah ada dari dahulu dalam keluarga Puri Kanginan Bangkang / Tukadmungga, dan sekarang ini tentu dengan sangat tulus menerima perdamaian tersehut.
Entah dari mana asalnya, kemudian muncul gagasan untuk membuat sebuah perjanjian antara mereka itu supaya bisa dibuktikan secara nyata dan bisa dilihat oleh masyarakat umum. Untuk membuktikan keinginan yang baik itu I Gusti Made Rai menghaturkan seorang putrinya bernama I Gusti Ayu Putu Rai ke Puri Kanginan dihantar oleh banyak kerabat dari Puri Anyar sebagai bukti ketulusan hati untuk berdamai dengan I Gusti Bagus Jlantik Patih, serta semua keluarga Puri Kanginan / Bangkang / Tukadmungga. Agar I Gusti Ayu Putu diambil sebagai isteri oleh I Gusti Bagus Jlantik Patih. Berhubung I Gusti Bagus Jlantik sudah tua, lalu I Gusti Ayu Putu dikawinkan dengan I Gusti Putu Geria.
Walaupun sudah sedemikian keadaannya, rupanya kedua belah pihak masih belum puas. Dirasakan masih saja ada perasaan yang mengganjal. Kawatir kalau-kalau kelak kembali terjadi perselisihan. Oleh karena itu digagas untuk mewujudkan satu persumpahan dengan upacara Dewa Saksi di Pura Desa Baleagung untuk berjanji masing-masing kehadapan Ida Hyang Widhiwasa.
ISI DEWA SAKSI:
"BARANG SIAPA DIANTARA KITA MENDAHOELOEI BERMAKSUD ATAU BERNIAT TJOERANG, DENGKI DAN LAIN SEBAGAINJA, DENGAN SENGADJA HENDAK MEMBOEAT DAN MENIMBOELKAN PERMOESOEHAN DIANTARA KELOEARGA POERI KANGINAN- BANGKANG -TOEKADMUNGGA TERHADAP POERI SOEKASADA DAN SEBALIKNYA POERI SOEKASADA TERHADAP POERI KANGINAN-BANGKANG- TOEKADMUNGGA . . . SEMOGA ATAS NAMA TOEHAN JANG MAHA KOEASA MEREKA TERSEBOET TIDAK AKAN MENEMOEI KESEDJAHTERAAN DAN KEBAHAGIAAN POEN KESELAMATAN DALAM HIDOEPNYA SAMPAI KEPADA ANAK TOEROENANNYA".
Demikian is sumpah Dewa Saksi yang disahkan di Pura Desa Bale Agung dengan disaksikan oleh asisten residen Mr. F.C. Valck pada tahun 1876.
Mereka yang hadir dalam Persumpahan itu:
Pihak PuriKanginan-Bangkang-Tukadmungga:
- I Gusti Bagus Jlantik Patih - Puri Kanginan
- I Gusti Putu Intaran - Puri Tukadmungga
- I Gusti Bagus Rai - Puri Tukadmungga
- I Gusti Putu Geria - Puri Kanginan
- I Gusti Nyoman Raka -- Puri Kanginan
- I Gusti Ketut Jlantik -- Puri Kanginan
- I Gusti Made Singaraja - Puri Kanginan
- I Gusti Made Oka - Puri Tukadmungga
- I Gusti Made Selat - Puri Bangkang
- I Gusti Nyoman Jlantik - Puri Bangkang
- I Gusti Ketut Putra - Puri Bangkang
- I Gusti Putu Gde -- Puri Bangakang
- I Gusti Made Jlantik - Puri Bangkang
- I Gusti Putu Intaran - Puri Bangkang
- I Gusti Made Celagi - Puri Bangkang
- I Gusti Nyoman Jlantik - Puri Bangkang
- I Gusti Made Panji -- Puri Bangkang
- I Gusti Nyoman Jlantik -- Puri Bangkang
- I Gusti Ketut Banjar - Puri Bangkang
- I Gusti Pt. Panji Tanjik - Puri Bangkang
Dari Pihak Puri Sukasada:
- I Gusti Made Rai, beserta putra-putra
- I Gusti Bagus Rai
- I Gusti Made Ksatra
- I Gusti Bagus Dalang
- I Gusti Nyoman Karang,
- I Gusti Ketut Rai
- I Gusti Nyoman Jlantik
- I Gusti Made Jlantik,
- I Gusti Nyoman Penarungan, adik no. l
- I Gusti Made Agung, sepupu no. l
KEMBALI DARI PENGASINGAN
I Gusti Ngurah Ketut Jlantik yang menjalani hukuman ekstradisi di Padang Bengkulu, Sumatera mendapat pengampunan dari pemerintah dan dibebaskan tahun 1883. Beliau kembali pulang ke Buleleng setelah 11 tahun dalam pengasingan. Beliau beserta istrinya Jero Terena langsung menjuju rumah tinggal iparnya, I Gde Serangan di Banjar Dangin Peken (sekarang Delod Peken). Banyak kerabat beliau bertamu setiap hari, sehingga perlu mendirikan balai bertiang enam (sakanem). Rupanya tidak cukup satu buah, harus dua buah. Satu untuk keluarga puri Buleleng dan satunya untuk tempat menerima keluarga puri Anyar Sukasada.
Beliau mempunyai seorang putri, yaitu 1 Gusti Ayu Kompyang yang sudah kawin ke Puri Kangianan diperisteri oleh I Gusti Made Singaraja. Dari pasangan ini beliau mendapat seorang cucu putri bernama I Gusti Ayu Mas, lahir 1881 di desa Petemon.
Karena beliau sudah makin tua, dengan dorongan dari pihak keluarga pada tahun 1890 beliau masuk ke puri Gde.
Kehidupan dalam istana rupanya hanya untuk waktu 3 tahun. Karena pada tahun 1893, I Gusti Ngurah Ketut Jlantik wafat. Upacara pelebon dilaksanakan di puri Gde dan diselenggarakan oleh isterinya, Jero Terena beserta I Gusti Bagus Jlantik patih dengan dukungan seluruh famili.
Dalam kehidupan yang sepi di puri Gde, Jero Terena mengajak beberapa orang keponakan, yaitu I Gusti Bagus Panji, 1 Gusti Made Putra dan I Gusti Ayu Nyoman Seming.
Dengan didampingi sehari-hari oleh keponakan dari pihak pradana (perempuan), Jero Trena mendapat tudingan yang menilai kurang tepat. Sepatutnya Jro Trena mendekatkan diri kepada keluarga pihak purusa (laki-laki). Sistem kepurusa membuat Jero Trena mendekat kepada keluarga Puri Kanginan. Atas dukungan keluarga itulah, cucunya yang sedang remaja berparas ayu I Gusti Ayu Mas dikawinkan dengan 1 Gusti Bagus Surya dari Puri Kanginan, putra I Gusti Nyoman Raka. Perkawinan dilaksanakan secara meriah dan besar-besaran. I Gusti Bagus Surya beserta isteri tidak lama kemudian masuk ke Puri Gde dan tinggal bersama Jero Trena, neneknya yang menjadi mertuanya .
MEMBANGUN PURI DI BANJAR PENATARAN
I Gusti Wayan Jlantik sebagai Sedahan Agung tinggal menetap di puri Bangkang. Karena sungai Banyumala airnya deras dan sering banjir maka terkadang sulit untuk menyeberang menuju kantornya, maka I Gusti Wayan Jlantik dipersilahkan untuk ikut tinggal di Puri Kanginan, namun beliau menolak. Putra beliau, I Gusti Made Jlantik setelah menggantikannya sebagai Sedahan Agung, membuat Puri di Banjar Penataran pada tahun 1886. Beliau tinggal di Puri Penataran bersama isteri dan putra putrinya. Putri beliau yang bernama I Gusti Ayu Bulan kawin dengan I Gusti Made Dangin yang tidak lain keponakan beliau juga. Pasangan ini diberikan tempat tinggal di pekarangan puri Penataran disebelah Utara.
MEMBANGUN PURI KELODAN TUKADMUNGGA
Perkembangan juga terjadi di keluarga Puri Tukadmungga. Setelah wafat I Gusti Nyoman Jelantik Sedahan yang ber-puri di Tukadmungga, kakak kandung I Gusti Bagus Jelantik Patih, digantikan oleh putranya yang bernama I Gusti Putu Selat.
I Gusti Putu Selat pada tahun 1890 membangun puri baru di sebelah Utara (kelod). Kemudian putranya, I Gusti Made Raka membangun puri di desa Kalibukbuk yang dilanjutkan oleh putranya bernama I Gusti Bagus Kartika (generasi 11).
I GUSTI “PATIH” WAFAT
Sangat disayangkan, bahwa Gusti Patih, demikian julukan I Gusti Bagus Jlantik, setelah menderita sakit yang mengakibatkan beliau wafat pada tahun I887 di Puri Kanginan. Dengan bepergiannya I Gusti Bagus Jlantik untuk selama-lamanya, seluruh masyarakat Buleleng khususnya keluarga Puri Tukadmungga (Puri Kanginan) dan keluarga Puri Bangkang diliputi mendung kesedihan. Pelebon besar diselenggarakan di Puri Kanginan. Banyak jenazah yang diangkat dan ikut dipelebon antara lain kakak beliau I Gusti Putu Batan, putra beliau I Gusti Putu Intaran dan juga adik beliau I Gusti Ayu Panji (Anak Agung Isteri Parameswari) isteri almarhurn I Gusti Ngurah Ketut Djlantik (Anak Agung Padang).
I Gusti Putu Gria yang baru saja menjabat punggawa distrik Buleleng merasa sangat kehilangan orang tua. Demikian juga adik-adiknya, I Gusti Nyoman Raka dan I Gusti Ketut Jlantik dan banyak saudara sepupu merasa nasibnya tidak menentu. Diantara putra-putra puri Kanginan itu ada yang mencoba mengadu nasib ke luar tembok puri yaitu mengadakan usaha ke desa untuk bertani.
I Gusti Made Singaraja yang beribu Jero Tarnan dari desa Selat (Sukasada) beserta adiknya I Gusti Ketut Putu yang jadi guru di Selat membeli tanah di pegunungan Keliki di atas desa Panji.
I Gusti Putu Geria jadi Punggawa Kota Buleleng, adiknya I Gusti Nyoman Raka jadi kanca pada kantor Raad van Kerta, Punggawa Sukasada dan terakhir punggawa Buleleng. Adiknya yang satunya, I Gusti Ketut Jlantik beserta kakak sepupu (juga iparnya) yaitu I Gusti Putu Selat dari Puri Tukadmungga, bersama-sama membuat puri di desa Kalibukbuk dan berkebun.
Sedangkan I Gusti Ketut Gde dari Puri Tukadmungga (Puri Kaler) membeli kebon kelapa di Gerokgak.
MELEBAR SAMPAI KE LOMBOK
Melalui perang yang sengit maka tahun 1894 pihak Belanda akhirnya berhasil menaklukkan kerajaan Lombok. Untuk memantapkan pemerintahan Belanda di pulau yang baru ditaklukkan itu perlu didudukkan pejabat yang sudah berpengalaman memimpin dan sebisanya harus berasal dari Bali. Maka dipilihan Belanda jatuh pada I Gusti Putu Geria dari Puri Kanginan Buleleng yang selama ini menjabat Punggawa Buleleng untuk dibertugaskan di Lombok.
Pada tahun 1895 I Gusti Putu Geria mulai hertugas di Lombok. Bermula sebagai punggawa kemudian diangkat Patih bertempat di puri Agung Ukir Kawi Cakranegara. Ikut juga putra beliau 1 Gusti Putu Jlantik yang waktu itu masih berumur 15 tahun. Di Lombok beliau merasa asing dan kesepian. Lalu beliau teringat akan adik sepupu yang bernama I Gusti Ketut Putu yang sejak tahun 1888 tinggal di Banyuwangi, menjalani keputusan pengadilan agama, melanggar hukum adat karena kawin dengan seorang putri kasta brahmana Ida Ayu Ketut Mas dari Griya Mas.
I Gusti Putu Geria minta kepada pemerintah Belanda agar I Gusti Ketut Putu bisa dipindahkan ke Lombok. Permintaan itu langsung disetujui oleh pemerintah waktu itu. Tak lama kemudian I Gusti Ketut Putu berserta isteri dan putranya segera meninggalkan Banyuwangi menuju pulau Lombok. Pertama mendapat pekerjaan sebagai Pekasih di desa Pemepek kemudian diangkat Sedahan Agung. Pernah diberi tugas ke beberapa kota di Bali antara lain Tabanan sebagai pengawas keuangan, namun tidak menetap. Selesai tugas beliau kembali ke Lombok.
Seorang dari keluarga Puri Tukadmungga (Puri Kaleran) yaitu I Gusti Made Cakranana (adik I Gusti Ayu Kopang) ikut dan lama menetap di Lombok. Setelah umur tua beliau kembali pulang ke Tu.kadmungga dan akhirnya wafat di Puri Tukadmungga.
Pasangan I Gusti Ketut Putu bersama isterinya yang telah berubah nama menjadi Ratu Istri Maswidi mempunyai seorang putra yang lahir tahun 1886 di Banyuwangi bernama I Gusti Bagus Kawi Blambangan, yang kemudian tahun 1930-1950 menjadi punggawa di Cakranegara.
Tahun 1900 menyusul I Gusti Made Singaraja, juga dari Puri Kanginan Singaraja beserta keluarga besar dengan putra putrinya menyusul ke Cakranegara Lombok dan seterusnya menetap disana.
I Gusti Nyoman Berata, putra I Gusti Made Singaraja mendapat jabatan pertama sebagai sedahan. Kemudian ketika pemerintah hendak mengangkatnya menjadi Punggawa mendapatkan beberapa hambatan dan akhirnya beliau ingin tetap sebagai sedahan saja sampai pensiun.
Patih Cakranegara, I Gusti Putu Geria setelah cukup lama menunaikan tugasnya di Cakranegara, mulai tahun 1912 sering pulang kepurinya di Singaraja. Belaiu membawa sebuah bangunan bertiang delapan yang bernama Bale Mas. Bale Mas itu dibangun berimpitan dengan Bale Ageng Singasari, tepat pada lokasi bekas Gedong Betel Pamereman I Gusti Bagus Jlantik Patih yang sudah lama roboh.
Beliau adalah pencinta benda pusaka dengan membawa banyak benda-benda pusaka peninggalan berbagai ragam keris. Beliau masih bolak baiik ke Cakranegara Lombok mengurusi miliknya di sana, bangunan puri Ukirkawi dan juga sederetan toko berjumlah 12 pintu. Beliau resmi pensiun tahun 1914 dan menetap kembali di Puri Kanginan, Singaraja.
Setelah copy-paste, mohon disebutkan sumber naskahnya, http://buleleng.com
BalasHapus