Google+

Perjalanan Trah Keturunan I Gusti Ngurah Panji Sakti - Babad Buleleng 1

Trah Keturunan I Gusti Ngurah Panji Sakti

I Gusti Ngurah Panji Sakti, istana Puri di desa Panji (pertama). Menyatukan wilayah Den Bukit menjadi kerajaan Buleleng. Sempat melebarkan kekuasaan dengan pasukan Teruna Gowak dibawah panglima perang Ki Tamblang Sampun dan KI Gusti Batan sampai ke Blambangan dibawah kekuasaan putranya: I Gusti Ngurah Panji Gde Danudarastra Membangun Puri Sukasada di Sangket. Putrinya, I Gusti Ayu Panji kawin dengan I Gusti Agung Anom di Kapal, Mengwi.

PERISTIWA SEMETON KALIH

Peristiwa yang tidak diinginkan atau yang lebih tepat disebut tragedi sejarah yang menggurat kerajaan Den Bukit adalah sengketa antara dua pihak yang masih keluarga terdekat. Yaitu perselisihan antara dua orang yang diketahui masih dalam hubungan bersaudara, dan mereka merupakan keturunan ke 4 pendiri kerajaan Buleleng I Gusti Ngurah Panji Sakti. Yang lebih tua bernama I Gusti Ngurah Panji yang beristana di puri Sukasada di desa Sangket dan yang muda bernama 1 Gusti Ngurah Jlantik yang bersemayam di puri Buleleng. 


Perselisihan yang dipicu perebutan kekuasaan dan langsung dicampuri pihak ketiga, yaitu pihak kerajaan Karangasem yang akhirnya memuncak menjadi perang terbuka antara dua raja bersaudara ini sampai berakibat gugurnya seorang diantaranya. Sungguh suatu kejadian yang sangat disesalkan oleh siapa saja, terutama oleh sanak keluarga mereka sendiri, bahkan sampai ke anak buyut. Perjuangan leluhur mereka I Gusti Ngurah Panji Sakti yang pernah menyatukan seluruh wilayah Den Bukit melalui segala bentuk pengorbanan bersama pemuka wilayah dengan dukungan seluruh rakyat sehingga menjadi satu kesatuan sampai terbentuk apa yang dikenal dengan kerajaan Buleleng, sekarang menjadi porak poranda. Sudah tentu selanjutnya akan berakibat juga pada tatanan keluarga kerajaan Buleleng yang terpecah belah yang sampai saat ini masih berdampak nyata. Bukan saja berakibat kurang harmonisnya hubungan persaudaraan diantara mereka tetapi juga sampai pada masalah sosial religius seperti sidikara, sampai pada pelaksanaan upacara di pamerajan kawitan di desa Panji. Sadar akan dampak yang berkepanjangan dari kejadian tersebut keturunan berikutnya telah melakukan berbagai cara pendekatan antara dua kelompok tersebut secara terus menerus seperti di uraikan dalam bab berikutnya. Usaha pendekatan sudah membuahkan beberapa hasil, namun rupanya permasalahan yang dianggap prinsip masih ada yang membekas, sekalipun telah melewati kurun waktu hampir duaratus lima puluh tahun.

Namun bagaimanapun juga, sudah sepatutnya, bagi mereka prati sentana I Gusti Ngurah Panji Sakti, perlu kiranya direnungi dan dicoba untuk meniti kembali asal muasal yang mendasari kejadian tersebut diatas. Belum tuntas rasanya dengan apa yang diuraikan oleh babad mengenai dasar perselisihan kedua raja bersaudara tersebut. Karena dasar pengertian kita sekarang adalah, bahwa dasar pertikaian mereka berdua adalah memperebutkan wilayah kerajaan. Masing-masing mau menang sendiri secara mutlak. Akan tetapi bila diungkap lebih dalam lagi rupanya ada bobot nilai tradisi (traditional value) yang menjadi dasar perseteruan, yaitu perbedaan status yang pada jaman itu yang aturannya masih berlaku dan dijalankan secara teguh.

RAJA KARANGASEM YANG CERDIK

Rupanya klan pihak keluarga raja Karangasem sangat jeli melihat kondisi ini yang merupakan satu celah yang memberi peluang yang sangat baik untuk bisa masuk ke tengah medan perseteruan keluarga dua raja ini, untuk memecah kerajaan Buleleng. Apalagi generasi ke-empat dari keturunan I Gusti Anglurah Panji Sakti sudah menerima proses siklus pasca kejayaan. Kondisi ini dilihat jelas oleh pihak kerajaan Karangasem. Sangat berbeda dengan kondisi kerajaan Karangasem waktu itu yang memang sudah menuai suksesnya memperluas kekuasaanya sampai ke Lombok. Dengan memiliki potensi untuk bisa melebarkan kekuasaannya ke wilayah lain seperti Buleleng ini apalagi didukung oleh para punggawa dan laskar kerajaan Karangasem yang sedang memiliki puncak loyalitas dan mobilitas tinggi.

Dalam suatu upacara di hari purnama di Pura Besakih, hadir Raja Karangasem I Gusti Ngurah Gde Karang beserta para punggawa lengkap dari kerajaan Karangasem. Dalam kesempatan itu diadakan acara pertemuan untuk berbincang-bincang. Setelah banyak hal yang penting dibicarakan, pada waktu mengakhiri pertemuan, Raja membagikan buah mangga kepada masing-masing punggawa. Berselang berapa waktu kemudian dalam acara persidangan berikutnya Raja sempat menanyakan kepada para punggawa bagaimana rasanya buah mangga yang beliau berikan beberapa waktu yang lalu. Semua memuji dengan mengatakan manis, enak, gurih dan sebagainya. Hanya seorang yang berkomentar lain, yaitu Punggawa I Gusti Ngurah Sibetan. Punggawa yang satu ini mengatakan bahwa mangga tersebut cukup ranum dan tidak dimakan melainkan dipakai bibit untuk ditanam, supaya ada kenang-kenangan dari baginda Raja kelak di kemudian hari. Raja sangat kagum kepada punggawanya ini. Maka diberikan nama julukan Wiweka. I Gusti Ngurah Sibetan "Wiweka" ini kemudian dipercaya untuk mengadakan pendekatan kepada kedua raja bersaudara kerajaan Buleleng yang sedang dilanda sengketa. Ditunjuklah I Gusti Lanang Dauh untuk mengadakan pendekatan kepada ke dua orang raja Buleleng yang sedang bersitegang. Dengan menunjukkan latar belakang historis dan jalinan garis kekerabatan yang masih dekat antara keluarga kerajaan Buleleng dan keluarga kerajaan Karangasem, pihak Karangasem berusaha menanamkan kaidah-kaidah dresta yang mengatur suksesi dalam kerajaan. Namun petuah itu pada saat seperti ini bukan untuk mendekatkan dan memperbaiki situasi hubungan antara I Gusti Ngurah Panji dan I Gusti Ngurah Jlantik, malahan membuat kemelut. Bahkan berakibat memecah persaudaraan kedua raja Buleleng tersebut. Ditambah lagi dengan cara menampilkan sosok wanita cantik untuk menambah manis tutur kata I Gusti Lanang Dauh.

Dengan cara meyakinkan akhirnya I Gusti Nguralt Jlantik tergiring dan mengikuti skenario yang dibuat pihak Karangasem. Entah versi bagaimana lagi yang dihembuskannya kepada pihak I Gusti Ngurah Panji di puri Sukasada sehingga membuat perseteruan dua raja bersaudara itu memanas yang akhirnya tersulut menjadi perang yang tidak terelakkan.

MENANG ARANG, KALAH ABU.

Perang yang disebut "Peristiwa Semeton Kalih" berakhir di tahun 1765 dengan gugurnya I Gusti Ngurah Panji raja yang di puri Sukasada. Dengan demikian kemenangan ada di pihak I Gusti Ngurah Jlantik yang beristana di puri Buleleng.

Keberhasilan dicapai dengan bantuan penuh dari kerajaan Karangasem dengan pasukan laskarnya yang telah terlatih. Di kedua belah pihak banyak korban yang gugur dan luka ­luka di medan perang yang sengit.

Sebagaimana tercantum dalam kesepakatan antara pihak raja Buleleng dengan pihak Karangasem yang menyebutkan bahwa, bilamana pihak I Gusti Ngurah Jlantik dengan bantuan pihak Karangasem berhasil menang, maka pihak Karangasem berhak mendapat wilayah di Buleleng dan ikut dalam sistem pemerintahan di Buleleng. Selain itu pihak Karangasem juga harus mendapat sarin tahun atau bagian dari hasil pajak.

Maka untuk selanjutnya, wilayah kerajaan Buleleng tidak tagi dikuasai sepenuhnya oleh para sentana I Gusti Ngurah Panji Sakti. Wilayah Karangasem kemudian diperluas dengan menggeser perbatasan wilayah Karangasem ke arah Barat sampai di Kubutambahan. Kubutambahan sendiri masuk wilayah kerajaan Buleleng. Kerjasama di bidang pemerintahan dijalankan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat. I Gusti Ngurah Jlantik duduk sebagai raja Buleleng sedangkan dari pihak Karangasem, I Gusti Ketut Karangasem sebagai patih. Disamping itu banyak pejabat lain dibawa dari Karangasem ikut di Buleleng.

Raja I Gusti Ngurah Jlantik banyak mempunyai putra dan putri yang masih muda usia. Yang pertama sebagai putra mahkota adalah I Gusti Bagus Jlantik Banjar yang menurut garis keturunan mempunyai hak dan kewajiban kelak kemudian menggantikan kedudukan ayahandanya sebagai raja. Putra yang ke dua adalah 1 Gusti Ngurah Jlantik Muna, yang ketiga I Gusti Ketut Jlantik, kemudian ada lagi I Gusti Made Jlantik, I Gusti Ketut Panji. Dua orang putri yaitu 1 Gusti Ayu Muter dan l Gusti Ayu Jlantik. Waktu itu raja I Gusti Ngurah Jlantik bersemayam di Puri Buleleng yaitu Puri yang aslinya dibangun oleh I Gusti Anglurah Panji Sakti yang terletak di tegalan buleleng.

Dari waktu ke waktu tekanan pihak Karangasem makin berat terhadap raja I Gusti Ngurah Jlantik. Kendati dalam kondisi seperti itu mereka tetap berusaha menjaga eratnya tali persaudaraan diantara mereka karena menyadari bahwa telah terjadi suatu kekeliruan yang sangat besar yang menimpa nasib mereka. Apa boleh dikata, semua sudah terlanjur. Masih ada yang bisa disyukuri, rakyat Buleleng pada umunya masih tetap setia dan bersama-sama berusaha agar keadaan tidak menjadi lebih parah lagi.

RAJA BULELENG I GUSTI NGURAH DJLANTIK WAFAT.

Sang waktu terus berjalan tanpa mengenal henti. Raja Den Bukit I Gusti Ngurah Jlantik tiba-tiba saja jatuh sakit tanpa ada yang mengetahui sebab musababnya dan akhirnya meninggal dunia pada tahun 1780. Pihak keluarga yang ditinggalkan sangat terkejut demikian juga rakyat Buleleng. Berhubung dengan msibah mendadak itu, kecurigaan masyarakat timbul, mungkin beliau mendapat tekanan oleh I Gusti Ketut Karang sehingga beliau menderita bathin hingga jatuh sakit yang akhirnya wafat. Kemungkinan juga beliau sengaja diracun atau diperdaya. Tetapi yang jelas setelah meninggalnya raja, tekanan terus dilakukan kepada keluarga dan kepada seluruh keturunan I Gusti Anglurah Panji Sakti.

Dengan telah wafatnya raja Buleleng I Gusti Ngurah Jlantik, salah seorang putranya bernama I Gusti Made Jlantik yang juga berhak atas kerajaan Buleleng mulai melakukan pengambil alihan kekuasaan sebagai putra mahkota kerajaan Buleleng. Namun di dalam keluarga di Sukasada sendiri juga muncul I Gusti Nyoman Penarungan yang lebih ambisius dan menuntut hak juga atas takhta kerajaan di Den Bukit. Dengan muncul persaingan di dalam keluarga Sukasada maka pihak penguasa Karangasem sekali lagi mendapat peluang untuk lebih mencengkeram kukunya di Den Bukit. Karena tidak terlalu sulit untuk memukul yang satu terlebih dahulu kemudian yang lain. Kekuasaan I Gusti Made Jlantik dan I Gusti Nyoman Penarungan dapat dipatahkan. I Gusti Made Jlantik akhirnya melarikan diri dan mengungsi ke Marga dan wafat setelah pindah ke Perean. I Gusti Nyoman Penarungan mengungsi ke Lombok dan menetap di sana.

DI GUSUR KE DESA BANGKANG.

I Gusti Ketut Karang sebagai Patih kerajaan Buleleng meneruskan tugas-tugasnya sebagai penguasa tunggal. Sedangkan putra dan putri almarhum raja Buleleng I Gusti Ngurah Jlantik, yang kesemuanya masih muda usia itu disingkirkan keluar dari Puri Buleleng. Mereka dibuatkan bangunan puri di tepi sebelah Barat Yeh Mala (sekarang sungai Banyumala) yang sekarang dikenal dengan desa Bangkang. Para pengawal dan pengikut yang setia tidak begitu saja melepaskan keturunan I Gusti Ngurah Panji Sakti, namun senantiasa berdekatan bersama-sama tinggal di sekitar puri Bangkang. Tetapi pihak Karangasem juga menempatkan orang­-orangnya di sekitar desa Bangkang.

SELESAI TANAH DIBAJAK BIBIT DITANAM.

Tahun 1793 wilayah Buleleng sepenuhnya dikuasai Karangasem dan nama kerajaan lebih di kenal dengan nama kerajaan Buleleng. Karena sudah selesai masa tugasnya sesuai dengan yang telah digariskan oleh raja di Karangasem, I Gusti Ketut Karangasem yang sudah bertugas selama lebih kurang 20 tahun sudah waktunya untuk diganti. Sebagai pengganti adalah oleh I Gusti Nyoman Karang (Pasedahan) yang kemudian ternyata dalam menjalankan politiknya pemerintahannya lebih halus dengan cara pendekatan kekeluargaan. I Gusti Nyoman Karang dinobatkan sebagai Raja Buleleng I dalam rezim Karangasem. Keadaan wilayah kerajaan Buleleng pada waktu itu dalam keadaan cukup aman dan sentosa.

Usia putra putri raja yang dulu diasingkan oleh I Gusti Ketut Karangasem di sebelah Barat Yeh Mala, sudah beranjak dewasa. Memang pihak Karangasem mempunyai pemikiran yang brilian untuk bisa menguasai Buleleng. Untuk lebih menguatkan kedudukan raja asal Karangasem tersebut dan untuk mengambil simpati yang lebih dalam, raja Buleleng yang baru ini memperisteri I Gusti Ayu Muter. Sedangkan adiknya yaitu I Gusti Ayu Jlantik dibawa ke Karangasem dan menjadi permaisuri seorang bangsawan dari keluarga raja Karangasem.

Kemudian 1 Gusti Bagus Jlantik Banjar diangkat sebagai Patih kerajaan dan I Gusti Made Panji Muna sebagai Wakil Patih / Sedahan Agung kerajaan Buleleng.

Sedangkan yang nomor tiga yaitu I Gusti Ketut Jlantik dijadikan punggawa di Kubutambahan. Desa Kubutambahan yang berada di sebelah Timur dekat dengan perbatasan Karangasem sengaja dibentuk sebagai pusat pemerintahan kerajaan Buleleng dari pihak keturunan Panji Sakti.

Dipihak lain, para sentana I Gusti Ngurah Panji Sakti menyadari situasi pada waktu itu dan berusaha mencoba menata kembali pembagian tugas pemerintahan dengan cara sebaik-baiknya sebagaimana telah digariskan oleh aturan yang telah mereka miliki yang ada di lingkungan keluarga kerajaan Buleleng sendiri. Tentu saja tidak bisa lepas dari pengawasan dan koordinasi dari pihak raja I Gusti Nyoman Karang.

I GUSTI GDE KARANG RAJA BULELENG II

I Gusti Nyoman Karang meninggal dunia pada tahun 1808, dan beliau digantikan oleh kakaknya yang bernama 1 Gusti Gde Karang, sebagai Raja Buleleng II dari dinasti Karangasem. Raja ini dikenal keras dan tegas. Berwawasan luas dan berambisi kuat untuk mengadakan ekspansi dan memajukan ekonomi. Diceritakan juga konon beliau tidak segan-segan mengorbankan jiwa manusia dan anak-anak sebagai caru dalam upacara buta yadnya.

Karena merasa sudah memiliki kekuatan sendiri, I Gusti Gde Karang melepaskan diri dari kerajaan Karangasem. Malahan wilayah kerajaan Karangasem sempat berada di bawah kekuasaan raja I Gusti Gde Karang. Adiknya yang bernama I Gusti Ngurah Lanang sebagai raja Karangasem.

KONTAK DENGAN ORANG ASING

Pada jaman pemerintahan I Gusti Gde Karang ini perdagangan di Buleleng mengalami kemajuan dengan mulainya pelayaran kapal-kapal asing yang singgah di pantai Buleleng. Beliau pada mulanya berpuri di daerah Pabean dekat pelabuhan.

Wilayah Jembrana pernah dikuasai dengan menyerang kerajaan tersebut, rajanya dibunuh dan purinya dihancurkan. Kemudian mengusir orang-orang Bugis di Loloan dan sekitamya. Kebetulan kerajaan Inggris di negeri Malaka waktu itu sedang mengembangkan kekuasaannya yang dikendalikan oleh Sir John Stamford Raffles sewaktu menjabat sebagai letnan gubernur di Jawa sangat tertarik kepada budaya Jawa. Setelah tahun 1811 sempat melihat Bali yang akhirnya jatuh cinta pada Bali. Bahkan terdengar bahwa pihak Inggris ingin menguasai pulau Bali dan merencanakan akan membangun kota pelabuhan dengan nama Singapura di Buleleng ini. (Catatan) Pihak raja I Gusti Gde Karang tertarik dan mulai dengan pembangunan sarana pelabuhan. Disamping itu beliau mulai membuka areal puri baru yang lebih besar, namun tidak sampai selesai, karena timbul beberapa masalah di walayah kerajaan Buleleng.

Pihak Raffles minta agar penjualan budak dihentikan sama sekali. I Gusti Gde Karang menolaknya dengan tegas. Untuk menekan raja, tahun 1814 Raffles memerintahkan angkatan laut Inggris dibawah pimpinan Jendral Nightangale datang ke Buleleng dengan beberapa kapal perang, namun tidak terjadi pertempuran. Pihak Belanda sudah lebih dahulu melakukan ekspansinya di Indonesia dan pihak Inggris tidak ingin mendapat masalah dengan Belanda. Ikut campurnya pihak asing menjadikan penghasilan Raja Buleleng I Gusti Gde Karang turun drastis.

MUSIBAH BANJIR

Rupanya nasib baik belum berpihak kepada raja I Gusti Gde Karang. Akibat letusan gunung Tambora di Sumbawa pada hari Rebo tanggal 22 April 1815, mengakibatkan di tahun itu wilayah Buleleng tertutup abu, sawah ladang sampai kehalaman rumah penduduk. Kemudian, hujan turun beberapa hari tiada henti menyebabkan air danau meluap mengakibatkan banjir besar pada malam hari. Dinding di sebelah Utara danau Buyan pecah dan air bah melanda segala bentuk apapun yang menghalangi dibawahnya. Sejumlah desa dihanyutkan banjir lumpur dan lenyap dari atas bumi. Ribuan nyawa melayang. Jenazah hanyut dan tertimbun lumpur. Puri Sukasada hancur dilanda banjir lumpur. Keluarga keturunan Ki Gusti Anglurah Panji Sakti yang tinggal di Puri Sukasada banyak yang jadi korban bencana tersebut. Demikian juga mereka yang tinggal di pinggir Sungai Banyumala (dulu Yeh Mala) yaitu yang ada di puri Bangkang seperti I Gusti Bagus Jlantik Banjar beserta keluarga dan I Gusti Made Panji Muna beserta keluarga semuanya wafat tertimbun lumpur. Keluarga lainnya yaitu I Gusti Ketut Jlantik yang jadi punggawa di Kubutambahan tidak terkena musibah karena lokasinya jauh di sebelah Timur. Banyak desa yang yang mulanya subur tersapu tanpa sisa atau tertimbun lumpur setebal 1 sampai 3 meter, antara lain desa Kedu, Mendala, Gendis, Tepok Basa, Sambangan, Bangkang, Galiran, Panji, Pebantenan, Bratan, Banjar Banua, Banjar Tengah, Banjar Badung, Banjar Bungkulan, Sukasadi, Buleleng, dan lainnya. Korban meninggal tercatat 12.000 orang.

Akibtanya Buleleng mulai terkena paceklik. Sawah dan ladang hancur, rakyat kehilangan rumah serta isinya. Tahun 1816 adalah tahun malapetaka bagi pertanian. Kelaparan dan penyakit mewabah.

Catatan: Letusan gunung Tambora adalah terdahsyat di dunia, selama jaman peradaban manusia. Sebanyak 92.000 manusia menjadi korban meninggal. Mengeluarkan 150,000,000,000 kubik meter abu ke seluruh dunia. Kira-kira 150 kali dibandingkan letusan Saint Helena 1980. Iklim di Eropa menjadi sangat dingin sepanjang tahun yang disebut “Year Without a Summer”

Dengan banyaknya keluarga puri Bangkang yang menjadi korban musibah banjir, maka jabatan patih beralih kepada I Gusti Ketut Jlantik yang berpuri di Kubutambahan. Menyusun tatacara pemerintahan, peraturan adat. Jabatan diteruskan kepada generasi berikutnya.

Dalam suatu ketika di tahun 1818, I Gusti Gde Karang pergi Jembrana. Pasukan kerajaan Jembrana dibawah pimpinan I Gusti Ngurah Putu Jembrana, putra raja yang dibunuh dulu, secara diam-diam sudah menunggu lengkap dengan senjata. Sesampai di desa Pengambengan I Gusti Gde Karang dikeroyok secara tiba-tiba sehingga wafat di Pengambengan (Dewata di Pengambengan)

RAJA ANGKARA MURKA

Dengan wafatnya I Gusti Gde Karang, Raja Buleleng II pada tahun 1818, langsung tahun itu juga diganti oleh putra kandungnya yang bernama I Gusti Karang Paang Canang. Tidak disebutkan apakah berliau disebut sebagai Raja Buleleng III.

Selanjutnya diceritakan, bahwa baru dinobatkan I Gusti Karang Paang sudah menerima kejayaan dari ayahandanya, I Gusti Gde Karang almarhum. Beliau melanjutkan pembangunan puri baru di sebelah barat jalan (…ri kulwaningnu ). Puri yang dibangun oleh I Gusti Karang Paang ini sebenarnya, seperti telah diceritakan terdahulu dirancang oleh ayahandanya I Gusti Gde Karang almarhum. Ternyata raja I Gusti Paang Canang mempunyai perilaku kurang wajar, yaitu jatuh cinta pada saudara perempuannya bernama I Gusti Ayu Kamarukan (Gabrug) dan dijadikan isteri. Ini yang disebut gamia-gamana, musuh peradaban manusia.

KEKEJAMAN RAJA I GUSTI PAANG CANANG

Seorang keturunan I Gusti Ngurah Panji Sakti bernama I Gusti Bagus Ksatra secara baik-baik menghaturkan ikan udang. Dasar I Gusti Karang Paang yang kurang waras, lkata udang diartikan "nyuudang" atau memberhentikan sebagai raja. I Gusti Bagus Ksatra yang bermaksud baik itu langsung dibunuh. Rakyatpun mulai memberontak. Pada suatu malarn ada tontonan wayang kulit di halarnan puri, dalangnya I Guliang dari desa Banjar. Kesempatan ini dipakai rakyat untuk memberontak dan membunuh raja. Pasukan bersenjatapun sudah siap. Tetapi raja sampai jauh rnalarn tidak keluar nonton wayang. Orang banyak rnulai ribut. Tiba-tiba kain kelir wayang ditusuk sampai berlobang. Jero Dalang Guliang dari Banjar itu terkejut luar biasa. Jero Dalang yang tangannya masih memegang wayang Bhimasena dan Tualen lari dengan kaki pincang karena di jari kakinya masih terselip "ketokan". Banyak orang yang terluka pada malam naas itu.

Keluarga dari Sangket dan Buleleng bergabung lalu menyerbu bersamaan ke dalam puri, tetapi puri sedang kosong dan gelap gulita. Hanya ada seorang parekan bernarna I Ketut Karang dari Penataran yang mernberitahukan, bahwa raja tidak ada di puri entah kemana. Akhirnya orang banyak itu pun pulang kerumah rnasing-masing.

Besok paginya I Gusti Karang Paang sudah duduk di balairung mengadakan pertemuan dengan para punggawa. Perintah raja adalah agar keturunan Panji Sakti, semuanya tanpa kecuali, tua muda, besar kecil supaya semuanya dibunuh. Maka kalang kabutlah para sentana I Gusti Anglurah Panji Sakti. Mereka yang di Sangket lari ke desa Kapal Mengwi, yang di Bangkang lari menyelamatkan diri ke desa Soka Tabanan. Mereka yang di Kubutambahan mengungsi ke desa Pakisan. Ada juga yang lari ke Lombok. Ada juga yang menyelamatkan diri di keluarga muslim yang kemudian beralih kepercayaan dengan memeluk agama Islam.

Keadaan wilayah Buleleng makin tak menentu. Musim tidak cocok lagi. Hasil pertanian seperti hasil sawah rusak dan tanaman di tegal tidak berhasil. Penyakit wabah merajalela banyak khewan piaraan yang mati. Ini karena ulah "gamya-gamana" sang raja I Gusti Karang Paang.

BERAKHIRNYA SI RAJA LALIM

Rakyat sekali lagi berontak dengan kekuatan dan tekad yang lebih besar. Mereka menyerbu puri Gde. Namun Raja sudah lebih dulu waspada. Beliau sudah dalam perjalanan kembali ke Karangasem. Di dalam perjalanan mereka sempat berhenti di Kubutambahan selama beberapa hari. Beliau disembunyikan dan dilindungi oleh pejabat kerajaan di Kubutambahan dari kejaran rakyat. Konon seorang selir raja yang hamil tua yang ikut dalam perjalanan melahirkan seorang anak laki-laki di Kubutambahan.

I GUSTI KARANG PAANG DIBUNUH

Sesampai I Gusti Karang Paang di Puri Karangasem langsung beliau menuju Balai Rum di Puri Ageng. Orang-orang di Karangasem sudah mengetahui kelakuan raja yang cacat moral itu. Raja Karangasem menjatuhkan hukuman mati kepada I Gusti Karang Paang dan hal ini sudah mendapat persetujuan dari Sesuhunan Bali di Kelungkung. Raja Karangasem I Gusti Ngurah Lanang tidak lain adalah pamannya dan sekaligus musuhnya melakukan sendiri eksekusi terhadap I Gusti Karang Paang. Tetapi tidak mudah karena I Gusti Karang Pahang ilmunya tinggi dan kebal senjata. Rupanya ilmunya ada di ikat pinggangnya. Maka sewaktu beliau sedang bersantap dan ikat pinggangnya dilepas, dikala itu beliau kepalanya dipenggal dan ditombak beberapa kali dari muka dan belakang sehingga darahnya muncrat mengenai dinding, pintu dan langit-langit Balai Rum itu. Itu terjadi pada tahun 1823. Konon darah itu membekas sampai sekarang. Seorang Belanda Dr. Medhurst menceritakan kekejaman eksekusi itu secara mendetil ditulis di harian Singapore Chronical June 1830.

Sementara itu keluarga besar prati sentana 1 Gusti Ngurah Panji Sakti sempat menyelenggarakan upacara pelebon secara sederhana untuk mereka yang menjadi korban kejaliman raja I Gusti Karang Paang. Antara lain I Gusti Bagus Ksatra, I Gusti Bagus Jlantik Kalianget dan semua jenazah Jenazah seluruhnya dipelebon di Tukadmungga pada tahun 1823.

Semenjak itulah, keturunan I Gusti Ngurah Panji Sakti yang dulu cerai berai berada di desa Soka Tabanan, di Pakisan dan desa lainnya, kembali ketempat asalnya masing-masing beserta rakyat pengiringnya. Mereka yang dulu mengungsi ke desa Soka Tabanan kembali ke desa Bangkang seperti I Gusti Nyoman Pandji, I Gusti Ketut Djlantik Prasi. Sedangkan I Gusti Bagus Djlantik Batupulu beserta adiknya I Gusti Made Batan tidak kembali ke Bangkang, melainkan membangun puri di desa Tukadmungga meneruskan rencana ayahnya I Gusti Bagus Jlantik Kalianget dan tinggal menetap disana, kemudian membangun merajan sendiri.

Mereka yang mengungsi ke desa Kapal Mengwi di antaranya ada yang terus ke Lombok dan menetap disana. Dan I Gusti Putu Kari (Kebon) berserta keluarga lainnya yang dahulu mengungsi ke desa Pakisan kembali ke Kubutambahan.Keluarga yang sudah mengalih ke agama Islam tinggal di Kampung Kajanan Singaraja.

Dalam kurun waktu beberapa tahun setelah itu singgasana di istana kerajaan Buleleng sempat lengang. Sepupu almarhum I Gusti Karang Paang yang bernama I Gusti Made Oka Suri pernah duduk sebagai raja Buleleng, tetapi tidak bertahan lama karena suasana sudah mulai terasa hangat di Buleleng yang makin kurang suka pada keluarga raja asal Karangasem. Tambahan lagi situasi di Bali mulai digoyang oleh masuknya kekuatan dari luar seperti bangsa Inggris dan juga bangsa Belanda sudah mulai berusaha mengadakan hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Bali, demikian juga dengan Buleleng. Bahkan kerajaan lain di Bali seperti Badung dan lainnya sudah menanda-tangani perjanjian dengan Belanda. Bahkan Raja Bali I Dewa Agung Kelungkung juga sudah dipengaruhi Belanda. Menghadapi keadaan seperti ini Buleleng sangat memerlukan sosok pemimpin atau raja untuk mengisi kekosongan pimpinan di Buleleng waktu itu.

MUNCULNYA SOSOK SEORANG PAHLAWAN

Dalam situasi Buleleng yang mulai menghadapi berbagai masalah dan tantangan baru kemudian muncul seorang yang berwatak keras dan penuh ambisi bernama I Gusti Ketut Djlantik. Beliau memberanikan diri langsung ke puri Karangasem meminta dengan sangat agar I Gusti Made KarangasemI Gusti Made Karangasem mau menjadi raja untuk Buleleng.

Perlu disinggung, bahwa sejak Buleleng dikuasai Karangasem telah terjadi suksesi berbentuk pasangan Raja dan Patih di Buleleng. Raja berasal dari bangsawan Karangasem sedangkan Patih berasal dari keturunan raja Buleleng. Kondisi demikian waktu itu masih melekat. Kepribadian I Gusti Ketut Djlantik menunjukkan sebagai seseorang yang mewarisi kewajiban untuk membela Buleleng.

Pasangan raja dan patih rupanya mendapat sambutan dari masyarakat Buleleng. Perangai Raja yang lembut dan sangat kompromis ini ditopang oleh watak Patihnya yang keras dan tegas. Pemerintahan berjalan mantap. Pemimpin beserta rakyat sudah tidak ingin diadu domba lagi antara mereka sendiri. Rakyat sudah menyadari musuh tidak berada di dalam tetapi berada di luar yaitu orang asing yang mengancam akan menguasai Bali dengan menaklukkan Buleleng lebih dahulu. Rakyat menunggu perintah raja dengan penuh semangat untuk mempertahankan diri dari ancaman luar.

Sebenarnya yang berkiprah dalam urusan pemerintahan adalah I Gusti Ketut Djlantik. Raja I Gusti Made Karangasem lebih sering berada di Karangasem.

Pembangunan di wilayah Buleleng yang pernah surut kembali bangkit dengan menegaskan kembali peraturan hak tawan karang yang dulu pernah dibuat. Bukan saja bangunan istana Puri Gde yang dulu dibangun oleh I Gusti Karang Paang mendapat penataan dan perbaikan, juga Pura Desa Baleagung dibangun kembali. Demikian pula Pura Dalem Buleleng dan Pura Segara di pantai Buleleng. Selain itu dibangun pula pasar dan perbaikan pelabuhan. Ikut dalam pemerintahan ada disebut seperti Sedahan Agung I Gusti Putu Batan putra dari I Gusti Made Batan dari Tukadmungga yang aktif dalam pembangunan pura.

Semua pembangunan di Buleleng dilaksanakan oleh I Gusti Ketut Djlantik beserta Sedahan Agung dan para punggawa. Raja sebagai simbol untuk meresmikan.

Setelah Puri yang dibangun oleh I Gusti Karang sebagai Puri raja, membuat I Gusti Ketut Jlantik, sebagai patih Buleleng tidak tinggal diam. Beliaupun memugar dan membangun kembali Puri di sebelah Timur Pasar Buleleng yaitu di Banjar Dangin Peken yang sekarang dikenal dengan nama Puri Kanginan. Ini dimungkinkan karena situasi kehidupan rakyat cukup tenteram dan keadaan ekonomi Buleleng yang makin maju. Pemerintahan kali ini rupanya tidak banyak rnenimbulkan permasalahan, bahkan mendapat dukungan dari keluarga puri di Buleleng. Rupanya pasangan Raja serta Patih mendapat ilham dari kejayaan I Dewa Agung Jambe pada waktu membangun Puri Smarapura dan membangun kota Kelungkung setelah dapat mengusir Kryan Maruti. Puri Kepatihan dibangun tidak jauh dari Puri Raja Semarapura.

PERANG MELAWAN BELANDA

Dalam pada itu, pemerintah Belanda melalui Menteri Pemerintah Kolonial Belanda yang bernama J.C. Baud, melakukan tekanan kepada pemerintah Buleleng untuk menandatangani perjanjian kerjasama untuk mengakui kedaulatan pemeritah Hindia Belanda. Atas rayuan Belanda Raja Buleleng I Gusti Made Karangasem sudah pernah menandatangani surat perjanjian kerja sama dengan pihak Belanda. Lagi pula raja Karangasem sendiri, sudah lebih dahulu bekerjasama dengan pihak Belanda. Bahkan Dewa Agung Klungkung juga sudah melakukan hal yang sama dengan Belanda. Kali ini kembali pihak Belanda menyodorkan perjanjian baru yang isinya menghapus hak Tawankarang. Disinilah Patih I Gusti Ketut Jlantik berbalik pikiran dengan tidak bisa menerima dan secara tegas menolak perjanjian, bahkan seluruh perjanjian yang terdahulu. Malahan I Gusti Ketut Jlantik menantang Belanda untuk berperang.

Untuk persiapan menghadapi serangan Belanda kemudian I Gusti Ketut Jlantik bersama laskarnya membuat benteng dari pelabuhan Buleleng sampai di Penataran sebelah utara Puri.

Pada hari Minggu Paing Dungulan, tanggal 25 Mei 1846 Buleleng di serang oleh tentara Belanda. Puri raja I Gusti Made Karangasem dihujani peluru kemudian diserbu dan di bakar. Pihak tentara Buleleng tidak mampu bertahan dan lari cerai berai. Karena merasa sudah tidak bisa melawan Belanda, Raja I Gusti Made Karangasem beserta Patih I Gusti Ketut Djlantik dan laskar pengiringnya langsung mengungsi dari benteng Penataran ke arah selatan tanpa singgah di istananya dan terus langsung belok arah timur. Sampai di desa Jagaraga beliau beristirahat dan bertemu dengan seorang Pedanda. Di desa Jagaraga inilah diadakan pertemuan pihak-pihak yang anti pemerintah kolonial Balanda. Setelah mendapat dukungan dari pelbagai pihak dibuat benteng yang kokoh. Bantuan pasukan laskar dari kerajaan lainnya di Bali berdatangan. Dari wiayah kerajaan Kelungkung, kerajaan Mengwi, dari Karangasem, semua berjumlah 7700 orang tidak terhitung laskar Buleleng di bawah pimpinan langsung Patih I Gusti Ketut Jlantik.

PERANG JAGARAGA

Belanda melakukan serangan Maret 1848 dibawah pimpinan Jendral Van der Wijk ke Benteng Jagaraga. Pasukan Buleleng dipimpin langsung oleh Patih Agung 1 Gusti Ketut Jlantik. Pasukan Buleleng memang dikenal gagah berani. Pasukan Belanda dapat dipatahkan dan pasukannya banyak terbunuh. Kemudian pada tanggal 14 April 1849 Belanda kembali melancarkan serangannya yang ketiga dibawah pimpinan Mayor Jendral Michiels. Pasukan Buleleng akhirnya tidak mampu bertahan melawan senjata pasukan Belanda yang lebih modern dengan howitzer otomatis.

I Gusti Ketut Djlantik Patih Buleleng beserta rajanya I Gusti Made Karangasem mundur dan akhirnya gugur di Karangasem diserang oleh pasukan Karangasem yang sudah lebih dahulu ditaklukkan Belanda.

BENDERA BELANDA BERKIBAR

Dengan kemenangan di pihak Belanda itu berarti akan dibangun pemerintahan baru yaitu pemerintahan di bawah kekuasaan Belanda. Mulai saat itu peta politik berputar kearah yang lain dan ini membuka iklim yang baru bagi masyarakat yang terlibat dalam proses pemerintahan dibawah pemerintah Belanda.

BELANDA MENGANGKAT RAJA BULELENG

Tahun 1849, Belanda mengangkat I Gusti Made Rai asal dari Puri Sukasada sebagai punggawa di Sangsit untuk menstabilkan situasi di wilayah yang habis dilanda perang. Sementara itu pihak Belanda "menitipkan" daerah Buleleng dibawah kekuasaan raja Bangli I Dewa Tangkeban. Kebijaksanaan Belanda membuat I Gusti Made Rai sangat tersinggung, Tidak perlu menitipkan wilayah Buleleng kepada siapapun. Memang hubungan antara kerajaan Buleleng dengan Bangli sebelumnya tidak berjalan secara harmonis karena pernah bertikai.

Pada tahun 1850 pemerintah Belanda menempati Puri raja sebagai pusat pemerintahan. Sejak itu Puri Singaraja dipakai sebagai nama kota, yaitu kota Singaraja. Kemudian pemerintah Belanda menetapkan I Gusti Made Rai sebagai penguasa atau raja Buleleng dan menempati Puri Singaraja yang mengalami kerusakan berat waktu serangan dan tembakan meriam kapal perang Belanda pada tahun 1846.

DARI PURI TUKADMUNGGA KE PURI KANGINAN

I Gusti Putu Batan yang juga disebut dengan nama I Gusti Putu Singaraja dari Puri Tukadmungga memangku jabatan Sedahan Agung sewaktu raja I Gusti Made Karangasem dengan patihnya I Gusti Ketut Jlantik berkuasa. Sebagai yang tertua, I Gusti Putu Batan Singaraja dianggap sebagai putra mahkota oleh keluarga besar dinasti Panji Sakti.

KEKUASAAN PEMERINTAH BELANDA

Tahun 1853. Setelah beberapa lama pihak Belanda merasa terancam dan dianggap membahayakan pemerintahan Belanda karena ulah raja I Gusti Made Rai yang dilihatnya cukup ambisius. I Gusti Made Rai sering mencari pengaruh di kalangan rakyat dan tidak sepenuhnya menjalankan aturan yang ditetapkan pemerintah kolonial Belanda. Kemudian pemerintah Belanda mencopot I Gusti Made Rai dari jabatan sebagai raja Buleleng dan menghukumnya dengan diasingkan ke Banyuwangi. Selanjutnya pemerintah Belanda mencari calon penguasa lokal atau regent untuk Buleleng. Sedangkan permintaan masyarakat bermunculan masing-masing dengan calon raja yang diunggulkan yang dianggap masih memiliki garis keturunan raja Buleleng.

Tahun 1954. I Gusti Putu Kari punggawa Kubutambahan memimpin pasukan Buleleng ke Tampaksiring atas permintaan Raja Bangli I Dewa Tangkeban untuk ikut berperang melawan Gianyar. Buleleng waktu itu dibawah kekuasaan Bangli. Dengan setengah hati mereka berangkat ke medan perang. Dengan pihak Gianyar yang memang tidak pernah berniat bermusuhan dengan Buleleng mereka hanya berpura-pura berperang.

Rakyat Buleleng rupanya semakin tidak suka dengan kekuasaan raja Bangli I Dewa Tangkeban. Hubungan antara kedua kerajaan ini sejak dahulu memang tidak bisa bergandengan tangan. Maka di tahun 1854 itu wilayah Buleleng dikembalikan oleh Raja Bangli I Dewa Tangkeban kepada pemerintah Belanda.

Agar tidak terjadi kekosongan pimpinan lokal maka pemerintah kolonial Belanda berusaha keras melalui pendapat rakyat umum kembali mencari calon penguasa untuk wilayah Buleleng. Disinilah sebenarnya permulaan dari kegoncangan politik yang melanda daerah Buleleng, Sebenarnya dasarnya sederhana saja. Rakyat yang masih tetap berpikiran tardisional menginginkan pemimpin dari keturunan raja Buleleng. Tetapi rupanya masih sulit untuk menyimpulkan yang mana dan siapa yang pantas diantara mereka untuk menduduki pimpinan tertinggi di Buleleng. Karena diantara warganya mempunyai keterpautan dengan masa-masa pemerintahan yang lalu, baik pada jaman kekuasaan Mengwi maupun waktu pemerintahan raja asal Karangasem.

Pemerintah Belanda sangat berhati-hati dalam menyimak permasalahan politik yang cukup pelik. Di satu pihak ada yang ingin untuk mendapatkan jabatan dalam pemerintahan yang baru namun disangsikan oleh pihak Belanda karena keterkaitan hubungan dengan I Gusti Ketut Jlantik Patih Buleleng yang melawan Belanda dalam Perang Jagaraga. Dari sinilah mulainya penolakan mereka atas adanya unsur-unsur yang terkait dengan Patih I Gusti Ketut Jlantik, terutama mereka yang mempunyai kepentingan politik. Mereka itu buru-buru menyangkal adanya pertautan darah dengan Patih I Gusti Ketut Jlantik. Bahkan mereka melempar tuduhan bahwa I Gusti Ketut Jlantik itu manusia congkak penuh ambisi.

Pada suatu waktu pernah terjadi stagnasi dalam pemerintahan Belanda, karena tepatnya 31 Maret 1855 Mads J. Lange yang selama ini menjadi wakil pemerintah kolonial Belanda berkantor di Kuta, digantikan oleh P. L. van Bloetnenwaanders - dan berkantor di Singaraja. Ternyata pejabat tinggi Belanda yang masih baru ini kurang sekali memahami adat budaya orang Bali. Hal ini menjadikan pemerintahan berjalan sangat alot, karena beliau harus minta penjelasan sampai hal kecil agar sampai beliau itu bisa mengerti dan bisa mengambil keputusan. Itulah sebabnya kadangkala urusan penting bisa memakan waktu yang lama.
Hal itu membuka peluang bagi mereka yang tidak suka sistem pemerintahan Belanda itu dan membuat ancang-ancang untuk beraksi.

PEMBERONTAKAN I NYOMAN GEMPOL

Pemerintahan Belanda yang dianggap sering tidak cocok dengan keinginan orang pribumi membuat masyarakat Buleleng tidak percaya pada pemerintah Belanda. Hal ini bepuncak pada pemberontakan Perbekel Banjar Jawa, yaitu I Nyoman Gempol. Oleh pemerintah Belanda pembangkangan atau pemberontakan I Nyoman Gempol ini dianggap serius oleh Belanda karena bisa sebagai menyulut meluasnya anti Belanda ke tempat lainnya. Maka dengan tidak tangggung-tanggung pemerintah Belanda mengerahkan pasukan dengan armada angkatan laut di bawah komando Letkol Laut van Hasselt. Pasukan berjumlah satu batalyon di pimpin kamandan Letkol Steyn van Heemskerk. Belanda mengerahkan tidak kurang dari delapan kapal perang hanya untuk meredam pemberontakan I Nyoman Gempol.

Pasukan mendarat pada tanggal 11 Desember 1858 di Pabean Buleleng. Namun pasukan Belanda dibuat pusing juga. Dengan sebuah ultimatum yang di tujukan kepada masyarakat Banjar Jawa agar dalam tiga hari I Nyoman Gempol harus diserahkan kepada pihak Belanda, akhirnya I Nyoman Gempol dapat ditangkap. Kemudian diasingkan ke Jawa.

1 komentar:

  1. Terima kasih atas usahanya telah meng-copy-paste naskah ini.
    Mohon disebut sumber naskahnya dari http://buleleng .com.

    BalasHapus