Desa Sukawati
Kira-kira pada penghabisan abad ke XVII seorang ahli ilmu hitam ( pengiwa ) bergelar Ki Balian Batur, penghuni Teludu Nginyah, sebelah barat desa Cau (br. Rangkan ketewel), dikalahkan perang oleh Raja Mengwi yang bergelar I Gusti Anglurah Agung Made Agung ( alias Tjokorda Sakti Blangbangan),berkat bantuan I Dewa Agung Anom ( alias Sri Aji Sirikan ) yang menembakkan peluru Ki Seliksik dengan bedil Ki Narantaka.
I Dewa Agung Anom adalah adik dari I Dewa Agung Dimadya atau putra dari I Dewa Agung Gede ( Raja Klungkung Ke – I ).
Sebagai balas jasa dan tanda setia bhakti dari Tjokorda Sakti Blangbangan maka bermohonlah beliau agar I Dewa Agung Anom diperkenankan oleh Ayahnda ( Raja Kelungkung ) untuk berpuri di Bumi Timbul. Raja Klungkung berkenan, untuk pengamer-amer ( kepentingan pengamanan ) I Dewa Agung mohon agar diperkenankan membawa Keris Kawitan bernama Ki bengawan Canggu ( anugrah Raja Majapahit ) ke Bumi Timbul. Namun rakanda (kakaknya) tiada berkenan dan sebagai gantinya I Dewa Agung Dimadya berkenan memberikan Keris Ki Maleladawa, Papetet ( ikat pinggang ) Ki Sembah Jagat dan tombak Ki Baru Gagak,dengan segala pengapitnya ( disampingnya ). I Dewa Agung Anom amat berdukacita karena permohonannya tiada dikabulkan.
Pada suatu pagi tatkala I Dewa Agung Anom turun dari peraduan, beliau dapati seorang pria berparas tampan gagah berwibawa duduk bersila di amben ( serambi depan) gedung peraduan. Tamu tak dikenal itu berpakaian serba kuning. Tatkala ditanya, dengan sangat hormat sang tamu menyembah dan memperkenalkan diri bernama Ki Gede Macaling dari Nusa Penida diutus oleh Ida Betara Kasuun Kidul untuk menyampaikan anugrah Ida Betara berupa lontar dengan cakepan dibuat dari pada denta ( gading ). Cakepan itu bernama Ki Pengasih Jagat. Akan Ki Begawan Canggu Jangan hendaknya dirisaukan, karena Ki Bengawan Canggu harus tetap berada di Semara Pura ( Kelungkung ), karena merupakan tali pengikat persatuan Bali Pulina. Selanjutnya Ki Gede Mecaling menyatakan kesediaannya untuk menjadi pengamer-amer di Bumi Timbul, tetapi ia mohon dibuatkan pesimpangan (tempat peristirahatan) di Jaba Pura Erjeruk. Selesai menyampaikan hal itu Ki Gede Mecaling mohon diri dan seketika itu gaib dari pandangan.
Pada suatu hari yang baik ( dewasa ayu ) berangkatlah I Dewa Agung Anom menuju arah barat daya ke Bumi Timbul, diiring oleh 200 orang muda – mudi pilihan pekik listuayu ( tampan dan cantik jelita ) yang menjadi hamba sahaya dan disamping itu terdapat pula para pengiring dari warga Pulasari, Bambang, Pasek, Bendesa, Ngukuhin, Kubayan, Dangka, Sangging, Undagi, Pande dan lain-lain.
Atas bantuan Tjokorda Sakti Blambangan, serta kaula Mengwi seluruhnya maka dibangunlah Puri Agung yang megah dengan sebuah balai penghadapan yang indah besar dan tinggi dengan berhiaskan patung – patung orang memukul serba bunyi-bunyian seperti : kendang, kempur, cengceng, kempli, rebab, suling dan lain-lain. Berbarengan dengan itu dibangun pula sebuah Parhyangan disebut Pura Penataran Agung,tempat pemujaaan Bumi Timbul. Di depan Pura Penataran Agung dibuat sebuah taman dengan telaga yang berair jernih serta pohon bunga yang warna-warni. Hiasan Pura Penataran Agung penuh dengan ukiran ( relief ) dengan cerita Tantri,serta patung – patung dengan lakon Arjuna Wiwaha. Jalan – jalan yang melintang di Bumi Timbul dibuat amat lebar dengan dikanan kiri ditanam tanaman yang teratur rapi,sehingga tampaknya sebagai orang menjunjung sesajen, berbaris dengan rapinya.
Kemudian I Dewa Agung Anom memperistri adik kandung Cokorda Sakti Blambangan bernama Ni Gusti Ayu Agung Muter yang masyur akan kecantikannya. Beliau ngelarang ( melakukan ) satya pati bratha kedahapan I Dewa Agung Anom. Setelah dilakukan upacara Mabiseka Ratu ( penobatan ) I Dewa Agung Anom bergelar Sri Aji Wijaya Sunu. Adapun permaisuri beliau bergelar Ida Dewa Ayu Muterning Jagat. Sebagai pangubakti Tjokorda Sakti Blambangan mempersembahkan daerah-daerah sebelah barat sungai Pekerisan,sebelah timur sungai Ayung yang membentang dari tepi segara Kidul terus ke Utara hingga kaki Gunung Batur.
Pada saat berlangsungnya karya agung ngenteg linggih di Pura Penataran Agung diadakan keramaian selama satu bulan tujuh hari. Banyak para pengalu datang dan memilih tinggal memetap di Bumi Timbul karena amat gemar akan tontonan dan bunyi gamelan yang ditabuh sepanjang hari.Mereka senantiasa mengatakan “ suka hatine , suka hatine …………….” Demikianlah lama kelamaan Timbul berubah menjadi Sukahati dan selanjutnya menjadi Sukawati. Demikian pula I Dewa Agung Anom lumrah disebut juga Dalem Sukawati.
Dengan berdirinya kerajaan Sukawati maka di Bali Pulina dikala itu terdapat dua kerajaan besar, yaitu Klungkung dibagian timur dan Sukawati dibagian barat. Dari pernikahan Baginda Dalem sukawati dengan Ida Dewa Ayu Muterning Jagat lahirlah 3 orang putra,yaitu :
- I Dewa Agung Jambe, menjadi dukun dan bertempat di Guwang,
- I Dewa Agung Karna, nyukla brachmacari bertempt tinggal di Ketewel,
- I Dewa Agung Mayun tinggal bersama ayahnda di Sukawati.
Disamping itu tersebutlah ada dua putra penawing , yaitu I Dewa Ubud dan I Dewa Canggi.
Kemudian para putra inilah yang membangun Pura Kawitan Dalem Sukawati,yang bertempat di sebelah timur Pura Penataran Agung menghadap keselatan, untuk mengabadikan roh suci Baginda Dalem Sukawati beserta permaisuri Beliau.
*Dirangkum dari Kitab Babad Sukawati,Babad Mengwi dan Babad Manggis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar