Berakhirnya Kerajaan Mengwi
Perselisihan di Dalam Kerajaan Mangha-pura
Dalam perkembangan selanjutnya terjadi perselisihan di dalam kerajaan Mengwi. Anak Agung Gede Alangkajeng meninggalkan kerajaan Mengwi dan putera – puterinya, hanya didampingi oleh isterinya I Gusti Ayu Sagung, menuju negara Badung di Jro Kanginan. Selama tinggal di Badung putera – puterinya tidak ada yang menjenguk, hingga membuat hatinya semakin sedih. Anak Agung meninggal di Jro Kanginan Badung bergelar Bhatara Ring Badung. Beliau dibuatkan Pelinggih Gedong di Pura Penataran Tinggan.
Anak Agung Gede Alangkajeng meninggalkan beberapa putera dan puteri, yang terkemuka diantaranya adalah:
- I Gusti Agung Made Ngurah (beribu Gusti Luh Rai dari Bnajar Natih Sedang),
- I Gusti Agung Putu Alangkajeng (beribu keturunan Dewa Godong Artha),
- I Gusti Agung Istri Kajeng (beribu Jro Taluh Harsa) diperistri oleh Ida Putu Batu, kemudian mediksa bernama Ida Pedanda Gede Sembung dan Ida Pedanda Istri Agung.
- I Gusti Agung Ketut Rai beribu Jro Ketut Raga.
Putera beliau yang bernama I Gusti Agung Made Ngurah diangkat menjadi Raja Muda. Tetapi tidak disenangi karena tidak mempunyai tanggung jawab sebagai pemimpin, hanya menjalankan kesenangan sendiri.
Laskar Gabungan Menaklukkan Mengwi
Dewa Agung Klungkung mendengar perselisihan di dalam kerajaan Mangha-pura, sangat merasa prihatin. Beliau mengirim utusan untuk meminta Raja Muda I Gusti Agung Made Ngurah agar menghadap Dewa Agung di Klungkung. Tetapi oleh raja Mangha-pura perintah itu tidak dipenuhi dengan alasan takut akan dibuang seperti yang pernah dialami oleh leluhur beliau Bhatara Ring Galungan, yang sempat dibuang ke Nusa Barong (Nusa Penida).
Sikap penentangan ini mengundang kemarahan besar Dewa Agung Klungkung. Segera beliau memerintahkan kerajaan Badung, Tabanan, Ubud, dan Bangli menyerang Mangha-pura. Situasi di Mangha-pura sendiri menjadi semakin kacau setelah mengetahui adanya perintah Dewa Agung tersebut. Diantara pembesar – pembesar kerajaan kurang bersatu, masing – masing memikirkan keselamatan diri sendiri. Sebab mereka tahu perintah Dewa Agung pasti dijunjung oleh raja – raja yang masih setia kepada Dewa Agung Sesuhunan Bali – Lombok.
Sesuai perintah Dewa Agung, laskar gabungan Badung, Tabanan, Ubud, dan Bangli menyerang Mengwi. Perlawanan laskar Mengwi berakhir pada tanggal 20 Juni 1891. Raja Mengwi Cokorda Ngurah Made Agung tewas di tengah sawah di sebelah Barat desa Mengwi Tani, bersama sahabat karibnya Ida Pedanda Made Bang dari Gerya Liligundi Buleleng. Jenasah Cokorda Ngurah Made Agung ditawan di Badung, satu tempat dengan jenasah Anak Agung Gede Alangkajeng.
Cokorda Ngurah Made Agung, raja terakhir Mengwi ini bergelar Bhatara Ring Rana. Beliau meninggalkan putera – puteri, diantaranya yang terkemuka adalah:
- I Gusti Agung Gede Agung (beribu Jero Saren, yang diangkat putera oleh permaisuri Cokorda Istri Agung),
- I Gusti Agung Ketut Agung (Beribu Jero Sumapatra, juga diangkat putera oleh permaisuri Cokorda Istri Agung).
Cokorda Istri Agung sendiri, karena tidak sanggup menanggung kesedihan, beliau wafat di Badung. Jenasahnya disatukan dengan jenasah kakak beliau.
Seluruh harta benda dan pusaka kerajaan dibawa ke negara Badung. Keluarga, kerabat dan sabahat raja juga ditawan. Diantaranya Ida Pedanda Gede Kekeran ditawan, ditempatkan di Puri Tegal Badung. Demikian juga wilayah – wilayah kerajaan Mengwi dibagi-bagi, seperti desa Kaba-kaba, Kediri, Belayu dikuasai Tabanan. Desa Carangsari, ke Utara sampai desa Tinggan dikuasai kerajaan Bangli. Desa Jagapati, Abiansemal sampai desa Samuan dikuasai oleh Ubud. Sisanya dikuasai oleh Badung.
Putera – Puteri Kawya-pura Lolos dari Tawanan
Setelah sekitar 3 bulan putera – puteri Mangha-pura ditawan di Badung, Anak Agung Nyoman Kaler dari Puri Gerana yang diiringi oleh puteranya I Gusti Agung Made Raka karena rasa kesetiaannya bersaudara, ikut berduka cita, menyusul ke Badung. Sementara harta benda dan pusaka Puri Gerana diserahkan dan dijaga oleh I Gusti Ngurah Gede Pacung dari Puri Carangsari.
Pada tahun 1893, suatu hari pada tengah malam putera – puteri Mangha-pura berhasil meloloskan diri, mengiringi Ida Pedanda Gede Kekeran menuju Puri Ubud, karena pihak Puri Ubud menjanjikan keselamatan. Disediakan tempat tinggal yang bernama Puri Kelodan.
Kemudian datang berkunjung Ida Pedanda Gede Pemaron dari Mengwi beserta keluarga untuk ikut merasakan kedukaan. Oleh Raja Ubud disediakan tempat yang diberi nama Gerya Taman Sari.
Tidak beberapa lama, banyak putera – puteri Mangha-pura memenuhi Puri Kelodan tersebut. Mereka juga menempati desa – desa bekas wilayah Mengwi yang dikuasai Ubud. Raja Muda Manga-pura Anak Agung Mayun kemudian wafat di desa Sedang tahun 1894, jenasahnya dibakar di desa Lambing, bergelar Bhatara Ring Lambing.
Putera Mangha-pura Gagal Merebut Taman Ayun
I Gusti Agung Gede Agung putera Bhatara Ring Rana, salah satu pewaris kerajaan Mengwi, berkehendak merebut paling tidak kawasan Taman Ayun yang dikuasai Badung. Seperti diketahui kawasan Pura Taman Ayun adalah tempat para leluhur beliau distanakan. Beliau mengirim utusan untuk meminta bantuan Ubud. Ubud menerima baik niat tersebut dan berjanji membantu mengembalikan kawasan Taman Ayun kepada putera Mangha-pura.
Para hari yang ditentukan berangkatlah laskar dan putera – putera Mangha-pura yang dipimpin oleh I Gusti Agung Gede Agung menuju daerah Taman Ayun. Mereka terkejut disongsong oleh laskar dari Badung dalam jumlah yang banyak, yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Raka Dabot. Bantuan yang diharapkan dari Cokorda Ubud ternyata tidak datang. Terjadi pertempuran di desa Penarungan tahun 1897 M. Anak Agung Nyoman Kaler dari Puri Gerana tewas. Jenasahnya ditawan di Badung, bergelar Bhatara Ring Penarungan.
I Gusti Agung Gede Agung Raja Abian Semal
Sementara Raja Putera I Gusti Agung Gede Agung bersama rakyatnya mengungsi ke desa Abian Semal, daerah kekuasaan Ubud, dimana laskar Badung tidak berani mengejarnya. Di sini beliau berpikir memohon kebijaksanaan Dewa Agung agar diberikan wilayah untuk memerintah. Beliau mengutus ibundanya I Gusti Istri Raka ke Smara-pura. Dewa Agung Klungkung yang merasa kasihan atas nasib putera-putera Mangha-pura, mengutus I Gusti Ngurah Raka Dabot. Dewa Agung hanya memberikan bekas wilayah kerajaan Mangha-pura yang dikuasai oleh Ubud saja. Pihak Ubud menentang keputusan Dewa Agung ini.
Atas perintah Dewa Agung Klungkung, raja Badung dan Bangli membantu I Gusti Agung Gede Agung merebut bekas wilayah kerajaan Mengwi yang dikuasai Ubud. Setelah berhasil, I Gusti Agung Gede Agung kemudian dinobatkan menjadi Raja di Abian Semal, bergelar Cokorda Gede Agung tahun 1902 M. Adapun wilayah kekuasaan beliau kemudian adalah bekas wilayah Mangha-pura yang dirampas oleh Ubud dan Bangli.
Putera – Putera Mangha-pura diberi Kedudukan
Raja Abian Semal Cokorda Gede Agung menempatkan saudara – saudaranya ke daerah-daerah yang belum ada pemimpinnya, seperti :
Putera-putera Bhatara Ring Badung:
- I Gusti Agung Oka dan I Gusti Agung Ketut Rai diberi kedudukan di desa Getasan, Pangsan, dan Sekarmukti. Selanjutnya membangun istana bernama Puri Anyar Getasan.
- I Gusti Agung Ketut Kaler diberikan kedudukan di desa Abian Semal, mendirikan Puri Anyar Lebah.
- I Gusti Agung Putu Alangkajeng diberikan kedudukan di desa Mambal, membangun Puri Anyar Kedampal.
- I Gusti Agung Made Rai diberikan kedudukan di desa Lambing dan Sigaran, mendirikan Puri Anyar Lambing.
- I Gusti Agung Made Ngurah diberikan kedudukan di desa Sedang, medirikan Puri Anyar Sedang. Kemudian beliau madwijati menjadi pendeta.
- I Gusti Agung Nyoman Munggu menjadi Raja Muda Abian Semal, beliau menjunjung Pemarajan Dalem.
- I Gusti Agung Made Raka beserta adik-adiknya (putera Bhatara Ring Penarungan) diberi kedudukan di desa Gerana sampai ke Sangeh. Mendirikan istana baru bernama Puri Gerana.
- I Gusti Agung Made Oka dan adik-adiknya (putera Bhatara Ring Lambing) diberi kedudukan di desa Blahkiuh dan Pikat. Mendirikan istana bernama Puri Mayun Blahkiuh.
- I Gusti Ngurah Pacung diberi kedudukan di desa Carangsari, dan adiknya I Gusti Ngurah Alit Pacung diberi kedudukan di desa Petang. Kemudian keduanya melapaskan diri dari Abian Semal, bergabung kepada raja Ubud.
- I Gusti Ngurah Gede jelantik diberi kedudukan di desa Angantaka. Kemudian tidak mau tunduk dengan Abian Semal, bergabung kepada raja Ubud.
- I Gusti Ngurah Mayun diberi kedudukan di desa Sibang Kaja. Kemudian berbalik bergabung kepada Smara-pura.
Pasca Puputan Badung dan Puputan Klungkung
Setelah kerajaan Badung lenyap ditaklukkan oleh Belanda dalam Puputan Badung yang puncaknya tanggal 20 September 1906, I Gusti Agung Made Oka yang berkedudukan di desa Blahkiuh berselisih dengan Raja Muda Abian Semal, I Gusti Agung Nyoman Munggu. I Gusti Agung Oka bersama dengan adik – adiknya, menyerahkan desa – desa kekuasaannya kepada Belanda. Oleh Belanda, I Gusti Agung Oka diberi kedudukan sebagai Punggawa pertama Mengwi. Sementara Puri Blahkiuh diserahkan kepada adiknya I Gusti Agung Ratu Mayun.
Kemudian pada tanggal 28 April 1908, Semara-pura jatuh, Dewa Agung Klungkung Sesuhunan Bali – Lombok terakhir wafat dalam puputan Klungkung. Raja Abian Semal Cokorda Gede Agung, oleh Belanda kemudian diangkat sebagai Punggawa pertama Abian Semal. Karena sakit, Cokorda Gede Agung tidak lama menjadi Punggawa Abian Semal, beliau diganti oleh I Gusti Agung Ratu Mayun, putera Bhatara Ring Lambing.
Demikianlah riwayat perjalanan putera – putera kerajaam Manghapura, masih panjang untuk diceritakan.
Sayang kerajaan besar seperti Mangha-pura lenyap sebelum Belanda mengusai Pulau Bali, sehingga daerah Mengwi tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu Kabupaten di Bali. Dengan berkuasanya Belanda dan kemudian disusul dengan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), semuanya menutup riwayat Mengwi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar