Google+

silsilah Keturunan Dukuh Suladri

silsilah Keturunan Dukuh Suladri

berikut ini silsilah Keturunan Dukuh Suladri berdasarkan Buku Babad Pasek yang disusun oleh Jro Mangku Ketut Soebandi yang diterbitkan di Denpasar tanggal 5 Februari 1985.

Babad Dukuh Suladri diawali dengan menikahnya Mpu Ketek dengan putri Ki Arya Padang Subadra. dari pernikahan tersebut Ida Mpu Ketek menurunkan dua putra, yaitu:
  1. Sang Pemacekan
  2. Arya Kepasekan
Arya Kepasekan menurunkan Putra dan Putri, diantaranya:
  1. Kyai Agung Pamacekan
  2. Ni Luh Pemacekan
  3. Gusti Pasek Padang Subadra
Kiyai Agung Pemacekan menurunkan dua putra, yaitu:
  1. Ki Pasek Gelgel
  2. Ki Pasek Denpasar
Sang Pemacekan, kawin dengan dewi Dwararika, menurunkan dua orang putra putri, diantaranya:

  1. Mpu Pemacekan
  2. Ni Dewi Girinatha

silsilah keturunan Pasek Kubayan

silsilah Keturunan Pasek Kubayan

berikut ini silsilah keturunan pasek kubayan menurut versi buku babad pasek yang disusun oleh jro mangku ketut soebandi, yang diterbitkan pada tahun 1985.

Babad Pasek Kubayan diawali dengan Turunnya Ida Hyang Pasupati ke Bumi ini, kemudian beliau menurunkan sang Sapta Rsi, diantaranya:
  1. Bhatara Hyang Gnijaya, berparhyangan di Gunung Lempuyang Luhur
  2. Bhatara Hyang Putranjaya, berparhyangan di Gunung Tohlangkir
  3. Bhatari Dewi Danuh, berparhyangan di Hulun Danu (Batur)
  4. Bhatara Hyang Tugu, berparhyangan di Gunung Andakasa
  5. Bhatara Hyang Manikgalang, berparhyangan di Pejeng
  6. Bhatara Hyang Manikgumawang, berparhyanan di Gunung Beratan
  7. Bhatara Hyang Tumuwuh, berparhyangan di Gunung Batukaru
Ida Bhatara Hyang Putranjaya menurunkan dua putra, diantaranya:
  1. Bhatara Ghana, berparhyangan di Gunung Agung
  2. Bhatari Dewi Manik Gni
Bhatara Hyang Gnijaya, menurunkan Mpu Withadharma, yang kemudian dikenal dengan gelar "Sri Mahadewa".
Ida Mpu Withadharma, menurunkan dua putra, yakni:
  1. Mpu Bhajrasattwa atau Mpu Wiradharma
  2. Mpu Dwijendra atau Mpu Rajakertha

Jro Mangku sebutan untuk Pemangku

Jro Mangku sebutan untuk Pemangku

Pada umumnya kita di Bali mendengar kata pemangku (Jro Mangku) memang hal yang sudah biasa, namun perlu kita ketahui apakah yang terkandung tersirat dari makna kata yang terkandung didalamnya pada bagian ini kita akan bahas dari beberapa sumber yang menyebutkan makna dari kata pemangku. 

Menurut Lontar Widhi Sastra kata pemangku diuraikan menjadi:

  • ‘Pa’, bermakna “Pastika pasti”, yang artinya paham akan hakikat kesucian,
  • ‘Mang’ bermakna “Weruh ring titining Agama” artinya paham mengenai pelaksanaan ajaran Agama. Mengingat ‘Mang’ sebagai suku kata aksara suci Dewa Iswara atau Siwa sendiri sebagai guru niskala bagi warga desa, beliau juga dijuluki sebagai Sanghyang Ramadesa. 
  • ‘Ku’ bermakna “Kukuh ring Widhi” yang artinya teguh dan konsisten berpegangan kepada Tuhan/ Ida Sanghyang Widhi.

Kemudian dari kata Widhi, diperoleh suku kata ‘di’ yang artinya “dina” (hari), dari kata ‘dina’ diperoleh suku kata ‘na’ artinya “amertha” (sumber kehidupan) dari kata amertha diperoleh suku kata ‘ta’ artinya “toya” (air), dari kata toya diperoleh suku kayaa ‘ya’ artinya “jati jatining kaweruhan ring kahananing bhuana agung muang bhuana alit (hakikat pengetahuan mengenai bhuana agung dan bhuana alit).


Dalam Lontar Sukretaning Pamangku, dinyatakan bahwa pemangku adalah perwujudan I Rare Angon (Dewa Gembala/Pengangon) yang merupakan perwujudan dari Dewa Siwa seperti dinyatakan sebagai berikut” ‘Ikang sukretaning pamangku ring khayangan, wnang tegesin pamangku kawruhakena kang mawak pamangku ring sariranta. I Rare Angon mawak pamangku ring sariranta’.

Pawintenan Pemangku

Pawintenan Pemangku

Pawintenan atau Mawinten berasal dari kata “mawi” dan “inten”.

  • Mawi adalah kata bahasa Kawi yang berarti bersinar,
  • Inten berarti intan atau permata. 

Dengan demikian, maka orang yang sudah mawinten diibaratkan sebagai permata yang berkilauan karena lahir batinnya sudah disucikan.
Mengapa perlu disucikan?
Sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi sekaligus pelayan masyarkat, seorang Pemangku harus bertanggung jawab atas kesucian Pura yang diemongnya. Karena itu sebelum diresmikan sebagai Pemangku, seseorang yang ditunjuk atau dipilih menjadi Pemangku terlebih dahulu harus disucikan dengan cara menjalani upacara penyucian diri yang dinamakan Upacara Pawintenan.

Cara Memilih Pemangku

Cara Memilih Pemangku

sebelum memilih seorang Pemangku/Mangku, kita wajib mengetahui, siapa yang boleh menjadi Pemangku.
Pemangku sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi hendaknya dipilih dari umat yang memiliki budhi luhur, moral dan mental yang tinggi. 
Seorang calon Pemangku hendaknya memiliki jiwa pengabdian yang tulus dan ikhlas serta selalu siap untuk ngayah tanpa memikirkan imbalan apapun. 
Jabatan Pemangku seyogyanya tidak dijadikan sebagai tameng untuk menutupi kelemahan pribadinya yang sesungguhnya kurang baik, sehingga dapat menjadi orang terpandang di masyarakat. Kalau ternyata ada yang bertindak seperti itu, maka yang bersangkutan dapat dikatakan sebagai penipu masyarakat. Karmaphala buruk yang harus ditanggung dikemudian hari tentu akan menjadi lebih besar lagi. 

Demikianlah, maka untuk menetapkan seseorang untuk menjadi Pemangku tidaklah sembarangan.

Yang boleh dipilih menjadi Pemangku adalah mereka yang benar-benar memenuhi syarat. 

Peranan Pemangku dalam Masyarakat Adat Bali

Peranan Pemangku dalam Masyarakat Adat Bali

Pemangku mempunyai peranan yang sangat penting dalam masyarakat beraagama Hindu. 
Dikatakan penting karena setiap upacara atau yajna, sepanjang tidak mempergunakan Sulinggih, maka Pemangkulah yang diminta bantuannya untuk nganteb upakara (banten). Memang tidak semua upacara harus diselesaikan oleh Pendeta dan/atau Pemangku, sebab ada pula upacara-upacara kecil yang tidak mempergunakan jasa Sulinggih maupun Pinandita. 

Pada umumnya masyarakat sudah memahami tradisi dan kebiasaan, mana upacara yang harus dipuput oleh Pendeta, mana yang harus dihaturkan oleh Pemangku dan mana yang dapat dipersembahkan sendiri. Dalam hal dipergunakannya bantuan Pemangku, maka Pemangku tersebut berfungsi sebagai perantara antara umat yang punya kerja dengan Ida Sang Hyang Widhi dan Ida Bhatara Kawitan/Leluhur. Karena itu tugas Pemangku sering disebutkan sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi sekaligus pelayan masyarakat. Dalam posisinya sebagai pelayan itulah Pemangku menduduki posisi yang sangat penting dan terhormat.

Mengingat peranan penting tersebut, maka seorang Pemangku diharapkan dapat menjadi panutan, dapat memberi contoh yang baik, bahkan jika mungkin harus dapat menuntun dan membina warga masyarakat untuk bisa lebih mendekatkan dirinya dengan dan selalu ingat kepada keagungan dan kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Itulah sebabnya, maka untuk bisa menjadi Pemangku tidaklah mudah, karena harus dipenuhi berbagai persyaratan.

Mangku dan Kepemangkuan

Mangku dan Kepemangkuan

Dalam Agama Hindu seorang Pemangku atau Pinandita dinyatakan sebagai rokhaniawan. Rokhaniawan artinya orang yang rokhani atau jiwanya telah disucikan. Karena itu sebagai rokhaniawan, seorang Pemangku seyogyanya mendalami pengertian rokhaniawan, sehingga yang bersangkutan bisa menempatkan diri dan melaksanakan tugas pekerjaannya sesuai dengan tingkat kesuciannya. Berdasarkan tingkat penyuciannya, rokhaniawan Hindu dapat dibedakan dalam dua golongan yaitu :

  • Rokhaniawan yang termasuk dalam golongan atau tingkatan Dwijati seperti Pedanda, Pandita, Sri Bhagawan, Empu, Rsi dan lain-lain yang pada umumnya dinamakan Sulinggih.
  • Rokhaniawan yang termasuk dalam golongan atau tingkatan Ekajati seperti Pemangku, Balian, Mangku Dalang dan lain-lain

Disamping dua golongan tersebut diatas sesungguhnya masih ada satu golongan rokhaniawan yang ketiga yaitu termasuk dalam golongan atau tingkatan Trijati. Yang dimaksud dengan golongan Trijati adalah para sulinggih yang telah berkedudukan sebagai Guru Nabe. Mereka ini dipandang sebagai lahir tiga kali, yakni dari Ibu, dari ilmu pengetahuan dan kemudian diangkat menjadi Guru Nabe. Beliau mempunyai wewenang untuk meningkatkan sisyanya dari calon Pendeta menjadi Pendeta dalam tingkatan Dwijati.