Menelaah vibrasi Tanah Bali, Turus Lumbung Hingga Kahyangan Jagat
PULAU Bali juga disebut sebagai ‘Pulau Seribu Pura’. Pura selain merupakan tempat suci Hindu, juga sebagai “sentra rohani”.
Apa saja yang melatarbelakangi perkembangannya dan bagaimana sebaiknya konsep rancangan sebuah pura ke depan?
Sumber prasasti kerap menyebut gunung dan bukit sebagai sthana para dewa. zaman dulu, tempat – tempat tinggi di Bali, di hulu atau di tanah bervibrasi suci, orang-orang membuat suatu bangunan peribadatan, meski sederhana dan sifatnya sementara.
Ketika itu tiangnya dibuat dari turus pohon dapdap, dan sebuah ruangan dengan balai-balai dirakit dari bambu untuk tempat meletakkan sajian (sesajen). Bangunan suci jenis ini disebut Turus Lumbung, bermakna kias “melindungi dan menghidupi pemujanya”.
- "Turus dapdap" bermakna tameng atau perisai-alat pelindung diri.
- “lumbung” mengandung makna: ranah penghidupan.
Bangunan Turus Lumbung ini sifatnya sementara yang lambat laun diganti menjadi bangunan yang lebih permanen.
Perkembangan teknologi, berimbas juga pada bangunan Turus Lumbung, yang semula berbahan sederhana, lalu dibuat dari kayu dan bambu serta memakai satu ruangan (me-rong tunggal), digunakan untuk tempat sesajen. Dari rong tunggal inilah muncul sebutan nama bangunan suci Kemulan yang dipuja suatu keluarga sekelompok kecil. Jika belakangan kepala keluarga kecil sudah berkembang menjadi beberapa keluarga, mereka kemudian mendirikan beberapa buah palinggih.
Seiring perkembangan kultur manusia yang kian maju, bangunan rong tunggal berkembang menjadi dua ruangan (me-rong kalih). Lantas berkembang lagi menjadi tiga ruangan (rong telu), untuk menghormati atau memuja para leluhur yang telah disucikan. Palinggih-palinggih baru disejajarkan tempatnya dengan bangunan Kemulan, sehingga keseluruhannya disebut Sanggah atau Pamerajan. Bangunan-bangunan di dalamnya sangat bervariasi, umumnya terdiri dari bangunan Menjangan Saluang, Gedong, Sanggar Agung, Saka Ulu, dan Taksu.
Perkembangan bangunan rong telu lalu disesuaikan dengan konsep Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa), bermanifestasi selaku pencipta, pemelihara dan pelebur. Kesatuan ketiga dewa inilah disebut dengan Sang Hyang Trimurti atau Tri Tunggal. Dari pengaruh konsep ini bangunan rong telu berfungsi ganda, selain untuk tempat memuja arwah leluhur yang telah suci, pun untuk memuja Sang Hyang Tri Murti.
Kahyangan Tiga
Untuk tempat pertemuan Ida Bhatara-Bhatari yang berlangsung pada setiap ada upacara di Sanggah Pamerajan dibuat lagi bangunan balai-balai yang disebut Balai Piyasan (balai untuk Bhatara-Bhatari berhias). Kendati sudah mendirikan Sanggah Kemulan, mereka juga memuja dewa-dewa yang ada di dalam tempat suci aslinya. Dengan demikian, tak bisa dipungkiri jika palinggih-palinggih di dalam Sanggah Pamerajan relatif jumlahnya dan bisa mencapai belasan buah, kadang bisa lebih. Kemudian muncul palinggih-palinggih baru untuk memuja para Dewa, seperti bangunan: Tumpang Salu, Sakapat, Tugu, Meru, Bebaturan, dan Gedong Sari.
Dalam suatu Desa yang terdiri dari beberapa klen atau warga yang berbeda-beda leluhurnya, masyarakat membangun tempat suci bersama, berupa tiga buah pura yang dikenal dengan Kahyangan Tiga. Di dalam pura-pura itulah mereka berkumpul menyama braya dan berbarengan memuja dewa-dewa yang bersemayam di dalam pura tersebut. Ketiga pura yang dimaksud adalah: Pura Puseh, Pura Desa/Bale Agung, dan Pura Dalem.
Kedatangan Mpu Kuturan, Rsi Markandya, dan Dang Hyang Nirartha ke Bali beberapa abad lalu membawa perubahan penting dalam tata keagamaan di Bali. Ketika itu Mpu Kuturan menganjurkan beberapa perubahan dalam tata keagamaan di Bali, seperti pembuatan Kahyangan Catur Lokapala, Sad Kahyangan Jagat, selain mengajarkan membuat kahyangan secara fisik dan spiritual, berupa ragam jenis upacara dan jenis-jenis pedagingan. Penyempurnaan kehidupan agama Hindu dilakukan pula oleh Dang Hyang Nirartha yang datang ke Bali pada abad ke-15, di era pemerintahan raja Dalem Waturenggong di Gelgel-Klungkung.
Karakteristik Pura
Beragam profesi tumbuh di masyarakat, berbagai tempat suci atau pura pun bermunculan. Para nelayan yang umumnya bermukim di pesisir, mencari penghidupan di laut. Laut dianggap bisa memberi kehidupan, lantas masyarakat nelayan mendirikan Pura Segara atau Pura Pabean.
Yang memiliki profesi sebagai petani pengolah tanah basah, mereka akan terikat kepada air yang dianggap sebagai sumber kehidupannya. Mereka bersatu pula untuk mendirikan pura-pura yang dekat dengan sumber air. Misalnya semacam Pura : Ulun Danu, Pura Siwi, Pura Bedugul, Pura Masceti, yang berfungsi sebagai pura kemakmuran. Profesi lain sebagai pedagang memerlukan pula tempat pemujaan dalam wujud pura, seperti Pura Melanting. Umumnya pura ini didirikan di dalam suatu pasar, dipuja para pedagang dalam lingkungan tersebut.
Sementara kalau berdasarkan karakteristiknya pura-pura di Bali dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok. Pertama, Pura Kahyangan Jagat, yakni pura umum tempat pemujaan Tuhan dengan segala prabhawa-Nya serta roh suci leluhur, termasuk di dalamnya Pura Sad Kahyangan dan Dang Kahyangan. Yang disebut Pura Kahyangan Jagat ialah Pura-pura Kahyangan Agung terutama yang terdapat di delapan penjuru mata angin dan pusat pulau Bali.
Kedua, Pura Kahyangan Desa, Pura yang disungsung oleh Desa adat berupa Kahyangan Tiga, yakni: Pura Desa atau Bale Agung tempat memuja Tuhan dalam prabhawa-Nya sebagai Dewa Brahma selaku pencipta (utpeti), Pura Puseh sebagai tempat pemujaan Wisnu sebagai pemelihara (sthiti), dan Pura Dalem, tempat memuja Siwa sebagai pelebur (pralina).
Ketiga, Pura Swagina, pura yang penyiwi-pemuja-nya terikat oleh swagina atau yang punya keterlibatan sama dalam sistem mata pencaharian hidupnya. Pura dimaksud adalah seperti Pura : Subak, Dugul, Melanting, Ulun Suwi.
Keempat, Pura Kawitan, Pura yang penyiwi-nya ditentukan oleh ikatan “asal muasal” atau leluhur berdasarkan garis keturunan geneologis, seperti: Sanggah / Pamerajan, Paibon, Panti, Dadia, Dalem Dadia, Penataran Dadia, Pedarman.
Landasan Filosofis
Di Bali khususnya dalam mendirikan suatu pura terlebih pura Kahyangan Jagat senantiasa berlandaskan pada konsepsi filosofis yang relevan dengan ajaran Tatwa agama Hindu di Bali. Dari uraian-uraian yang telah dijabarkan sebelumnya, ada tiga landasan konsepsi filosofis.
Konsepsi Rwa Bhineda-kesatuan purusa dan pradana melandasi pendirian Kahyangan Gunung Agung (Besakih sebagai purusa) dan Kahyangan Batur selaku pradana. Sementara konsepsi Catur Loka Pala, pengejawantahan daripada “Cadu Sakti” - empat aspek kemahakuasaan Tuhan, melandasi pendirian Kahyangan Catur Loka Phala:
- Pura Lempuyang di timur,
- Pura Andakasa di selatan,.
- Pura Batu Karu di Barat dan
- Pura Puncak Mangu di utara.
Konsepsi berikutnya, Sad Winayaka, secara konsepsional terkait dengan Pura: Besakih, Lempuyang, Goa Lawah, Hulu Watu, Batu Karu dan Pusering Jagat.
Ketiga landasan filosofis itu menjadi dasar pendirian Kahyangan Jagat, sebagai “Padma Bhuwana”, sthana Tuhan dalam berbagai manifestasinya. Sembilan Kahyangan Jagat itu meliputi Pura: Lempuyang di timur, Andakasa di selatan, Batu Karu di barat, Batur di utara, Besakih di timur laut, Goa Lawah di tenggara, Hulu Watu di barat daya, Puncak Mangu di barat laut, dan Pusering Jagat di tengah.
Di era global yang penuh tantangan di tengah perkembangan teknologi informasi, telekomunikasi dan transportasi dewasa ini, ada baiknya menerapkan konsepsi secara holistik terkait dengan aspek-aspek lainnya dalam merancang Pura. Perlu penyesuaian yang adaptatif dengan kondisi dan situasi lingkungan di mana pura tersebut akan dibangun atau didirikan.
Konsep Rancangan
Dalam melakukan pendekatan Konsep Rancangan juga perlu dilakukan beberapa dasar pertimbangan, antara lain: kegiatan civitas (manusianya), kebutuhan fasilitas, anggaran yang tersedia, kapasitas pamadek umat Hindu yang tangkil, alur atau pola sirkulasi umum, alur / pola sirkulasi khusus ke tempat suci. Kemudian dilakukan pendekatan terhadap bentuk rancangan, semisal peletakan kompas yang benar untuk ketepatan arah mata angin/orientasi, menerapkan tata nilai ruang arsitektur Bali, menempatkan patung-patung bermakna, menyediakan wadah aktivitas pejalan kaki dan penyediaan tempat parkir.
Begitu pula mesti memperhatikan bentuk pembangunan dan penataannya, semisal posisi penempatan jalan setapaknya. Di sisi lain untuk mengatasi terjadinya banjir (saat musim hujan) pada titik-titik tertentu perlu dibuat sumur-sumur resapan air, selain banyak ditanami pepohonan. Juga pada jalan dekat pura dilakukan penataan saluran air yang ada. Ada baiknya pula jika dibangun tempat untuk mebasuh (cuci) muka atau tangan di jaba sisi selain disediakan tempat mandi dan toilet di area terluar (jaba sisi pisan).
Lantas, bagaimana pendekatan sistem struktur dan utilitasnya? Ihwal tersebut tentu bisa dipengaruhi oleh faktor kondisi tanah, fleksibilitas ruang, perkembangan teknologi, fungsi bangunan serta kekuatan dan kestabilan. Sementara pendekatan sistem utilitasnya lebih melihat pada kondisi alam, persyaratan fisik dan psikologis pengguna ruang atau fasilitas dan kapasitasnya. Ada baiknya mengutamakan penggunaan bahan lokal/alami, baik untuk struktur maupun finishing. Selain itu agar dipakai bahan yang mampu bertahan lama, mudah dalam pemeliharaan, selaras dan harmonis dengan lingkungan, serta mendukung vibrasi kesucian pura.
Dalam menentukan Pengelompokan pengguna ruang dan besaran ruangnya perlu dipertimbangkan penataan unit jalan lingkungan menuju kawasan pura. Pun unit jalan menuju jaba sisi, jaba tengah dan jeroan pura. Sementara penentuan besaran ruang terkait dengan luas persil atau area, ukuran gerak aktivitas manusia, efektifitas kegiatan, efisiensi penggunaan ruang, efektivitas penataan, persyaratan fisik dan psikologis. Suasana alami-religius hendaknya menunjang masing-masing kegiatan dan sepatutnya tetap menerapkan sistem “gegulak”. Semua undag (anak tangga) pakai sikut tapak-berjumlah ganjil-dan ngandang ngurip.
Pura selain berarti sebagai tempat sujud atau tempat persembahyangan, juga sebagai tempat memohon ampun atas pikir, kata dan laku yang keliru dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, serta ucapan terima kasih kepada Hyang Pencipta atas anugerah perlindungan-Nya. Maka, pura sebagai tempat ‘mengusung sembah tulus’ patut dijaga kelestarian dan kesuciannya serta dihormati oleh umatnya. Peranan pura sangat penting sebagai “sentra rohani”, tempat memuja Tuhan dalam berbagai manifestasinya, selain sebagai tempat untuk melaksanakan “Dharma: Gita, Yatra, Wacana, Tula, Sedana, Shanti”.
Vibrasi Tanah Bali
Di berbagai tempat, banyak daerah pernah ditimpa musibah, yang menyengsarakan hingga tak sedikit menelan korban jiwa. Ada tanah pulau menyemburkan lumpur panasnya, bencana gempa bumi, tsunami, longsor, abrasi pantai dan lain-lain.
Adakah ini karena ulah dan kekhilafan manusia itu sendiri terhadap alam?Bagaimana dengan ketersediaan dan peruntukan tanah Bali kini?
Agaknya perlu segera dihentikan sikap mrncederai alam, seperti penebangan pohon di daerah hulu, eksplorasi perut bumi, hingga pengalihfungsian lahan produktif, terlebih tanah yang memiliki vibrasi. Jika saja hati nurani manusia lebih terkendali untuk tidak merusak, mengais atau menggerogoti “keseimbangan “ alam, kiranya alam tak akan menjadi murka, hingga ujung-ujungnya manusia jadi nemu baya atau menemukan bahayanya.
Tanah, salah satu bagian dari Panca Maha Bhuta yang juga unsur pembentuk tubuh manusia, patut dihormati dan diberi tempat semestinya, dengan memerhatikan hukum-hukum keseimbangan alam semesta. Upaya untuk tetap turut memberi keseimbangan antara kosmos alit dengan kosmos agung (jagat raya) merupakan upaya mulia sebagai “warisan” panutan yang bijak ke anak cucu. Tanah juga sebuah wilayah, di mana manusia bisa menatanya sesuai kebutuhannya. Namun, kondisi dan “karakter” tanah di setiap tempat kadang berbeda baik dari sisi fisik geologis, geografis, atau topografis tanah. Bahkan secara spiritual tanah dikatakan memiliki aura masing-masing. Benarkah?
Salah satu kearifan dalam arsitektur Bali, berdasar smerti Agama Hindu disebutkan, dalam menata penggunaan tanah-misalnya untuk membangun rumah-ada disinggung tentang tata cara memilih jenis tanah, tata letak tanah, tata ruang halaman, prosedur mendirikan bangunan, serta proses ritual yang berhubungan dengan nyakap palemahan dan melaspas rumah.
Dalam sebuah lontar – Keputusan Sang Hyang Anala – mengungkapkan, untuk letak tanah disarankan memilih tanah menggik kauh (lebih tinggi di sebelah barat). Apa makna tekstualnya? Dari lintasan matahari, arah terbit-tenggelamnya jelas akan mempengaruhi tata letak yang ideal untuk sebuah rumah. Ke arah mana rumah menghadap, itulah sasarannya. Logikanya, dalam site (tapak) lahan tersebut akan cenderung berorientasi ke tanah yang lebih rendah dan berupaya menghindari terpaan sinar matahari yang sudah condong ke barat. Maka tanah yang menggik kauh akan sangat efektif dan menjadi pilihan. Untuk itu pula jika site itu kondisinya datar (asah), diharapkan tanah penyandingnya tidak lebih tinggi. Sehingga disarankan memilih tanah yang disebut asah madya, lebih memberi perasaan tentram-damai (dewa ngukuhi).
Sementara tanah yang berhadapan dengan jalan lurus dikatakan tidak baik. Tanah itu disebut sandang lawe. Hal ini cukup beralasan, lantaran akses sirkulasi ruang publik secara fisik-visual maupun dari sisi ketidakamanan dan ketidaknyamanan akan mengarah secara frontal ke rumah yang dibangun itu. Begitu pula jika ada tanah dikelilingi jalan raya (sula nyupi) atau yang diapit jalan raya (kuta kabanda) dikatakan tidak baik. Tentu semua paham kalau jalan raya boleh dikata merupakan kumpulan keriuhan atau kebisingan, juga polusi udara. Logis bila di kedudukan tanah seperti itu tak patut untuk dibangun rumah. Apalagi jika ada jalan melingkar di sekitar pekarangan rumah (karang teledu nginyah), sangat tak patut di dalamnya didirikan rumah.
Bagaimana bila ada tanah untuk rumah yang letaknya bersebelahan dengan Pura Dang Kahyangan, Sad Kahyangan dan Kahyangan Tiga? Dalam lontar disebutkan, tanah itu disebut karang grah, berakibat tidak baik bagi penghuni rumah yang bertempat tinggal di dalamnya. Logikanya, pura merupakan tempat suci, tempat persembahyangan umat Hindu. Dalam radius tertentu diupayakan untuk bebas dari lingkungan yang mencemari lingkungan pura, baik dari segi fisik, visual atau pandangan, suara, polusi udara dan pencemaran aroma/bau. Jika di sebelah tempat suci itu dibangun rumah, juga berpengaruh tidak baik bagi penghuni rumah maupun terhadap vibrasi kesucian pura. Misalnya, bagaimana bila ada kegiatan ritual atau upacara di pura yang bersebelahan dengan rumah.
Begitu pula sebaliknya, segala aktivitas yang berlangsung di dalam rumah, seperti memasak, membuang limbah, pekerjaan yang menimbulkan kebisingan, dll. tentu akan mempengaruhi suasana lingkungan pura. Ada pula letak tanah tidak baik, yang disebut dengan amada-mada Bhatara, yakni tanah rumah yang dimiliki berseberangan jalan dengan rumah saudara kandungnya.
Menerka Tanah
Keadaan tanah tidak sepenuhnya datar. Ada tanah miring, berbukit atau curam. Bagaimana dengan tanah pekarangan? Tanah pekarangan merupakan tanah untuk tempat berdirinya umah. Kata pekarangan berasal dari kata karang (batu karang). Tanah dan batu karang adalah sebagai benda mati yang keduanya memiliki ‘habitat’ yang sama dan tak dapat dipisahkan satu sama lain.Perpaduan antara butiran-butiran kecil (tanah) dengan bebatuan yang padat, di mana perpaduan keduanya tepat sebagai tempat pijakan semua makhluk hidup di bumi dan media penghidup di mana tanaman bisa tumbuh.
Tempo dulu garis batas sebelah menyebelah tanah umumnya tidak menggunakan pembatas fisik (masif) seperti tembok. Namun menggunakan beberapa jenis tumbuhan yang ditanam pada garis batas itu, sehingga antara rumah-rumah dan pekarangan yang satu dengan rumah-rumah yang lainnya hanya dibatasi pepohonan. Tanah pekarangan (di Bali) yang pada awalnya berasal tanah sawah maupun ladang diperlukan upacara (ritual) yang disebut nyapuh.
Di masa lalu ada dikenal suatu ilmu yang disebut tarka, yang diwariskan oleh generasi sebelumnya (para tetua). Isinya mengulas tentang bagaimana menerka posisi dan peruntukan tanah serta bangunan. Lontar Bhamakreti dan Astabumi ada menyebutkan cara menerka tanah dan peruntukannya. Para undagi (arsitek) umah Bali mesti tidak sembarangan dan sangat hati-hati menerka tanah dan peruntukannya, mengikuti lontar itu.
Menerka (narka) tanah cara Bali adalah dengan kepekaan hidung. Bau tanah itu dijadikan sebagai alasan menentukan peruntukan tanah. Caranya, tanah digali sekitar 30 cm (atumbegan tanah-sekali cangkul). Lantas diambil dan dihirup aromanya. Jika bau tanah miik (harum) misalnya, sangat bagus buat lokasi Pura Kahyangan. Baik pula sebagai tempat mendirikan puri. Para tetua bilang, jika ingin mendirikan umah, sedapat mungkin pilih tanah yang berbau lalah (pedas) seperti cabai. Ini disebut dengan “sihin kadang warga lan kanti”. Artinya, disayangi sahabat dan sanak keluarga. Sangat dihindari tanah yang berbau bengu (busuk), tak baik untuk tempat mendirikan umah. Konon mengandung petaka, bikin boros, kerap bertengkar dan dapat memicu kericuhan penghuninya.
Menurut Ida Bujangga Rsi Somia dalam sebuah majalah terbitan lokal, tanah di Bali tidak hanya dipandang sebagai sumber hayati semata, namun juga diyakini sebagai himpunan (pumpunan) segala filsafat (tatwa) dan ajaran kearifan hidup. Tanah memiliki arti penting bagi manusia Bali, karena dari tanahlah semua kebutuhan hidup manusia berasal, seperti sandang, pangan dan papan. Berasal dan dihidupi dari tanah, semua berasal dari tanah dan mengambil untuk kelangsungan hidup dari tanah.
Saat pertama kali seorang bayi menginjak tanah (tuwun ke tanah) saat bayi telah berusia tiga bulan, atau berusia enam bulan (satu oton) keadaan itu memiliki makna pada tanah dan manusianya, bahwa pada saat itulah seorang anak manusia memohon berkah energi hidup secara langsung kepada Sang Ibu Pertiwi (tanah).
Berstatus Pradana
Juga dalam sebuah majalah lokal (Hindu) Bali, Ida Pedanda Gde Made Gunung pernah mengungkapkan, bahwa manusia Bali punya pandangan hidup yang menganalogikan bumi (tanah) sebagai Ibu, berstatus sebagai pradana, feminim, juga berarti labil. Sementara langit berstatus purusa. Dari pertemuan langsung energi bumi (pradana) dan energi langit (purusa) berupa sinar matahari terjadilah penciptaan (prakerti). Tanah dengan demikian menjadi tempat persemaian pembenihan. Dari sinilah muncul tradisi upacara bhuta yadnya di Bali, yang mesti digelar di ruang terbuka-yang disebut dengan natah.
Boleh dikata natah bermakna sebagai medium, di mana sinar matahari sebagai kekuatan sempurna. Natah dalam pekarangan rumah, secara konseptual, menjadi sangat penting keberadaannya. Natah menjadi sentrum atau pusat pekarangan, sama dengan catus patha bagi wilayah desa pakraman, di mana sinar matahari bebas hambatan menembus langsung bumi.
Tanah memang investasi yang amat berharga. Dan natah, betapa penting keberadaannya. Natah ada baiknya tak dibetonisasi agar menjadi area resapan air. Wilayah resapan air tak mesti disediakan di zona natah semata, tetapi juga di kawasan yang lebih luas, terlebih di daerah hulu (pebukitan) yang pada dasarnya merupakan pemasok sumber air di kawasan setempat, termasuk danau dan sungai. Sehingga sangat perlu dihindari adanya penebangan pohon-pohon setempat.
Di sisi lain, kini di Bali, rupanya menunjukkan kian banyaknya tanah orang Bali dibeli oleh orang asing di Bali. Adakah ini lantaran pengawasan aparat lemah? Apakah mereka tengah memanfaatkan kelemahan hukum dengan mengatasnamakan Indonesia? Rupanya di negeri ini tidak ada aturan yang jelas dan rinci tentang penguasaan tanah oleh orang asing.
Mungkinkah kelemahan ini dengan sengaja dimanfaatkan guna memperalat orang lokal untuk menguasai tanah-tanah Bali? Bukankah ini semacam bentuk “penjajahan” secara halus orang asing terhadap orang lokal? Begitu pula ditengarai belakangan ini banyak tanah desa (karang ayah) desa yang dijadikan agunan Bank, selain tak sedikit pemohon HGB (Hak Guna Bangunan) di atas tanah diajukan ke pemerintah. Bagaimana nasib tanah Bali ke depan?
Jika demikian halnya, kepemilikan tanah Bali oleh orang-orang Bali akan makin berkurang. Alhasil, akan semakin sulit menemukan tanah yang baik untuk posisi tanah maupun peruntukannya. Berbagai jenis tanah yang baik sebagaimana disebutkan di muka tentu semakin langka diperoleh, karena alih fungsi lahannya, atau jika kian lama makin banyak di atas tanah dibangun untuk sesuatu yang kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Bali. Itukah yang terjadi kini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar