Penerapan Siwa Siddhanta di Bali
Ajaran Agama Hindu yang dianut sebagai warisan nenek moyang di Bali adalah ajaran Siwa Siddhanta yang kadang - kadang juga disebut Sridanta.
Siddhanta artinya akhir dari sesuatu yang telah dicapai, yang maksudnya adalah sebuah kesimpulan dari ajaran yang sudah mapan. Ajaran ini merupakan hasil dari akulturasi dari banyak ajaran Agama Hindu. Didalamnya kita temukan ajaran Weda, Upanisad, Dharmasastra, Darsana (terutama Samkya Yoga), Purana dan Tantra. Ajaran dari sumber - sumber tersebut berpadu dalam ajaran Tattwa yang menjadi jiwa atau intisari Agama Hindu di Bali.
Siddhanta artinya akhir dari sesuatu yang telah dicapai, yang maksudnya adalah sebuah kesimpulan dari ajaran yang sudah mapan. Ajaran ini merupakan hasil dari akulturasi dari banyak ajaran Agama Hindu. Didalamnya kita temukan ajaran Weda, Upanisad, Dharmasastra, Darsana (terutama Samkya Yoga), Purana dan Tantra. Ajaran dari sumber - sumber tersebut berpadu dalam ajaran Tattwa yang menjadi jiwa atau intisari Agama Hindu di Bali.
Dalam realisasinya, tata pelaksanaan kehidupan umat beragama di Bali juga menampakkan perpaduan dari unsur - unsur kepercayaan nenek moyang. Wariga, Rerainan (hari raya) dan Upakara sebagian besarnya merupakan warisan nenek moyang. Warisan ini telah demikian berpadu serasi dengan ajaran Agama Hindu sehingga merupakan sebuah satu kesatuan yang bulat dan utuh. Dengan demikian, Agama Hindu di Bali mempunyai sifat yang khas sesuai dengan kebutuhan rohani orang Bali dari jaman dahulu hingga sekarang. Di masa sekarang ini, warisan Agama yang adhiluhung tersebut perlu kita jaga, rawat dan menyempurnakan pemahaman kita sehingga tetap bisa memenuhi kebutuhan jiwa keagamaan umatnya.
Tempat - tempat pemujaan menunjukkan tempat memuja Bhatara Siwa dalam manifestasi beliau. Belia dipuja sebagai Siwa Raditya di Padmasana, dipuja sebagai Tri Murti di sanggah, paibon, Kahyangan Desa dan kahyangan jagat. Pemujaan Tuhan pada berbagai tempat sebagai Ista Dewata sesuai dengan ajaran Tuhan berada dimana - mana. Demikinalah orang Bali menyembah Tuhan disemua tempat, di Pura Dalem, Pura Desa, Pura Puseh, Bale Agung, Pempatan Agung, Peteluan, Setra, Segara, Gunung, Sawah, Dapur dan sebagainya.
Pada abad ke-8 Danghyang Markandeya mendapat wahyu di Gunung di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur –unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah. Setelah menetap di Taro, Tegal lalang-Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Siddhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya Sewana, Bebali (banten), dan pecaruan. Dari konsepsi ajaran Danghyang Markandeya dapat disamakan dengan ajaran sekta-sekta lain yang ada di Bali. Seperti sekta Sora yang mengutamakan pemujaan terhadap Dewa Surya dalam bentuk pemujaan Surya sewana, sama halnya yang dilakukan oleh Sekta Siwa Siddhanta. Ini dapat dikatakan adanya kesamaan bentuk pemujaan antara sekta Siwa Siddhanta dengan sekta Sora.
Siwa Siddhanta dalam pelaksanaannya di Bali terdapat relasi antara manusia dengan Tuhan. Relasi ini diwujudkan dalam bentuk bakti sebagai wujud Prawrtti Marga. Tuhan dipuja sebagai saksi agung akan semua perbuatan manusia di dunia. Tuhan yang memberikan berkah dan hukuman kepada semua mahluk. Di Bali, bhakti kepada Tuhan direalisasikan dalam berbagai bentuk. Untuk orang kebanyakan, bhakti diwujudkan dengan sembahyang yang diiringi dengan upakara. Upakara artinya pelayanan dengan ramah diwujudkan dengan banten. Upakara termasuk Yajna atau persembahan suci. Baik sembahyang maupun persembahan Yajna memerlukan tempat pemujaan. Pemangku, Balian Sonteng dan Sulinggih mengantarkan persembahan umat kepada Tuhan dengan saa, mantra dan puja. Padewasan dan rerainan memengang peranan penting, yang mana pada semua ini ajaran sradha kepada Tuhan akan selalu tampak terwujud. Demikian juga misalnya saat Bhatara Siwa sebagai Dewata Nawa Sanga diwujudkan dalam banten caru, belia disimbulkan pada banten Bagia Pula Kerti, beliau dipuja pada puja Asta Mahabhaya, Nawa Ratna dan pada kidung belia dipuja pada kidung Aji Kembang. Bhatara Siwa sebagai Panca Dewata dipuja dalam berbagai Puja, Mantra dan saa, ditulis dalam aksara pada rerajahan dan juga disimbulkan pada alat upacara serta aspek kehidupan beragama lainnya.
Praktek – praktek ritual dari Saiwa Siddhanta dengan warna Tantrik dapat kita lihat dari ritual para Pendeta di Bali seperti dalam pelaksanaan Suryasevana dengan patangan atau mudra serta mantra – mantra ( Stuti dan Stava ) dengan kuta mantra-Nya dan lain – lain. Waisnawa Sampradaya memiliki peninggalan dalam tradisi adalah pemujaan kepada Dewi Sri sebagai Dewi kemakmuran. Sri adalah sakti dari Dewa Wisnu sedang Wisnu diyakini sebagai pemelihara alam semesta yang dikaitkan pula dengan pura puseh ( dipuja melalui pura puseh ) , Pura Ulun sui/ bedugul dimaksudkan pula untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasi utamanya sebagai Shang Hyang Wisnu.
Pelaksanaan Siwa Siddhanta dalam Panca Yajna
Penerapan Siwa Siddhanta di Bali lebih banyak yang nampak melalui pelaksanaan upacara agama Hindu yang dikelompokkan dalam lima bagian besar yang dinamain pancaa yajna, yakni :
- Dewa Yajna yakni persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa beserta dengan semua manifestasi-Nya, dengan pelaksanaan upacar agama berupa piodalan di Pura, persembahyangan, perayaan hari suci agama Hindu seperti : Saraswati, Pagerwesi, Galungan, Kuningan, Siwaratri, Nyepi, Purnama, Tilem, dan sebagainya.
- Manusa Yajna yakni persemban kepada manusia yang dimulai sejak dalam kandungan sampai menjelang meninggal dengan berbagai jenis upacaranya yang bertujuan untuk melakukan penghormatan terhadap sesama manusia, melakukan upacara seperti upacara megedong-gedongan, dapetan, tutug kambuhan, telu bulanan, ngotonin, ngeraja wala, matatah, mawiwaha, pawintenan, dan sebagainya.
- Pitra Yajna yaitu persembahan kehadapan orang tua selama masih hidup maupun setelah mati kehadapan pitara-pitari guna mendapatkan kerahayuan hidup di dunia ini dan di akhirat, cara pelaksanaannya dengan melakukan penghormatan kepada orang tua, berbakti kepada orang tua, melakukan upacara pitra yajna, dan lain-laainnya.
- Resi Yajna yakni persembahan kehadapan para orang suci, para resi yang telah berjasa dalam pembinaan, pengembangan, serta menuntut umat , yang pelaksanaanya dengan menaati ajaran para Resi, berbakti kepada Resi, berdana punia kepada para Resi, memberikan pelayanan keapda para Resi, dan sebagainya.
- Bhuta Yajna yakni persembahan kehadapan para bhuta kala atau makhluk bawahan, oleh karena para bhuta kala itu turut memberikan kekuatan kehidupan di alam semesta ini sehingga semua kehidupan menjadi harmonis. Pelaksanaannya dengan melakukan masegeh, macaru, dan pelaksanaan tawur.
Unsur-Unsur Sekte Waisnawa Yang terdapat Dalam Saiwa Siddhanta
Untuk melihat unsur-unsur Waisnawa yang terdapat dalam Saiwa Siddhanta perlu kiranya kita lihat dari 2 sisi,yaitu : Upakara dan Upacara.Dibawah ini akan diuraikan unsur-unsur Waisnawa dalam dua sisi tersebut.
1. Upakara
1. Upakara
- Dalam upakara dapat dilihat bahwa unsur-unsur Waisnawa ada pada penggunaan Sesayut Agung,bentuknya:memakai aled/alas sesayut,tumpeng agung yang dipuncaknya memakai telur itik direbus 1,4 kwangen,4 bunga yang berwarna hitam,pada saat dihaturkan bertempatkan di utara.Bentuk sesayut ini menggambarkan ciri-ciri dari Wisnu yang merupakan Dewa yang dipuja dalam sekta waisnawa.
- Sesayut Ratu Agung,bentuknya:Menggunakan tiga nasi tumpeng dengan puncaknya diisi satu buah telur itik,Bunga cempaka yang ditempatkan pada empat penjuru mengelilingi tumpeng,dua kwangen disandarkan pada tumpeng,dua tulung,sasangahan sarwa galahan,sodan woh,berbagai jenis buah-buahan.Dipersembahkan pada Dewa Wisnu.
- Canang Genten,bentuknya : memakai alas yang berupa ceper atau yang berupa reringgitan,disusun dengan plawa(daun),Porosan yang berupa sedah berisi apuh dan jambe diikat dengan tali porosan,disusun dengan tempat minyak,bunga dan pandan arum yang bermakna penyatuan pikiran yang suci untuk sujud bhakti kehadapan Hyang Widhi dalam wujudnya sebagai Brahma Wisnu dan Iswara.
- Banten Pula Gembal;Terdapat beberapa bagian yang mewakili wisnu diantaranya adalah terdapat jajan yang menggambarkan senjata dan salah satunya adalah senjata cakra yang merupakan senjatanya Dewa Wisnu.
- Gayah Urip:mempergunakan seekor babi.diatas kepala babi tersebut ditancapkan sembilan jenis sate yang berbentuk senjata,yang penempatannya sesuai dengan pengideran dewata nawa sanga.salah satu dari sate tersebut berbentuk cakra (senjata Dewa Wisnu) dengan puncaknya Amparu ditancapkan disebelah utara (Untram).
- Tirta:hampir disetiap upacara menggunakan tirta yang terbuat dari yang telah disucikan.Air merupakan lambang dari Dewa Wisnu.
- Banten catur rebah : pada banten ini salah satunya menggunakan biyu lurut 4 bulih,diletakan diutara sebagai simbol Dewa Wisnu.
2. Upacara
- Upacara Mapag Yeh : dilakukan oleh para krama subak yeh yang ditujukan kepada Dewa Wisnu.
- Mabyukukung : menggunakan upakara berupa banten dapetan penyeneng,jerimpen,pangambyan,sodan,canang,raka putih kuning,toya anyar mawadah sibuh yang berisi muncuk daun dapdap.Yang dipuja adalah Hyang Sri Laksmi yang merupakan saktinya Dewa Wisnu.
- Upacara yang dilakukan pada saat menanam padi:dilaksanakan pada sasih kaulu,kesanga,dan kedasa Dengan menggunakan segehan nasi kepalan berwarna hitam,ikan serba hitam,buah yang berwarna hitam,masawen (sawen=penanda) dengan kayu yang berwarna Hitam.Yang disembah atau dipuja adalah Hyang Guru Wisnu.
Unsur-unsur Sekte Bhairawa dalam Saiwa Siddhanta
Dalam pelaksanaan setiap upacara di Bali tidak dapat terlepas dari proses upacara pecaruan. Dalam proses upacara pecaruan ini sebagian besar penggunaan sarananya mirip dengan penggunaan sarana sekta Bhairawa yang menggunakan arak, tuak dan brem. Selain itu dalam setiap penutup kegiatan Pujawali di setiap Pura di Bali menyelenggarakan upacara Tabuh Rah yang merupkan simbolisasi pemberian penyupatan kepada bhuta kala. Sekta Bhairawa juga mengadakan upacara Tabuh Rah, ini tidak dapat dipungkiri adanya kesamaan bentuk dan pelaksanaan upacara antara Siwa Siddhanta dan Bhairawa.
Unsur-Unsur Sekte Sora dalam Saiwa Siddhanta
Setiap pelaksanaan upacara di Bali saat ini merupakan penerapan dari ajaran Siwa Siddhanta. Dan Ajaran Siwa Siddhanta ini merupakan salah satu bentuk ajaran yang mengkristalisasi semua ajaran sekta-sekta yang ada di Bali. Seperti dalam setiap pelaksanaan upacara pemujaan dalam bentuk surya sewana yaitu pemujaan kepada Dewa Surya, hal ini merupakan salah satu unsur dari sekta Sora yang kemudian di kristalisasikan dalam sekta Siwa Siddhanta. Adapun makna yang terkandung dalam pelaksanaan upacara pemujaan Dewa Surya ini adalah sebagai simbolisasi bahwa umat manusia telah melaksanakan Yajna.
Unsur-unsur Sekte Pasupata dalam Siwa Siddhanta
Sekta pasupata merupakan sekta yang mengutamakan bentuk pemujaan terhdap Dewa Siwa melalui Lingga. Dalam Siwa Siddhanta pelaksanaanya dalam mewujudkan Sang Hyang Widhi Wasa yang berwujud Transenden menggunakan simbolisasi berupa arca atau lingga. Hal ini dapat disamakan dengan bentuk pemujaan yang dilakukan oleh sekta Pasupata. Mpu Sangkulputih merupakan pelopor pembuatan arca atau pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi. Lingga merupakan lambang Dewa Siwa atau Tuhan Siwa, yang pada hakekatnya mempuriyai arti, peranan dan fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat lampau, khususnya bagi umat manusia yang beragama Hindu. Hal ini terbukti bahwasanya peninggalan lingga sampai saat ini pada umumnya di Bali kebanyakan terdapat di tempat-tempat suci seperti pada pura-pura kuno. Bahkan ada juga ditemukan pada goa-goa yang sampai sekarang masih tetap dihormati dan disucikan oleh masyarakat setempat.Di Indonesia khususnya Bali, walaupun ditemukan peninggalan lingga dalam jumlah yang banyak, akan tetapi masyarakat masih ada yang belum memahami arti lingga yang sebenarnya. Untuk memberikan penjelasan tentang pengertian lingga secara umum maka di dalam uraian ini akan membahas pengertian lingga, yang sudah tentu bersifat umum.
Ajaran Hindu yang berkembang di Indonesia adalah ajaran Siwa Siddhanta, yaitu ajaran yang menekankan pada pemujaan Lingga dengan tokoh Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa. Serta pada Tri Purusa yaitu Parama Siwa, Sada Siwa, Siwa. Pengertian Tri Purusa ialah lukisan Tuhan sebagai penguasa alam atas, alam tengah dan alam bawah yang dilukiskan sebagai Parama Siwa (atas), Sada Siwa (tengah) dan Siwa (bawah). (Sara,1994:56). Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa Siwa Siddhanta menggunakan lingga sebagai simbolisasi. Hal ini merupakan kemiripan dari ajaran Pasupata.
Unsur-unsur Sekte Bodha atau Sogatha dalam Siwa Siddhanta
Masuknya agama Hindu di Bali diperkirakan sebelum abad ke-8 Masehi, karena terdapat bukti berupa fragmen-fragmen pada prasasti yang ditemukan di desa Pejeng, Gianyar yang berbahasa Sanskerta. Ditinjau dari segi bentuk hurufnya diduga sejaman dengan meterai tanah liat yang memuat mantra Budha yang dikenal dengan "Ye te mantra", dan diperkirakan berasal dari tahun 778 Masehi. Pada baris pertama dari dalam prasasti itu menyebutkan kata "Sivas.......ddh......." yang oleh para ahli, terutama Dr. R. Goris menduga kata yang hampir pudar itu kemungkinan berbunyi: "Siva Siddhanta". Dengan demikian pada abad ke-8, Paksa (Sampradaya atau Sekta) Siwa Siddhanta sudah berkembang di Bali. Berkembangnya ajaran agama yang dianut oleh raja dan rakyat tentunya melalui proses yang cukup panjang, sehingga dapat dikatakan Hindu Sekte Siwa Siddhanta sudah masuk secara perlahan-lahan sebelum abad ke-2 hingga ke-8 Masehi.
Bukti lainnya adalah ditemukannya arca Siwa di Pura Putra Bhatara Desa di Bedahulu, Gianyar. Arca tersebut merupakan satu tipe dengan arca-arca Siwa di Candi Dieng yang berasal sekitar abad ke-8, yang menurut Stutterheim tergolong berasal pada periode seni arca Hindu Bali. Dalam prasasti Sukawana di Bangli yang memuat angka 882 Masehi, menyebutkan adanya tiga tokoh agama yaitu Bhiksu Sivaprajna, Bhiksu Siwa Nirmala dan Bhiksu Sivakangsita yang membangun pertapaan di Cintamani (di Kintamani), yang menunjukkan kemungkinan telah terjadi sinkretisme antara Siwa dan Budha di Bali. Bila dilihat perkembangannya, kedua aliran agama tersebut sesungguhnya berasal dari pohon yang sama yaitu ajaran Hindu. Berkembangnya dan terjadinya sinkretisme antara penganut Siwa dan Buddhisme di Bali, diduga lebih menonjol pada masa pemerintahan raja besar Dharma Udayana Warmadeva, karena kedua agama tersebut merupakan agama yang diakui kerajaan.
Konsep Budha memang tidak dapat tempat ke dalam konsep ini. Namun secara fhilosofis, Budhisma sesungguhnya tidak memerlukan tempat suci. Sebab inti Budhisma bukan pemujaan, namun pelatihan-pelatihan untuk mengubah prilaku diri sendiri. Karena itu, pura bagi pengikut sang Budha adalah dirinya sendiri. Para pengikut Budha tidak memerlukan tempat suci, meskipun memang ada pengikut Budha yang masih memerlulan tempat suci. Mereka diberi kebebasan untuk membangun tempat suci untuk dewa pujaannya dirumanya masing-masing.
Keseluruhan konsep ini dikembangkan kedalam sebuah tatanan yang disebut Pakraman. Tatanan ini mengikat seluruh warga yang ada di dalam Pekraman. Sehingga semua sekte atau aliran pemikiran tersebut melebur ke dalam Pakraman. Pada sekitar abad ke 15 masehi, peleburan ini telah mencapai pada titik sempurna. Dhangyang Dwijendra pada sekitar abad tersebut, hanya menemui sekte-sekte seperti terdapat dalam kelompok-kelompok elite para brahmana, seperti brahmana Waisnawa, Shiwa dan Budha. Sementara masyarakat bali sendiri telah terlebur ke dalam Pakraman. Siapa pun tidak bisa membedakan sekte-sekte mereka. Walau pun mereka menganut sebuah sekte tertentu. Sifatnya sangat pribadi. Tak perlu diumumkan di tengah-tengah masyarakat luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar