Google+

Belajar dari Lakon Dewa Ruci

Belajar dari Lakon Dewa Ruci
Oleh : Miswanto

Photobucket

Lakon Dewa Ruci dalam kesusastraan Jawa ditulis dalam beberapa sumber pustaka seperti "Nawaruci", "Dewa Ruci" dan "Bimo Suci". Menurut Seno Sastroamidjojo (1967) babon cerita Dewa Ruci itu berbahasa Jawa kuno atau Kawi, tertulis pada rontal. Tan Khoen Swie (1923) menyebutan bahwa cerita Dewaruci yang asli itu digubah dalam bahasa Kawi oleh Mpu Wijayaka di Mamenang, Kediri atau lebih terkenal dengan Ajisaka yang pada waktu kecilnya bernama Jayasengkala, salah seorang putra Mpu Anggojali.

Sementara itu dalam disertasinya, Priyohutomo menyebutkan bahwa Serat Dewaruci ini merupakan pengembangan dari Nawaruci yang ditulis oleh Mpu Siwamurti, salah seorang pujangga pada masa Majapahit. Kemudian banyak gubahan baru diturunkan dari aslinya. Turunan itu kemudian diturunkan pula. Pada umumnya dengan tambahan atau pengurangan berdasarkan kehendak atau perasaan pribadi sang penggubah.

Dari beberapa sumber pustaka tersebut pada intinya sama, yakni mengenai perjalanan Bima mencari Tirtha Pawitra atau Tirtha Perwita Sari guna mencapai kesempurnaan hidup (kasampurnaning agesang). Dari beberapa sumber sebagaimana telah disebutkan di muka, maka dapat disajikan cerita Dewaruci tersebut sebagai berikut.

Atas permintaan para Korawa, Guru Drona memasang muslihat untuk melenyapkan Bima dengan menugasinya mencari Tirtha Pawitra sebagai sarana pembuka pengetahuan sejati yang bertempat di hutan Tibrasara di Gunung Candramuka. Setelah mengirim barisan-pendem untuk mencelakakan Arya Sena, Suyudana pulang ke Astina dan menemui Permaisurinya Dewi Banowati dan putrinda Leksmanawati. Sementara Patih Sakuni dan Kurawa lengkap berangkat berkuda.

Pada saat yang bersamaan di Sapta Pratala, Bhatara Anantaboga dan Dewi Suparti menerima sasmita dewata bahwa Bima menantu mereka akan menerima cobaan. Sang Dewi Suparti segera silih warna atau berubah wujud sebagai naga berangkat untuk membantu sang menantu.

Di perjalanan bersua para kurawa dan bertempur, namun para kurawa segera menyimpang jalan setelah diganggu oleh Naga jelmaan Dewi Suparti. Naga jelmaan segera melanjutkan langkah dan bertapa di gua Sigrangga di Sapta Arga. Rsi Abhyasa sedang dihadapkan pada Arjuna dan para Punakawan yang melaporkan bahwa Arya Sena hendak dicelakai Danghyang Drona. Rsi Abhyasa menyuruhnya mencegah, namun bila berkeras, doakanlah agar semua langkahnya membawa hasil sepadan.

Di tengah rimba dalam perjalanan pulang, Arjuna dan Punakawan bertemu sepasang macan, sang Kesara dan sang Kesari. Kedua harimau tersebut ditewaskan dan kemudian lenyap menjadi Bhatara Brahma dan Dewi Saraswati. Brahma memberi wangsit bahwa Bima akan memperoleh anugrah. Setelah menyampaikan wangsit itu Brahma dan Sang Dewi kembali ke Kahyangan Brahma (mur ring brahmaloka).

Sementara itu di Amarta sedang ada pertemuan antara Yudistira, Bima, Nakula, Sadewa dan Kresna. Prabu Kresna yang ada di sana ikut menahan Bima agar membatalkan niatnya. Namun Bima berkeras bahwa mencari Tirtha Pawitra di Gunung Candramuka adalah bukti baktinya pada Dang Guru Drona serta demi mengejar pemahaman inti pengetahuan sejati. Di tengah Pasewakan tersebut Arjuna datang dan melaporkan semua yang diketahuinya, Arya Sena tetap tidak bisa ditahan dan pamit berangkat.

Sesampainya di Gunung Candramuka, Sang Sena bertindak membabi buta. Segala bukit batu dan pohon besar dibongkar berantakan. Namun apa yang dicari tetap tak ketemu juga. Rukmuka dan Rukmakala, sepasang raksasa di Gunung Candramuka murka melihat Arya Sena membongkar hutan semena-mena. Pertarungan pun tak terelakkan dan kedua raksasa itu musnah kembali ke wujud semula, yakni Hyang Indra dan Hyang Bayu. Keduanya kemudian memberikan Ajian Jalasengara dan Senjata Eka Druwendra.

Jalasengara adalah kemampuan memasuki air tanpa kesulitan. Kedua dewa tersebut juga memberi wisikan pula bahwa sebenarnya permintaan Drona hanyalah tipu daya. Namun semua usaha yang dilakukan secara bersungguh-sungguh senantiasa akan berbuah sepadan.

Sang Bima segera kembali ke Astina untuk menanyakan pada Sang Guru. Sekembalinya di Astina, Drona memberitahu bahwa tugas terdahulu hanyalah penguji tekad muridnya. Tempat yang sebenarnya adalah di tengah samudra. Bima segera kembali ke Amarta untuk pamit kedua kalinya. Di Amarta kembali semua sanak saudara menahan kepergian Bima. Namun sekali lagi Bima tak bisa ditahan dan berangkat dengan segera.

Di tengah perjalanan ketika di Gua Sigrangga Bima disambar oleh Naga Suparti. Mereka pun terlibat pertarungan. Naga kalah dan kembali ke wujud aslinya. Kemudian membisikkan tentang muslihat Drona. Namun jangan menurunkan semangat bukti bakti sang menantu agar tetap memperoleh anugrah. Atasnya Sang Sena diminta segera meneruskan ke samudera lalu lenyaplah Sang Dewi dan byar, Arya Sena sudah berada di tepian samudra.

Dengan benak hanya terisi satu tujuan menaati permintaan guru Drona sang Bima mencebur ke tengah samudera. Ombak menyaput sampai ke leher dan kepala. Termangu sejenak sang Bima membayangkan ancaman maut. Namun teringat pada aji Jalasengara pemberian dewata, maka Bima pun masuk ke dalam Samudra dengan mudah.

Seekor Naga Raksasa, Sang Nemburnawa, datang menghadang, maka pertarungan pun tak dapat dielakkan. Pertarungan di air ini membuat seisi samudera bergolak. Namun akhirnya sang Naga tewas oleh Kuku Pancanaka. Samudera kembali hening tenteram sunyi.

Tak lama kemudian tampaklah seorang anak bajang di atas air melambaikan tangannya pada Bima agar menghampiriNya. Dia adalah Dewa Ruci yang bersinar seperti Hyang Surya. Dia juga disebut Sang Marbudyengrat yang kala itu juga menyerupai wujud Bima. Hal ini sebagaimana digambarkan dalam sebuah tembang Maskumambang sebagai berikut : Dewa bajang peparap sang dewa Ruci, Sang Sena angus..wa, Pawongan sakawit swawu, Sang Hyang Ruci….i..Baskara.

Terkejutlah Sang Arya Sena melihat Dewa Bajang itu. Setelah terlibat pembicaraan denganNya, Bima lebih terkejut lagi karena Dewa Bajang ini tahu semua tentang dirinya. Dia juga tahu tentang maksud dan tujuan kedatangannya ke tempat itu. Dan yang lebih mengejutkan lagi dalam hati Bima, Dewa Bajang itu menyuruhnya untuk masuk ke dalam dirinya. Awalnya Bima tidak percaya bahwa dia yang sebesar itu bisa masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci yang berwujud anak kecil tersebut.

Namun ketika Sang Dewa Ruci memperlihatkan wujud asliNya, maka Sang Bima bagaikan mengecil dan seketika itu Sang Bima masuk kedalam tubuh Sang Dewa Ruci melalui telinga kiri Sang Dewa Ruci yang telah terangsur ke arahnya. Dengan kekuatan Dewata maka Bima berada di dalam tubuh Sang Dewa Ruci.

Tatkala berada di dalamNya, Sang Bima bisa melihat seluruh alam semesta ada di dalamNya. Di sana Sang Bima juga melihat keajaiban-keajaiban Tuhan yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya. Sang Bima juga dapat melihat sinar-sinar kekuatan Dewata yang belum pernah dilihatnya di dunia fana. Di sana pula Sang Bima mendapatkan wejangan-wejangan dari Sang Dewa Ruci tentang ngelmu kasunyatan di mana manusia harus bisa menjalani mati sajroning urip dan urip sajroning mati.

Setelah selesai memberikan wejangan kepada Bima, Sang Dewa Ruci merangkul Sang Bima dan membisikkan segala rahasia rasa terang bercahaya. Seketika wajah Sang Sena menerima wahyu kebahagiaan bagaikan kuntum bunga yang telah mekar menyebarkan keharuman dan keindahan memenuhi alam semesta dan blassss…! sudah keluarlah Sang Bima dari raga Dewa Ruci, Sang Marbudyengrat kembali ke alam nyata di tepian samodera luas sunyi tanpa Sang Dewa Ruci. Sang Bima melompat ke daratan dan melangkah kembali siap menyongsong dan menyusuri rimba belantara kehidupan.

Cerita Dewa Ruci tersebut adalah gambaran bagi manusia agar mempunyai rasa bhakti, patuh dan setia kepada semua guru. Seorang sisya yang tidak berbakti, patuh dan setia kepada guru tidak akan bersinar di masyarakat. Gambaran tentang bhakti kepada guru tersebut juga disuratkan dalam Bhagawad Gita IV.33 : tat widdhi pranipatena pariprasnena sewaya, upadeksyanti te jnanam jnaninas tattwa darsinah (Belajarlah, bahwa dengan sujud bersembah, dengan bertanya dan dengan pelayanan; orang bijak yang telah melihat kebenaran mengajarimu dalam ilmu pengetahuan).

Namun ada juga yang menyebutkan bahwa cerita Dewa Ruci ini merupakan peringatan bahwa dalam berbakti janganlah membabi buta. Sisya harus bisa berbakti secara cerdas dengan kemauan yang keras namun tetap didasari oleh hati yang ikhlas. Lebih-lebih dalam jaman seperti ini, banyak guru yang hanya mengaku-ngaku. Hal inilah yang kemudian menjadikan sebuah plesetan untuk guru, yaitu "guru, yen digugu ngajak turu (guru kalau dituruti mengajak tidur)".

Sumber: mediahindu.net/index.php/berita-dan-artikel/artikel-umum/1-belajar-dari-lakon-dewa-ruci.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar