Google+

Meningkatkan Pengalaman Beragama

Meningkatkan Pengalaman Beragama

Kuneng phala sang hyang aji kinewruhan,
haywaning sila mwang aacaara.
siila ngaraning swabhaawa, aacaara ngaraning prawrti
kawarah ring aji
. (Sarasamuscaya 177)
Artinya:
Gunanya Sastra suci (Veda) itu untuk diketahui dan diamalkan dalam Siila dan Aacaara. Siila adalah prilaku yang berasal dari pembawaan lahir (swabhawa), Aacaara, mentradisikan pengamalan ajaran suci (Veda) dalam kehidupan bersama dalam masyarakat.

KUTIPAN ini diambil dari sebagian penjelasan Sarasamuscaya Sloka 177 dalam bahasa Jawa Kuno. Sloka-sloka Sarasamuscaya tersebut diambil dari berbagai sumber Sastra Weda dalam bahasa Sansekerta. Kemudian dijelaskan dalam bahasa Jawa Kuna. Dewasa ini ada beberapa terjemahan dalam bahasa Indonesia. Yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah komentarnya dalam bahasa Jawa Kuno. 


Kutipan Sarasamuscaya tersebut mengajarkan kepada kita bahwa tujuan adanya ajaran suci Weda dengan kitab-kitab Sastranya adalah untuk diketahui dan diamalkan baik dalam kehidupan individu maupun dalam tradisi kehidupan bersama dalam masyarakat. Ciri dari pengalaman ajaran suci Weda (Linging Sang Hyang Aji) adalah untuk memperbaiki Swabhawa dan Aacaara. 

Yang dimaksudkan Swabhawa adalah salah satu muatan Karma Wasana atau bekas-bekas perbuatan kita di masa lampau yang kita bawa lahir. Salah satu muatan Karma Wasana itu adalah Swabhawa artinya benih-benih sifat yang kita bawa lahir. Benih-benih sifat inilah yang kita perbaiki dengan ajaran agama agar meningkat menjadi lebih baik. Cirinya kita beragama apabila ada perubahan diri menjadi makin baik. Inilah gunanya kita beragama. 

Tanpa ada perubahan diri menjadi makin berkualitas berarti kita belum mampu mendayagunakan ajaran agama itu untuk memperbaiki kualitas diri. Meskipun kelihatannya kita sangat semarak beragama seperti sangat mampu menghapalkan ajaran-ajarannya, sangat meriah melakukan upacara agama, rajin bertirtayatra, kalau semuanya itu tidak nampak membawa perubahan diri maka ajaran agama yang suci itu belum mampu kita daya gunakan memperbaiki diri. Demikian pula kegunaan ajaran agama harus mampu mengubah tradisi beragama Hindu (Aacaara) menjadi makin baik.
Kalau nyatanya tradisi beragama itu belum mampu membawa perbaikan dalam tradisi kehidupan bersama ini artinya agama belum mampu didayagunakan untuk memperbaiki kehidupan bersama. Oleh karena itu, belum waktunya jika membangga-banggakan keberagamaan kita sebagai umat yang benar-benar sudah beragama dengan baik. Marilah kita adakan perenungan kembali. Di manakah letak kekurangan kita dalam mendayagunakan ajaran itu. 

Kita boleh berbangga kalau memang sudah mampu menunjukkan perilaku yang makin baik sebagai umat beragama. Demikian pula kita mampu membenahi kebiasaan-kebiasaan buruk dalam masyarakat berubah menjadi kebiasaan-kebiasaan yang baik dengan mendayagunakan ajaran agama Hindu. Sampai saat ini masih banyak kita lihat penyalahgunaan tempat-tempat suci Hindu dan juga hari raya suci Hindu untuk hal-hal yang tidak suci. Ada yang menggunakan areal tempat suci itu sebagai arena berjudi. Ada sementara umat yang menggunakan hari raya suci Hindu sebagai kesempatan untuk mabuk-mabukan dengan menenggak minuman keras. 

Ada sementara pihak yang menyalahgunakan kesempatan upacara yadnya itu untuk membenahi umat dan untuk memperkaya diri. Keluhan umat makin muncul karena beragama yang lebih menonjolkan adat menjadi beban yang memberatkan umat. Padahal tujuan beragama justru untuk menuntun umat menjadi hidup makin bahagia. Ini sudah dapat dipastikan bukan karena kesalahan ajaran agama Hindu tersebut. Hal ini terjadi karena ajaran agama itu tidak kita amalkan sebagaimana mestinya. 

Oleh karena itu, agar ajaran agama Hindu itu benar-benar berguna dengan baik untuk meningkatkan kualitas kehidupan individu dan kehidupan bersama maka perlu diadakan evaluasi secara sadar agar kita tidak kehilangan tongkat untuk kedua kalinya. Pada zaman lampau agama Hindu dianut oleh sebagian besar penduduk di Nusantara ini. Sejarah mencatat populasi masih padat umat Hindunya sampai sekarang kita jumpai hanya di Bali. 

Di tempat-tempat lain di Nusantara ini umat Hindu jumlahnya sangat kecil dan jauh terpencar-pencar. Salah satu hal yang wajib kita upayakan adalah meredam egoisme adat yang sempit. Tumbuhkan spiritualitas baru dalam kehidupan beragama. Dengan spiritulitas baru itu kita wujudkan bahwa sebagai umat beragama memang kita sangat paham akan ajaran agama Hindu yang kita anut. Pemahaman itu kita tunjukkan dalam perilaku sehari-hari sesuai swadharma kita masing-masing. Dengan demikian, pengamalan ajaran agama dapat memperbaiki kehidupan individu dan tradisi kehidupan bersama. 

oleh I Ketut Gobyah, indu-indonesia. com
diposkan kembali di http://cakepane.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar