Google+

Teologi Sang Daridra

Teologi Sang Daridra

DALAM kelahirannya, agama Hindu memiliki watak yang sosialistik. Watak sosialistik dari Hindu dapat dibaca dari dua hal. Pertama, teologi tentang uang. Teologi uang dalam teks-teks suci keagamaan memfirmankan beberapa larangan di antaranya, larangan untuk mendapatkan keuntungan (harta) dari eksploitasi terhadap sesama, serta larangan uang yang didapatkan dari jalan kotor untuk membiayai usaha-usaha yang bersifat kebaikan. Dalam hal ini, Hinduisme selalu memberi batas yang tegas antara laba dengan kacmala (riba-rente). Kedua, watak sosialistik Hinduisme terlihat dari anjuran untuk mensedekahkan kepada seorang patra (orang yang patut diberikan sedekah).

Dalam teks-teks klasik Hinduisme juga digambarkan bahwa bersedekah (dana puniya) tidak harus berbentuk harta tetapi juga berupa amal kebajikan. Misalnya seorang dokter akan memberi obat, seorang guru akan menularkan ilmunya pada sang patra. Bahkan ada yang disebut Abhayadana, dana punia yang lebih utama dari segala macama dana, yaitu tidak membuat takut semua makhluk. Tinggal sekarang menentukan siapa seorang patra itu. Sang patra yang sesungguhnya adalah para daridra (orang miskin), yang dalam bahasa Sarasamuscaya disebutkan sebagai orang yang hidup tetapi pada saat yang sama ia "mati. 

Walaupun secara nawaitu, agama Hindu adalah agama yang sosialistik, dalam transformasi sosial yang intensif dan eskalatif sejak revolusi industri dan diperkenalkan paradigma modernitas-kapitalisme, Agama Hindu, dalam pengertian sosiologis, institusional, tidak bisa menghidari diri dari pengaruh paradigma modernitas-kapitalisme. Saking kuatnya pengaruh ideologi kapitalisme ini menimbulkan dua kecenderungan utama dalam wajah Hinduisme kontemporer; agamaisasi kapital dan kapitalisasi agama. 

Agamaisasi Kapital 

Agamaisasi kapital merupakan kecenderungan kontemporer yang menjadikan kapital (uang-harta) sebagai orientasi utama kehidupan. Dalam masyarakat kapitalistik, kapital telah menjadi agama baru. Seluruh pikiran, perkataan dan tindakan diabdikan untuk mendapatkan keuntungan secara maksimum (akumulasionis). Dalam ranah ekonomi, watak akumulasionis, tampak dari penindasan pengusaha terhadap buruhnya dan para petani berdasi terhadap buruh taninya. Namun, karakter akumulatif ini tidak hanya menyentuh domain ekonomi semata melainkan meluas ke domain-domain sosial yang lain. Misalnya, para birokrat sibuk untuk menghitung besarnya fee yang diperoleh dari investor ketika ada proyek pembebasan tanah, para politisi mengkalkulasi uang yang diperoleh ketika menolak sekaligus menerima LPJ Gubernur-Bupati, beberapa LSM membuat proposal fiktif untuk dapat menarik dana atau bahkan dosen sibuk menjadi konsultan proyek investor di mana-mana. 

Kosekuensi logis dari agamaisasi kapital ini adalah keterasingan (alienasi) manusia dari manusia yang lain, karena dalam sistem ekonomi yang kapitalistik manusia pada dasarnya dipandang sebagai salah satu faktor produksi yang akan menghasilkan keuntungan. Dalam proses komoditifikasi ini, manusia tidak ada ada bedanya dengan benda karena bisa menjadi lahan keuntungan (komoditi) dari manusia yang lain. Berjalanannya komoditifikasi ini secara intensif akan memperluas dan memperlebar jumlah kaum Daridra, yang jelas mengalami proletarisasi dalam sistem ekonomi yang kapitalistik. 

Kapitalisasi Agama 

Selain agamaisasi kapital juga berjalan proses kapitalisasi agama. Dalam kapitalisasi agama, agama sebagai institusi cenderung tumbuh dan berkembang menjadi institusi yang kapitalistik. Dalam konteks Bali, kapitalisasi agama bisa terbaca dari beberapa gejala. Pertama, komoditifikasi banten dan upacara. Dalam maknanya yang otentik, banten merupakan persembahan suci (yadnya) dalam memenuhi Tri Rna, namun maknanya akan bergeser ketika banten menjadi sekedar "paket hemat" yang ditransaksikan. Demikian pula dengan upacara keagamaan kemudian berkembang menjadi kebutuhan untuk memenuhi motif-motif kapitalisme pariwisata, seperti sekadar menjadi paket wisata, atau muncul dalam ungkapan "apang nyak turise teka ke Bali" (supaya wisatawan mau datang ke Bali). 

Kedua, kapitalisasi agama juga menyentuh para pemegang otoritas simbol-simbol keagamaan. Secara sinis, masyarakat sering menunjuk pada oknum-oknum perilaku pandita dan pinandita yang lebih mementingkan sarin daksina daripada seva (pelayanan). Bahkan hal ini disadari juga oleh kalangan pandita sendiri, seperti diungkapkan Ida Pedanda Made Sidemen dalam lontar Patitip. 

Dalam lontar itu, Ida Pedanda pernah menyebutkan fenomena Wiku Raksasa, yang menunjuk pada perilaku para pandita yang tidak mengikuti sesana kepanditaan, larut dengan dunia yang berubah. 

Berjalannya proses kapitalisasi agama secara luas bisa jadi akan mengakibatkan agama hanya menjadi ruang bagi orang yang memiliki uang, dan menjadi "neraka" bagi orang daridra yang tidak beruang. Dalam agama yang telah terdistorsi oleh kapitalisme hanya orang kayalah yang akan bisa memenuhi tuntutan untuk beryadnya. Karena mereka memiliki uang untuk membeli segala sesuatu, bahkan mungkin juga berpunia untuk kepentingan keagamaan (membangun Pura, menyumbang banten) dan dana abadi institusi agama. 

Teologi untuk Orang Miskin 

Kalau kita ingin kembali ke semangat beragama yang sosialistik maka gejala agamaisasi kapital dan kapitalisasi agama harus segera diakhiri. Memang ini bukan tugas yang ringan, karena sebagaian teks keagamaan menyebutnya sebagai perangkap Kaliyuga dalam perputaran cakra manggilingan yang harus dialami. Namun setidaknya ada beberapa hal yang bisa dilakukan. 

Pertama, belajar dari sejarah agama-agama, bahwa transformasi sosial seringkali dimulai dari perubahan yang radikal terhadap pemahaman teologis keagamaan, seperti yang ditunjukkan oleh kelahiran teologi Pembebasan di Amerika Latin, maka Hinduisme harus mengeksplorasi dan membangun kembali pemahaman teologis keagamaan yang berbasiskan pada kaum daridra (kaum miskin). Dalam teologi untuk orang miskin, seharusnya terjadi perubahan yang radikal terhadap pembacaan fenomena kemiskinan, bahwa orang menjadi miskin bukan karena seseorang itu dibelenggu takdir-karma (konservatif) ataupun karena malas (liberal), namun orang menjadi miskin karena ketidakadilan struktural. Perubahan radikal terhadap tafsir keagaaman tentang sang miskin akan membebaskan sang miskin dari perangkap penindasan struktural, baik oleh Negara maupun pemilik kapital. 

Kedua, agama sebagai institusi seharusnya kembali sebagai pelayan bagi sang miskin. Agama harus menunjukkan keberpihakan pada orang-orang yang kalah ini melalui pemberian pelayanan dasar; pendidikan dan kesehatan. Tanpa keberpihakan ini agama hanya menjadi wacana, dunia simbol-simbol ataupun atraksi sosial yang menarik untuk ditonton. Dalam konteks ini, tugas lembaga keagamaan itu bukan hanya mengorganisir upacara-upacara besar namun juga mengumpulkan punia dari umat yang berlebih untuk kemudian dikelola untuk kepentingan si miskin. Itulah sebabnya banyak tokoh besar dan institusi keagamaan dari berbagai agama memulai selalu langkahnya dari pelayanan dasar bagi si miskin. Mulai dari Bunda Theresia dari Ordo Cinta Kasih sampai dengan Gerakan Muhammadiyah yang mendirikan banyak rumah sakit dan sekolah di Indonesia. 

Sampai di sini agama telah menunjukkan keberpihakannya serta memerankan dirinya sebagai penjaga masyarakat yang sosialistik. 

Sumber AAGN Ari Dwipayana dosen Fisipol UGM Yogyakarta, hindu-indonesia. com
di poskan kembali di http://cakepane.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar