Google+

Buleleng Pada Masa Kekuasaan Dinasti Karangasem (1780 – 1849 M)

Buleleng Pada Masa Kekuasaan Dinasti Karangasem (1780 – 1849 M)

Ki Gusti Nyoman Karangasem, Raja V Buleleng

Ki Gusti Nyoman Karangasem dinobatkan menjadi raja berikutnya setelah Ki Gusti Ngurah Jelantik wafat. Mulailah treh Karangsem menguasai Den Bukit. Ada pun putera Ki Gusti Ngurah Jelantik yang bernama Ki Gusti Bagus Jelantik Banjar, diberi kedudukan sebagai patih, menempati istana di Puri Bangkang, sebelah Barat We Mala (Banyumala).

Ki Gusti Agung Made Karangasem Sori, Raja VI Buleleng

Pemerintahan Ki Gusti Nyoman Karangasem tidak bertahan lama. Ia meninggal karena serangan penyakit. Kedudukannya digantikan oleh Ki Gusti Agung Made Karangasem Sori keturunan Karangasem. Ia hanya berkuasa selama 3 tahun, sebelum mengundurkan diri. Kegagalannya adalah tidak tegas, tidak adil selalu memilih muka, pilih kasih.


Ki Gusti Ngurah Agung, Raja VII Buleleng

Ki Gusti Ngurah Agung diangkat oleh raja Karangasem sebagai raja Buleleng berikutnya, menggantikan Ki Gusti Agung Made Karangasem Sori. Pada tahun 1808 M raja ini memimpin langsung laskar Buleleng menyerbu komunitas Bugis di Jemberana yang berjumlah 1.200 orang. Penyerbuan ini dilakukan setelah ia minta ijin kepada Raja Bandana I Gusti Ngurah Made Pemecutan. Ia sendiri dibunuh oleh gerombolan bersenjata di desa Pengambengan Jemberana. Sejak itu Jemberana menjadi wilayah kekuasaan Buleleng sampai perang Jagaraga tahun 1849 M. Pada tahun 1814 M, laskar Buleleng menyerang Banyuwangi namun berhasil dipukul mundur oleh pasukan Inggeris. Sebagai balasan satu eskader AL Inggeris dikirim ke Buleleng untuk memberi pelajaran kepada Raja Buleleng.

Pada tanggal 22 Oktober 1818 M terjadi bencana tanah longsor dan banjir bandang. Salah satu dinding di bukit Danau Buyan dan Danau Tamblingan jebol. Bencana ini menewaskan rakyat dan beberapa pembesar kerajaan. Seperti: Ki Gusti Bagus Jelantik Banjar patih yang beristana di Puri Bangkang, Ki Gusti Wayan Panji, Ki Gusti Wayan Penebel, serta Ki Gusti Nyoman Penarungan, sama-sama tinggal di Sukasada semuanya tewas terbenam lumpur. Lokasi jebolnya dinding bukit itu sekarang tepat pada ceking Tamblingan, di tepi jalan menuju Munduk di tepi Danau Tamblingan.

Ki Gusti Agung Pahang, Raja VIII Buleleng (1829 – 1831 M)

Ki Gusti Agung Pahang (Canang) dari keturunan Karangasem, diangkat sebagai raja Buleleng menggantikan Ki Gusti Ngurah Agung yang wafat di Pengambengan Jemberana. Ia dinobatkan pada tahun 1829 M, memindahkan istana Singaraja ke sebelah Barat jalan. Raja ini seorang tirani, kejam tidak mengindahkan tata susila, takabur, bengis, doyan perempuan, melakukan gamia gamana dan berbagai kejahatan lainnya.

Raja ini memerintahkan untuk membunuh Ki Gusti Bagus Ksatra, Wayan Rumyani (Pan Apus), dan orang lainnya yang dirahasiakan. Ki Gusti Bagus Ksatra dibunuh karena menghaturkan hidangan ikan Udang. Kata ‘Udang’ diartikan sebagai ‘uudang’ artinya selesai mejadi raja. Sepak terjang raja menimbulkan kemarahan pada keturunan Panji. Mereka mengatur siasat. Pada suatu malam ada pertunjukkan wayang di halaman puri, dengan dalang Ki Gulyang dari desa Banjar. Mereka (para arya) menunggu keluarnya raja untuk menonton. Namun raja tidak keluar, membuat para arya kepayahan. Pada saat sang dalang memegang wayang Bima dan Tualen, meletus kerusuhan. Sang dalang sempat ditikam dari belakang, namun bisa menyelamatkan diri. Tidak diketahui banyaknya korban yang tewas dan terluka dalam peristiwa malam itu. Kepala penjaga istana Ketut Karang mengingatkan Ki Gusti Made Singaraja beserta pengikutnya untuk pulang ke rumah masing-masing. Keesokan harinya Raja Buleleng mengadakan persidangan dengan para Manca, namun tidak dihadiri oleh para Arya Buleleng. Disepakati untuk membunuh semua keturunan Arya Buleleng mulai dari kecil sampai yang tua. Gerakan pasukan kerajaan sangat cepat, terlambat diantisipasi oleh para Arya Buleleng sehingga keturunan Panji banyak yang tewas. Arya yang selamat mengungsi keluar daerah Buleleng.

Perkembangan selanjutnya rakyat Buleleng bergerak mengangkat senjata, karena sudah muak dengan pemerintahan raja yang menimbulkan kepanasan, kekeringan, panen sering gagal. Raja melarikan diri ke Karangasem. Namun di Karangasem ia berhasil dibunuh oleh rakyat Karangasem atas perintah Raja Karangasem Ki Gusti Lanang Peguyangan, pada tahun 1831 M.

Ki Gusti Ngurah Made Karangasem, Raja IX Buleleng (1833 – 1846 M)

Ki Gusti Ngurah Made Karangasem pada tahun 1833 M ditunjuk menggantikan raja yang telah tewas. Ia didampingi oleh patih yang terkenal bernama Ki Gusti Ketut Jelantik Gingsir. Sang Patih sangat terkenal keberaniannya menyerang dan menguasai daerah pegunungan, seperti desa Payangan daerah kekuasaan Bangli. Sang Patih berhasil merebut desa-desa yang melepaskan diri karena ulah raja sebelumnya. Ia juga menyatukan para bangsawan keturunan Panji dengan para bangsawan keturunan Karangasem, sehingga kerajaan Buleleng bersatu padu dalam menghadapi agresi Belanda.

Pada bulan Mei 1845 sebuah kapal berbendera Belanda bernama Atut Rahman kandas dan karam di Pantai Karang Anyar daerah kekuasaan Karangasem. Kapal dirampas penduduk, menyebabkan pihak Belanda memprotes keras karena melanggar perjanjian yang sepakati. Peristiwa ini memicu Belanda mengirim utusan ke Buleleng untuk melakukan perundingan tentang penghapusan Hak Tawan Karang. Tanggal 5 Mei 1845 berlabuh kapal perang Belanda yang bernama Bromo, berbobot besar membawa Residen/Komisaris JFT Mayor beserta rombongan. Rombongan terdiri dari 12 orang, 10 orang Belanda, seorang Pangeran Syarif Hamid dan seorang Bupati Basuki. Tanggal 7 Mei syahbandar memberitakan bahwa Raja Ki Gusti Ngurah Made Karangasem bersedia menerima rombongan esok hari. Perundingan tidak segera dilakukan, menunggu kedatangan Adipati Agung Ki Gusti Ketut Jelantik Gingsir.

Pada tanggal 8 Mei 1845 dalam perundingan, Adipati Agung Ki Gusti Ketut Jelantik Gingsir berbicara keras dan lantang. Katanya, “Orang tidak dapat menguasai negeri orang lain hanya dengan sehelai kertas, hal demikian hanya dapat diputuskan oleh ujung keris”. Peristiwa ini mendorong Belanda melakukan tindakan militer.

Pada tanggal 28 Juni 1846, dini hari pasukan ekspedisi Belanda didaratkan di sebuah desa persawahan sesuai petunjuk dari peta yang dibuat Lettu Von Stampa. Sedangkan meriam-meriam Belanda terus menerus memuntahkan peluru ke arah istana. Belanda dibantu oleh pasukan Seleparang. Raja Bangli menyesalkan tidak diikut sertakan menyerang Buleleng. Esok harinya pasukan ekspedisi Belanda menuju kota Singaraja. Ternyata pasukan Bali tidak memberikan perlawanan. Raja, pembesar kerajaan dan laskar Buleleng meninggalkan Singaraja menuju desa Jagaraga. Sesuai instruksi Puri Singaraja dihancurkan. Raja Buleleng dan keluarganya mengundurkan diri desa Jagaraga. Sementara Adipati bersama sahabatnya Ida Bagus Tamu juga mengungsi ke desa Jagaraga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar