Google+

sekilas Kawitan Maha Gotra Tirta Harum

sekilas Kawitan Maha Gotra Tirta Harum

Babad Tirtha Harum
Maha Gotra Tirta Harum, yang berorientasi pada Pura Tirta Harum sebagai Pura Kawitan Maha Gotra Tirta Harum, ini ada benarnya karena leluhur Maha Gotra Tirta Harum dilahirkan di Tirta Harum.

Tapi kini penulis akan mencoba mengutarakan bahwa disamping Pura Kawitan Tirta Harum, masih ada lagi Pura Kawitan yang lain yang belum dikenal oleh para pembaca dan khususnya oleh para kebanyakan Maha Gotra Tirta Harum.

Sebagai jawaban atas pertanyaan : Putra siapakah bayi yang dilahirkan di Tirta Harum, dan dimana stana beliau tempat melakukan Tapa Yoga Semadi.

Berdasarkan Lontar Pura Dalem Sila Adri, satu-satunya sumber yang penulis temukan, mengutarakan pada pokoknya sebagai berikut :

Disebutkan dalam Lontar bahwa, beliau yang bergelar Danghyang Subali berstana di Gunung Tohlangkir (Gunung Agung) membangun stana tempat beryoga di Pura Bukit Batur (150 m disebelah timur Pura Tirta Harum). Dan daerah di sekitar pesraman tersebut diberi nama Brasika yang berarti ikan Nyalian.

Disamping membangun stana tempat melakukan Tapa Yoga, beliau juga membangun dua buah permadian yaitu : Tirta Harum dan Taman Bali

Pura Kawitan Tirtha Harum di Tahun 1938
Permandian taman ini diberi nama Taman Bali, karena dibangun oleh Danghyang Subali, sampai daerah sekitarnya disebut Desa Taman Bali. Ditilik dari kedua nama Brasika dan Taman Bali adalah dua nama satu sumber pencipta yaitu Danghyang Subali yang mengandung makna, ikan tanpa taman hidupnya susah, taman tanpa ikan airnya jadi kotor, dan akan jadi harmonis bila kedua unsur ini menyatu.

Ketika Danghyang Subali menciptakan permandian Tirta Harum, beliau bersemedi di tebing sungai Melangit : “Umijil Ertalia Merik” mengalirlah air pancuran yang baunya sangat harum, sehingga tempat mijilnya Tirta tersebut disebut Tirta Harum, dan daerah sekitarnya berbau wangi diberi nama Tegalwangi, dan bau harum ini menyusup ke Utara Timur sampai ke daerah Selat, daerah Masih Mabo, dan Daerah Empah, yang ceritanya telah berbataskan daerah Selat masih berbau harum “Masih Mabo”, dan bau ini baru berkurang di daerah Empah, yang sampai sekarang daerah-daerah ini dipakai nama subak yaitu Subak Selat, Subak Sibo, dan Subak Lempah
Semua subak-subak ini Tirta Harum yang terletak di Banjar Tegalwangi termasuk Wilayah Desa Nyalian, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung.

Diceritakan lebih lanjut setelah beliau Danghyang Subali selesai melakukan Tapa Yoga di tempat ini, dan akan kembali ke Jawa yaitu Gunung Semeru, dan sebelum meninggalkan Pesraman tempat beryoga, beliau menyerahkan Pesraman dan kedua Permandian tersebut kepada adik beliau yang berstana di Kenteling Jagat (Kentel Gumi) di daerah Tusan yang bergelar, Danghyang Sri Aji Jaya Rembat, yang juga berstana di Guliang.

Atas perintah Danghyang Subali, Danghyang Jaya Rembat menggantikan Danghyang Subali berstana di Bukit Batur, dan sejak itu nama Bukit Batur dirubah menjadi Dalem Sila Adri. Sila berarti Batu dan Adri berarti Gunung/Bukit. Jadi Sila Adri berarti Gunung Batu.

Pada hari Tanggal Tahun Saka (ada dimuat dalam Lontar) Danghyang Jaya Rembat berangkat dari Dalem Sila Adri ke Tirta Harum. Sampai di Tirta Harum dikisahkan oleh penulis jaman dulu ditemukan bahwa air pancuran “aseret” yang berarti lobang itu tertutup oleh bayi dan bayi tersebut sulit untuk dilahirkan, tapi berkat keahlian Danghyang Sri Aji Jaya Rembat sebagai Dukun, Bayi tersebut bisa dilahirkan dengan selamat, terus dimandikan di air pancuran, sehabis dimandikan lalu ditaruh disuatu tempat “Loring Tukad Melangit” di sebelah utara Tukad Melangit (Jero Puri) diberi alas daun kayu jati dibawah kayu teges. “Anangis tang rare tan papegatan (menangis bayi itu tanpa henti-hentinya), menjadikan Danghyang Jaya Rembat kewalahan lalu memuja beliau Danghyang Subali, agar beliau berkenan hadir. Tidak berselang lama, kemudian Danghayang Subali tiba di tempat itu lalu bersabda : “Iki maka anakku panugrahan Danghyang Wisnu Bhuana patemone ring Diah Jung Asti, wenang ikang ari Angerembat”, (artinya : ini adalah putraku penugrahan Danghayang Wisnu Bhuana, dalam perkawinan dengan Diah Jung Asti, patut adikku memeliharanya).

Siapakah yang bergelar Diah Jung Asti ?

Penulis jaman dulu biasanya enggan menyebutkan nama sebenarnya karena tidak etik. 
Ditinjau dari arti nama Diah Jung Asti Diah berarti Putri Raja, Jung berarti Bukit, Asti berarti Dasar. Jadi Diah Jung Asti berarti Raja Putri yang berstana di kaki bukit. 
Dan kalau dihubungkan dengan Danghyang Wisnu Bhuana, Danghyang berarti Dewa, Wisnu berarti Air, Bhuana berarti Darat. Jadi Danghyang Wisnu Bhuana berarti Dewa penguasa air di darat. Jadi secara keseluruhan dapat diartikan dan dihubung-hubungkan : Raja Putri yang berstanana di dasar kaki bukit sebagai penguasa air di darat. Apakah tidak mungkin yang dimaksud Diah Jung Asti dalam kiasan tersebut adalah Raja Putri Dewi Ulun Danu, dan kalau pendapat ini bisa diterima, maka Kentel gumi, Dalem Sila Adri dan Ulun Danu keberadaannya hampir bersamaan. Hal ini dapat diperkuat dengan bukti bahwa : Untuk menghormati jasa beliau Dewi Ulun Danu, maka didekat pura Kentel Gumi dibangun pura Ulun Danu.

Disebutkan pula bahwa bayi tersebut oleh Danghyang Subali dianugrahi Gelar “I Dewa Gede Angga Tirta”, dan setelah dewasa diberi gelar : “I Dewa Gede Sang Anom Bagus”. 
Jadi jelaslah bahwa titel “I Dewa Gede” adalah penugrahan Danghyang Subali kepada putra yang lahir di Tirta Harum dan keturunannya…………………………………………..

Tidak diceritakan kisah perjalanan Danghyang Subali, diceritakan beliau Danghyang Sri Aji Jaya Rembat “Ngemong Tang Rare” memelihara putra tersebut di Dalem Sila Adri, dan kadang-kadang juga berada di Guliang, dan setelah beberapa tahun lamanya I Dewa Gede Angga Tirta menjadi dewasa dan telah bergelar I Dewa Gede Sang Anom Bagus.

Dihentikan cerita ini, diceritakan sekarang beliau Dalem Sekarangsana berstana di Gelgel. Dalem Sekarangsana dikaruniai seorang putri bergelar “I Dewa Ayu Mas Dalem”, konon beliau dalam keadaan sakit. 
Oleh Dalem Sekarangsana diminta agar Danghyang Sri Aji Jaya Rembat berkenan datang ke Gelgel untuk mengobati I Dewa Ayu Mas Dalem. Dan sekali saja diobati oleh Danghyang Jaya Rembat I Dewa Ayu Mas Dalem sembuh sepeti semula. Akan tetapi kemudian I Dewa Ayu Mas Dalem diindap penyakit lain yaitu sakit edan. 
Setelah beberapa kali diobati oleh Danghyang Jaya Rembat dengan japa mantra dan segala husada telah digunakan, tetapi I Dewa Ayu Mas Dalem tak kunjung sembuh. “Anangis ta sira Dalem Sekarangsana” (bersedihlah hati beliau Dalem Sekarangsana), dan menyerahkan I Dewa Ayu Mas Dalem untuk ikut Danghyang Jaya Rembat ke Pesraman. 
Sampai di Dalem Sila Adri sakitnya menjadi sembuh karena bertemu pandang dengan I Dewa Gede Sang Anom Bagus dan apabila pulang ke Gelgel sakitnya kambuh lagi. Oleh karena itu agak lama beliau tidak pulang ke Gelgel, senang tinggal di Dalem Sila Adri hatinya terpikat oleh seorang pemuda “Warnaning bagus apekik” yang sangat ganteng rupawan yaitu I Dewa Gede Sang Anom Bagus, maka terjalinlah cinta kasih kedua insan berlainan jenis ini. 
Ketika I Dewa Ayu Mas Dalem sedang mandi di pancuran Tirta Harum diketahui oleh Dayang dari tanda-tanda perubahan biologis, bahwa I Dewa Ayu Mas Dalem telah hamil. Dayang segera melaporkan hal itu kepada Dalem Sekarangsana, bahwa I Dewa Ayu Mas Dalem telah hamil, Dalem Sekarangsana menjadi marah, serta memerintahkan para sikep yudha/prajurit Gelgel untuk menangkap I Dewa Gede Sang Anom Bagus. Prajurit bersenjata Gelgel segera berangkat dari Gelgel menuju Guliang dan stana Guliang ditemukan dalam keadaan sepi, lalu berbelok ke timur turun ke Tukad Melangit naik keatas Bukit Sila Adri. Pada saat itu Danghyang Jaya Rembat sedang melakukan Puja Astawa, tahu akan tentang tujuan prajurit Gelgel tersebut, lalu menghilang di atas tilam tempat duduk. 
Setibanya prajurit Gelgel di Dalem Sila Adri, pesraman kelihatan sepi, namun usaha pencarian terus dilakukan, kemudian terdengar berita bahwa ada seorang pemuda rupawan sedang berburu/memikat burung perkutut di Hutan Jarak Bang. Prajurit Gelgel berangkat ke Jarak Bang dan menemukan I Dewa Gede Sang Anom Bagus sedang berburu, lalu ditangkap “tinalian”, diikat dibawa ke Gelgel bersama dengan Danghyang Jaya Rembat. 

Tidak diceritakan dalam perjalanan sampailah di Gelgel. I Dewa Gede Sang Anom Bagus dihaturkan kepada Dalem. Dalem menjadi marah dan memutuskan dalam sidang bahwa I Dewa Gede Sang Anom Bagus patut dijatuhi hukuman mati, karena berani dengan kedudukan Dalem. Bersedihlah beliau Danghyang Jaya Rembat, sebelum hukuman mati terhadap I Dewa Gede Sang Anom Bagus dilaksanakan, Danghyang Jaya Rembat sempat memuja Danghyang Subali agar beliau berkenan hadir ke Gelgel karena putra I Dewa Gede Sang Anom Bagus tertimpa bahaya. Tidak lama kemudian datang Danghyang Subali di Gelgel serta bersabda ; “Iki anakku panugrahan Danghyang Wisnu Bhuana, wenang ajatu karma kelawan I Dewa Ayu Mas Dalem apan amisan” (artinya ini adalah putraku panugrahan Danghyang Wisnu Bhuana, patut dijodohkan dengan I Dewa Ayu Mas Dalem karena besepupu). Mendengar sabda itu luluhlah hati beliau Dalem Sekarangsana, I Dewa Gede Sang Anom Bagus tidak jadi dibunuh, bahkan sebaliknya dibuatkan upacara perkawinan di Gelgel, setelah diupacara lalu dibuatkan Puri disebelah utara Bencingah Gelgel dan diberi Gelar “Cokorde Den Bencingah”. 
Jadi titel Cokorde pertama kali disandang oleh Putra Tirta Harum atas panugrahan Dalem Sekarangsana, adalah orang yang sehari-harinya dekat dengan Dalem baik ditinjau dari hubungan darah maupun kedudukan dalam struktur Istana Dalem. 
Karena I Dewa Sang Anom Bagus adalah Putra pertapa tidak lama tinggal di Gelgel kembali melakukan Tapa Yoga ke Kaki Gunung Agung, dengan meninggalkan istrinya I Dewa Ayu Mas Dalem dalam keadaan hamil, dengan pesan : bayi yang masih dalam kandungan bila lahir kemudian diberi nama I Dewa Gede Garba Jata “karena dikejar oleh prajurit bersenjata ketika hamilnya”.

Setelah cukup umur dalam kandungan lahirlah bayi tersebut dan oleh Sang Ibu diberi nama I Dewa Gede Garba Jata. Sangat disayang oleh Dalem karena Dalem belum berputra, saking sayangnya Dalem kepada putra ini sering tertidur dipangkuan Dalem. Ketika Dalem tidak ada pergi ke Uluwatu, Putra tersebut menunggu dan tertidur pada singasana Dalem, sekembali Dalem dari bepergian, pengiring Dalem yang bernama Ki Jambul Pule membawa tilam/tempat duduk Dalem, dengan tanpa memperhatikan lalu menaruh tilam tersebut di atas singasana Dalem, tahu-tahu putra tersebut ditindih tilam, Ki Jambul Pule jadi gemetar akan kesalahannya, tapi Dalem mengampuninya serta bersabda : Seketurunan Putra ini bila menjadi Raja patut diberi Gelar “I Dewa Gede Tangkeban”.

Beberapa tahun telah lampau dewasalah Putra I Dewa Gede Garba Jata, menanyakan kepada Sang Ibu siapa nama ayah dan dimana beliau berada. Dijawab oleh Sang ibu bahwa sang ayah bernama : I Dewa Gede Sang Anom Bagus sedang menjalani Tapa Yoga di Kaki Gunung Agung.

Berangkatlah I Dewa Gede Garba Jata dengan pengiring ke Kaki Gunung Agung, lama dicari akhirnya bertemu dengan seorang pertapa yang sedang “Amono Brata” sedang melakukan meditasi dan tubuhnya ditumbuhi lumut, I Dewa Gede Garba Jata lalu besimpuh dan memohon agar pertapa berkenan “Angelebaraken Mono Brata” melepaskan tapanya dan ketika ditanya Sang Putra mengaku bernama I Dewa Gede Garba Jata, teringatlah Sang Pertapa bahwa I Dewa Gede Garba Jata adalah Putranya, serta Sang Putra memohon agar Sang Ayah bekenan untuk pulang karena ditunggu Sang Ibu, tapi permohonan Sang Putra tidak terkabulkan, dengan pesan pewarah-warah sebagai berikut : "Jangan berani kepada kedudukan Dalem Gelgel, dan akan menjadi Raja di Tamanbali". Setelah panugrahan selesai beliau Sang Pertapa (I Dewa Gede Sang Anom Bagus) lalu menghilang atau moksah setelah disembah oleh I Dewa Gede Garba Jata. sejak itu batu tempat moksahnya I Dewa Gede Sang Anom Bagus disebut Batu Madeg.

Dengan perasaan senang dan berbaur sedih pulanglah I Dewa Gede Garba Jata langsung ke Gelgel, tidak lama kemudian karena sangat disayang oleh Dalem I Dewa Gede Garba Jata dianugrahi Daerah lalu diangkat menjadi Raja Tamanbali dengan Gelar I Dewa Gede Tangkeban. 

Dalem amat cinta kepada I Dewa Garba Jata dan menganugrahkan seorang putri beliau untuk menjadi istrinya. Langsung upacara wiwaha menurut tata cara Ksatria.

I Dewa Garba Jata memperoleh seorang putra bernama Cokorda Den Bancingah, Setelah dewasa beristri putri Kyayi Jambe Pule. Melahirkan putra bernama Cokorda Pemecutan, Cokorda Pamecutan berputra I Dewa Gde Den Bancingah. I Dewa Gde Den Bancingah berputra I Dewa Kanea Den Bancingah. I Dewa Kanea Den Bancingah berputra I Dewa Gede Tangkeban. I Dewa Gede Tangkeban banyak putranya:

  1. I Dewa Pering ke Brasika (Nyalian) dengan pusat Penataran Sri Serengga, 
  2. I Dewa Pindi ke Gaga
  3. I Dewa Prasi ke Bangli dengan pusat Penataran Bangli
  4. I Dewa Kaler ke kedisan
  5. I Dewa Batan Wani
  6. I Dewa Pulesari
  7. I Dewa Mundung
  8. I Dewi Kliki
  9. I Dewa Gde Anom Teka tetap di Taman Bali, berpusat di Penataran Agung Tamanbali, (ketiga kerajaan ini memiliki Babad sendiri-sendiri) Babad Tamanbali, Babad Nyalian, Babad Bangli.
  10. Tak tercatat yang wanita.
Kembali diceritakan beliau Danghyang Jaya Rembat berstana di Dalem Sila Adri. “Kunang ana ta muwah stria listuayu aminta lugraha ri sih ira Danghyang Jaya Rembat anguntap pengrupak ira, maharepa manebas daun pisang ………………………………………………

Lahirnya Dukuh Suladri

Adalagi seorang wanita cantik memohon panugrahan cinta kasih beliau Danghyang Jaya Rembat agar berkenan memberikan meminjam pengerupak beliau, akan dipakai memetik daun pisang, permohonan tersebut dikabulkan dengan pesan jangan diselipkan pada pinggang, lupa wanita itu akan pesan tersebut, lalu setelah dipakai pengerupak tersebut dengan tidak disadari diselipkan dipinggangnya lalu hamillah wanita itu dan dari kehamilannya ini lahirlah seorang bayi yang diberi nama Ki Dukuh Suladri, diambil dari nama Dalem Sila Adri, yang kemudian membangun pedukuhan di tempat permandian Danghyang Jaya Rembat di bukit Empul Taman Sari, sampai sekarang tempat ini dinamakan Banjar Dukuh yang letaknya tidak jauh dari Dalem Sila Adri dan Tirta Harum di tepi Sungai Melangit termasuk Daerah Brasika/Desa Nyalian Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung.

Tidak diceritakan dimana beliau Danghyang Jaya Rembat Moksah, diceritakan Ki Dukuh Suladri tinggal di Pedukuhan di Taman Sari. Propesinya sama dengan Danghayang Jaya Rembat sebagai dukun dan pertapa yang juga ngemong Pura Dalem Sila Adri, datanglah ke pedukuhan dua orang Putri cantik “tosing Majapahit” keturunan majapahit (tidak disebutkan namanya) “melapu-lapu maserana kulit bawang tumiber ring Pasar Agung” pergi tanpa arah seperti kulit bawang di pasar dihembus angin sampailah kedua Putri tersebut di Padukuhan Ki Dukuh Suladri, hendak dijadikan anak angkat oleh Ki Dukuh Suladri, Ki Dukuh Istri tidak setuju, karena dalam perkawinannya telah dikaruniai keturunan. 

Tidak lama kemudian didengar oleh Dalem Gelgel bahwa Ki Dukuh Suladri ada memelihara dua orang Putri cantik, Dalem Gelgel datang ke Dalem Sila Adri “Masanekan” istirahat disana sambil menunggu kedatangan Ki Dukuh Suladri, tidak lama datang menghadap Ki Dukuh Suladri menghaturkan buah-buahan (pala gantung) kepada Dalem, pada kesempatan tersebut Dalem Gelgel menyampaikan kehendaknya akan mengawini Putri Keturunan Majapahit tersebut yang dipelihara oleh Ki Dukuh Suladri, Ki Dukuh Suladri tidak bisa berbuat banyak lalu menghaturkan putri Majapahit yang ke dua, dan yang pertama tinggal bersama dengan Ki Dukuh di Pedukuhan. Pendek ceritera Dalem mengawini putri nomor dua Tosing Majapahit “keturunan Majapahit” itu lalu berputra Pungakan Den Bencingah yang disebut juga Pungakan Den Kuta, yang berkuasa di Brasika sebelum Putra Tamanbali dengan membawa keris Ki Lobar. (tidak diceritakan hijrahnya Keris Ki Lobar dari tangan Pungakan Den Bencingah ke tangan Raja Tamanbali). 

Sejak perkawinan ini Ki Dukuh Suladri sangat disayang oleh Dalem Gelgel selaku besan dianugrahi rakyat sebanyak “Rong Atus” 200 orang dan dipindahkan kedudukannya memegang kekuasaan dari Banjar Padukuhan ke Daerah lain (tidak disebutkan nama Daerah, mungkin dimuat dalam Babad Ki Dukuh).

Setelah Dalem selesai memegang tapuk pemerintahan di Gelgel datang ke Desa Bakas akan mengadakan pertemuan dengan Putra beliau Pungakan Den Bencingah yang berkuasa di Brasika/Nyalian, setelah panugrahan atau pesan-pesan diterima oleh Putra Dalem Pungakan Den Bencingah beliau “ayat moksah” akan menghilang dan pada saat itu Pungakan Den Bencingah segera memeluk kakinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar