Google+

Kyai Anglurah Made Sakti Pinatih di Jenggala Bija

Kyai Anglurah Made Sakti Pinatih di Jenggala Bija

Diceriterakan sekarang Kyai Anglurah Made Sakti, tidak mengikuti kakaknya, berpindah tempat dari desa Tulikup menuju Jenggala bija diiringi oleh rakyat lengkap dengan bawaannya. Jenggala Bija itu dekat dengan tempat kediaman I Dewa Karang yang dipakai menantu di wilayah Mambal.

Kyai Anglurah Made Sakti sudah memiliki Puri di Jenggala bija, sampai kepada rakyatnya sudah memiliki perumahan sesuai dengan keadaan pedesaan yang sudah ada.

Kyai Ngurah Made Sakti benar-benar bijak memegang kekuasaan, beliau ahli dalam sastra, serta senang melaksanakan dewaseraya berbhakti kepada Ida Hyang Widhi dan Bhatara semua. Pada saat itu ada anugerah dari Ida Sanghyang Widhi pada hari Selasa Kliwon – Anggara Kasih, bulan Bali yang kesembilan – Kesanga di tengah malam, Kyai Ngurah Made melakukan upacara persembahyangan di hutan ladang Bun, di sebelah timur Desa Pangumpian. Sesudah sampai di tepi hutan itu, dilihat ada asap tegak berdiri putih seakan-akan sampai di angkasa. Tempat itu kemudian dicari oleh Kyai Ngurah Made. Sesampai di tempat itu, layaknya sebagai bun – pohon merambat dilihat oleh beliau asap yang berdiri tegak itu, seperti aneh rasanya dan juga menakutkan. Ketika hilang asap itu, kembali perasaan beliau Ida Kyai Anglurah Made Sakti seperti sediakala, kemudian menaiki timbunan bun itu. Sesudah sampai di puncak, kira-kira ada 80 depa, kemudian ada sabda terdengar dari angkasa : 
“Nah, dengarkanlah sabdaku ini ! Segera bersihkan hutan bun ini, kemudian pakai desa ataupun perumahan. Sejak sekarang Kyai Ngelurah Pinatih Made menjadi Kyai Ngelurah Pinatih Bun, sampai kepada keturunanmu kelak di kemudian hari menjadi warga Bun”.
Setelah selesai mendengar sabda dari angkasa itu, kemudian Ida Kyai Ngurah Made turun. Setelah sampai di tanah kemudian beliau berkeinginan untuk memberi tanda tempat itu dengan kapur – diberikan tanda silang – tapak dara, sebagai tanda, kemudian beliau pulang ke Puri.

Pada pagi harinya sampailah kemudian di Puri beliau di tegal Bija, kemudian memberitahukan kepada Perbekel serta rakyat semuanya. Setelah semua rakyat berdatangan menghadap, kemudian I Gusti Ngurah Made berkata : 
“Nah Paman semuanya, saya sekarang memerintahkan paman semuanya untuk merabas hutan bun itu, saya akan membangun desa serta perumahan”.
Rakyat semuanya menyambut dengan perasaan senang hati, menuruti keinginan I Gusti Ngurah Made, semuanya lengkap membawa alat akan merabas Alas Bun itu.


Setelah semua bersih hutan itu dirabas, ketika matahari sudah berada di atas kepala, rakyat semua beristirahat dan mengambil makanan untuk rakyat Bija itu di Pasar Pangumpian, kemudian tiba di Bancingah Pangumpian seraya membuang sampah. Di sana dibuang sampah iitu oleh rakyat Bija. Setiap hari demikian tingkah rakyat Bija di Pasar Pangumpian. 

Kemudian ada orang melaporkan permasalahan itu kepada I Gusti Ngurah Pangumpian, prihal tingkah rakyat pendatang itu merabas hutan. Karena itu merasa marah besar I Gusti Ngurah Pangumpian karena tidak ada pemberitahuan kepada I Gusti Ngurah Pangumpian, sebab itu dilarang rakyat pendatang itu merabas hutan Bun itu, karena tidak patut perbuatan rakyat Bija itu, apalagi membuang sampah sembarangan di Bancingah Pangumpian, kemudian dihentikan dengan senjata.

Sesudah itu kemudian I Gusti Ngurah Pangumpian mengumpat mereka sampai kepada Gusti mereka. Karena itu segera didengar oleh rakyat Bija, sehingga kacau di Pasar Pangumpian apalagi diimbuhi dengan tantangan terhadap Gustinya.

Itu sebabnya menjadi marah I Gusti Ngurah Made kemudian memerintahkan putranya untuk melaksanakan perbuatan sebagai seorang Ksatria.

Saat itu I Gusti Putu Bija sebagai putranya mengikuti ayahnya bersama rakyat semuanya, membawa senjata, bersorak sorai semua. Dipimpin oleh sang ayah, kemudian masuk ke Puri Pangumpian. Sangat ramailah perang di sana, saling tusuk, saling penggal, itu sebabnya banyak yang mati, sungguh riuh sekali perang antara Bija lawan Pangumpian. Banyak yang mati dan banyak juga yang luka. 
Saat itulah kemudian bertemu berperang tanding I Gusti Ngurah Made lawan I Gusti Ngurah Pangumpian, kemudian kalah I Gusti Ngurah Pangumpian dan kemudian meninggal. 
Sejak itu orang-orang di Pangumpian kalah kemudian ada yang pergi berpencar mencari tempat, ada yang mengungsi ke pegunungan. Ada yang ke arah selatan ke Desa Kusiman, ada di Suwung, di Wimba serta di Blumbungan, Kapal. Demikian kesaktian Kyai Anglurah Made, itulah sebabnya kemudian beliau diberi gelar I Gusti Anglurah Sakti Bija.

Diceriterakan sekarang yang memegang kekuasaan di wilayah Mengwi yang bernama I Gusti Made Agung Alangkajeng serta bergelar Cokorda Agung Made Bana, beserta adiknya I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng serta I Dewa Karang di Mambal, menanyakan prihal peperangan itu. Kyai Anglurah Bun kemudian mengatakan prihal mendapatkan anugerah dari Hyang Maha Kuasa.

Berkata Cokorda : 
“Nah kalau begitu, Dinda Ngurah Bun yang memang benar. Serta Ngurah beserta rakyat patut beralih tempat dari wilayah Jenggala Bija berkumpul di Desa Bun. Agar sesuai dengan nama wilayah”.

Diceriterakan sekarang yang menjadi pendeta, bernama Ida Peranda Wayan Abian mempunyai putra bernama:

  1. Ida Wayan Abian. 
  2. Ida Ktut Abian, dipakai ipar serta menantu oleh Kyai Ngurah Bun. 

Itu sebabnya beliau berdiam di wilayah Bun, serta juga berganti nama menjadi warga Bun. Beliau kemudian dijadikan Cudamani oleh Ki Arya Bun serta juga warga Ki Arya Bija, demikian kesimpulan pertemuan di Geria Sanur. 

Kemudian juga I Gusti Ngurah Made Bija dapat berdiam di Desa Beranjingan, mendapatkan rakyat 300 orang didampingi oleh menantunya yang bernama Ida Ktut Ngurah.

Diceriterakan I Gusti Putu Bija di Beranjingan diiringi oleh para putranya semua membuat senjata 40. Senjata itu kemudian diberi nama Dolo dan Beranjingan, semua senjata itu bertatahkan mas, kemudian dipergunakan sebagai alat upacara di pura-pura serta dipakai peringatan di kelak kemudian hari .

Ada juga terlahir dari warga Beranjingan, bernama:

  1. I Gusti Ngurah Gde Bija, 
  2. I Gusti Ngurah Made Bija Beranjingan, 
  3. I Gusti Ngurah Anom Lengar, 
  4. I Gusti Ketut Bija Tangkeng 
Itu semua lahir dari Puri Beranjingan, di samping ada yang wanita.


Dikisahkan I Gusti Putu Bija yang bertempat tinggal di Beranjingan, disusupi oleh loba – tamak, moha hatinya, itu sebabnya berani kepada ayahandanya Kyai Ngurah Made Bija Bun, sehingga tidak ingat lagi bersaudara maupun berayah. Itu sebabnya bertentangan Beranjingan dengan warga Bun. Muncul kesal hati Ida Kyai Ngurah Bun untuk berebicara dengan putranya yang ada Puri Beranjingan, karena anaknya itu merasa diri pintar, tidak lagi peduli dengan kelebihan orang lain .

Karena itu, menjadi marah Kyai Ngurah Made Bun, kemudian melakukan perbincangan dengan putranya yang lain seperti I Gusti Ngurah Made Bija Bun, I Gusti Anom Bija, I Gusti Ngurah Teja, I Gusti Ngurah Alit Padang, agar merebut saudaranya yang ada di Beranjingan.

Itu sebabnya menjadi galak rakyat Bun, kemudian didatangi Desa Beranjingan itu oleh pasukan Bun serta dikejar, diburu, karenanya menjadi kacau di wilayah Beranjingan, semua keluar membawa alat senjata, semuanya berani menunjukkan keperwiraannya. Di sanalah kemudian terjadi perang yang dahsyat, saling tusuk, saling bunuh, dan banyak mati rakyat Beranjingan oleh rakyat Bun. Menyaksikan demikian halnya, sangat marah I Gusti Ngurah Putu Bija Beranjingan, akan bersedia mati dalam pertempuran bersama para putra serta isteri semuanya bermaksud untuk menghilangkan jiwanya, dan semuanya mengenakan busana serba putih, sedia akan mati di medan laga.

Karena sudah demikian tekad I Gusti Ngurah Beranjingan, menjadi gentar juga rakyat Bun, serta para putra semuanya, kemudian segera ayahandanya mempergunakan Aji Pregolan, berdiri di depan pintu Puri. 
Karena kesaktian Kyai Ngurah Made Bun, menjadilah I Gusti Ngurah Beranjingan gentar melihat prabawa ayahnya, takut, tidak berani lagi menenatang, sampai dengan rakyat Beranjingan semua, lalu semuanya lari tunggang langgang besar kecil mengungsi serentak menyembunyikan diri menuju desa Srijati di Sibang, kemudian berdiam di Desa Darmasaba, serta menghamba kepada I Gusti Agung Kamasan beserta seluruh rakyatnya, penuh sesak di sana di Darmasaba. Dengan demikian I Gusti Ngurah Putu Bija Beranjingan batal meninggal di medan perang, tempat itu kemudian dinamai Jagapati .

Sesudah lama berdiam di sana, kemudian semua para putra I Gusti Ngurah Putu Bija Beranjingan berpencar. Putra I Gusti Ngurah Putu Bija Beranjingan masing-masing adalah:

  • I Gusti Ngurah Beranjingan membangun Puri di Banjar Bantas,
  • I Gusti Ngurah Made Bija Beranjingan mengungsi ke Desa Tingas disertai rakyat 60 KK. 
  •  I Gusti Ngurah Ketut Bija Tangkeng serta I Gusti Ngurah Anom Lengar , mencari tempat di Moncos diiringi rakjyat 60 KK, 
  •  I Gusti Ketut Rankeng mencari tempat di Desa Kekeran. 
Belakangan I Gusti Anom Lengar mengambil isteri dari Dalung, itu sebabnya bolak-balik tempat tinggalnya, kemudian ada putra 3 orang:


  • I Gusti Putu Bija,
  • I Gusti Bija Lekong
  • I Gusti Bija Leking. 

I Gusti. Anom Lengar berdiam kemudian di Dalung, akhirnya kemudian di Taman Padangkasa, bersama anaknya I Gusti Leking.

Dikisahkan I Gusti Bija Lekong mengungsi ke wilayah Kuta. Sesudah lama di Kuta banyak sekali puteranya, ada yang mengungsi ke Jembrana 
I Gusti Putu menuju wilayah Kaba-kaba kemudian ke Lodsawah.

Kembali diceriterakan Kyai Ngurah Made Bija Bun sudah lega hatinya memperoleh kewibawan di Desa Bun, tidak ada yang yang membantah perintah beliau, karena sudah juga bermitra dengan Cokorda yang menguasai wilayah Mengwi Ida Cokorda Made Agung Bana. Lama kemudian meninggal penguasa Mengwi Ida Cokorda Made Agung Bana, digantikan oleh adiknya I Gusti Nyoman Alangkajeng yang bergelar Cokorda Munggu. Cokorda Munggu mempunyai putra I Gusti Agung Mayun serta I Gusti Agung Made Munggu. I Gusti Agung Mayun kemudian menggantikan ayahnya beregelar Cokorda Mayun. Demikian dahulu keadaan di Mengwi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar