Google+

benarkah memuja leluhur itu salah?

Benarkah memuja leluhur itu salah?


Belakangan ini semeton Hindu Bali agak sedikit terganggu dengan penafsiran yang mungkin kurang pas tentang bhakti marga, dimana dikatakan bahwa umat hindu bali yang menjalani tradisi gama bali atau gama tirta kurang mengikuti ajaran sesuai weda sesuai aslinya. ini diakibatkan oleh penafsiran atas sloka Bhagawad Gita oleh sekelompok umat hindu yang mengikuti ajaran sampradaya. bagi mereka memuja leluhur itu kurang tepat, karena yang lebih tepat adalah memuja tuhan, dimana tuhan yang dimaksud dalam penafsiran mereka terhadap kitab bhagawad gita adalah sosok tokoh sri krisna.

dalam anggapan mereka, krama bali yang meneruskan tradisi gamabali sebagai "terbelakang" atau "kurang paham ajar­an agama" atau sebutan lainnya, yang mengesankan seolah-olah mereka lebih tahu masalah agama dibandingkan kita orang bali?
jadi... menurut mereka (kelompok umat sampradaya) menganggap bahwa pemujaan kepada leluhur maupun kepada dewa itu kuranglah sesuai dan tepat. berikut ini petikan sloka bhagawad gita yang ditafsirkan sebagai hukum pembenaran yang menyatakan pemujaan kepada leluhur oleh krama hindu bali tersebut salah;
yanti deva-vrata devan
pitrn yanti pitr-vratah
bhutani yanti bhutejya
yanti mad-yajino 'pi mam (BG IX.25)
yang sering diartikan;
Yang memuja dewata pergi ke­pada dewata, kepada leluhur perginya yang memuja leluhur me­reka, dan kepada roh alam perginya yang memuja roh alam, te­tapi mereka yang memuja-Ku, datang kepada-Ku.”
Ketiga bentuk pemujaan ini, baik kepada dewa-dewa, leluhur, maupun roh suci yang ada di alam, semuanya mendapatkan pahala. Semuanya bisa dibenarkan, namun Krisna mengajarkan jika umat memuja Tuhan secara langsung, itulah yang terbaik.
yang bagaimana disebut dengan memuja TUHAN secara langsung..?
bukankah tuhan memiliki ribuan sinar? yang dalam ajaran reg weda, sinar suci tuhan ada 33?
dari 33 tersebut, yang manakah tuhan?
bukankah tuhan ada disetiap ciptaanNya?

mungkin mereka lupa dengan sloka Bhagawad gita berikut ini; 
yo yo yam yam tanum bhaktah
sraddhayarcitum icchati
tasya tasyacalam sraddham
tam eva vidadhamy aham (BG VII.21)
yang maksudnya:
"apa­pun bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut aga­ma, Aku perlakukan kepercayaan mereka sama supaya tetap te­guh dan sejahtera”. 
Sloka ini adalah kelanjutan dari penjelasan bagai­mana jika umat menyelengarakan ritual untuk memuja dewa­ta. Di sini jelas disebutkan bahwa perbedaan dalam melakukan pe­mujaan itu hasilnya sama saja menuju Aku (Tuhan Yang Esa).

nah kembali ke pemujaan leluhur, dimana oleh krama hindu bali pemujaan tersebut biasanya dicirikan dengan adanya bangunan sanggah kemulan, dewa hyang, pelinggih pitra ataupun pelinggih ibu. disamping itu ciri pemujaan leluhur yang sangat melekat pada krama hindu penganut ajaran gamabali adalah dengan adanya kawitan, melalui pura kawitan.

benarkah, pemujaan tersebut salah...?

adakah dasar sastra yang membenarkan adanya jalan bhakti lewat pemujaan leluhur?

untuk itu mari cermati...
krama/orang balimengawali pemujaan leluhur karena beberapa hal, pertama adanya sloka dalam Upanisad, dan yang kedua adanya contoh dari itihasa. dasar sloka suci Taittiriya Upanisad yang menjadi acuan dalam pemujaan kepada leluhur adalah

matrdevo bhava pitrdevobhava, acaryadevo bhava atithidevo bhava (Taittiriya Up.I.11)
yang artinya:
seorang ibu adalah dewa, seorang bapak adalah dewa, seorang guru adalah juga dewa dan para tamu pun adalah dewa. 

dari sloka diatas, dapat dilihat bahwa orang tua, orang yang menyebabkan kita lahir adalah dewa yang hendaknya kita puja dan hormati. atas jasa-jasa beliau kita bisa hadir didunia ini, karena itu setiap manusia memiliki kewajiban untuk mengingat hal tersebut, yang kemudian dikenal dengan sebutan Pitra Rna, yaitu hutang atau kewajiban yang harus dijalankan untuk mengenang jasa-jasa orang tua kita beserta orang yang telah mengadakan orang tua kita atau leluhur.

untuk "membayar hutang" (pitra rna) kepada orang tua kita tersebut, terdapat 3 jalan, diantaranya:
  1. semasa hidup dilakukan Manusa Yadnya. Manusa Yadnya disini maksudnya dimana seorang anak/cucu selalu hormat dan melayani orang tua beserta keluarga, dimana orang tua tinggal dan saudara keluarga tempat orang tua kita dilahirkan.
  2. saat meninggal dunia dilakukan Pitra Yadnya. Pitra yadnya dilakuan, mulai dari semenjak meninggal hingga beliau disemayamkan dalam tempat suci keluarga, dan ritual terakhirnya adalah yadnya panilapatian yang maknanya mengangkat status leluhur menjadi hyang guru, sehingga beliau dapat berstana di sanggah kemulan.
  3. dan bukti besarnya ikatan cinta kepada keluarga, dilakukanlah Dewa Yadnya. Dewa Yadnya disini maksudnya, setelah leluhur menjadi hyang guru, kita anak cucu keturunannya senantiasa mengingat keberadaan beliau dengan melakukan yadnya piodalan yang artinya merayakan untuk memperingati pertama kalinya dilaksanakan dewa yadnya untuk sanggah kemulan tersebut.
seruan melakukan yadnya kepada leluhur juga tersirat dalam kekawin ramayana, yang berbunyi:
Gunamanta sang Dasaratha, Wruh sira ring weda bhakti ring dewa, Tar malupeng pitra puja, Masih ta sireng swagotra kabeh
yang artinya:
Keutamaan sang Dasaratha,Beliau paham akan Weda, berbakti kepada Tuhan, Tidak pernah lupa memuja leluhur, Juga sayang terhadap keluarga dan rakyat
Dalam Kitab Taittriya Upanisad dikatakan sebagai berikut :
Pitri Deva Bhava, Matri Deva Bhava
Artinya:
Ayah dan Ibu ibarat perwujudan  Dewa dalam keluarga.
Dari sebelum kita lahir kita sudah diupacarai kemudian setelah lahir, beranjak remaja hingga akhirnya menikah juga diupacarai. Mereka sangat berperan dalam kehidupan kita. Itulah mengapa dikatakan mulai dari Orang Tua hingga keatasnya wajib untuk kita selalu berbhakti baik ketika masih hidup ataupun sudah wafat.

Pahala Berbhakti Kepada Leluhur

Dalam Kitab Sarasamuccaya, disebutkan ada empat pahala bagi mereka yang berbhakti kepada leluhur, yaitu sebagai berikut :
  1. Kirti, “kirti ngaran paleman ring hayu” artinya selalu dipuji dan didoakan untuk mendapatkan kerahayuan.
  2. Ayusa, “ayusa ngaraning urip” artinya berumur panjang atau dapat dikatakan senantiasa akan selalu dalam keadaan sehat.
  3. Bhala, “bhala ngaraning kesakten’ artinya sakti atau kesaktian. Sakti disini ialah dalam arti kita akan menjadi pribadi yang kuat mental / tangguh dalam menjalani hidup.
  4. Yasa,  Jasa akan selalu meninggalkan yang baik.  Bagi mereka yang berbhakti kepada leluhur maka akan meninggalkan jasa-jasa baik kepada keturunannya maupun masyarakat luas.
Dari keempat pahala diatas yang telah disebutkan dapat disimpulkan berbhakti kepada Leluhur adalah suatu hal yang baik. Melaksanakan atau menjalani hal yang baik maka kita pun akan mendapatkan hal yang baik. Karena hidup kita didasari oleh Karma.

Tuhan Tetap Menjadi Bhakti Yang Utama

Berbhakti kepada leluhur dalam rangka berbhakti kepada Tuhan sangat dianjurkan dalam kehidupan beragama Hindu. Dalam Mantra Rgveda X.15 1 s.d. 12 dijelaskan tentang pemujaan leluhur untuk memperkuat pemujaan kepada Tuhan. Dalam Bhagawad Gita diajarkan kalau hanya berbhakti pada bhuta akan sampai pada bhuta. Jika hanya kepada leluhur akan sampai pada leluhur, kalau berbhakti kepada Dewa akan sampai pada Dewa. Karena itu, berbhakti kepada bhuta, pitra dan dewa dalam rangka berbhakti kepada Tuhan.

Dalam Manawa Dharmasastra ada sloka yang menyatakan, bakti kepada leluhur mendahului berbhakti kepada Tuhan. Karena bhakti sebelumnya akan memperkuat bhakti selanjutnya. Jika diambil contoh misalnya, ketika ada seorang anak yang begitu berbhakti kepada orang tuanya maka tentu si anak akan menjadi lebih berbhakti kepada Tuhan yang telah menciptkan orang tuanya.

Jadi menurut kami berbhakti (pemujaan) kepada Leluhur bukanlah disamakan dengan menduakan Tuhan akan tetapi sebaliknya yaitu bertujuan untuk memperkuat pemujaan kepada Tuhan.  Maka harus diingat bhakti kepada Tuhanlah bhakti yang tertinggi.

Bagaimana dengan memuja GURU?

memang benar, seorang guru diidentikkan dengan dewa, karena itulah dibali SULINGGIH disebut meraga PUTUS yang artinya boleh memutuskan sebuah perkara yang dimintai pertimbangan kepada beliau, dan hasil putusan tersebut bersifat final, ini terjadi dalam budaya bali karena GAMA BALI sangat menghayati filosofi YOGA, yang juga merupakan implementasi dari Taittiriya Upanisad.
tetapi, apakah pemujaan kepada leluhur dapat digantikan hanya dengan memuja GURU saja?
jawabannya... TIDAK
memang belakangan ini, ada sekelompok umat dibali yang sering mengaburkan arti dari Taittiriya Upanisad tersebut, konsep yoga yang mengganggap perintah guru adalah perintah dewa diangap lebih utama daripada perintah leluhur maupun orang tua.
mari kita bandingkan, sloka Taittiriya Upanisad I.11 dan Bhagawad Gita IX.25. kedua sloka tersebut lebih mengutamakan Dewa dan leluhur, disusul kemudian guru dan tamu.
dilihat dari sloka tersebut, posisi leluhur lebih didahulukan dartipada guru dan tamu. dan dilihat dari wujud dewa yang dimaksud dalam sloka Taittiriya Upanisad I.11 guru dan tamu, guru lebih diutamakan.
sekarang sesuai logika, kenapa guru dan tamu dikatakan sebagai wujud dari dewa?
karena guru yang membimbing kita menjadi lebih bijaksana dan tamu merupakan tempat kita menguji kebijaksanaan yang telah dipelajari. karena itulah, seorang guru dan tamu disambut bagaikan seorang dewa.

Sloka tentang Pemujaan Leluhur (Pitra Yadnya)

Untuk lebih memantapkan keyakinan kita, bahwa memuja leluhur sangat penting, berikut ini beberapa sloka yang berkaitan dengan hal tersebut:


ud iratam avara ut parasa un madhyamah pitarah somyasah
asum ya iyur avrka rtajnas te no 'vantu pitaro havesu 
(Rg Weda X.15.1)
artinya
Semogalah yang di bawah, paling di tengah, para leluhur pencinta Soma bangkit, semogalah para leluhur itu, yang sangat ramah (penuh persahabatan), yang mengetahui kebanaran, yang hidup dalam keabadian, menganugrahi kami sesuai dengan doa persembahan kami

idam pitrbhyo namo astv adya ye purvaso ya uparasa iyuh
ye parthive rajasy a nisatta ye va nunam suvrjanasu viksu 
(Rg Weda X.15.2)
artinya:
Semogalah dengan kebaktian yang dilaksanakan hari ini, para leluhur yang telah lama pergi dan mereka yang barn saj a meninggal, yang telah duduk di angkasa raya atau yang sekarang bertempat tinggal di tempat yang terang benderang

aham pitrn suvidatram avitsi napatam ca vikramanam ca visnoh
barhisado ye svadhaya sutasya bhajanta pitvas ta ihagamisthah
(Rg Weda X.15.3)
artinya
Kami memperoleh berlimpah anugrah dari para leluhur, kakek, dan Sang Hyang Wisnu, mereka yang duduk bertebaran, akan ikut serta dalam acara pemerasan minuman dengan persembahan kepada yang telah meninggal, datanglah kemari dengan penuh kegembiraan

barhisadah pitara uty arvag ima vo havya cakrma jusadhvam
ta a gatavasa samtamenatha nah sam yor arapo dadhata
(Rg Weda X.15.4)
artinya:
Wahai para leluhur yang duduk bertebaran, datanglah kemari dengan (membawa) pertolongan, upacara persembahan ini kami persembahkan untuk anda, semoga anda berbahagia. Datanglah dengan pertolongan bermanfaat, karuniailah kami kesehatan, rahmat dan bebaskan dari keperihan

upahutah pitarah somyaso barhisyesu nidhisu priyesu
ta a gamantu ta iha sruvantv adhi bruvantu te 'vantv asman
(Rg Weda X.15.5)
artinya:
Dimohon kehadiannya para leluhur pecinta Soma untuk tempat yang tersimpan dan amat disayangi, tempat yang bertebaran, semogalah mereka (para leluhur) datang kemari, semogalah mereka mendengarkan dan berkenan untuk bercakap-cakap dan memberikan pertolongan kepada kita

acya janu daksinato nisadyema yajnam abhi grnita visve
ma himsista pitarah kena cin no yad va agah purusata karama
(Rg Weda X.15.6)
artinya:
Duduk bersila dengan kaki terlipat di arah selatan, menganugrahkan karunia yang berlimpah terhadap upacara, tidak melukai kita, wahai para leluhur, berdasarkan alasan ini, perbuatan dosa apapun yang telah kami lakukan kepada anda, wahai para leluhur, itu adalah karena kelemahan kami (sebagai umat manusia)
asinaso aruninam upasthe rayim dhatta dasuse martyaya
putrebhyah pitaras tasya vasvah pra yachata ta ihorjam dadhata
(Rg Weda X.15.7)
artinya:
Duduk di haribaan fajar merah, memberikan kekayaan kepada penyembahnya yang fana. Untuk putra (keturunan) anda, wahai para leluhur, anugrahkanlah kekayaan itu, demikian pula anda menganugrahkan kekuatan (kepada kami)
agnisvattah pitara eha gachata sadah-sadah sadata supranitayah
atta havimsi prayatani barhisy atha rayim sarvaviram dadhatana
(Rg Weda X.15.11)

artinya:
Wahai pan leluhur (badan anda) telah dilalap api, datanglah kemari, silakan duduk pada tempat duduk yang telah disiapkan masingsmasing, anda adalah pembimbing (kehidupan), yang menikmati persembahan yang ditaburkan bertebaran, kemudian anda menganugrahkan kekayaan diikuti oleh seluruh putra-putra yang kuat












bersambung... krn udah larut malem, bsk sore disampaikan slokanya :D

8 komentar:

  1. Sy sering ditanya oleh tmen beda agama... knp ko agama hindu mebanten di batu,pohon,d.ll koq ga menyembah tuhan saja satu di pura... sy sdh mmberi pengertian sebisa sy bahwa it bkn mnymbah tp sbg rs hormat kpd smua ciptaan tuhan agar hdup berdmpingn dg harmonis.. "koq umat hindu di india ga sperti itu" pertnyaan nya lagi... perbedaan cara umat hindu di india dn di bali mgkn kakak penulis bs tuliskan di blog agar bs mmberikan refrensi bacaan yg mmbuat paham bagi tmn" yg berbeda keyakinan agar kita tdk tdblang polytheisme ... suksma

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebaiknya jangan terpengaruh dengan cara pandang kaum abrahamik. Sanata Dharma meletakkan keTuhanan dalam carapandang yang ACINTYA, tan kena kinaya ngapa, wiapi wyapaka. Tuhan diluar kemampuan pikiran manusia yang amat terbatas. Yang bilang Tuhan itu satu (mono) atau jamak (sterio eh poly) itu berarti telah mengkerdilkan Tuhan yang amah tak terbatas menjadi bisa dihitung. Yang mengatakan Tuhan hanya ada di tempat suci (pura, kuil, mesjid dll) berarti telah membuat Tuhan yang terbatas, hilang kemahakuasaannya karena seharusnya Tuhan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Yang bilang Tuhan maha besar (akbar) juga sedang mengidentikkan Tuhan sebagai barang yang bisa diukur (besar/kecil) karena mestinya Tuhan ada dalam tiap ciptaannya sekaligus semesta ini ada dalam Tuhan. Pengalaman sya kalau ditanya soal Tuhan oleh pihak lain sebaiknya tidak menjawab karena mereka tidak perlu jawaban, tidak bisa menerima penjelasan, karena jawaban telah ada dikepalanya sebelum bertanya. Atau kalau harus menjawab, jawaban yang paling baik mungkin adalah: "Maaf, sebaiknya jangan diskusi masalah Tuhan, karena begitu kita bicara tentang Tuhan, berarti kita akan menjebak Tuhan dalam logika kita yang terbatas sehingga Tuhan kehilangan hakekatnya, jangan-jangan nanti kita bicara tentang Tuhan yang tidak sebenarnya". Setelah itu biarkan mereka menyebut kita polytheis, monotheis, pantheis, animis dst. Karena konsep Tuhan dalam Sanata Dharma jauh melampaui istilah-istilah itu.
      Semoga bermanfaat.
      Om Shanti.

      Hapus
  2. Posisi cakupan tangan juga menunjukkan level yang kita sembah. Yang jelas di ubun ubun ditujukan hanya ke Hyang Widhi, di dahi kepada dewa, di dada ke sesama dll. Mungkin ada penjelasan lebih detail.

    BalasHapus
  3. AGEN JUDI BOLATANGKAS ONLINE TERPERCAYA!
    TANGKASNET dan 88TANGKAS !

    Segera Bergabung Bersama Kami, Hanya di www.agentangkas.co
    BBM : BOLAVITA ~
    WA : 0812-2222-995 ~

    PREDIKSI AKURAT TOGEL SINGAPURA

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  5. Anda tidak ngerti sebagai orang Bali Hindu, anda menyebut Hindu di Bali sebagai gama Bali, sebenarnya anda sendiri sudah keliru, tidak ada agama Bali, yg ada hanya agama Hindu hanya saja tradisinya berakulturasi dengan kebudayaan Bali dan semua agama juga berakulturasi dengan kebudayaan setempat yg tentunya disesuaikan dengan disiplin agama masing-masing

    Anda bilang ada agama lain yg bilang tuhan hanya ada di tempat ibadah, dsb mohon maaf, anda tidak tahu secara mendalam bagaimana sebenarnya hakekat agama mereka, jika benar tuhan hanya ada di tempat ibadah kenyataannya mengapa mereka juga bisa ibadah dimana-mana? Itu saja anda kurang paham betul agama lain dan hanya tahu dari katanya dan dari artikel orang lain yg belum tentu benar adanya, makanya saya mengingatkan anda, jika anda tidak paham mengenai hakekat ajaran agama lain, lebih baik diam daripada anda salah menjelaskan

    BalasHapus
  6. Seseorang yg sudah meninggal pasca diaben langsung melinggih di rong tiga?
    Lalu bagaimana jika semasa hidupnya almarhum selalu bersikap dan berbuat yg jahat apakah akan langsung melinggih di rong tiga juga? Jika ya, maka dimana peran hukum karma phala sebagai penentu kelahiran sang roh kedepannya?

    Bukankah kita hidup di dunia ini untuk memperbaiki karma untuk mencapai moksha dengan mengulang-ulang kelahiran?

    Siapa yg dimaksud leluhur?

    Jika kumpi kita semasa hidupnya baik dan lahir di surga cyuta yg notabene alam kesenangan, apakah selamanya beliau tinggal disana? Tidak, karena tinggal di surga tidaklah abadi dan ada masa waktunya sesuai tabungan karma kita sendiri dan jika tabungan karma itu sudah habis maka mau tidak mau kita harus lahir lagi ke dunia untuk berkarma lagi sampai benar-benar bisa moksha dan final, Klo sudah bisa moksha dan mencapai kebahagiaan abadi baru selesai dan terbebas dari kelahiran kembali dan Klo cuma di surga namanya belum terbebas dari kelahiran kembalinya

    Toh kalaupun ada leluhur yg berhasil moksha dan mencapai kebahagiaan yg abadi dan bersatu dengan Tuhan artinya sudah terbebas dari hal-hal duniawi dan Klo sudah terbebas dari hal-hal duniawi berarti sudah tidak lagi ngurusin kita yg masih ada di bumi, karena Klo masih ngurusin kita yg ada di bumi berarti belum benar' terlepas/terbebas dari hal-hal duniawi, karena beliau sudah moksha sudah bebas dari hal-hal di duniawi sehingga beliau ga ngurusin hal-hal duniawi dan ga ngurusin kita yg masih di bumi, itulah namanya pelepasan yg kekal dan yg bebas dari segala ke-aku-an dan bebas dari segala hal-hal duniawi dan mencapai kebahagiaan yg abadi

    Dan sebenarnya leluhur yg moksha dan tuhan tidak ngurusin kita yg ada di bumi, karena beliau sudah membuat suatu skstem/suatu hukum yaitu hukum rta yg mengatur alam semesta dan hukum karma-phala yg mengatur segala proses alam semesta beserta isinya dan makhluk hidup dan alam semesta bergerak mengikuti sistem yg sudah beliau buat sehingga beliau hanya memantau saja dan tidak lagi ngurusin Karena sudah ada sistem hukum rta dan hukum karma-phala yg ngurusin

    Dalam hal ini Missi kita lahir ke dunia adalah untuk memperbaiki karma dan manusia bertanggung jawab penuh terhadap karma-phala nya sendiri dan ketika manusia mati apapun dan bagaimanapun prosesinya bebas namun tetap saja roh manusia pergi mengikuti karmanya dan bertanggung jawab terhadap karmanya sendiri

    Jika semasih hidup banyak berbuat baik, maka akan lahir di alam surga cyuta dan jika semasih hidup banyak berbuat buruk maka akan lahir di alam naraka cyuta, masalahnya kita tidak tahu leluhur kita lahir di alam yg mana

    Tapi yg jelas leluhur bertanggung jawab terhadap karma-phala nya sendiri dan tidak ada yg bisa menyelamatkan beliau selain menunggu sampai buah pahalanya habis dinikmati, dan tugas kita sebagai keturunannya hanya mendoakan beliau disana agar beliau tenang dan damai di alam sana dan mendoakan agar beliau segera menyadari dan bersiap untuk kembali memulai karma yg baik untuk kedepannya menjadi lebih baik, jadi bukan untuk minta berkah, minta selamat, minta sukses dan minta kaya, dsb tapi mendoakan semoga beliau, tenang dan bahagia disanan dan age lebih terlahir menjadi lebih baik lagi kedepannya

    Jadi tidak ada istilah leluhur marah kemudian memberikan sakit dan hukuman kepada keturunannya, tidak ada!!

    Dan satu hal yg meski dipahami adalah menghormati leluhur yg nyata ada yaitu ortu kita sendiri, karena jauh' menghormati leluhur yg sudah meninggal ratusan tahun lalu tapi kepada orang tua sendiri yg masih hidup dan ada di rumah sendiri kita durhaka dan tidak hormat kan kurang tepat namanya jika begitu?
    Ampure sedurungnyane

    BalasHapus
  7. Sebenarnya sloka bhagawadgita sendiri sudah benar
    Jika memuja Tuhan akan kembali ke tuhan
    Jika memuja dewa-dewi akan kembali ke dewa-dewi
    Jika memuja leluhur akan kembali ke leluhur
    Jika memuja roh halus akan kembali ke roh halus

    Mau menyembah yg mana, dalam Hindu bebas, namun semua punya arah dan tujuannya masing-masing

    Saya sendiri hanya memuja Tuhan dan manifestasi-Nya saja, meskipun di kampung saya sembahyang kepada bhatara A, B, C, D, dst meskipun saya kurang paham asal usul beliau, namunnamun mindset saya saya tidak berdoa kepada roh, saya hanya berdoa kepada Tuhan dan menifestasi-Nya meskipun beliau disebut sebagai bhatara A,B, C, D dst namun pikiran saya tertuju kepada beliau yg manifestasi-Nya dan beliau ada dimana-mana

    Karena tuhan hanya satu, namun memiliki banyak sifat yg diwujudkan dalam aneka rupa dan disebut dengan aneka nama sesuai fungsi-Nya ��


    Pelinggih pun sebenarnya menurut saya hanya simbolis untuk memuja manifestasi-Nya, bukan berarti beliau hanya ada di pelinggih itu, karena Pelinggih hanya simbolis saja, sedangkan bhatara sudah ada dimana-mana, ada di dalam hati dan pikiran kita masing-masing

    Apa buktinya?
    Pelinggih bisa rusak karena bencana alam dan bisa dibongkar jika ingin melakukan pemugaran, tapi apakah beliau (bhatara) marah dan (ampure)ikut rusak karena hal tsb? Tidak!! Sedikitpun beliau tidak terpengaruh oleh hal tsb,karena yg rusak kena bencana alam dan dibongkar hanyalah simbolnya saja yaitu hanya Pelinggihnya saja, sedangkan beliau/bhatara yg adalah manifestasi-Nya sudah ada dimana-mana melampaui pelinggih2 dan simbol2, dan beliau sudah ada di dalam hati dan pikiran sendiri

    Hanya kepada-Nya lah saya menyembah �� dia yg merupakan tuhan dan menifestasi-Nya yg dia yg adalah manifestasi-Nya yg pada hakekat-Nya adalah sifat-sifat dari Ida Sang Hyang Widhi sendiri yg sudah melinggih di alam semesta ini, sudah melinggih di dalam hati dan pikiran kita yg sudah melinggih dalam diri semua makhluk dalam buana agung dan buana alit ��

    Rahayu ����

    BalasHapus