Google+

Japa pada akhirnya harus ditinggalkan

Mengapa Nama Tuhan Harus Ditinggalkan Setelah Disadari?

Japa pada akhirnya harus ditinggalkan

Jalan yang Ditinggalkan, Bukan Dihidupi Selamanya

Para bhakta Hare Krishna, Sai Baba, dan aliran serupa sering mengulang mantra:

"Nama Tuhan itu non-different dari Tuhan."
"Dengan japa nama Krishna atau Sai, kamu akan mencapai keselamatan."

Tapi mereka lupa, seluruh ajaran Sruti (Upaniṣad) tidak pernah menetapkan nama sebagai tujuan. Nama hanyalah anak tangga awal, dan harus dilepaskan saat tangga kesadaran sudah tercapai.


Nama Berasal dari Pikiran, Kesadaran Melampaui Pikiran

“yato vāco nivartante aprāpya manasā saha”
Taittirīya Upaniṣad 2.9.1
“Dari mana kata-kata dan pikiran mundur, karena tidak dapat menjangkaunya.”

Jika Brahman tidak bisa dijangkau oleh kata dan pikiran, bagaimana bisa kita menganggap nama — yang adalah produk kata dan pikiran — sebagai jalan terakhir?

Nama hanyalah bayangan dari sesuatu yang tak bernama.
Dan semua bayangan harus sirna agar cahaya sejati bersinar.


Nama adalah Upāya (Sarana), Bukan Śreyas (Tujuan)

“nāma-rūpe vyākṛte”
Chāndogya Upaniṣad 6.3.2
“Nama dan bentuk adalah ciptaan pertama dari ketidaktahuan (avidyā).”

Nama Tuhan (Krishna, Sai, Narayana) adalah langkah awal untuk mengarahkan batin, bukan tujuan tertinggi.
Begitu kesadaran murni muncul, nama menjadi gangguan — karena ia tetap mempertahankan dualitas: antara pengucap dan yang diucap.

Mokṣa bukan pengalaman dualistik, tapi penyatuan non-dual.


Setelah Realisasi, Semua Nama dan Bentuk Menghilang

“nirguṇaṁ hi paraṁ brahma”
Muṇḍaka Upaniṣad 2.1.2
“Yang tertinggi adalah Brahman yang tanpa sifat.”

Nama adalah “saguna” — memiliki kualitas: suara, bentuk, referensi.
Brahman adalah nirguṇa — tidak bisa diwakili oleh nama apapun.

Maka setelah realisasi:

  • Tidak ada Krishna, karena tidak ada dua

  • Tidak ada Sai Baba, karena tidak ada figur

  • Tidak ada japa, karena tidak ada yang harus dicapai

Yang tersisa hanyalah Ada-Murni. Kesadaran-Murni.


Nama yang Dipertahankan Setelah Realisasi = Keterikatan Baru

Jika seseorang masih menggenggam nama setelah menyadari Ātman, berarti:

  • Ia belum bebas sepenuhnya

  • Ia masih melekat pada bentuk

  • Ia belum menyatu dengan Brahman yang tak berbentuk

Seperti membawa tongkat setelah kamu sudah bisa berjalan sendiri.
Seperti menyimpan peta setelah kamu sudah sampai di tujuan.

Tongkat harus dilepas. Peta harus ditinggalkan. Nama harus dibubarkan.


Śaṅkara Berkata: Japa Adalah Tahapan Awal, Bukan Akhir

“japaḥ paryantaṁ karma; jñānāt paryantam upāsanam.”
Bṛhadāraṇyaka Bhāṣya, Śaṅkara
“Japa dan ritual hanya sampai pada titik jñāna; setelah itu mereka tak diperlukan lagi.”

Dengan kata lain, seluruh devosi melalui nama harus dihentikan saat seseorang:

  • Menyadari bahwa Ātman adalah Brahman

  • Tidak melihat perbedaan antara aku dan Tuhan

  • Tidak menyebut, karena tidak ada yang diseru


Realisasi Adalah Hening, Bukan Bunyi

“ātmā vā are draṣṭavyaḥ śrotavyaḥ mantavyaḥ nididhyāsitavyaḥ”
Bṛhadāraṇyaka Upaniṣad 2.4.5
“Ātman harus dilihat, didengar (dipahami), direnungkan, dan dimeditasikan.”

Tidak ada ayat Upaniṣad yang berkata:

  • “Ātman harus dijapakan.”

  • “Nama Tuhan harus terus diucapkan sampai mokṣa.”

  • “Japa adalah jalan utama mokṣa.”

Justru meditasi mendalam (nididhyāsana), dan hening batin total adalah syarat mutlak mokṣa.

Nama hanya membawamu ke gerbang. Tapi mokṣa dimulai saat kamu melampaui nama.


Kesimpulan: Nama Tuhan Harus Ditinggalkan untuk Menjadi Tuhan

Kalau kamu masih berkata:

  • “Nama Krishna adalah penyelamat.”

  • “Japa adalah puncak spiritual.”

  • “Sai Baba adalah jalan tunggal.”

Maka kamu belum keluar dari dualitas.

Karena realitas tertinggi tak memiliki nama. Tak mengenal tokoh. Tak bisa disebut. Hanya bisa disadari. Dan saat kamu menyadari Brahman—nama pun larut dalam keheningan kekal.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar