Mengapa Sruti Tidak Pernah Memerintahkan Kita Menyembah Guru
Guru sebagai Pembuka Pintu, Bukan Objek Pemujaan
Dalam sekte-sekte seperti Hare Krishna dan Sai Baba, guru seringkali diperlakukan:
-
Sebagai "inkarnasi Tuhan"
-
Sebagai satu-satunya perantara menuju mokṣa
-
Bahkan dipuja seperti Tuhan itu sendiri
Tapi jika kita kembali kepada sumber utama Veda, yaitu Sruti (termasuk Upaniṣad), kita tidak menemukan ajaran untuk menyembah guru.
Yang kita temukan adalah seruan untuk mengenal Ātman, menembus ilusi, dan menjadi terang itu sendiri.
Sruti Mengajarkan Pengetahuan, Bukan Pemujaan Tokoh
“ātma-vā are draṣṭavyaḥ śrotavyaḥ mantavyaḥ nididhyāsitavyaḥ”
— Bṛhadāraṇyaka Upaniṣad 2.4.5
“Ātman harus dilihat, didengar, direnungkan, dan dimeditasikan.”
Tak ada:
❌ “Ācārya harus disembah”
❌ “Guru adalah Tuhan”
❌ “Tanpa menyembah guru, kamu tersesat”
Yang ada:
✅ "Kenalilah Diri (Ātman)"
✅ "Temukan Dia yang tak pernah dilahirkan"
✅ "Sadari bahwa Brahman bukan sesuatu yang bisa ditunjuk"
Sruti bukan mendorong kultus, tapi pembebasan dari segala ketergantungan.
Guru Sejati Membebaskan, Bukan Menarik Diri Jadi Objek Pemujaan
“tad-vijñānārthaṁ sa gurum evābhigacchet samit-pāṇiḥ śrotriyaṁ brahma-niṣṭham”
— Muṇḍaka Upaniṣad 1.2.12
“Demi memahami Brahman, datanglah kepada guru yang memahami Sruti dan teguh dalam Brahman.”
Apa fungsinya guru?
👉 Menunjukkan arah
👉 Menjelaskan ajaran
👉 Menuntun ke dalam kesunyian
Bukan untuk dipuja. Bukan untuk dimintai berkat.
Dan ayat itu pun menekankan bahwa guru harus berdasarkan Sruti (śrotriyaṁ), bukan berdasarkan pengakuan karismatik atau mukjizat.
Kultus Guru Mengalihkan Fokus dari Tujuan Utama: Realisasi Diri
Dalam sekte seperti Hare Krishna, fokus dipindahkan dari pengetahuan ke figur:
-
“Tanpa Prabhupāda, kamu tidak bisa memahami Krishna.”
-
“Tanpa Sai Baba, kamu tidak bisa mencapai mokṣa.”
-
“Guru harus kamu sembah dulu, baru Tuhan akan menyapamu.”
Ini menjadikan guru sebagai penghalang, bukan jembatan.
Dan ini adalah penghinaan terhadap ajaran Vedānta, di mana tidak ada dualitas antara Diri dan Tuhan yang sejati.
Guru bukan pintu keselamatan. Ia hanya penunjuk jalan. Jalan itu harus kamu tapaki sendiri.
Guru Sejati Menunjukkan Jalan, Bukan Meminta Dipuja
“tad-vijñānārtham sa gurum eva abhigacchet śrotriyaṁ brahma-niṣṭham”
— Muṇḍaka Upaniṣad 1.2.12
Ciri guru sejati menurut Sruti:
-
Śrotriya — berakar pada Sruti, bukan pendapat pribadi
-
Brahma-niṣṭha — tinggal dalam keheningan Brahman, bukan dalam citra publik
Jadi kalau ada tokoh:
-
Yang merasa “inkarnasi Tuhan”
-
Yang mengklaim sebagai satu-satunya jalan
-
Yang butuh disembah dan dielu-elukan
Ia bukan guru, tapi pelaku sandiwara spiritual.
Kultus Guru Adalah Cermin dari Ketidaktahuan
“na karmaṇā na prajayā dhanena tyāgenaike amṛtatvam ānaśuḥ”
— Kaivalya Upaniṣad 3
Bukan karena japa, bukan karena silsilah, bukan karena persembahan kepada guru kamu mencapai mokṣa.
Hanya tyāga — pelepasan total terhadap identitas palsu.
Tapi di dalam sekte Hare Krishna atau Sai Baba, bhakti berubah menjadi:
-
Ketergantungan pada tokoh
-
Takut meninggalkan guru
-
Menukar kesadaran dengan ekstasi eksternal
Itu bukan jalan mokṣa. Itu jalan menuju perbudakan spiritual.
Menyembah Guru Adalah Bentuk Ketergantungan Baru
“nāyam ātmā pravacanena labhyo na medhayā na bahunā śrutena”
— Kaṭha Upaniṣad 1.2.23
“Ātman tidak dicapai melalui banyak bicara, kecerdasan, atau mendengar banyak ajaran.”
Sruti menekankan bahwa realisasi Ātman adalah pengalaman langsung, bukan hadiah dari guru.
Bahkan guru yang hebat tak bisa membuatmu tercerahkan jika kamu sendiri tidak menyatu dengan pengetahuan itu.
Kalau kamu menyembah guru, kamu hanya menukar satu ketergantungan (duniawi) dengan ketergantungan baru (rohani).
Guru-Guru Sruti Tidak Pernah Minta Dipuja
Apakah Yājñavalkya, Uddālaka, atau Āruṇi pernah berkata:
“Pujalah aku agar kamu tercerahkan”?
Tidak. Mereka selalu berkata:
-
“Ketahuilah Ātman.”
-
“Itulah kebenaran tertinggi.”
-
“Engkau adalah Itu (Tat tvam asi).”
Tidak satu pun dari mereka meminta dirinyalah yang disembah.
Lalu kenapa kini para “guru modern” menganggap dirinya inkarnasi Tuhan dan minta disembah?
Karena mereka tidak mewarisi Sruti — mereka mewarisi ego.
Menyembah Guru Menghambat Mokṣa, Bukan Mempercepat
Mokṣa berarti:
-
Tidak terikat
-
Tidak melekat pada bentuk atau nama
-
Tidak ada yang “lain” dari Brahman
Kalau kamu:
-
Masih menggantungkan diri pada tokoh
-
Masih butuh disetujui oleh guru
-
Masih takut keluar dari kelompok karena “takut dosa”
Maka kamu belum berjalan di jalan Sruti. Kamu masih di jalan Smṛti dan mitologi.
Kemudian para pemuja manusia akan berkilah, dan seringkali sloka seperti:
"mātṛ-devo bhava, pitṛ-devo bhava, ācārya-devo bhava, atithi-devo bhava"
— Taittirīya Upaniṣad 1.11.2
…dipakai oleh sekte atau pengikut tokoh tertentu untuk membenarkan kultus guru dan bahkan memaksa pemujaan kepada figur seperti Prabhupāda (Hare Krishna) atau Sai Baba. Tapi mari kita bongkar dengan tajam, filosofis, dan tetap respek pada konteks aslinya.
Dalam ajaran Hare Krishna dan Sai Baba, guru (ācārya atau avatāra) bukan hanya dihormati, tetapi dianggap sebagai Tuhan itu sendiri. Pemujaan kaki guru, pembacaan pujian harian, bahkan pengulangan nama guru dianggap sebagai bhakti tertinggi.
Namun, pertanyaannya:
Apakah ini ada di Śruti? Apakah wahyu sejati (Veda dan Upaniṣad) pernah menyuruh kita menyembah guru?
Jawabannya: Tidak pernah.
Dan penyimpangan inilah yang harus dibongkar secara filosofis dan radikal.
"Devo Bhava" Bukan Berarti “Sembahlah”
Kata “devaḥ” dalam konteks ini tidak berarti "Tuhan" secara absolut seperti Brahman, tapi berarti "perlakukan seperti yang terhormat" — yakni dengan rasa suci dan mulia, bukan disembah.
Misalnya:
-
“Mātṛ-devo bhava” artinya: perlakukan ibumu dengan hormat, seperti memperlakukan dewa, karena perannya membesarkanmu luar biasa.
-
Sama juga dengan ācārya-devo bhava: hormati guru, karena ia membimbingmu.
Tapi Sruti tidak pernah menyuruh untuk sujud menyembahnya sebagai Tuhan.
Sruti jelas mendorong nilai hormat sebagai dasar etika. Tapi tidak ada satu sloka pun yang memerintahkan:
-
Menyembah guru sebagai Tuhan literal
-
Menganggap guru tidak pernah salah
-
Menempatkan kata-kata guru di atas Sruti
Kalau guru berkata sesuatu yang bertentangan dengan Sruti, maka guru yang harus dikoreksi — bukan Sruti yang ditundukkan.
Ini ditegaskan dalam:
“śāstra-pramāṇam tvam" — Bhagavad Gītā 16.24
"Kitab suci (śāstra), bukan tokoh, adalah ukuran kebenaran"
Dalam Tradisi Vedāntik, Guru Hanya Penunjuk Jalan, Bukan Tujuan
Para ṛṣi seperti Yājñavalkya, Uddālaka Āruṇi, bahkan ṛṣi dari Taittirīya sendiri tidak pernah meminta disembah.
Bahkan dalam Muṇḍaka Upaniṣad saat murid datang kepada guru, yang dilakukan adalah:
-
Duduk rendah dengan rasa hormat
-
Meminta pengetahuan, bukan "berkat"
-
Tidak ada menyembah atau sujud, apalagi menyanyikan lagu-lagu pujian bagi guru
Sruti itu sangat elegan: penuh rasa hormat, tapi tidak mengizinkan fanatisme.
Justru Kultus Guru Itu Smṛti dan Purāṇa, Bukan Sruti
Kultus seperti:
-
“Tanpa guru, kamu tidak bisa sampai ke Tuhan”
-
“Guru adalah Tuhan”
-
“Sembahlah kaki guru sebagai jalan bhakti”
...itu berasal dari Smṛti dan Purāṇa (seperti Guru Gītā, Bhāgavata, dll.), bukan Sruti.
Sruti tetap menjaga kemurniannya:
Tidak mempersonifikasi Tuhan
Tidak memuja guru
Hanya menunjukkan: kebenaran ada dalam dirimu (Tat Tvam Asi).
Ritual seperti:
-
Menyembah kaki guru (paduka pūjā)
-
Menulis nama guru 100.000 kali
-
Menyanyikan lagu-lagu pujian pada guru setiap pagi
…semuanya berasal dari Smṛti dan teks-teks sektarian, seperti Guru Gītā, Bhāgavata Purāṇa, atau Caitanya Caritāmṛta, bukan dari Sruti.
Sruti tidak punya agenda membesarkan tokoh. Sruti hanya membesarkan kesadaran.
Pemujaan Tokoh Adalah Penyimpangan Serius dari Vedānta
Advaita Vedānta menyatakan:
Guru hanyalah tongkat, yang dibuang setelah bisa berjalan.
Tapi dalam sekte-sekte tertentu:
Vedānta Sejati | Sekte Sektarian |
---|---|
Guru menunjuk Ātman | Guru menyedot bhakti |
Bebas dari nama | Melekat pada nama |
Lepas dari bentuk | Pemujaan sosok |
Kesadaran murni | Japa tak berkesudahan |
Jadi, Bagaimana Menyikapinya Secara Bijak?
Sikap yang Vedāntik dan elegan:
Aspek | Sikap Sehat |
---|---|
Kepada orang tua | Hormati, layani, jadikan sumber kasih dan dharma |
Kepada guru | Hormati sebagai pembimbing, bukan objek sembahan |
Kepada tamu | Sambut dengan tulus, jangan jadikan alat status |
Kepada Tuhan | Sadari sebagai Kesadaran dalam dirimu, bukan tokoh |
Hormatilah semua dengan jiwa merdeka. Bukan dengan rasa takut atau penghambaan.
Kesimpulan: Sruti Tidak Butuh Guru yang Disembah, Tapi Kesiapan Jiwa yang Merdeka
Tuhan sejati tidak membutuhkan perantara.
Pengetahuan sejati tidak membutuhkan kultus.
Guru sejati tidak membutuhkan penyembahan.
Karena yang kamu cari bukan “seseorang”, tapi Diri Sejati (Ātman).
Sruti membawamu menuju penyadaran yang membebaskan, bukan ketundukan terhadap figur.
Hormat Itu Wajib, Kultus Itu Penyimpangan
Jadi bro, ketika sloka ācārya-devo bhava dikutip, jawab saja begini:
“Ya, saya menghormati guru seperti saya menghormati ibu saya. Tapi saya tidak menyembah ibu saya sebagai Tuhan. Hormat bukan berarti pemujaan.”
Dan itu adalah semangat Sruti:
Bimbingan, bukan penjara. Kesadaran, bukan kultus.
Jika Kamu Masih Menyembah Guru, Kamu Belum Menyadari Diri
Sruti tidak pernah berkata:
-
“Guru adalah Tuhan”
-
“Sembahlah tokoh suci”
-
“Tanpa guru kamu tidak sampai mokṣa”
Sruti berkata:
“Tat tvam asi” — Engkau adalah Itu.
“Neti, neti” — Bukan ini, bukan itu (bukan tokoh, bukan nama, bukan bentuk).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar