Google+

Belajar Mengamati dan mencari ke dalam

Belajar Mengamati dan mencari ke dalam

Ketika kegagalan terjadi dalam suatu upaya kolektif, umumnya orang-orang sibuk mencari letak kesalahan-kesalahan yang terjadi di luar diri mereka sendiri. Bila itu tak dimungkinkan —oleh alasan-alasan etis atau sosial-hierarkis— maka mereka akan menimpakan kesalahan-kesalahannya pada alam, kondisi, situasi dan lain sebagainya. Yang ini sudah lumayan baik, karena bersifat lebih netral, lebih etis dan tak ada pihak yang merasa dipersalahkan atau dipojokkan karenanya.

Menjadikan alam, kondisi, situasi, keadaan, cuaca, waktu dan sejenisnya sebagai 'kambing-hitam' rupanya telah sejak dahulu dilakukan manusia; dan ini dipandang wajar-wajar saja, disamping netral dan memang bisa dibuat agar terdengar masuk-akal. Pokoknya, asalkan kesalahan-kesalahan itu ada di luar diri mereka sendiri.

Dalih, 'pengkambing-hitaman' ataupun pelemparan kesalahan keluar yang ‘paling canggih’ di antaranya adalah: "Kita hanya bisa merencanakan saja, Tuhanlah yang menentukan." Terdengar sangat saleh, religius bahkan bijak. Segala sesuatunya dikembalikan kepada Tuhan. 


Siapa yang akan berani atau lancang membantah atau menyangkalnya? 
Bagi yang lancang membantah, apa ia mau mengatasi atau mengungguli 'kehendak' Tuhan? 
Boro-boro...'menduakan', 'menyekutukan' Tuhan saja sudah dianggap murtad, sesat yang bisa dikenakan hukuman penggal-kepala.

Hal yang sebaliknya akan terjadi bilamana tercapai kesuksesan kolektif. Maka mereka akan berlomba-lomba unjuk-diri, mengetengahkan kontribusinya, perannya, jasanya terhadap kesuksesan itu. Mereka akan berebut untuk mengaku paling berjasa. 
Lalu kemana perginya Tuhan mereka? 
Mereka akan dengan sangat mudah melupakan-Nya; apalagi alam, kondisi, situasi, keadaan, cuaca, waktu dan sejenisnya. Fenomena 'mengkambing-hitamkan' pihak luar —tak peduli siapa atau apapun adanya itu— atas kesalahan sendiri dan berlomba-lomba unjuk-diri dan mengakui jasa-jasa, merupakan hal yang sangat umum dalam masyarakat manusia. Yang seperti ini sering kita amati di sekeliling kita masing-masing. Itu bukan lagi sesuatu yang samasekali baru, apalagi asing bagi kita. Cuma mungkin, kita agak enggan mengakuinya, kita malu mengakuinya.

Alam —sebutlah planet bumi ini saja— sesungguhnya telah sedemikian bermurah-hati kepada kita semua. Kita hidup di dalamnya, kita telah menggunakan segala sesuatu yang ada di dalamnya. Bahkan jasad kita ini, sthula sarira ini, tiada lain dari saripati alam (panca mahabhuta) adanya. Mungkin kita tahu itu. 
Akan tetapi, apakah kita benar-benar menyadarinya demikian? 
Apakah kita benar-benar menyadari bahwa jasad kasar ini adalah milik dan bagian dari alam? 
Bukankah alam telah sedemikian bermurah-hatinya kepada kita, bahkan hingga detik ini? 
Pernahkah Anda bayangkan bagaimana bila alam tiba-tiba meminta segala sesuatu yang kita 'pinjam' darinya selama ini?

Jagatraya, alam semesta, alam materi, alam fenomena ini adalah Ibu kita. Sebagian dari keberadaan kita ini, dianugerahi oleh Ibu kita ini. Kita menyebutnya dengan Prakriti atau Pradhana. Sebagai Ibu, kita sebetulnya menyebutnya dengan banyak nama. Kekuatan-kekuatan Ibu kita, kita sebut dengan Devi, Shakti, Sri, Lakshmi, Sarasvati, Vagisvari, Parvati, Uma, Durgha bahkan Maya. Dari kekuatan - kekuatan Ibu inilah kita dapat merasakan langsung keberadaan dari Bapa kita semua. 

Bukankah kita dalam kehidupan sehari-hari lebih merasa nyaman, lebih merasa terbuka kepada ibu masing-masing ketimbang bapa kita? 

Anak-anak akan merengek-rengek meminta sesuatu kepada ibunya. Anak-anak hanya merasa nyaman dan tenteram hatinya pulang ke rumah bila ada ibunya. Ibu Semestaraya adalah Saguna Brahman —Tuhan sebagai yang paling mudah kita rasakan langsung kehadiran dan kasih-sayang-Nya.

Sebagai ungkapan rasa syukur dan terimakasih kita pada alam atas semua kelimpahannya bagi kita inilah kita menyelenggarakan korban suci, Bhuta Yajña. Dan kepada kekuatan - kekuatanNya, kita menyelenggarakan Deva Yajña.

Melemparkan kesalahan ke luar dan mencari-cari alasan atas kegagalan di luar diri, rupanya telah menjadi kebiasaan sebagian besar dari kita, seperti juga mengakui peran, jasa dan kontribusi kita pada keberhasilan. Disamping gejala tak kondusif tersebut, fenomena lain apalagi yang kira-kira dapat kita lihat disini? Ada satu fenomena mendasar yang juga tertampak disini, yaitu: 'mencintai yang benar, yang baik, mencintai Kebenaran itu sendiri'. Fenomena mendasar ini sesungguhnya juga tertampak pada sikap-sikap seperti: 'memonopoli kebenaran', 'merasa paling benar', 'mencari-cari pembenaran' dan sejenisnya.

Sesungguhnya, jauh di dalam lubuk-hati kita, kita 'mencintai Kebenaran Itu', kita 'mencintai Bapa kita'. Namun dalam pengungkapannya, kita bisa menggunakan berbagai cara, termasuk seperti yang kita ungkapkan sebelumnya dan berdalih. Kebiasaan mencari-cari ke luar, mesti kita belokkan 180° ke dalam, bilamana kita benar-benar bertekad menemukan Kebenaran yang membahagiakan itu. "Bila hendak meminta warisan ‘Kerajaan Sorga', maka pintalah itu kepada Bapa yang bersemayam di dalam. Bilamana Bapa menganugerahkannya kepada kita, Ibu-pun akan melimpahkan segalanya kepada kita"; ada yang mengungkapkannya demikian.

Dalam "Vedanta for Beginners", Sri Swami Sivananda mengingatkan: "Dunia ataupun objek-objek duniawi bukannya baik dan bukan pula buruk, akan tetapi naluri rendahmulah yang menjadikannya baik ataupun buruk. Ingatlah hal ini dengan baik. Jangan mencari-cari kesalahan pada dunia ataupun objek-objek duniawi. Carilah kesalahan pada batinmu sendiri."

Untuk merubah kebiasaan yang telah sedemikian lama lekat dan membentuk watak kita, memang bukan sesuatu yang mudah. Apalagi perubahan itu berupa pembalikan dari kebiasaan semula. Kebiasaan melihat, mencari dan menemukan sesuatu di luar sana saja sudah tidak mudah untuk membaliknya. 

Namun, bilamana dilakukan atas kesadaran dan dengan tekad yang kuat, apakah yang tidak dapat dilakukan manusia?

Denpasar, 14 Desember 2001.
sumber : Putu, cyberdharma. net
di poskan kembali di http://cakepane.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar