Raja Bali II
Setelah DalemKresna Kepakisan wafat maka putra beliau yang tertua yaitu Dalem Sri Agra
Samprangan menggantikan beliau menjadi adipati di Bali dan masih berkeraton di
Samprangan. Menurut Babad Dalem , Sri Agra Samprangan mempunyai putri I Dewa Ayu Muter
Di awal
pemerintahan Dalem Sri Agra Samprangan (tahun 1373 M atau 1295 isaka) terasa
situasi di Puri Samprangan memburuk, yaitu adanya upaya mengadu domba Raja
dengan adik-adik beliau yang dilakukan oleh para Menteri dan pembantu dekat
Raja. Untuk menghindari pertengkaran, maka kedua adik Dalem yaitu Dalem
Di-Madia dan Dalem Ketut, memilih tinggal di luar istana.
- Dalem Di-Madia membangun istana dan bermukim di Desa Tarukan, Pejeng, oleh karena itu beliau bergelar : Dalem Tarukan. Ide Bethara Dalem Tarukan memilih Desa Tarukan di Pejeng sebagai istana, karena dekat dengan rakyat Bedahulu yang sebagian besar masih belum mengakui pemerintahan Samprangan.
- Dalem Ketut, tidak menetap. Beliau berpindah-pindah dari satu Desa ke Desa lain, menyamar sebagai penjudi ayam aduan; penduduk lalu menjuluki beliau : Dalem Ketut Ngulesir. Selain untuk menghindari pertengkaran, beliau berdua juga bermaksud menyelidiki dukungan rakyat Bali (Bali-Aga) terhadap pemerintahan Samprangan serta mengadakan pendekatan dengan rakyat.
Peristiwa Penting Dalam Masa Pemerintahan Dalem Samprangan
Sementara itu
pergolakan di Puri Samprangan makin memanas, ditandai dengan pemberian julukan
yang tidak pada tempatnya kepada Raja, di mana Dalem Sri Agra Samprangan diberi
julukan Dalem Ile (Ile=gila), Dalem Tarukan dinyatakan "rangseng"
(=gila karena marah), dan Dalem Ketut dinyatakan sangat suka berjudi, khususnya
mengadu ayam. Julukan tidak pada tempatnya yang diberikan kepada para Raja itu
sangat bertentangan dengan ajaran agama Hindu yang senantiasa mengajarkan
penghormatan tinggi kepada Pemimpin Pemerintahan. Penghinaan kepada Raja itu
jelas fitnah, karena jika benar adanya, pasti Maha Raja Majapahit dan Maha
Patih Gajah Mada tidak akan tinggal diam. Tindakan pemecatan atau penggantian
Raja pasti dilakukan. Selain itu, jika julukan itu benar, para musuh, yaitu
rakyat Bedahulu akan mempunyai peluang yang baik untuk menggulingkan
Pemerintahan Samprangan.
Pemerintahan Samprangan di ambang kehancuran, karena
tidak adanya dukungan dari para Menteri dan pembantu Raja. Dalem Wayan merasa
perlu memanggil adik beliau yaitu Dalem Ketut untuk diajak kembali tinggal di
Puri Samprangan. Maksudnya agar Dalem Ketut turut membantu beliau
menyelenggarakan pemerintahan. Perbekel Kaba-Kaba diutus beliau untuk menjemput
Dalem Ketut ke Desa Pandak, tetapi Dalem Ketut menolak karena beliau merasa
belum mampu memimpin kerajaan di Samprangan. Jika Samprangan telah dipenuhi
oleh para menteri dan pembantu Raja yang tidak setia, apakah beliau akan dapat
memimpin dengan baik ?
Sementara Dalem Ketut mencari jalan keluar memecahkan
masalah ini, datanglah Kuda Penandang Kajar sebagai utusan Dalem Tarukan
memohon Dalem Ketut pulang untuk memimpin Kerajaan Samprangan. Dalem Tarukan
sendiri tidak berniat menjadi Raja, karena beliau lebih tertarik kepada profesi
kepanditaan. Pesan lain yang disampaikan Kuda Penandang Kajar adalah, jika
Dalem Ketut berkenan, beliau dibolehkan menggunakan istana Tarukan. Walaupun
penjemputan kali ini penuh penghormatan dan kemewahan, misalnya dengan kuda
tunggangan istimewa bernama I Gagak dan sebuah keris milik Dalem Tarukan yang
bernama I Pangenteg Rat, Dalem Ketut tetap menolak permintaan kakaknya itu,
sekali lagi dengan alasan belum mampu memimpin atau menjadi Raja.
Kecewa karena tugasnya tidak berhasil, Kuda Penandang
Kajar kembali ke Tarukan dengan lesu. Di perjalanan beliau disambar burung
gagak hingga destarnya jatuh. Sesampainya di gerbang Istana Tarukan, dilihatnya
puncak gelung kuri terpenggal. Hanya Kuda Penandang Kajar yang melihat
demikian, sementara para pengiringnya tidak melihat puncak gelung kuri itu
terpenggal. Pertanda buruk ini terkesan mendalam di hati Kuda Penandang Kajar,
sampai-sampai beliau jatuh sakit. Dalem Tarukan prihatin pada sakit yang
diderita kemenakannya ini.
Sementara itu tersiar berita yang mengagetkan, bahwa para
panglima perang Samprangan merencanakan memerangi Kerajaan Blambangan. DalemTarukan tidak setuju dengan rencana itu, mengingat bahwa Dalem Blambangan, yaitu
ayah Kuda Penandang Kajar, masih saudara sepupu beliau. Dalem Tarukan
berpendapat bahwa rencana itu mempunyai latar lain, mungkin saja gerakan
merebut kekuasaan, yaitu bila prajurit dikerahkan ke Blambangan, Dalem Wayan
akan mudah digulingkan. Dalem Tarukan cepat mengambil inisiatif untuk mengikat
tali persaudaraan antara Samprangan dengan Blambangan, yaitu dengan menikahkan
Kuda Penandang Kajar dengan putri Dalem Wayan, bernama I Dewa Ayu Muter. Dengan
ikatan tali persaudaraan itu, perang dapat dicegah. Sakitnya Kuda Penandang
Kajar menjadi suatu jalan untuk memohon restu para Dewata. Jika Dewata
mengijinkan pernikahan ini, kesembuhan Kuda Penandang Kajar menjadi suatu batu
ujian. Pertimbangan lain, Dalem Tarukan melihat bahwa Kuda Penandang Kajar sudah
cukup dewasa, dan dari gelagat sehari-hari nampaknya tertarik kepada I Dewa Ayu
Muter.
Ternyata permohonan Dalem Tarukan kepada para Dewata
terkabul. Kuda Penandang Kajar segera sembuh dan sehat seperti semula. Tentu
saja Dalem Tarukan sangat bergembira. Kini beliau merencanakan mewujudkan
perkawinan kedua muda-mudi itu. Untuk meminang tentu saja tidak mungkin, karena
posisi Dalem Wayan sangat lemah. Beliau hampir tidak dapat memutuskan sesuatu.
Semua keputusan diambil oleh para Menteri. Akhirnya dilaksanakanlah perkawinan
secara adat kawin-lari. Awalnya perkawinan itu berjalan lancar, sampai pada malam
hari terjadi hal yang merupakan akhir dari keberadaan Puri Tarukan. Kedua
mempelai yang sedang berbulan madu di peraduan, tewas berbarengan tertusuk
senjata keris. Dalem Wayan tentu saja sangat terkejut dan segera memanggil para
menterinya. Seorang panglima perang menyampaikan ceritra yang lengkap, serta
memperkuat keyakinan Dalem Wayan bahwa putri beliau bersama-sama Kuda Penandang
Kajar benar telah tewas ditikam Ki Tanda Langlang.
Betapa murkanya Dalem Wayan, di saat itu Dalem Wayan
memerintahkan pasukan Dulang Mangap yang dipimpin Panglimanya Kiyai Parembu,
menyerang menghancurkan Puri Tarukan serta menangkap Dalem Tarukan hidup atau
mati. Dan dalem tarukan pergi meninggalkan istananya untuk menghindari perang.
Sudah sekian lama Kiyai Parembu mengejar Dalem Tarukan ke
hutan-hutan dan desa-desa di pegunungan, tiada kabar berita, membuat Dalem
Wayan resah. Dalam hati kecilnya beliau menyesal telah mengeluarkan perintah
yang demikian kejam namun sebagai seorang Raja tidak mungkin beliau menarik
kembali perintah itu. Kini beliau mengharap semoga adik kandung beliau itu
selamat dan untuk bisa selamat selamanya, diperkirakan Dalem Tarukan telah
berhasil menyeberang ke Jawa, jika benar maka jalan yang terbaik adalah melalui
Desa Kubutambahan di bekas kerajaan Dalem Kesari Marwadewa, yaitu di Pura Penyusuan.
Rasa kesepian karena tiada saudara sekandung, perasaan
bersalah yang terus menghantui, serta siasat dari para Menteri yang tiada
hentinya, membuat Dalem Wayan tidak bergairah memimpin pemerintahan Kerajaan
Samprangan. Perasaan bersalah Dalem Wayan makin menjadi-jadi setelah istri
Dalem Tarukan yaitu putri dari Lempuyang meninggal ketika putra yang
dilahirkannya genap berusia 42 hari. Bayi mungil ini dinamai I Dewa Bagus
Dharma. Berhari-hari Dalem Wayan di peraduan saja, tidak beda seperti orang yang
sedang sakit. Para menteri dan petinggi kerajaan yang ingin menghadap tidak
berhasil menemui beliau, sehingga lama kelamaan roda pemerintahan tidak
berjalan sebagaimana mestinya. Keadaan ini mengkhawatirkan beberapa menteri
karena dapat membahayakan kelangsungan berdirinya kerajaan Samprangan, apalagi
kaum pemberontak dari kalangan Bali Aga masih terus berusaha menggulingkan
kerajaan. Seorang menteri bernama Kiyai Kebon Tubuh mengambil inisiatif
berangkat ke desa Pandak (Tabanan) menjemput Dalem Ketut Ngulesir untuk memohon
beliau bersedia menjadi Raja.
Kiyai berhasil menemui Dalem Ketut di arena sabungan ayam
sedang berwajah lesu karena baru saja kalah bertaruh. Kiyai melaporkan secara
singkat keadaan Dalem Wayan di Puri Samprangan dan peristiwa menyedihkan yang
terjadi di Puri Tarukan. Sejenak Dalem Ketut termenung membayangkan betapa
tragisnya nasib beliau tiga bersaudara. Kiyai melanjutkan permohonannya agar
Dalem Ketut sudi pulang ke Samprangan untuk memimpin kerajaan Bali Dwipa.
Walaupun Dalem Ketut sudah lama meninggalkan Samprangan, beliau selalu memantau
apa yang terjadi di Puri Samprangan. Permintaan Kiyai Kebon Tubuh itu memang
patut dipertimbangkan demi menjaga kelangsungan roda pemerintahan, namun
bagaimana nanti dengan kedudukan Dalem Wayan ? Pemikiran Dalem Ketut itu
nampaknya terbaca oleh Kiyai Kebon Tubuh. Segera ia menawarkan agar Dalem Ketut
memerintah dari Gelgel, bukan dari Samprangan. Dengan kata lain kerajaan
seolah-olah sudah dipindahkan ke Gelgel. Tawaran ini disetujui Dalem Ketut dan
segeralah beliau berangkat ke Gelgel (tahun 1380 M atau 1302 isaka).
Sementara itu Dalem Wayan makin parah sakitnya dan akhirnya
beliau meninggal pada tahun 1383 M atau 1305 isaka. Setelah Dalem Wayan
meninggal barulah Dalem Ketut menyelenggarakan upacara penobatan Raja (biseka
Ratu) dengan gelar Ide Bethara Dalem Semara Kepakisan.
Terus Dalem Bekung yg pernsh berkuasa di Puri Samprangan itu menggantikan siapa?
BalasHapus