Buleleng Pada Masa Kekuasaan Dinasti Panji Sakti (1600 – 1780 M)
Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, Raja I Buleleng
I Gusti Ngurah Panji Sakti adalah salah satu putera dari Dalem Segening Sesuhunan Bali – Lombok VI, yang berkuasa di Swecapura Gelgel tahun 1580 – 1665 M. Ia beribu seorang sahaya, yang bernama Ni Luh Pasek, berasal dari desa Panji, Denbukit. Ketika ia masih dikandung, ibunya diserahkan oleh Dalem kepada Arya Ki Gusti Jelantik Bogol untuk diperisteri, sebagai penghargaan atas jasa-jasa terhadap kerajaan. Tetapi dengan syarat jangan ‘dicampuri’ sebelum anak itu lahir, dan agar dipersaudarakan dengan putera kandung Ki Gusti Jelantik Bogol.
Ki Gusti Ngurah Panji Sakti diperkirakan lahir tahun 1584 M. Masa kecilnya diberi nama Ki Barak Panji. Sejak kecil sudah menunjukkan tanda-tanda kebesaran. Dari kepalanya keluar sinar suci menandakan prabawanya. Hal ini menimbulkan kekuatiran Sri Aji Dalem akan tahta kerajaan. Itulah sebabnya sewaktu Ki Barak Panji berumur sekitar 12 tahun diperintahkan untuk pergi meninggalkan Suwecapura, tinggal di desa asal ibunya, desa Panji, Den Bukit.
Ki Barak Panji berangkat ke desa Panji dengan dibekali pusaka keris Ki Semang, tombak Ki Tunjung Tutur atau Ki Pangkajatatwa. Rombongan perjalanan yang berjumlah 40 orang dipimpin oleh Ki Dumpyung dan Ki Dosot. Ki Barak Panji pamitan di desa Jarantik, kemudian meneruskan ke desa Samprangan, desa Kawisunya (wilayah Bandana), Danau Pabaratan (Beratan), istirahat makan di bukit Watusaga (Batumejan) wilayah Den Bukit. Sewaktu makan ketupat nasi, mereka kekurangan air maka ditancapkanlah tombak Pangkajatatwa, hingga keluar air bersih untuk diminum. Daerah tempat keluarnya air tersebut selanjutnya diberi nama Banyu Anaman atau Toya Ketipat nama lainnya.
Pada sore hari rombongan berada di atas danau Bubuyan (Buyan), tiba-tiba muncul sosok manusia gaib yang kemudian diberi nama Ki Panji Landung. Ki Panji Landung mencegat Ki Barak Panji dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Ki Barak Panji disuruh melihat arah Utara (samudra luas), Timur (gunung Toya Anyar/Tianyar), Barat (gunung Banger), dan arah Selatan. Kelak daerah yang dilihatnya itu menjadi kekuasaannya.
Sesampainya di desa Panji para pengiring kembali ke Suwecapura kecuali Ki Dumpyung dan Ki Dosot yang sangat setia. Penguasa daerah Panji bernama Ki Pungakan Gendis sangat tamak ditakuti rakyat. Dari angkasa Ki Barak Panji mendengar sabda sebagai petunjuk untuk membunuh Ki Pungakan Gendis. Ki Barak Panji naik ke atas pohon Leca, kemudian di bawah dilihat Ki Pungakan Gendis baru pulang dari sabung ayam. Ki Barak Panji turun mencegat seraya mengacungkan keris pusaka Dalem, Ki Semang. Seketika itu Ki Pungakan Gendis meninggal kaku di atas kuda. Penggantinya untuk sementara ditugaskan Ki Bendesa Gendis untuk memerintah desa Gendis.
Ki Barak Panji sempat menolong perahu terdampar di Pantai Penimbangan (dekat Pura Segara Panji sekarang). Pemilik perahu orang Cina bernama Ki Dompu Awwang (San Po Kong) menjanjikan memberi hadiah semua isi perahu kepada yang mampu menarik perahu tersebut. Dengan keris pusaka pemberian Dalem Ki Barak Panji berhasil menyelamatkan perahu itu. Sejak itu Ki Barak Panji menjadi kaya.
Setelah menginjak usia 20 tahun Ki Barak Panji dinobatkan sebagai penguasa desa Panji dengan nama Ki Gusti Ngurah Panji. Berkat karisma dan kewibawaannya, berbondong-bondong orang datang dari lain desa. selanjutnya tinggal di desa Panji. Dari timur: sungai We Nirmala, sampai ujung desa Toya Anyar. Kyayi Alit Manala dari Kubwan Dalem tunduk dan mengabdikan diri. Dari Barat: sungai We Kulwan Kyayi Sasangkadri yang beristana di Tebu Salak tunduk menyerahkan diri. Kekuasaan Ki Gusti Ngurah Panji semakin meluas. Ia memindahkan istana ke desa Sangket, Sukasada. Sejak saat itu bergelar Ki Gusti Ngurah Panji Sakti.
Ki Gusti Ngurah Panji Sakti meminta Ida Pedanda Kumenuh menjadi Bhagawanta. Sebutan di masyarakat Ida Pedanda Sakti Ngurah. Brahmana ini memiliki ilmu yang luhur, yaitu ilmu Pasupati. Sang Pendeta semula dari Ler Adri menetap di desa Tarupinge (Kayu Putih sekarang), kemudian setelah dijadikan pendeta kerajaan, diberi kedudukan di desa Banjar Ambengan, rakyat 3000 orang, sebatas barat sungai Bukbuk. Sang Brahmana sangat ahli membuat keris, hingga dikenal keris buatan Banjar. Ki Gusti Ngurah Panji Sakti juga memberikan Pendeta kediaman yang beri nama Griya Romarsana. Di tempat inilah kedua tokoh ini mengikat janji, mengingat sewaktu di Yawadwipa leluhur mereka bersaudara. Itulah sebabnya daerahnya ini disebut desa Sangket.
Ki Gusti Ngurah Panji Sakti teringat akan anugerah dari Ki Gusti Panji Landung, bahwa ia akan dapat menaklukkan Blambangan. Setelah mendapat alamat dari burung gagak dan petunjuk dari Bhagawanta, ia berangkat bersama laskarnya. Rute perjalanan perahu, melalui Candi Gading, di pinggiran Tirta Arum, selanjutnya menyerang Banger. Terjadi pertempuran yang ramai antara laskar Taruna Gowak Buleleng dengan Laskar Dalem Blambangan. Dalem Blambangan akhirnya wafat ditikam dengan keris Ki Semang, anugerah Dalem Segening. Namun kemenangan laskar Buleleng harus dibayar dengan gugurnya salah seorang puteranya yang bernama I Gusti Ngurah Nyoman Panji Danudresta.
Diceritakan Ki Gusti Ngurah Panji Sakti merintis membangun kota, di petegalan daerah Jenggala Balalak, sebelah utara Sukasada, tempat penduduk menanam buleleng (jagung gembal). Lama kelamaan tempat itu menjadi ramai disebut kota Buleleng. Tempat tinggal baginda raja diberi nama Singaraja. Sebab keberaniannya bagaikan singa. Ia mempunyai gajah bagaikan gajah Airwata. Dibuatkan kandang di sebelah Utara kota, sehingga tempat itu diberi nama Banjar Petak. Tiga orang pemberian raja Solo ditugaskan mengembalakan gajah tersebut. Dua orang tinggal di sebelah Utara desa Petak selanjutnya tempat itu diberi nama Banjar Jawa. Seorang lagi diberi tempat di pesisir Toya Mala (Banyumala). Di antara Banjar Jawa dan Banjar Petak dinamai Bajnar Peguyangan, tempat gajah raja berkubang. Mereka kemudian dipindahkan ke hutan Pengatepan (artinya Pegayaman = Teep), yang sekarang bernama desa Pegayaman, dimaksudkan sebagai benteng penjaga perbatasan di Selatan.
Ki Gusti Ngurah Panji Sakti melebarkan daerah kekuasaannya dengan menyerang Jaranbana (Jemberana). Dengan keris pusaka Ki Semang, ia berhasil menaklukkan daerah Jaranbana. Ia juga mendengar ada seorang puteri cantik adik Ki Gusti Ngurah Made Agung, raja Mengwi. Ia mengirim utusan untuk melamar sang puteri. Raja Mengwi ingin menguji keberanian Raja Buleleng dan kehebatan laskar Ler Adri. Mula-mula lamaran ditolak. Timbul kemarahan Raja Buleleng hingga mengirim laskar untuk menyerang Mengwi. Raja Mengwi mengirim laskar andalan, yaitu laskar Taruna Batan Tunjung dan laskar Taruna Munggu. Pertempuran sempat berlangsung seru, saling tikam, sebelum didamaikan oleh raja Mengwi. Sang Puteri Ki Gusti Ayu Rai akhirnya dinikahkan dengan dengan Raja Buleleng. Sebagai imbalannya, Raja Buleleng memberikan daerah Brambangan (Blambangan) dan Jaranbana (Jemberana).
Ki Gusti Ngurah Panji Sakti sempat memancing kemarahan raja Bandana (Badung) dengan menyerang daerah Watukaru, merusak parahyangan Agung Batukaru. Tiba-tiba segerombolan lebah menyerang laskar Buleleng. Kejadian ini dirasakan sebagai kutukan dewata. Pengerusakan Parahyangan Agung Batukaru ini membuat raja Bandana berang. Raja Buleleng mengirim laskar ke daerah Badeng (Badung). Kedua belah pihak bertempur di tempat yang sekarang diberi nama Taensiat. Pertempuran dapat dihentikan, kedua belah pihak berdamai. Selanjutnya, Ki Gusti Ngurah Panji Sakti mengambil puteri dari golongan Wesia dari Banjar Ambengan Badung.
Pada tahun 1686 M terjadi peristiwa penggulingan Dalem Di Made oleh Ki Gusti Agung Maruti di Swecapura (Gelgel). Dalem Di Made dilarikan ke desa Guliang Bangli bersama puteranya I Dewa Jambe beribu dari treh Jambe Pule Badung. Dalem Di Made akhirnya wafat di desa Guliang. Ki Gusti Ngurah Panji Sakti sangat berang, langsung memimpin laskarnya untuk membebaskan Gelgel dari cengkeraman Ki Gusti Agung Maruti. Laskar Buleleng sampai di sebuah desa di sebelah Barat Toya Jinah. Di daerah ini mereka bermarkas, yang membuat masyarakat setempat kesusahan, sehingga daerah itu diberi nama desa Panasan. Laskar Ki Gusti Agung Maruti dapat dipukul mundur, namun demikian Ki Gusti Ngurah Panji Sakti sempat kecewa dengan kerisnya yang berkepala berbentuk babodolan, sehingga setelah sampai di kora Gelgel mengeluarkan sumpah, semua keturunanya kelak tidak boleh memakai keris yang berkepala berbentuk babodolan.
Ki Gusti Ngurah Panji Gede, Raja II Buleleng
Diceritakan karena usia, Ki Gusti Ngurah Panji Sakti meninggalkan dunia ini mencapai moksah menuju alam Nirbana. Ia memiliki beberapa putera dari beberapa isteri. Dari putri Pungakan Gendis yang bernama I Dewa Ayu Juruh. Melahirkan 3 putra, yaitu: Ki Gusti Ngurah Panji Gede, Ki Gusti Ngurah Panji Made, serta yang bungsu bernama Ki Gusti Ngurah Panji Wala. Dari puteri Banjar Ambengan Badung lahir I Gusti Alit Oka dan I Gusti Made Padang. Beribu dari desa Panji lahir Ki Gusti Wayan Padang dan Ki Gusti Made Banjar. Beribu Ki Gusti Ayu Rai (puteri Raja Mengwi) lahir I Gusti Ayu Panji, diperisteri oleh Ki Gusti Anom dari Kapal Mengwi.
Ki Gusti Ngurah Panji Gede yang menjadi putera mahkota, dinobatkan menjadi Raja Den Bukit berikutnya. akan tetapi ia tetap menempati istana di Puri Sukasada.
Ki Gusti Ngurah Panji Bali, Raja III Buleleng
Ki Gusti Ngurah Panji Gede mempunyai seorang puteri bernama I Gusti Ayu Jelantik Rawit. Sedangkan adiknya Ki Gusti Ngurah Panji Made berputera I Gusti Ngurah Panji Bali (memperisteri I Gusti Ayu Jelantik Rawit), I Gusti Panji Tahimuk, I Gusti Made Munggu, I Gusti Nyoman Panji, dan yang bungsu bernama I Gusti Oka.
Setelah Ki Gusti Ngurah Panji Gede dan Ki Gusti Ngurah Panji Made wafat, maka tahta kerajaan, tampuk pemerintahan dipegang oleh Ki Gusti Ngurah Panji Bali, sebagai raja berikutnya. Ia menempati istana di Puri Sukasada. Istana di Singaraja tetap dipelihara sebagai tempat bersenang-senang.
Ki Gusti Ngurah Jelantik, Raja IV Buleleng
Sepeninggal Ki Gusti Ngurah Panji Bali, Buleleng diperintah secara kolektif oleh 2 Puri. Putera Sulung bernama Ki Gusti Ngurah Panji menempati Puri Sukasada. Adiknya Ki Gusti Ngurah Jelantik menempati Puri Singaraja. Kedua puteranya ini lahir dari dua ibu, sebagai permaisuri.
Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1780 M, kedua raja ini berseteru karena mempercayai fitnah tersebar. Ki Gusti Ngurah Jelantik meminta bantuan Raja Karangamla (Karangasem) Ki Gusti Ngurah Ketut Karangasem. Bantuan diberikan dengan perjanjian, setelah menang nanti Ki Gusti Ngurah Jelantik dinobatkan menjadi raja hanya sebagai boneka. Laskar gabungan Singaraja – Karangasem berhasil mendesak laskar Sukasada. Keris pusaka Ki Semang, anugerah Dalem berhasil direbut. Ki Gusti Ngurah Panji berhasil ditikam hingga gugur dalam pertempuran ini. Tempat terjadinya peristiwa pertempuran 2 saudara ini diberi nama desa Baratan.
Ki Gusti Ngurah Jelantik dinobatkan menjadi raja Buleleng. Ki Gusti Nyoman Karangasem dari treh Arya Petandakan, dinobatkan sebagai raja muda. Sama-sama beristana di Puri Singaraja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar