Gusti Gde Pasekan Memulai di desa Panji
setelah meninggalkan Puri jlantik, Dalam bimbingan ibunya, Ni Pasek Gobleg dan pamannya, I Wayan Pasek, dengan
cepat beliau belajar mengenal lingkungan desanya. Disamping itu ada dua pengasuh,
Ki Dumpyung dan Ki Dosot. Sebagai seorang pemuda berusia 12 tahun, yang selalu
ingin tahu tentang segala hal, I Gusti Gde Pasekan sering berpetualang. Naik bukit
dan menjelajah ke hutan melewati tegalan sampai ke pantai merupakan kegiatan
rutin. Keris pemberian ayahnya, I Gusti Ngurah Jelantik, selalu terselip di
pinggangnya.
Pada suatu sore yang panas, I Gusti Gde Pasekan merasa badannya gerah dan ingin
mandi di sungai di tempat beliau sering mencari ikan. Tetapi di sungai dilihatnya ada
buaya yang membuat orang-orang takut untuk mandi dan para perempuan takut
mengambil air. Dengan segala pertimbangan yang cukup masak, I Gusti Gde Pasekan
turun kesungai seorang diri. Dengan kelincahan dan kaki katangannya yang cekatan,
buaya yang menakutkan itu bisa di bunuhnya. Setelah buaya dibunuhnya barulah
beliau mandi dengan tenangnya dan menikmati sejuknya air sungai. Penduduk desa
Panji menjadi gempar, karena keberanian dan kewisesan I Gusti Gde Pasekan yang
masih muda belia itu. I Gusti Gde Pasekan semakin dekat di hati masyarakat desa
Panji, bahkan meluas keluar desa Panji.
Di wilayah Den Bukit ada seorang yang sangat berkuasa bernama Ki Pungakan
Gendis. Beliau sangat ditakuti oleh rakyak karena perangainya yang semena-mena,
hanya mencari kesenangan berjudi dengan mengadu ayam setiap hari. Beliau
bepergian dengan menaiki kudanya yang besar dan gagah. Di kanan kirinya berjalan
beberapa orang pengawal.
Suatu hari, I Gusti Panji sedang dalam perjalanan pulang. Karena merasa lapar beliau
berhenti untuk mencari umbi ketela di tegal. Keris pusaka leluhur yang selalu
dibawanya itu lalu dihunusnya dan ditancapkan di tanah mencongkel umbi ketela.
Sedang mencongkel- congkel tanah, tiba-tiba I Gusti Panji mendengar suara seperti
keluar dari dalam keris " ..... tan gaweyaŋ puyut kinarya anŋulati ewi..." yang
artinya: "....jangan buyut dipakai untuk mencari umbi ketela...".
Selanjutnya terdengar:..."aywa ki buyut semaŋ- semaŋ ri ki puyut... apan ana
pasupati-astra ring agraniŋ puyut....ana pinakasatrunta maŋaran ki puŋakan Gendis
yogya pinatryan denta .." artinya: "Jangan ragu akan kesaktian buyut..... karena di
ujung buyut memiliki kesaktian..... disana ada musuh bernama Ki Pungakan Gendis
yang harus dibinasakan....". Mendengar sabdantara sedemikian, I Gusti Panji berhenti
mencongkel umbi dan keris pusaka segera dimasukkan kesarungnya. I Gusti Panji
mulai menyadari, bilamana suatu waktu dkemudian hari timbul keraguan di pikiran
beliau, agar selalu ingat akan "Ki Semang", demikian nama kris pusaka tersebut.
I Gusti Gde Pasekan Mengalahkan Ki Pungakan Gendis.
Diceritakan Ki Pungakan Gendis sedang dalam perjalanan pulang sehabis berjudi dan
bersenang-senang. Beliau menunggang kuda diiringi oleh para pengawal. Kebetulan I
Gusti Panji juga dalam perjalanan. Ki Pungakan Gendis tiba-tiba terkejut berhadapan
dengan seorang pemuda gagah yang berdiri didepannya. Seketika Ki Pungakan
Gendis menghardik kudanya. Kudanya menjadi garang dan dengan kaki depannya
sang kuda menggores dada I Gusti Panji hingga terjatuh, namun tidak terluka. I Gusti
Panji segera bangkit dan naik ke pohon lece. Ki Pungakan Gendis menyerang dengan
kudanya, namun I Gusti Panji meloncat ke atas kuda dan keris pusaka menembus
dada Ki Pungakan Gendis. Ki Pungakan gendis tidak segera menemui ajalnya karena
memiliki ilmu kekebalan. Dengan tetap duduk di atas kudanya beliau meneruskan
perjalanan pulang. Sampai dirumahnya barulah diketahui oleh para pengwalnya bahwa
majikannya telah wafat karena tidak kuasa melawan kesaktian keris I Gusti Panji.
Keadaan penduduk desa Panji dan desa Gendis, sampai pada desa-desa sekitarnya
tidak lagi merasa takut karena Ki Pungakan Gendis yang kelakuannya semena-mena
terhadap penduduk telah tiada lagi. Sebaliknya, penduduk merasa mendapat
perlindungan dan bimbingan dari I Gusti Panji yang dianggap pantas memimpin
mereka.
i Gusti Gde Pasekan Menolong Perahu Terdampar.
Setelah beberapa lama, ada suatu kejadian, sebuah perahu bermuatan penuh
barang dagangan terdampar di pantai Penimbangan. Perahu itu milik orang asing
bernama Dempu Awang, seorang saudagar Cina. Dengan nada sedih sang saudagar
minta tolong kepada Bendesa Gendis agar kapalnya bisa diselamatkan namun Bendesa
Gendis tak sanggup menolong. Kemudian datanglah I Gusti Ngurah Panji dan dengan
cara yang penuh perhitungan beliau bisa melepaskan perahu dari jepitan batu karang,
sehingga perahu itu kembali bebas. Sang saudagar Dempu Awang memberikan
banyak hadiah kepada I Gusti Ngurah Panji berupa barang-barang mewah seperti
piring - cangkir, cawan dan permadani, kain beludru yang mahal sampai bahan
bangunan rumah. Selain itu juga uang kepeng atau jinah bolong alat pembayaran yang
berlaku jaman itu. Setelah mengucap syukur dan terima kasih kepada I Gusti Ngurah
Panji, Dempu Awang pergi melajutkan pelayarannya.
Dengan demikian, I Gusti Ngurah Panji mendapat harta yang cukup berlimpah yang
diperlukan sebagai modal kelancaran geraknya dalam menjalankan tugas memimpin
rakyat, disamping benda yang sudah dimiliki berupa keris pusaka Ki Semang dan
tulup Ki Tunjungtutur yang mempunyai kekuatan magis sebagai kelengkapan dalam
menjaga kewibawaan seorang pemimpin.
I Gusti Ngurah Panji (Gusti Gde Pasekan) sudah makin dewasa dalam umur dan juga dalam pengalaman.
Setelah berumur melewati 20 tahun, beliau mengambil putri yang berparas ayu yang
bernama I Dewayu Juruh. Gadis pilihannya itu tidak lain adalah putri Ki Pungakan
Gendis almarhum yang dikalahkan dan gugur dalam perang tanding dahulu. Kemudian
adik laki-laki I Dewayu Juruh tetap diberikan kekuasaan di Gendis dibawah asuhan
Bendesa Gendis. Lama-kelamaan I Gusti Panji makin dikenal dan disegani di wilayah
Den Bukit.
Gusti Gde Pasekan Membangun Puri dan Pamerajan di desa Panji.
Setelah itu, I Gusti Ngurah Panji memindahkan pura yang berada di desa Gendis,
yang disungsung oleh krama desa Gendis dan sekitarnya, ke pusat desa Panji.
Seluruh masyarakat penyungsung pura tersebut menyatakan persetujuannya dan pura
itu dijadikan Pura Desa Panji.
Tidak berselang lama kemudian, I Gusti Ngurah Panji membangun puri terletak di
sebelah timur jalan, bersebrangan dengan Pura Desa yang baru selesai. Puri tersebut
memang tidak dibangun secara mewah, namun sudah dilengkapi dengan merajan. Hal
ini sesuai dengan petunjuk ayahnya I Gusti Ngurah Jelantik dahulu semasih di Gelgel
sebagaimana ditegaskan kepada I Wayan Pasek agar dibuatkan Puri lengkap dengan
Merajan. Semua merasa berbahagia, karena sekarang bisa terlaksana, yaitu I Gusti
Ngurah Panji dinobatkan sebagai pemimpin dengan Puri serta Merajan. Namun sang
ibu, Luh Pasek Gobleg tidak mau tinggal di dalam puri karena merasa dirinya kurang
pantas dan tetap di rumahnya semula di sebelah utara.
Semenjak itu penduduk bergembira dan sepakat untuk memberi beliau gelar
"Ngurah", maka nama beliau menjadi I Gusti Ngurah Panji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar