I Gusti Ngurah Panji Membangun Kerajaan di Den Bukit
Membentuk Laskar Perang "Taruna Goak"
Demikianlah I Gusti Ngurah Panji menjalankan kepemimpinannya dengan bijaksana
dengan cara memberikan pengertian, pengayoman dan kemakmuran kepada rakyat
di Den Bukit. Beliau sebagai seorang pemimpin perang, komandan pasukan, sang
penakluk. Dengan pusaka keris Ki Semang dan Ki Tunjungtutur, seluruh rakyat
Den Bukit tidak ada seorangpun berani menentang. Dengan demikian beliau
menjadi raja Den Bukit atau dengan nama Ler Gunung.
Setelah usahanya berhasil menyatukan wilayah Den Bukit beliau membentuk laskar
yang disebut Teruna Gowak dibawah pimpinan Panglima Perang Ki Tamblang
Sampun dan I Gusti Made Bahatan sebagai wakil Panglima Perang. Untuk
menguatkan latihan perang, I Gusti Ngurah Panji mengangkat orang-orang
bayaran, seperti orang Bugis dan orang Ambon sebagai pelatih perang. Kemudian
juga memasok senjata api yang diselundupkan orang-orang pelarian.
Untuk menunjang kerajaan dari segi pembiayaan, perdagangan digiatkan.
Beliau tidak segan-segan memperkerjakan orang asing seperti beberapa orang
bangsa Cina, sebagai syahbandar dan Ambon, Makasar, juga beberapa orang
Belanda sebagai untuk meningkatkan perdagangan.
Kemelut Di Pemerintahan Gelgel
Patih I Gusti Agung Maruti mempengaruhi Dalem agar mengambil keris pusaka I Gusti Ngurah Jelantik.
Perlu diceritakan disini, bahwa sewaktu I Gusti Panji sedang memantapkan
kedudukan di Den Bukit, terjadi kemelut dalam pemerintahan di istana Gelgel.
Ini terjadi setelah Dalem Sagening wafat (tahun + 1650) yang kemudian
digantikan oleh Dalem Pemayun yang masih muda. Pada waktu adanya
peralihan jabatan itu muncul intrik dan fitnah antara kelompok para pejabat
tinggi kerajaan untuk saling merebut kekuasaan.
I Gusti Ngurah Jelantik (ayah I Gusti Panji) di puri Jelantik, wafat karena umur
lanjut. Beliau digantikan oleh putranya yang bernama I Gusti Gde Ngurah yang
tidak lain adalah adik (tiri) I Gusti Ngurah Panji. Setelah dinobatkan, I Gusti Gde
Ngurah bergelar I Gusti Ngurah Jelantik V, sama dengan gelar ayahnya. Karena
masih muda beliau dibina oleh I Gusti Gde Pring, pamannya.
Pada waktu itu yang
menjadi Patih Dalem Gelgel adalah I Gusti Agung Maruti yang sangat ambisius,
ingin mengambil kekuasaan kerajaan Gelgel. Dalam pada itu I Gusti Agung Maruti
bermaksud mengambil / memiliki keris sakti pusaka I Gusti Ngurah Jelantik yang
bernama Ki Mertyu Jiwa /Pencok Sahang yang dulu dipakai mengalahkan Ki
Dalem Dukut di Nusa. I Gusti Ngurah Jelantik menolak untuk menyerahkan keris
pusaka warisan leluhurnya yang merupakan anugrah Ida Batara di Pura Besakih. I
Gusti Agung Maruti berkali - kali mengerahkan pasukan bersenjata mau membunuh
I Gusti Ngurah Jelantik atas nama Dalem, tetapi tidak berhasil.
I Gusti Ngurah Jelantik Mengungsi keluar dari wilayah Gelgel.
Untuk menghindari kejadian yang makin meruncing I Gusti Ngurah Jelantik
beserta pamannya I Gusti Gde Pring minta pertimbangan I Gusti Ngurah Panji di
Den Bukit dengan bersurat-suratan. Dari pertimbangannya timbul keputusan agar I
Gusti Ngurah Jelantik menyelamatkan diri, bersama seluruh keluarganya dengan
cara mengungsi ke daerah Barat bersama para pendukung yang setia. Sampailah
mereka di tepi sungai Ayung waktu hari mulai gelap. Mereka berjalan beriringan
dan berpegangan tangan melalui jembatan “titi gantung” diatas sungai Ayung.
Setelah sampai di seberang sungai baru disadari bahwa putra kedua I Gusti Ngurah
Jelantik lepas dari rombongan dan menghilang. Para pengiring diperintahkan untuk
kembali ke seberang sungai dan mencari putranya yang berumur sekitar 4 tahun itu
(Untung Surapati), namun sia-sia belaka tanpa hasil. Dengan rasa sedih perjalanan
diteruskan sampai di desa Marga, Mengwi.
Setelah I Gusti Ngurah Jelantik melepas tugas sebagai panglima perang kerajaan,
malahan pergi mengungsi keluar Gelgel menyebabkan kemelut di Istana Gelgel kian
menjadi-jadi. Sehingga banyak petinggi kerajaan ikut mengungsi ke luar wilayah
Gelgel, ada yang ke wilayah Timur ada yang ke Barat. Tetapi masih banyak kerabat
dan rakyat yang setia dan tetap berada di wilayah desa Gelgel mendukung I Gusti
Agung Maruti. Banyak keluarga warga masyarakat terpecah belah, bahkan para
warga Arya juga terpecah karenanya sehingga terjadi konflik di sana-sini. Banyak
diantara pecahan berbagai warga mengungsi ke Den Bukit minta perlindungan I
Gusti Ngurah Panji.
I Gusti Agung Maruti Mengambil Alih Pemerintahan Gelgel.
Patih I Gusti Agung Maruti mendapat simpati dan dukungan yang cukup luas di
kalangan pejabat istana juga dari para Manca dan Punggawa. Puri Gelgel dikepung,
namun Dalem Di Made dengan bantuan Anglurah Singaharsa dapat meloloskan diri
diiringi 300 orang rakyat yang setia. Di luar istana terjadi pertempuran sengit di
Tukad Bubuh di selatan desa Gelgel. Perjalanan Dalem berhasil sampai di Guliang.
Setelah beberapa lama berselang Dalem Di Made wafat di Guliang, meninggalkan 2
putra yaitu: 1. Dewa Agung Mayun tinggal di Guliang membawa keris Ki Tanda
Langlang, dan 2. Dewa Agung Jambe tinggal di desa Sidemen diasuh oleh
Anglurah Singharsa membawa keris Ki Samojaya.
I Gusti Agung Maruti mengangkat dirinya sebagai Dalem Gelgel dengan gelar
Dalem Maruti Di Made (tahun 1655). Untuk memperkuat kedudukannya Dalem
Maruti Di Made minta bantuan persenjataan bedil dan meriam kepada Belanda di
Batavia. Namun pihak Belanda bingung adanya pergantian penguasa di Gelgel -
Bali juga dengan nama Dalem.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar