Lahirnya Gusti Gde Pasekan
Alkisah setelah beberapa keturunan berlalu, disebutlah seorang dari keturunan
Sri Nararya Kapakisan / I Gusti Nyuh Aya, yang bergelar I Gusti Ngurah JelantikVI, menjabat sebagai Panglima Perang yang dihandalkan oleh raja yang bergelar
Dalem Sagening yang istana dan pemerintahannya telah berpindah dari
Samprangan ke Gelgel. I Gusti Ngurah Jelantik beristana di puri Jelantik -
Swecalinggarsapura, tidak jauh dari istana raja di Gelgel.
Di puri Jelantik, banyak para abdi laki-laki dan perempuan yang berasal dari
berbagai tempat. Di antara para abdi ada seorang perempuan pelayan (pariwara)
yang sehari-harinya bertugas sebagai penjaga pintu, bernama Ni Pasek Gobleg.
Pada suatu hari, I Gusti Ngurah Jelantik pulang dari bepergian. Pada saat beliau
melangkahkan kaki masuk halaman puri, waktu itu sang pariwara Ni Pasek Gobleg
baru saja selesai membuang air kecil (angunyuh). I Gusti Ngurah Jelantik terkejut
ketika beliau menginjak air yang dirasa hangat di telapak kakinya. Beliau meyakini
air itu tidak lain adalah air kencing Ni Pasek Gobleg, pelayan dari desa Panji
wilayah Den Bukit itu.Timbul gairah birahi I Gusti Ngurah Jelantik kepada Ni
Pasek Gobleg dan serta merta menjamahnya. Hubungan cinta kasih yang
melibatkan I Gusti Ngurah Jelantik dengan pelayannya tidak diketahui oleh
isterinya, I Gusti Ayu BrangSinga.
Dari larutnya hubungan itu, tidak berselang lama Ni Pasek Gobleg mengandung
dan sampai pada waktunya, lahir seorang bayi laki-laki yang sempurna yang diberi
nama I Gde Pasekan. Nama itu diambil dari pihak sang ibu yang berasal dari
trah Pasek.
Beberapa waktu kemudian, sang pramiswari, I Gusti Ayu BrangSinga, setelah
kehamilannya cukup waktunya, juga melahirkan seorang bayi laki-laki, yang diberi
nama I Gusti Gde Ngurah. I Gusti Gde Pasekan lebih tua dari I Gusti Gde Ngurah.
Disebutkan, bahwa dari ubun-ubun I Gde Pasekan muncul berkas sinar,
tambahan lagi lidahnya berbulu. Melihat keistimewaan I Gde Pasekan,
muncul perasaan waswas I Gusti Ayu BrangSinga, bilamana di kemudian hari
nanti, I Gde Pasekan akan lebih disayang oleh I Gusti Ngurah Jelantik. Lagi
pula akan bisa mengalahkan kedudukan I Gusti Gde Ngurah, putranya sendiri yang
lebih berhak atas segala warisan.
Ujar Ni Gusti Ayu Brang-singa: "Kakanda Gusti
Ngurah, dari manakah asal-usul anak bayi ini, kakanda?"
Dijawab oleh I Gusti Ngurah Jelantik: "Baiklah adinda, bayi itu asalnya dari
kakanda sendiri, dilahirkan dari seorang pariwara bernama Ni Pasek Gobleg,
berhubungan hanya sekali".
Menyahut Ni Gusti Brang-Singa dengan air muka sedih: "Kalau begitu baiklah.
Tetapi bila bayi ini tetap berada disini, maka masalah ini membuat adinda akan
menentang. Bilamana anak ini memiliki hak di Puri Jelantik".
Demikian kata-kata
sang isteri kepada Ki Gusti Ngurah Jelantik yang langsung menjawab: "Jangan
merasa gundah, adinda. Anak itu bersama ibunya akan meninggalkan tempat ini
dan pergi ke Ler Gunung".
Mendapat jawaban demikian wajah Ni Gusti Ayu Brang-
Singa kembali tampak berseri.
Sampailah diceritakan, seseorang bernama I Wayahan Pasek dari desa Panji, dalam
perjalanan telah sampai ke puri Jelantik, menjenguk Ni Pasek Gobleg, ibu I Gusti
Gde Pasekan. Ki Wayahan Pasek adalah saudara mindon Ni Pasek Gobleg. Di
dalam puri, I Gusti Ngurah Jelantik sudah siap menanti.
Sabda Ki Gusti Ngurah: ,,E, kita Wayahan Pasěk, anakta Ki Gĕde Pasĕkan ajakĕn mara marêng Ler-Gunung. Manirâweh i kita,kitânggen gusti ring kana. Sadene sira angupakāra; aywa koruban acamah, apan agawe n manira jāti”. Matur ki Wayahan Pasěk:,,Inggih, kawulânuhun wacana n I gusti. Sampun anangçayêng twas”.
Demikian sabda I Gusti
Ngurah Jelantik: "Wahai engkau Wayahan Pasek. Bawalah olehmu I Gde Pasekan
ke Ler Gunung. Perintahku kepadamu, agar engkau memandang dia sebagai gusti-
mu di sana. Lagi pula di dalam tata laksana upakara terhadapnya jangan dicemari
(carub), karena dia adalah sejatinya berasal dari aku".
Sembah atur I Wayahan
Pasek: "Baiklah, hamba junjung tinggi wacanan Gusti. Semuanya sudah jelas bagi
hamba."
I Gusti Gde Pasekan sudah berumur 12 tahun. Sebelum perjalanan dimulai, beliau
dibekali sebuah pusaka oleh sang ayah, I Gusti Ngurah Jelantik, berbentuk sebilah
keris. Disamping itu diberikan juga pusaka leluhur berupa tombak-tulup bernama
Ki Pangkajatattwa atau Ki Tunjungtutur. Setelah semuanya siap, perjalanan ke Ler
Gunung dimulai. Disamping ibunya, Ni Pasek Gobleg dan pamannya, I Wayan
Pasek, I Gusti Gde Pasekan diiringi oleh 40 orang pengawal, dipimpin oleh Ki
Dumpyung dan Ki Dosot.
Di saat mulai melangkah, I Gusti Gde Pasekan merasa sedih meninggalkan tempat
kelahirannya, teringat kembali akan pesan-pesan ayahnya. Teman-teman
sepermainannya akan segera ditinggalkan menuju tempat jauh di Ler Gunung.
Perasaanya penuh tanya dan keraguan. Terdengar suara seperti berasal dari keris
pusaka: "Ih, aywa semang" yang artinya “ Ih, jangan ragu”. I Gusti Gde Pasekan
tersentak heran, namun akhirnya senang karena keris pusaka yang diberikan
ayahandanya mampu berbicara.
Perjalanan pun dimulai. Pertama mengarah Barat selama sehari. Esoknya perjalanan
berbelok mengarah ke Utara. Jalan yang dilintasi mulai menanjak dan berkelok-
kelok. Rasa lelah mulai dirasakan oleh anggota rombongan, tetapi karena hawa
mulai dirasakan makin sejuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar