Google+

Ida Bang Penataran atau Anglurah Kacangdawa

Ida Bang Penataran atau Anglurah Kacangdawa

Diceriterakan sekarang Ida Bang Panataran, putra dari Ida Bang Tulus Dewa, setelah ditinggal oleh ayahnya. Memang benar-benar sayang beliau kepada adik beliau Ida Bang Tohjiwa serta Ida Bang Singharsa. Siang malam beliau bertiga memperdalam kecakapan dan ilmu yang diberikan oleh ayahnya agar kian merasuk di diri beliau masing-masing.

Karena beliau sudah meningkat dewasa, andal pada diri, maka pada suatu hari, Ida Panataran berangsana turun dari Besakih ke desa-desa, sampai akhirnya tiba di Gelgel. Saat itu Ida Dalem Smara Kepakisan yang menjadi raja Bali didampingi oleh para patih dan menteri semua. Di saat itu beliau dilihat oleh Patih Agung Kriyan Patandakan yang sedang menuju ke puri menghadap Ida Dalem. Sangat heran Sang patih Agung , Kriyan Patandakan melihat prabawa Ida Panataran. Kemudian diminta beliau itu singgah di Puri Ki Patih Agung. Di sana Ida Panataran jatuh cinta kepada purti Ki Patih Agung yang bernama I Gusti Ayu Buringkit.

Singkat cerietera, karena sudah saling mangasihi, keduanya, maka Ida Bang Panataran menikahi putri Ki Gusti Agung dan kemudian berdiam di rumah mertuanya.

Diceriterakan sekarang adik Ida Panataran yang bernama Ida Tohjiwa, seperti kehilangan, sudah demikian rindu dengan kakak beliau, kemudian dicarinya kakaknya ke desa-desa, tak dinyana ditemuinya di Gelgel. Di sana kemudian adiknya menghadap kepada kakaknya, di Kepatihan. 

Merasa berbahagia benar Ida Panataran melihat kedatangan adiknya, kemudian matur adiknya Ida Tohjiwa : “ Maafkan saya kanda, dinda matur, ada permintaan dari rakyat kanda-dinda , agar palungguih kanda bisa pulang ke Besakih, mengatur rakyat di sana. Marilah kanda, pulang”. 

Kemudian Ida Panataran pulang ke Besakih diiringi oleh isterinyta I Gusti Ayu Buringkit dan adiknya Ida Tohjiwa, dan tidak lupa memohon diri kepada mertua beliau, Ki Patih Agung Kriyan Patandakan. Di Panataran Besakih, Ida Panataran mengatur segala upacara Hyang sampai dengan ke Panataran Goa Lawah di tepi laut, karena Pura Goa Lawah merupakan sthana Ida Bhatara Hyang Basukih. Diceriterakan juga Ida Panataran lah yang semula menjadi pamangku di Penataran Basukih sampai dengan di Goa Lawah, yang kemudian meminta I Gusti Batan Waringin, putra I Gusti Tusan keturunan Arya Kepakisan untuk menjadi pamangku di Pura Gwa Lawah.

Tidak lama di Besakih, kemudian Ida Panataran mempunyai anak seorang wanita bernama Ida Ayu Puniyawati, sesudah dewasa dilamar oleh I Gusti Pinatih Rsi dari Kerthalangu, Badung. 
Ada utusan dari Kerthalkangu Badung yang matur seperti ini : 
Inggih Ratu Sang Bang, kami datang kemari hanyalah utusan dari Ki Arya Bang Pinatih, yang beristana di Kerthalangu kawasan Badung, yang merupakan paman kami, yang bermaksud untuk melamar puteri palungguh I Ratu akan dijadikan permaisuri”.

Kaget Ida Bang Panataran, seperti gugup tak bisa berkata-kata, kemudian menjawab : 
 “ Saya sama sekali tidak mengerti dengan maksud Ki Arya Pinatih, karena tidak boleh sang Arya melamar sang Brahmana”. 

Demikian ucap Ida Bang Sidemen Panataran. Menjawab sang utusan I Gusti Gde Tembuku serta I Gusti Putu Pahang : 
Ah bagimana rupanya ratu Bang Sidemen, mungkin tiada ingat dengan nasehat leluhur dahulu ? Hamba berani melamar putri tuanku Bang Sidemen ke sini, karena kawitan hamba dahulu sesungguhnya adalah wangsa Brahmana. Sekarang mohon didengar atur hamba agar merasa pasti. Pada saat dahulu ada nasehat dari leluhur hamba, yang bernama Ida Bang Banyakwide, bersaudara dengan Ida Bang Tulus Dewa serta Ida Bang Kajakauh. Ida Bang Banyak Wide pergi dari Besakih guna mencari kakeknda Ida Sang Pandya Siddhimantra di Jawa, namun tidak dijumpainya, kemudian berjumpa dengan Ida Mpu Sedah, dan kemudian belakangan dijadikan menantu oleh Ki Arya Buleteng. Karena Ki Arya Buleteng tidak memiliki keturunan langsung atau sentana, maka Ida Bang Banyak Wide dijadikan sentana Ki Arya, sehingga Ida Bang Banyak Wide menjadi Arya. Ida Bang Banyak Wide itu merupakan leluhur kami yang menurunkan Ki Arya Pinatih Resi. Demikian halnya dahulu. Nah, sekarang ini bagaimana Sang Bang Sidemen, apakah tidak ada ceritera dari Leluhur seperti itu ? “. 

Demikian hatur I Gusti Gde Tambuku. Segera ingat Ida Sang Bang Sidemen, pada nasehat dari sang leluhur kepada beliau, pada saat dulu.

Karena mendengar hal itu, maka diberikanlah putri Ida Bang Panataran Sidemen kepada Ki Arya Bang Pinatih, dan dengan segera mau bersama menjadi Arya Ksatrian.

Sesudah utusan itu memohon diri dari Besakih, prihal itu disampaikan kepada adiknya Ida Tohjiwa. Kemudian dikisahkan, Ida Tohjiwa juga menggelar ksatriya wangsa seperti kakaknya, namun adiknya paling kecil Ida Singharsa masih memakai kebrahmanan.

Diceriterakan sekarang Ida Panataran dari Besakih kembali ke Gelgel, karena diperintahkan oleh Ida Dalem untuk mendampingi kedudukan Ida Dalem, serta diminta untuk menguasai kawasan Kacangpawos, di sebelah timur Istana Dalem di Gelgel. Dalem memberikan Ida Panataran rakyat 200 orang banyaknya. Kemudian beliau membangun puri di Kacangpawos. Sesudah berdiam di Kacangpawos, beliau kemudian bergelar Ida I Gusti Anglurah Kacangdawa. Adiknya yang bernama Ki Gusti Tohjiwa juga menjadi penjabat pendamping Dalem Smara Kepakisan.

Dikisahkan yang menjadi pendamping Ida Dalem waktu itu adalah Kriyan Patandakan yang menggantikan Kriyan Nyuhaya dari Arya Kepakisan sebagai Mahapatih, kemudian Ki Gusti Pinatih dari Arya Wang Bang Kediri, Ki Gusti Kebon Tubuh, Ki Gusti Kaba-kaba, Ki Gusti Buringkit dari Arya Belog, Ki Gusti Tabanan, Ki Gusti Tegeh Kori dari Arya Kenceng, Ki Gusti Panataran, Ki Gusti Tohjiwa juga dari Arya Wang Bang Kediri, Ki Gusti Brangsingha, Ki Gusti Tangkas, Ki Gusti Pagatepan dari Arya Kanuruhan, juga Pring., Cagahan, Sukahet keturunan Arya Sura Wang Bang, Manguri, Dauh, Pangalasan, Jlantik sebagai keturunan Erlanggiya, Pacung, Camenggawon dari Tan Kober, Abyansemal dari Tan Kawur, Cacaha keturunan Tan Mundur.

Sesudah Ida Dalem Smara Kepakisan berpulang ke Sorgaloka pada tahun Isaka 1382 atau tahun Masehi 1460, maka putranya Ida Dalem Waturenggong menjabat sebagai Raja Agung di Pulau Bali. Memang menjadi tertib, subur makmur kawasan Bali ini semasa pemerintahan Ida Dalem Waturenggong. Para arya yang disebutkan tadi mendampingi ayah beliau Ida Dalem Smara Kepakisan, juga menjadi tanda mantri Ida Dalem Waturenggong. Itu sebabnya tidak ada musuh yang berani ingkar, semuanya menghaturkan sembah takluk. Beliau memang benar-benar seorang raja yang pandai, bijaksana serta mengetahui betul permasalahan tata pemerintahan. Itu juga sebabnya beliau dipuja oleh keluarga serta sanak saudara beliau semuanya, serta tanda mantri diberikan pengetahuan tentang falsafah hidup mati. Lengkap tidak ada yang ingkar. Beliau menjadi penguasa sampai dengan beliau berpulang-moksa, pada tahun Isaka 1472, kemudian diberi gelar Dewateng Enggong.

Diceriterakan I Gusti Anglurah Panataran Kacangdawa kemudian mempunyai putra laki-laki bernama I Gusti Dimade atau I Gusti Kacang.

Walaupun Ida I Gusti Anglurah Kacangdawa sudah menggelar wangsa ksatriya menjadi Anglurah Dalem, tidak sekali-kali beliau lupa melaksanakan pekerjaan yang sudah dipegang sejak ayahnya yakni menjadi Juru Sapuh atau Pamangku di Pura Besakih. Pada hari Piodalan Bhatara di Besakih, beliau pasti kembali ke Besakih, menjadi pemimpin dan menghantarkan segala upacara pajantenan Ida Bhatara di Besakih. Sesudah beliau lanjut usia, beliau berpulang ke Swahloka tepat pada saat beliau melaksanakan tugas di Besakih, kemudian diperabukan di Setra Agung, Besakih. Itu sebabnya beliau bergelar Ida Swarga ring Gunung Agung. Beliau disthanakan di Meru tumpang 5 dengan gelar I Dewa Hyangning Gunung Agung. Di Kacangdawa juga dibangun pura sewaktu beliau masih hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar