Google+

Penafsiran Ulang Sloka tentang Wanita dalam Sarasamuccaya

Penafsiran Ulang Sloka tentang Wanita dalam Sarasamuccaya

Oleh : Drs Wayan Suwira Satria, MM (Puket III STAH DNJ, Dosen Filsafat Timur UI )
Sebelum kita mempergunakan teori Gadamer menginterpretasikan sloka-sloka ini, maka pertama tama kita pergunakan teks Sarasamuccaya dalam bahasa Jawa Kuno yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Nyoman Kadjeng dkk. Alasannya adalah oleh karena teks Jawa Kuno kita tidak menemukan siapa penterjemahnya dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Jawa Kuno. Oleh karena Nyoman Kadjeng menterjemahkannya dari bahasa Jawa Kuno ke dalam bahasa Indonesia, maka mulai dari sinilah kita akan melakukan upaya-upaya penafsiran ulang sloka-sloka tersebut.

Berbicara masalah teori interpretasi Gadamer, kita mempertanyakan maksud apa yang terkandung dari penuturnya (Waisampayana), penulisnya (Wararuci), penterjemahnya ke dalam bahasa Jawa Kuno (Anonim), dan penterjemahnya ke dalam bahasa Indonesia, sesuai dengan perkembangan horisonnya masing-masing, dalam rentang waktu dan tempat yang berbeda-beda. Waisampayana adalah penutur nilai-nilai, sari-sari dari Mahabharata, ditujukan kepada pendengarnya Janamejaya, cucu Arjuna. Sebagai penerus dinasti Pandawa yang sangat diharapkan dapat membawa kerajaan dengan seluruh rakyatnya, laki perempuan tua muda menikmati kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin dan mendapatkan kesempatan dan peluang secara adil, agar tidak terulang kembali prahara Bharata Yuda seperti leluhurnya dulu. Inilah merupakan horison berpikir dari penutur dan penulis (Bhagavan Wararuci) serta teks Sarasamuccaya di masa lalu.


Sebagai sebuah teks, dengan mempertimbangkan adanya keinginan dari perempuan Hindu juga generasi muda Hindu dan Perempuan Indonesia umumnya untuk mendapatkan perlakuan yang setara dan berkeadilan dalam semua kesempatan yang ada maka teks Sarasamuccaya harus dimaknai secara berbeda khususnya mengenai perempuan. Tentu saja tanpa harus berpaling sepenuhnya dari nilai-nilai Hindu yang telah membentuk cara berpikir kita sampai saat ini dan nilai-nilai modern yang ikut memperkaya pemahaman kita tentang hidup ini. Pemahaman tentang ”hidup” dari manusia Hindu dahulu pada saat Sarasamuccaya dituturkan dan ditulis untuk pertama kalinya dengan pemahaman tentang ”hidup” di jaman modern sekarang ini, berbeda. Inilah horison manusia Hindu dewasa ini.

Menurut Gadamer untuk dapat memahami makna hidup ini dengan baik maka horison berpikir Manusia Hindu dulu (tradisional) harus dikomunikasikan, didialogkan dengan horison berpikir Manusia Hindu sekarang di jaman modern ini. Dialog ini akan menghasilkan horison berpikir yang baru, yang merupakan fusi atau sintesa dari horison masa lalu dengan horison masa kini. Berdasarkan horison berpikir yang baru ini kita memaknai hidup ini secara baru pula dengan menafsirkan ulang makna-makna partikular dalam perangkat nilai-nilai yang ada dalam kitab Sarasamuccaya, khususnya pemahaman kita tentang perempuan.

Sekarang kita sampai pada menafsirkan ulang secara langsung sloka-sloka dalam Sarasamuccaya yang berbicara soal perempuan, dan bagaimana nasihat Sang Rsi dan caranya sang raja bersikap sehingga terhindar dari godaan tersebut. Satu sloka terakhir sebelum memasuki sloka yang berbicara tentang perempuan (Bab. STRI atau Perempuan), menjadi entry point untuk masuk yaitu: 
Sloka 423 :
na jatu kamah kamyanamupabhogena samyati,
havisa krsnavartmeva bhuya eva vivarddhate.
Sama sekali tidak ada kemungkinan nafsu birahi itu akan berkesudahan, meskipun kepadanya diberikan segala sesuatu yang dirindukannya; makin dituruti, makin bertambah hebat keadaannya, seperti halnya api, menyala karena minyak; makin dituangi minyak, makin berkobar-kobar nayalanya, demikianlah keadaan nafsu berahi itu.

Bahwa nafsu berahi itu tidak pernah dapat dipadamkan, diakhiri, meskipun kita penuhi atau turuti segala permintaannya, keinginannya. Betapa kuatnya dorongan nafsu birahi itu pada kita sebagai manusia. Oleh karena itu cara menghentikannya adalah tidak dengan begitu saja menyetop atau menghentikannya dengan membuat larangan ketat dan sangsi yang berat bagi yang melakukannya, namun harus mencari hakekat dari nafsu birahi itu dan apa yang menjadi penyebabnya. Menurut Hindu penyebabnya itu adalah lawan jenis. Bila ia perempuan maka lelakilah penyebab keterikatan itu, bila ia laki-laki maka perempuanlah penyebab keterikatan itu. Maka dari itu oleh karena yang akan dinasihati ini adalah raja laki-laki maka sosok perempuanlah yang dijadikan obyek untuk mengingatkan raja laki-laki ini akan ancaman yang mungkin membawa kegagalan didalam pemerintahan sang raja.
Sloka 424:
na stribhyah kincidanyadvai papiyo bhuvi vidyate,
striyo mulamanarthanam manasapi ca cintitah.
Diantara sekian banyak yang dirindukan, tidak ada yang menyamai wanita dalam hal membuat kesengsaraan; apalagi memperolehnya dengan cara yang jahat; karenanya singkirilah wanita itu, meskipun hanya di angan-angan, hendaklah ditinggalkan saja.

Diantara sekian banyak yang dirindukan oleh manusia, tidak ada yang menyamai sengsara yang disebabkan oleh lawan jenisnya. Apalagi keterikatan dengan lawan jenis ini diperolehnya dengan cara yang tidak dibenarkan oleh sastra. Maka dari itu saat anda melaksanakan tugas anda sebagai seorang ksatria jauhkanlah pikiran dan keinginan anda akan lawan jenis.
Sloka 425 :
strikrto gramanigamah strikrtah krayavikrayah,
striyo mulamanarthanam tasmannaitah parisvajet.
Adapun mereka yang ingin berdiam di dalam desa, adalah wanita yang menyebabkannya demikian pula orang yang mau berjual beli dan berdagang, adalah wanita pula yang menyebabkannya; pendeknya yang disebut wanita itu merupakan pangkal prihatin saja; oledh karenanya, janganlah hati tertambat kepadanya.

Lawan jenis kita menghalangi aktivitas kita untuk merantau, untuk berdagang, karena ia ingin berdekatan selalu, terikat selalu, agar keinginannya dipenuhi dan dikabulkan oleh lawan jenisnya.
Sloka 426 :
antakah pavano mrtyuh patalam vad-avamukham,
ksuradhara visam sarpo vahnirityekatah striyah.
Maut pracandanila, yaitu angin yang luar biasa kencangnya dewa maut, wadawanala, yaitu api berkepala kuda di dasar bumi, tajamnya pisau cukur, bisa atau racun kalkuta, ular berbisa, prakupitagni, yaitu api berkobar-kobar dengan dahsyatnya, kesemuanya itu, adalah wanita dinamakannya; pun salah satu dari kesemuanya itu, sesungguhnya disebut pula wanita.

Lawan jenis mengikat begitu hebat, dahsyat dan sangat kuat, siapa saja, menyebabkan kita lupa serta kehilangan daya nalar dan sikap kritis.
Sloka 427 :
anayamiva matsyanan panjaram cakuneriva,
samastapacam mudasya bandhanan vamalocana.
Sebab wanita itu, menyebabkan datangnya cinta, matanya yang galak-pikir doyan asmara; merupakan alat pengikat, rantai pembelenggu si bodoh, sebenarnya itu seperti misalnya jala, pukat, pajang, adalah diadakan untuk perangkap ikan, dan sangkar burung itu diadakan adalah memenjarakan burung.

Bila keterikatan akan lawan jenis ini bertambah dalam maka akan melahirkan cinta, dan cinta tidak akan lengkap tanpa hubungan seksual. Bila sudah terjadi maka kenikmatan hubungan seksual itu akan mengikat lebih kuat dan dalam bagi dua orang yang berbeda jenis tersebut.
Sloka 428 :
nasam kascidagamyo’sti nasam vayasi niscayah,
virupam va surupam va pumanityena bhunjate.
Tidak ada yang tidak patut akan didatangi oleh wanita; tidak patut aku pergi kesitu, sebab keadaanku begini; akan dia itu, keadaannya begitu, patut dihormati; tidak mempunyai pertimbangan demikian wanita itu; sebaiknya ia pergi saja dan tidak memikirkan, apakah si anu itu orang muda ataupun orang tua, ia tidak menghiraukan, apakah tampan atau buruk, ah, laki-laki ini, demikian saja pikirannya, pada waktu nafsu birahinya datang.

Dalam keadaan terikat begitu kuat maka pertimbangan kritis kita menjadi hilang, sehingga tidak mempertimbangkan lagi siapa lawan jenisnya itu. Apakah ia adalah saudaranya sendiri, orang tuanya, ataupun orang-orang yang patut dihormati, muda ataukah tua, cantik, ganteng atau tidak, tidak terlalu penting lagi, karena yang terpenting ia adalah lawan jenis.
Sloka 429 :
anarthivanmanusyana bhayat paribhavat tatha,
maryadayamamaryadah striyastistanti bhartrsu.
Kesimpulannya, wanita itu umumnya berlaku buruk, tidak dapat dibatasi; meskipun telah dibatasi, kepadanya telah diberikan ajaran-ajaran yang benar, namun sebab ia bukan karena patuh waktu dinasehati, hanya tampaknya tunduk terhadap suaminya; sebab yang sesungguhnya ia berbuat demikian, agar dia jangan digarap (disakiti) lagi; juga sang suami jangan membujuk-bujuknya; mungkin karena takutnya, mungkin karena takut disiksa, maka ia berlaku demikian (terhadap suaminya).

Dalam posisi terikat seperti itu, prilaku buruknya sudah tidak bisa dihentikan lagi. Bila istri atau suaminya menasehatinya kelihatannya ia manggut-manggut saja tanda setuju dan menunjukkan rasa menyesal, serta tidak akan mengulanginya lagi. Namun semuanya itu hanya untuk sesaat itu saja, selanjutnya ia akan selingkuh lagi.
Sloka 430 :
usana veda yacchastram yacca veda vrhaspatih,
ubhe te na visisyeta stribuddhistu visisyate.
Biarpun ilmu Bhagavan Sukra dan ilmu pengetahuan Bhagavan Wrhaspati, dapat keduanya itu, dengan tiada begitu sukar dikuasai dengan jalan selalu mengulang-ulanginya, sehari-hari harus digiatkan dan diusahakan; sebaliknya pikiran wanita itu sangat sulit untuk dimengerti tak dapat dipastikan bahwa ia dapat dikuasai, biarpun sehari-hari dengan giat diusahakan; penuh kekecewaan sesungguhnya hamba; apa nian cara orang menjaga akan dia.

Sesukar-sukarnya kita belajar Veda, jauh lebih sukar kita melepaskan diri dari keterikatan dengan lawan jenis kita. Keterikatan antar lawan jenis tidak sekedar melibatkan potensi manusia yang kita sebut sebagai akal, namun juga melibatkan potensi-potensi manusia yang lainnya seperti, perasaan, emosi dan lain-lainnya.
Sloka 431 :
nagnistrpyati kastanam napaganam mahodadhih,
nantakah servabhutanam na pumsam vamalocana.
Tidak ada puas-puasnya api itu, biarpun segala rupa pohon kayu, semua yang tumbuh di muka bumi ini dijatuhkan kepadanya, pasti tidak akan menjadikan kepuasannya, bahkan semakin bertambah besar saja nyalanya, oleh kesemuanya itu; demikian pula laut itu tidak kenyang-kenyang meminum air dari sungai-sungai, begitu pula sang maut tidak puas-puas mencaplok jiwa semua mahluk; maka demikianlah si wanita itu tidak ada kepuasan nafsu birahinya akan persetubuhan.

Nafsu birahi itu tak akan pernah dapat dipuaskan, betapapun kuatnya usaha kita untuk memuaskannya. Maka dari itu Weda memberikan suatu solusi, tidak dengan melarangnya, atau menganggapnya tabu, menghakiminya sebagai yang merusak, tapi dengan menyalurkan, mengaturnya. Pengaturan itu dituangkan di dalam pembagian periodisasi kehidupan seorang manusia, dari semenjak lahir sampai ia meninggal dunia. 
Perioda Brahmacari atau pendidikan, mencari ilmu sampai dengan umur 25 tahun, dilanjutkan dengan perioda Grihasta, berumah tangga, dimana hubungan seksual mendapatkan pengesahan pada perioda ini, namun tujuannya baik laki maupun perempuan adalah saling meningkatkan kwalitas kemanusiaannya dan berlanjut sampai dengan umur 55 tahun, diteruskan dengan perioda Wanaprasta yaitu masa pension. 
Diharapkan anak-anaknya sudah mandiri dan tidak tergantung lagi dengan orang tuanya. Dengan demikian manusia yang memasuki perioda kehidupan ini secara perlahan-lahan melepaskan keterikatan-keterikatan materiil dan menambah ilmu pengetahuan rohani sebagai persiapan untuk menuju pembebasan , sampai dengan umur 60 tahun, yang merupakan perioda terakhir yaitu perioda Sanyasin yaitu perioda dimana manusia telah mampu melepaskan diri dari keterikatan materiil dan memanfaatkan sisa hidupnya untuk menyampaikan pencerahan-pencerahan tentang hidup, kepada orang-orang yang memerlukannya, sampai ia mengakhiri hidupnya atau meninggal dunia. Dari keempat perioda ini hanya perioda Grihasta merupakan perioda dimana nafsu birahi itu disalurkan, diberikan pengakuan dan dibenarkan dan tidak pada tiga perioda yang lainnya, namun tetap dalam koridor bahwa motivasinya adalah untuk melahirkan keturunan suputra, anak baik.
Sloka 432 :
yasya jihvasahasram syajjivecca sarada satam,
ananyakarma stridosan naivoktva nidhanam vrajet.
Tidak ada henti-hentinya dosa wanita itu jika diceritakan, bilamana ada orang yang berlidah seribu dan berusia seratus tahun serta tidak melakukan pekerjaan lain, melainkan hanya dosa wanita itu saja yang diceritakannya, pasti tidak akan berakhir ceritanya sampai jangkanya datang dicaplok maut.

Weda mengatakan kebutuhan seksual itu tidak pernah berhenti, selalu berkeinginan untuk dipenuhi sepanjang hidup manusia. Itulah sebabnya pemenuhan kebutuhan seksual itu diatur seperti yang ada dalam catur asrama di atas, sehingga hidup manusia dari sejak lahir sampai dengan mati mengalami kehidupan yang seimbang dan bermakna.
Sloka 433 :
angarasadrsi nari ghrtakumbhasamah puman,
ye prasakta vilinaste ye sthitaste pade sthitah.
Dan wanita itu adalah bara sesamanya, sedang si pria itu sama halnya dengan minyak, artinya apabila pria berahi itu datang mendekat kepada si wanita, pasti akan hancur lebur, tidak bergaya; sebaliknya jika orang tetap berlaku arif bijaksana, tidak terkuasai hatinya oleh wanita, niscaya ia tetap selalu dalam keadaan selamat.

Lawan jenis ibaratkan “bara” disatukan dengan “minyak” yang akan menimbulkan kobaran api. Bila ia berdekatan atau disatukan akan sulit sekali dipisahkan lagi. Namun demikian keterikatan itu bukanlah sesuatu yang tidak dapat diatasi. Kita tidak boleh menyerah pada keterikatan itu. Sastra-sastra Weda memberikan cara-cara untuk dapat menghindari dan mengatasi keterikatan seperti itu.
Sloka 434 :
stri nama maya nikrtih krodhamatsaryavigraha,
dtura tyajedanaryam tamjvalitamedhyavadbudhah.
Sesungguhnya wanita itu tidak lain dari pada sulap, berbahaya, berwujud kemarahan, cemburu; oleh karena itu maka dijatuhkan oleh sang pandita, sebab tiada bedanya dengan sesuatu yang tidak suci (untuk digunakan kurban kebaktian), sesuatu yang menjijikkan, sesuatu yang kotor.

Lawan jenis itu dapat menyulap kita dengan ilusi, marah, cemburu, yang menyebabkan kita tidak suci lagi, dimana hal-hal seperti ini selalu dihindari oleh para pendeta, karena akan mengganggu swadarmanya sebagai seorang pendeta.
Sloka 435 :
svabhavaccaiva narinam naranamiha dusanam,
itthvam vai na pramadyanti pramadasu vipascitah.
Kebiasaan wanitalah yang berbuat bencana kepada orang; dukacita dan prihatin ditimbulkan olehnya, serta membatalkan segala kerja; sadarlah sang pandita akan hal itu; karenanya, selalu berusaha menjauhi wanita.

Kebiasaan lawan jenis seperti itu, menyebabkan kita menderita dan lupa akan tugas dan swadarma kita, sehingga bagi mereka yang sudah memahami hal ini tidak mau mengambil risiko dan menjauhi lawan jenisnya sehingga bila toh harus berdekatan haruslah seperlunya saja, mungkin karena berkaitan dengan tugas atau swadarma kita.
Sloka 436 :
yesu yesu pradescesu kayo’tyantajugupsitah,
tesu tesu janah sakto vairagyam kena yasyati.
Adalah suatu alat pada tubuh si wanita, sangat menjijikkan dan sangat kotor; mestinya dibenci, dan dijauhi, jangankan dapat demikian, untung sekali, jika orang tidak sampai lekat, rindu berahi dan cinta kasmaran pada alat tersebut; orang yang bersikap demikian, apakah mungkin tidak terikat pada asmara.

Walaupun kita memahami bahwa keterikatan seksual itu begitu kuat antara kedua lawan jenis, sebagai manusia harus mampu mengatasinya dengan mengikuti petunjuk dalam Weda, yaitu dengan menggunakan hak berhubungan seksual itu hanya pada waktu perioda Grihasta dan untuk tujuan reproduksi, bukan untuk tujuan rekreasi. Penggunaan hak tersebut di luar itu secara tegas dan disiplin harus kita hindari. Hentikan keinginan untuk mencoba, melihatnya, menyentuh, apalagi menggunakannya.
Sloka 437 :
ko hi nama manusyesu janannapi vicaksanah,
harinipadamatrena carmana na khalikrtah.
Sebab di dunia ini sang pandita sesungguhnya cukup bijaksana, tiada luput beliau dari pada noda, dikuasai oleh alat yang ada tubuh wanita, yaitu kulit yang berukuran sebesar jejak kaki kijang.

Sloka 438 :
prasvedamaladig dhena vahata mutrasonitam,
vranena vivrtenaiva sarvamandhikrtam jagat
Ditengah-tengah kulit sebesar jejak kaki kijang, terdapatlah luka yang menganga yang tidak pernah sembuh, yang menjadi salura jalan air seni dan darah, penuh berisi keringat dan segala macam kotoran; itulah yang membuat orang bingung di dunia ini, kegila-gilaan, buta dan tuli karenanya.

Sloka 439 :
kulani nasya patyante na kathamapi khanyate,
khanakaiva ksayam yati balena ca dhanena ca.
Luka itu digangsir selalu, tapi tidak ada yang rapuh, tidak ambruk pinggirnya, malahan alat penggangsirnya yang menjadi lemah, hilang kekuatannya, lenyap kekayaannya.

Sloka 440 :
yanyeva malavahini puticchidrani yositam,
tanyeva khalu kamyani aho pumsam vidambana.
Terlalu menjijikkan luka itu, menurut pendapat hamba; mengeluarkan segala macam kotoran badan; luka itu diselubungi oleh semacam jerat burung (tampus=Bali), yang berlemak lagi sangat a lot, itulah yang menyebabkan berahi, terikat cinta asmara di dunia ini; heran sesungguhnya hamba buka alang kepalang bencana di dunia ini.

Sloka 441 :
yositam na katha sravya na niriksya nirambarah,
kadaciddarsanat tasam durbalanavisedrajah.
Oleh karena itu hendaklah dijauhi wanita itu; jangan didengarkan kata-katanya, apalagi segala bisik-bisiknya, jangan dipandang wajahnya, apalagi bila ia telanjang bulat, sebab akan tampak itu, dan terdengar akan perkataannya, itulah yang menyebabkan merasuknya nafsu berahi.

Walaupun seorang pendeta ia adalah manusia juga yang memiliki kekurangan dan kelemahan, termasuk juga ketertarikan dalam hubungan seksual dengan lawan jenisnya. Ini menunjukkan bahwa betapa organ tubuh yang sekecil itu mampu memberikan daya tarik yang begitu besar kepada setiap orang. Bentuknya, aromanya, cairan yang dikeluarkannya sangatlah khas dan sentuhan lembutnya, hangatnya, getarannya membuat mabuk kepayang setiap orang, yang tentunya pada akhirnya mendatangkan bencana bila memanfaatkannya dengan tidak semestinya.
Sloka 442 :
matra svasra duhitra va na viviktasano bhavet,
balavanindriyagramo vidvamsamapi karsati.
Jangan tidak berhati-hati, jangan bersenda gurau, bercakap-cakap berduaan dengan ibu anda, saudara anda, anak anda, karena cepat benar menyusup pengaruh indria (nafsu birahi) itu, meski sang pandita sekalipun tertarik olehnya.

Terakhir sastra mengingatkan kita untuk tidak berada berduaan antara lawan jenis di suatu tempat, siapapun mereka, kecuali dalam situasi dan kondisi yang dibenarkan, seperti yang sudah diatur dalam Weda, yaitu pada perioda Grihasta dan antara suami dan istri.

KESIMPULAN

  1. Sarasamuccaya, sebagai bagian dari Weda, termasuk dalam kelompok Weda Smerti yang merupakan kitab suci otoritas kedua yang boleh diinterpretasi ulang bila ternyata nilai-nilai yang disampaikan ada yang merasa diperlakukan tidak adil.
  2. Menyimak dari hampir semua sloka-sloka yang ada dalam kitab Sarasamuccaya, seluruhnya sebanyak 511 sloka, mengandung nilai-nilai yang universal, seperti apa itu manusia, semua manusia setara, mengapa ia ada di dunia, kemana tujuannya, bagaimana seharusnya ia menjalankan hidupnya. Sebagai satu kesatuan pesan yang dibawa oleh kitab Sarasamuccaya, tidaklah mungkin didalamnya itu ada pesan-pesan yang kontradiktif satu dengan yang lainnya. Misalnya antara nilai-nilai universal dengan nilai-nilai partikular.
  3. Ternyata ada 19 sloka yang secara tekstual merupakan nilai-nilai yang partikular, yang bertentangan dengan sebagian besar nilai-nilai universal yang terkandung di dalam kitab itu. Sesuai dengan pemahaman baru tentang “perempuan” dalam sloka di atas ternyata tidak benar-benar merupakan sloka-sloka yang bertentangan dengan nilai-nilai universal Sarasamuccaya yang lainnya. Tujuan hidup manusia menurut Hindu baik laki maupun perempuan adalah berpeluang sama untuk mencapai kesejahteraan duniawi (Jagat Hita) dan Pembebasan (Moksa).
  4. Nafsu birahi menyebabkan keterikatan yang sangat kuat pada setiap orang. Hal ini dapat kita lihat maraknya pornografi dan pornoaksi serta porno media sebagai tontonan yang banyak menarik manusia modern dewasa ini, yang dalam bentuknya yang kuno dapat kita lihat dalam sastra Kama Sutra.
  5. Walaupun demikian nafsu birahi tersebut bukanlah musuh yang kita harus matikan, kita tabukan, kita hentikan dalam kehidupan ini. Sastra-sastra Hindu memandangnya sebagai sesuatu yang sudah ada dan tidak mungkin ditiadakan, namun harus dikendalikan, diatur realisasinya sehingga dapat ditarik manfaat positifnya. Dengan demikian kita tidak terburu-buru menyalahkan perempuan sebagai sumber malapetaka.
  6. Cara pengendalian itu adalah dengan Pengendalian Pikiran yang tertuang dalam pemikiran Yoga dan koridor seperti pembagian periodisasi kehidupan ini menjadi empat perioda dimana perioda Grihasta adalah satu-satunya perioda yang membenarkan hubungan seksual itu antara seorang istri dan suami, untuk tujuan menghasilkan keturunan yang suputra.
  7. Sloka-sloka Sarasamuccaya yang berbicara mengenai perempuan ini, harus diinterpretasi ulang yang secara aktif melibatkan WHDI dan tentu saja harus memberikan kontribusi pemikiran agar tidak lagi diskriminatif, mendiskriditkan, meminggirkan perempuan dan bersifat represif.
  8. Nilai-nilai Hindu masih tetap konsisten dalam menjunjung tinggi kesetaraan, keadilan dalam segala bidang kehidupan baik ranah privat, publik maupun spiritual, serta secara dinamis nilai-nilai itu terbuka untuk diinterpretasi ulang sesuai dengan perubahan zaman.
  9. Keikut sertaan WHDI secara aktif dalam diskusi, seminar, serta konferensi yang bertopik pemberdayaan perempuan, bekerja sama dengan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, sampai akhirnya membuahkan suatu program aksi dalam bentuk MOU patut diteruskan, disosialisasikan dan ditingkatkan lagi. WHDI juga jangan lupa tetap aktif pula secara internal merealisasikan program penafsiran ulang sastra-sastra Hindu yang secara tekstual masih sangat patriarkhis, sehingga tidak malu-malu lagi kita perkenalkan kepada umat lainnya dan generasi muda Hindu.

Demikianlah pemaknaan sloka Sarasamuccaya yang baru akan dapat mengakomodir aspirasi dari Wanita Hindu Dharma Indonesia, sekaligus misi pemerintah lewat Meneg Pemberdayaan Perempuan dan secara eksternal aktif menyumbangkan pemikirannya menuju kesetaraan gender kepada dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar