Pemujaan Batara Hyang Guru di Sanggah Kamulan
Ring Kamulan ngaran Ida Sang Hyang Atma,ring Kamulan tengen bapa ngaran paratma,ring Kamulan kiwa ibu ngaran Sang Hyang Siwatma,ring Kamulan tengah ngaran raganta, metu Brahmadadi meme bapa meraga Sang Hyang Tuduh. (Dipetik dari Lontar Usana Dewa)
Maksudnya:
Di hulu pekarangan di setiap rumah umat Hindu di Bali umumnya ada tempat pemujaan keluarga yang disebut Sanggah atau Merajan Kamulan. Dalam Lontar Siwagama dinyatakan bahwa:
"Bhagawan Manohari dari Siwapaksa atas penugasan Sri Gondarapati agar membangun pemujaan yang disebut Kamulan di setiap hulu pakarangan rumah tempat tinggal. Sepuluh pekarangan rumah tinggal memiliki tempat pemujaan yang disebut Pelinggih Pretiwi. Dua puluh pekarangan rumah tinggal memiliki tempat pemujaan yang disebut Pelinggih Ibu. Empat puluh pekarangan rumah tinggal memiliki tempat pemujaan yang disebut Panti."
Hal inilah menyebabkan setiap pekarangan umat Hindu di Bali ada tempat pemujaan Kamulan yang umumnya dibangun di hulu pekarangan rumah tinggal.
Menurut beberapa sumber pustaka Hindu di Bali, yang dipuja di Pelinggih Kamulan itu adalah Sang Hyang Atma. Di samping dinyatakan dalam Lontar Usana Dewa yang dikutip di atas juga dinyatakan dalam Lontar Gong Wesi sbb:
"...ngarania Sang Hyang Atma, ring Kamulan Tengen bapanta ngaran Sang Paratma, ring Kamulan kiwa ibunta ngaran Sang Siwatma, ring Kamulan madia raganta, atma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi Sang Hyang Tunggal nunggalin raga..."
Demikian pula dalam Lontar Siwagama Sargah sepuluh menyatakan sba:
"...kramania Sang Pitara mulihing batur Kamulania nguni..."
Karena itulah sang Pitara Sang Pitpara pulang ke asal Kamulannya dulu. Hal yang menyatakan lebih tegas lagi bahwa Pelinggih Kamulan sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Atma adalah Lontar Purwa Bumi Kamulan. Lontar ini menguraikan tata cara upacara Nuntun Dewa Hyang di Kamulan. Lontar ini menguraikan amat rinci tentang tata cara menstanakan roh suci leluhur yang disebut Dewa Pitara di Kamulan.
Dalam Lontar Gayatri dinyatakan saat orang meninggal rohnya disebut Preta. Setelah melalui prosesi upacara ngaben roh tersebut disebut Pitra. Setelah melalui upacara Atma Wedana dengan Nyekah atau Mamukur roh itu disebut Dewa Pitara. Upacara ngaben dan upacara Atma Wedana digolongkan upacara Pitra Yadnya. Sedangkan upacara Ngalinggihang atau Nuntun Dewa Hyang dengan menstanakan Dewa Pitara di Pelinggih Kamulan sudah tergolong Dewa Yadnya.
Roh yang disebut Dewa Pitara itu adalah roh yang telah mencapai alam Dewa. Karena Sang Hyang Atma yang sudah mencapai tingkatan Dewa Pitara diyakini setara dengan Dewa.
Menstanakan Dewa Pitara di Kamulan juga dinyatakan dengan sangat jelas dalam Lontar Pitutur Lebur Gangsa dan Lontar Sang Hyang Lebur Gangsa.
Dalam Lontar Pitutur Lebur Gangsa dinyatakan sbb:
"...muwang ngunggahang dewa pitara ring ibu dengen ring kamulan.."
Sedangkan dalam Lontar Sang Hyang Lebur Gangsa dinyatakan sbb:
"...muwah banten penyuda mala karahaken pitra ngarania angunggahaken Dewa Pitara ring ibu dengen muang ring Kamulan ngaran..."
Kedua lontar tersebut menyatakan bahwa menstanakan roh suci leluhur yang disebut Dewa Pitara di Kamulan dengan istilah muwang ngunggahaken Dewa Pitara ring ibu dengan ring Kamulan.
Dalam tradisi Hindu di Bali Dewa Pitara yang distanakan di Pelinggih Kamulan itu disebut Batara Hyang Guru.
Dalam Vana Parwa 27.214 dinyatakan ada lima macam Guru yaitu:
- Agni, yaitu sinar suci Hyang Widhi,
- Atman yaitu unsur yang tersuci dalam diri manusia yang berasal dari Brahman,
- Mata yaitu ibu yang melahirkan kita,
- Pita yaitu ayah menyebabkan kita lahir, dan
- Acarya yaitu guru yang memberikan ilmu pengetahuan.
Hal inilah yang nampaknya di Bali menjadi ajaran Catur Guru yaitu Guru Swadyaya, Guru Rupaka, Guru Pengajian dan Guru Wesesa.
Karena Atman sebagai salah satu Guru yang dinyatakan dalam Vana Parwa itulah nampaknya menjadi dasar pendirian Kamulan sebagai tempat memuja Dewa Pitara sebagai Batara Hyang Guru.
Atman dalam Upanisad adalah Brahman yang ada dalam diri makhluk hidup yang diselubungi oleh Panca Maya Kosa. Untuk menjadikan Atman itu Guru adalah melalui proses upacara ngaben, mamukur dan Nuntun Dewa Pitara. Proses upacara tersebut sebagai simbol untuk melepaskan Atman dari selubung Atman yang disebut Panca Maya Kosa itu. Dengan demikian Atman yang pada hakikatnya Brahman itu langsung tanpa halangan Panca Maya Kosa dapat menjadi Guru dan umat sekeluarga.
Upacara tersebut bagaikan menghilangkan selubung mendung di langit biru yang menutupi sinar matahari sehingga sinar matahari tersebut dapat langsung memberikan penerangan pada bumi ini. Demikianlah proses upacara ngaben untuk melepaskan Atman dari selubung Stula Sarira. Upacara Atma Wedana melepaskan Atman dari selubung Suksma Sarira. Sedangkan upacara Danda Kalepasan adalah upacara untuk mengambil dosa-dosa leluhur oleh keturunannya. Dengan demikian Sang Hyang Atma tanpa selubung lagi sehingga disebut Dewa Pitara.
Upacara Danda Kalepasan di Bali ada yang menyebutnya upacara Maperas yang artinya keturunan orang yang diupacarai itu mengadopsi utang-utang karma leluhur yang diupacarai tersebut. Yang diwarisi oleh keturunan itu bukanlah berupa kekayaan materi saja. Berbagai utang karma dari leluhur itu juga harus diwarisi juga.
Ini artinya pemujaan pada leluhur dalam tradisi Hindu di Bali, baik buruk, lebih kurang dari leluhur itu harus diterima sebagai warisan. Baiknya harus diupayakan untuk terus dipertahankan bahkan dikembangkan eksistensinya supaya lebih berguna bagi kehidupan selanjutnya. Sedangkan buruk dari berbagai kekurangan dari leluhur itu harus direduksi agar tidak berkembang merusak kehidupan selanjutnya.
Pengalaman adalah guru terbaik, demikian orang menyebutkan. Pengalaman yang baik dan buruk dari leluhur itu dijadikan guru dalam hidup ini. Itulah pentingnya pemujaan Batara Hyang Guru di Kamulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar