Sekilas Tentang Pewayangan di Bali
Wayang kulit Sebagai
sebuah karya seni klasik, termasuk karya seni yang bermutu tinggi dan
hidup terus sepanjang zaman. Kata Wayang artinya “bayang-bayang atau
bayangan”. Oleh karena variasi fonem awal /w/ dan /b/ seperti yang
terdapat pada “Wayang dan bayangan”. Pada bahasa-bahasa nusantara kita
dapati juga pada kata “wesi” dan “besi”, “wintang dan bintang”
(Monograii Bali,1976:111).
Gusti Bagus Sugriwa (1971:1) mengatakan
“pewayangan” asal katanya “Wayang” yang artinya sama dengan
bayang-bayang, mendapat awalan pa- dan akhiran -an yang mengandung
pengertian perihal dan seluk-beluk wayang terutama diantaranya
pertunjukan wayang yang dibuat dengan kulit sapi dipahat, ditatah, yang
merupakan bentuk-bentuk khayalan, dewa-dewa, raksasa binatang
pohon-pohonan dan sebagainya. Dilihat oleh penonton adalah bayangannya
semua ini disebut “pewayangan”.
Wayang juga berarti :
- bayangan : Wayangan-bayangan,
- Pertunjukan Wayang ‘’mewayang’’ memainkan (Pertunjukan) wayang; Pewayangan Pe(r)wayangan atau pertunjukan wayang (Mardiwarsito,1990:670).
Wayang dapat juga berarti :
- Wayang; ngwayang memainkan wayang;
- mapawayangan (bhs. Bali alus) menjelma (Warna dkk,1991:795).
Selain
itu kata wayang di Bali sering juga disebut ringgit dan dalam konteks
ilmu astronomi (wariga) khususnya dalam perhitungan pawukon menurut
kalender Bali kata Wayang juga disebut sebagai nama wuku yang ke-27 dari
30 wuku.
Menurut perhitungan hari raya keagamaan di
Bali, pada hari Sabtu (Saniscara) keliwon, wuku wayang disebut tumpek
ringgil atau tumpek wayang. Pada hari itu para dalang mengadakan upacara
penghormatan terhadap wayang atau istilah Bali weton wayang. Iambat
laun kata wayang menjadi nama suatu pertunjukan bayang-bayang, dan
kemudian menjadi nama atau istilah bagi suatu cabang seni pertunjukan
misalnya: orang berbicara tentang wayang topeng, Wayang golek, wayang
beber, Wayang wong, semuanya itu tidak ada hubungannya dengan
bayang-bayang atau bayangan (Hari Yanto,1981;10).
Menurut
James Brandon, seorang ahli teater dari USA. Memberi tafsiran wayang
sebagai berikut wayang literally means “shadow " althougth to day it has
come to mean a dramatic performance a play, shadow, whether the actor
be puppets or human beings (Wayang secara harafiah berarti “bayangan”
meskipun untuk sekarang ia (Wayang) dapat berarti sebuah pertunjukan
drama, sebuah permainan, sesosok bayangan, yang ditokohi baik oleh
aktor-aktor yang berupa boneka maupun orang (Bandem,1972:6). Pendapat
yang senada juga dikemukakan oleh Miquel Covarrubias (1972:236) “the
shadow plays-a performance by marionettes (wayang) that cast there
shadows on a screen and are manipulated by a mystic story teller, the
dalang“ (permainan Wayang kulit adalah sebuah pertunjukan dengan para
pelakunya adalah Wayang pada sebuah layar atau kelir dan mereka
digerakkan oleh tukang cerita yang memiliki kekuatan batin yang disebut
dalang).
Berbagai pengertian wayang telah dikemukakan di
atas, namun pada zaman sekarang pengertian wayang yang mengacu pada arti
bayangan atau bayang-bayang telah “bergeser”. Demikian juga jika kita
amati penonton sebuah penunjukan wayang kenyataannya banyak yang
menonton dari belakang, sehingga yang disaksikan bukan bayangannya
tetapi wayangnya secara langsung. Mungkin bayangan itu sendiri dapat
diberi makna secara lebih luas dalam hubungannya dengan “makrokosmos dan
mikrokosmos” atau bhuwana agung dan bhuwana alit yaitu dalam hubungan
dengan alam makro adalah apa yang digambarkan dalam pertunjukan wayang
adalah bayangan dari kehidupan alam ini, sedangkan dalam hubungannya
dengan alam mikro (manusia) menggabarkan sifat-sifat manusia itu sendiri
(Duija,1995:3).
Sejarah Seni Pewayangan di Bali
J.L.A
Brandes mengatakan sesungguhnya jauh sebelum masuknya agama Hindu ke
Nusantara, para leluhur kita telah memiliki 10 unsur kebudayaan asli.
Kesepuluh unsur kebudayaan itu adalah:
- Wayang,
- gamelan,
- ilmu irama sajak,
- membatik,
- mengerjakan logam,
- sistem mata uang,
- ilmu pelayaran,
- astronomi,
- bercocok tanam,
- birokrasi pemerintahan yang teratur (Rata 1996:85).
Berdasarkan
pendapat Brandes tersebut dapat diperkirakan bahwa “kebudayaan wayang”
di Indonesia telah berkembang sejak zaman prasejarah.
Catatan
yang paling tua yang menyebutkan adanya pertujukan wayang di Jawa Tengah
terdapat dalam prasasti Jaha yang berangka 840 M, pertunjukan wayang
pada waktu itu disebut dengan “aringgit” (Monografi Bali, 1976:112). = “ringgit” = “ringgi” bahasa Jawa Kuno artinya gerak, “haringgit” artinya permainan wayang.
Kemudian pada zaman Raja Dyah Balitung ada batu bertulis yang menyebutkan kata “mawayang”
yang berarti pertunjukan wayang. Batu bertulis ini berangka tahun 907
M, Bagaimana dengan perkembangan wayang di Bali, menurut prasasti tertua
yang menyebutkan adanya pertunjukan wayang di Bali terdapat pada prasasti Bebetin AI berangka tahun 818 caka atau 896 M, baris 5:
".... pande mas, pande besi, pande tembaga, pemukul (tukang gamelan), pagending (biduan), perpadaha (tukang kendang, pabangsi (juru rebab), patapukan (topeng), parbwayang (wayang), prasasti ini dibuat pada zaman pemerintahan Ugrasena.." (Goris,1954:54).
Pada prasasti Tengkulak A
tahun caka 945 yang menyebut nama Raja Sri Dharmawangsawardhana
Marakatha Pangkajastanottunggadewa. Pada baris 7A.5. ada disebutkan
kata
".... pirus ménménatapukan abanwal aringgita...."
Artinya pemain badut, sandiwara, topeng, dagelan, wayang.
Kemudian pada prasasti Blantih/Sangsil A. Tahun caka 980 yang menyebut nama raja Anak Wungsu, pada bagian Vb ada disebutkan:
"...hana banwa, atapukan, aringgit, pirusménmén...",
artinya ada pemain dagelan, pemain topeng, wayang, badut, pemain sandiwara.
Masih dalam pemerintahan Anak Wungsu pada prasasti Manikliu AII. Pada bagian III A.4 disebutkan
".... yan atapukan abanwal, aringgit..."
artinya kalau pemain topeng, pelawak, wayang.
Kemudian Pada prasasti Manikliu BII tanpa tahun pada bagian Iib.6 ada disebutkan
"...yan atapukan, abanwal, aringgit..."
Artinya kalau pemain topeng, pelawak, wayang (Sedyawati dkk,1977:149-163).
Dr. Van Callenfels, dalam buku Efigraphia Balica I bagian Vbl-Vb2, menyebutkan bahwa, berdasarkan turunan dari Prasasti Gurun Pai Desa Pandak Badung yang antara lain berbunyi :
"...yan amukul (juru tabuh), sinuling (suling), atapukan (topeng), abanwol (banyol), pirus (badut), menmen (tontonan), aringgil (Wayang)..."
prasasti
ini dibuat pada zaman pemerintahan raja Anak Wungsu tahun Caka 993 atau
1045 M (Callenfels, 1926:17, Wayan Simpen, l974:3).
Pada Prasasti Sawan A II = Bila II, berangka tahun Caka 995 yang menyebutkan nama raja Anak Wungsu, pada bagian Vb.5. ada disebutkan
"....._awayang atalitalyanjuran I haji ku 2 pawehnya..."
Artinya Pemain wayang (wayang orang), “tali-tali bangjuran” istana supaya diberi 2 ku (Op. cit, 1977:169-170).
Berdasarkan
beberapa prasasti di atas, maka sementara dapat diduga bahwa
pertunjukan wayang di Bali telah ada sejak abad ke - 8 akhir atau abad
ke - 9 awal. Sedangkan Brandes dan Van Der Tuuk menyimpulkan berdasarkan
kalimat “hanabanwal atapukan aringgit” yang terdapat pada
sebuah prasasti tembaga yang ditemukan di Bali, bahwa di Bali sudah ada
pertunjukan wayang pada tahun 980 Caka atau 1085 M (Haryanto, l99l:l0).
Perkiraan adanya wayang berdasarkan prasasti dapat kita telusuri secara
pasti, namun sampai di sini kita belum mendapat gambaran mengenai
bentuk, sumber lakon, dan fungsi dari pertunjukan wayang itu sendiri.
Jenis-Jenis Wayang di Bali
Wayang Bali secara garis besar dapat dikelompokan menjadi dua golongan yaitu :
Wayang Bali secara garis besar dapat dikelompokan menjadi dua golongan yaitu :
- Wayang Sakral (sacred shadow play)
- Wayang Profan (secural shadow play)
Wayang Sakral (sacred shadow play) dapat dibedakan berdasarkan sumber lakon menjadi:
- Wayang Sapuleger : sumber lakon dari cerita “Sapuleger atau dari karya sastra gegurilan Sapuleger”. Cerita ini merupakan cerita ruwat untuk orang yang lahir pada wuku wayang.
- Wayang lemah : sumber lakonya dikutip dan kitab Mahabrata Ramayana Mitologi dan kitab atau kakawin Jawa Kuno yang lainnya.
- Wayang Sudamala : sumber lakonya dikutip dari Kidung Sudamala atau hampir sama dengan lakon pada Wayang Lemah atau wayang gedod
Wayang Profan (seculer shadow play) terdiri dari :
- Wayang Parwa : sumber lakonya diambil dari Epos Mahabrata atau yang biasa disebut Astadasa Parwa (1 8 pam/a)
- Wayang Ramayana : sumber lakonya diambil dari Kitab atau kakawin Ramayana. Di Bali wayang ini dikena\ dengan nama wayang “ngrameyana”.
- Wayang Calonarang : sumber lakonya diambil dari cerita/kitab Calonarang yang sangat populer di Jawa Timur dan di Bali menjadi cerita horor yang berkaitan dengan ilmu hitam (black magic).
- Wayang Gambuh : sumber lakonya diambil dari celita Panji Bali yaitu kitab Kidung Mala! (Malai Rasmi).
- Wayang Arja : sumber lakonya sama dengan wayang gambuh, oleh karena Arja itu sendiri merupakan bentuk pengembangan dari tarian gambuh. Di samping mengambil lakon Panji wayang arja juga mementaskan lakon yang diambil dari cerita cina yaitu Shan Phiek Ing Thai dan juga mengambil dari khazanahj kesusastraan Bali seperti gegurigan tamtam.
- Wayang Tantri : sumber lakonya diambil dari kitab kidung Tantri atau tantri kamandaka yaitu yang menceritakan perihal kehidupan binatang yang berlaku seperti manusia
- Wayang Cupak : sumber lakonya diambil dari cerita rakyat Bali yaitu berjudul “Cupak Granlang”.
- Wayang Sasak : sumber lakonya diambil dari serat menak dengan bahasa sasak/Bali. wayang ini merupakan pengaruh dari Lombok Barat dan di Bali berkembang di daerah sekitar Karangasem.
- Wayang Wong : sumber lakonya diambil dari Mahabrata dan Ramayana dan wayang ini satu-satunya jenis wayang yang tidak menggunakan boneka kulit (skin puppets), tetapi aktor manusia. Wayang ini sangat langka keberadaannya di Bali, hanya di daerah sekitar Singaraja dan beberapa daerah lainnya di Bali dan sudah jarang di pentaskan (Duija,l996:5;Wicaksana,2000;127)
Fungsi Pertunjukan Wayang dalam masyarakat bali
Keberadaan wayang (kulit) pada masyarakat Bali, tidak terlepas dari kehidupan sosial budaya dan keagamaan yang dianut oleh masyarakat Bali. semenjak datangnya pengaruh agama Hindu, makin mengukuhkan keberadaan Wayang itu sendiri yang dikaitkan dengan sistem upacar keagamaan. Di samping itu kehadiran dua epos besar Mahabrata dan Ramayana memperkaya lakon-lakon pewayangan di Bali. Pada golongan masyarakat Bali seperti itu, wayang (kulit) diyakini memiliki arti dan makna :- sebagai penggugah rasa keindahan dan kesenangan,
- sebagai pemberian hiburan,
- sebagai media komunikasi,
- sebagai Pefsembahan simbolis,
- sebagai penyelenggaraan keserasian norma-norma masyarakat,
- Sebagai pengukuhan institusi sosial dan keagamaan,
- sebagai koritribusi terhadap kelangsungan dan stabilitas kebudayaan dan
- sebagai pencipta integritas masyarakat (Bandem,1993:171).
Menurut Hinzler alasan-alasan orang Bali mengadakan pertunjukan wayang sebagai berikut :
- Vow (sesangi = kaul) ini biasanya pada saat otonan atau weton atau dewa yadnya,
- request (tetagihan = permintaan) khususnya untuk bayi berumur tiga bulan, kelahiran pertama atau pada saat ngaben,
- custom in desa or Fami1y (adat= kebiasaan) ada hubungannya dengan upacara yadnya,
- desire (demen-demen = kesenangan saja),
- obligation (kewajiban) misalnya ngruwat atau ngwatekin orang lahir Pada wuku wayang (1981 :20-22).
- Untuk menyertai pelaksanaan upacara agama, yakni : manusa yajna (korban suci kepada manusia), Pitra yajna (korban suci kepada leluhur), Bhuta yajna (korban Suci kepada bhuta kala atau mahluk yang lebih rendah), dan Dewa yajna (korban suci kepada Tuhan) atau disebut Catur yajna.
- Untuk pertunjukan biasa, untuk bersenang-senang dan nasihat-nasihat(1976:13)- Lebih lanjut I Gusti Bagus Sugriwa menjelaskan bahwa, pertunjukkan Wayang dalam kaitannya dalam upacara keagamaan dapat dirinci lagi menjadi 2 :
- Pada Manusa Yajna diadakan pertunjukan wayang pada waktu umur anak 3 bulan atau hari lahir (0tonan). Lakon-lakon yang dipentaskan diambil dari Mahabrata atau Ramayana seperti : lahir Panca Pendawa, lahirnya Sutasoma, lahirnya Rama Laksana dan sebagainya. Untuk upacara perkawinan biasanya mengambil lakon Swayembara Drupadi, Arjunawiwaha, Kresnayana, Ramayana dan sebagainya. Jika anak lahir wuku wayang, maka upacara pertunjukan wayang ini dinamai “sapuleger” dengan lakon yang khusus yakni “sapuleger” juga yang berfungsi untuk membersihkan (ngruwal) seseorang dari kekotoran bathin.
- Pada Pitra Yajna diadakan pertunjukan wayang pada waktu` pembakaran jenazah. Pertunjukan ini dilakukan pada malam hari. Lakon yang diambil disesuaikan dengan penyucian roh untuk dapat mencapai moksa, seperti misalnya lakon ; Cudamala, Bima swarga. Untuk upacara setelah ngaben yang disebut memukur (yaitu upacara peralihan dari Pitra Yajna ke Dewa Yajna), apabila diadakan pertunjukan wayang, maka pertunjukannya diadakan pada siang hari (lemah Iawan kata peteng = malam), sehingga dikenal dengan istilah wayang lemah. Pertunjukan wayang ini tidak memakai layar (kelir), tetapi hanya menggunakan benang yang direntangkan pada cabang pohon dap-dap yang dipancangkan pada pohon pisang (gedebong) di ujung kiri dan ujung kanan. Lakon yang diambil misalnya Dewa ruci.
- Dewa Yajna adalah persembahyangan kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Persembahyangan ini dilakukan di sanggah, merajan, pura dan sebagainya. Pelaksanaanya sama dengan wayang pada Pitra Yajna di atas, yakni pada waktu siang hari. Lakon yang diambil misalnya ; Smaradhana, Samudramanthana.
- Bhuta Yajna yaitu upacara pembersihan alam semesta, biasanya pada upacara-upacara besar seperti ; Ekadasa-rudra, Pancawali-krama, Tawur Agung. Di samping itu diadakan pula pada saat upacara yang kecil, baik di lingkungan rumah tangga maupun di lingkungan desa. Pertunjukan pada waktu siang hari.
Di samping I Gusti Bagus Sugriwa, yang membahas fungsi pewayangan di Bali H. I. R. Hiniler juga memperkuat pendapat I Gusti Bagus Sugriwa. Menurut Hinzler, (1981:25-28) pertunjukan wayang dalam kaitanya dengan upacara keagamaan adalah sebagai berikut :
- Manusa Yajna (Offering of Human)
- Pitra Yajna (Offering of ancestors spirit)
- Dewa Yajna (Offering of god)
- Bhuta Yaj na (Offering of soft creature or “Bhutakala”)
- Rsi Yajna (0ffering of religion teacher)
- Upacara yang lain (Other Ceremonies)
Pertunjukan Wayang dan Perlengkapannya
Wayang
kulit Bali memerlukan waktu antara 3 atau 5 jam dalam sebuah
pertunjukan. Waktu pertunjukan adalah malam hari, kecuali wayang lemah
yang dipentaskan pada siang hari (lemah Bhs. Bali artinya slang hari).
Adapun perlengkapan yang diperlukan untuk sebuah pertunjnkan wayang
kulit Bali adalah sebagai berikut :
- Gedebong (banana tree) pohon pisang yang tua memanjang
- Lelujuh (Long wood) kayu untuk membentangkan kelir
- Blencong (oil lamp) lampu sumbu minyak kelapa
- Tali Kelir (screen of string) untuk mengencangkan kelir
- Dua orang kelengkong (asisten of puppeteer) Asisten dalang kanan-kiri
- Empat orang juru gender atau pemain gamelan (wayang parwa)
- Dalang (puppeteer) mangku dalang yang memainkan wayang
- Kotak wayang (woodem box) kotak tempat menyimpan wayang
- Wayang (puppets) satu kotak terdiri dari 150-175 buah wayang
- Kelir (screen) layar yang berukuran 1.75 X 2,5 meter
- Racik (nail of bamboo) paku dari bambu yang diruncingkan
- Sesajen (offering) banten wayang
- sound system or (loud speaker) pengeras suara
- Panggung (stage) tidak harus
Makna Simbolik dari Pertunjukan Wayang Kulit di Bali
“Wayang
bukan saja sekedar hiburan, tetapi juga merupakan karya seni yang
mengandung fisafat yang dalam seperti yang diungkapkan oleh Mangkunogoro
VII sebagai berikut : Bahwa peperangan antara ksatria putih (berdarah
putih) dengan raksasa dari berbagai macam warna, pada hakikatnya bukan
merupakan peperangan antara mahluk-mahluk dengan segala keaktlannya,
tetapi merupakan peperangan di dalam bathin (hati) manusia itu sendiri,
antara perasaan yang baik atau suci dengan yang bururk, yang selalu
mengganggu kesadaran manusia, Suatu peperangan yang merupakan dinamika
dari kehidupan manusia yang menimbulkan keindahan yang luar biasa (1957
:11).
Menurut “Dharma
Pawayangan” yang dikutip dari lakon “Sapuleger” oleh I Gede Soerya tahun
1941 dan dikumpulkan oleh Gedong Kertiya Singaraja.
Adapun perlengkapan pertunjukan wayang kulit itu memiliki makana simbolik sebagai berikut :
- Gedebong (pohon pisang) sebagai simbol “Siti.Pertiwi (tanah)
- Kelir (layar) sebagai simbol kekosongan (sunya = sunyi)
- Blencong (lampu sumbu) sebagai simbol Dewa Surya/matahari (bhuwana agung) atau alam semesta, Jiwatma (roh) manusia atau bhuwana alit. selain itu Api blencong sebagai simbol dewa Agni.
- Sanan Kropak yang diikat di atas kelir sebagai simbol langii
- Kropak Wayang sebagai simbol alam semesta atau Bhuwana Agung
- Lelujuh sebagai simbol tulang
- Racik sebagai simbol jeriji
- Sarwa Tali sebagai simbol otot/urat
- Dalang sebagai simbol Tuhan Yang Maha Kuasa
- Wayang sebagai simbol mahluk Tuhan (Bhuwana Agung), nafsu pada manusia (Bhuwana Alit)
- Gender sebagai simbol irama zaman (Bhuwana Agung) suara sukma pada manusia (Bhuwana Alit) Empat juru gender sebagai simbol saudara empat yakni :
- Anggapati - Yeh nyom (air ketuban) ada pada nafsu
- Mrajapati - Darah merah sebagai penunggu perapatan/kuburan
- Banaspati -ari-ari ada di hutan, sungai, batu besar
- Banaspati Raja ~ Klamad (lapisan kulit bayi yang tipis ada pada pohon yang besar. Itulah yang disebut saudara empat atau kanda pai sebagai benteng diri pada si Dalang itu sendiri
- Dua orang Ketengkong sebagai simbol akasa (bapak) dan bumi (ibu).
Makna Filsafat Kiwa-Tengen dalam Wayang Bali
Kita
mengetahui bahwa wayang-Wayang dalam pertunjukannya dikeluarkan ke
kelir sebagai pelaku cerita dipancangkan bertimpi-timpi di kanan-kiri
kelir. Yang dipancangkan di sebelah kiri adalah golongan Kurawa dan
Raksasa dan yang dipancangkan di sebelah kanan adalah golongan Pandawa,
Dwarawati, Pancala dari Dewa-dewa. Yang keluar dari kiri adalah para
Kurawa, dan yang keluar dari kanan adalah para Pandawa sedangkan para
Dewa-dewa keluar dari bagian kanan atas.
Secara
filosofis dalam kebudayaan Bali dikenal dengan istilah
“pengiwa-penengen” atau kiri-kanan, atau dharma-adharma, dewa-asura dan
sebagainya. Yang kanan termasuk ‘penengen” (tengen=kanan) memiliki
semangat, karakter kebathinan putih (white magic) menaruh sifat-sifat
dharma (kebenaran) percaya pada Tuhan, berperikemanusiaan, setia, jujur
dan adil serta pelindung kebenaran. Sedangkan yang kiri termasuk
‘'pengiwa” (kiwa = kiri), mempunyai semangat, karakter atau spirit
kawicesan hitam (black magic), bersifat adharma (jelek), atheis, kejam,
bengis, pemarah, pengacau kadilan dan kebenaran. Sedangkan yang keluar
dari atas kanan adalah sebagai penengah, seimbang tidak cenderung ke
kanan dan tidak cenderung ke kiri (Sugriwa, 1971 :224).
Dua
kekuatan hitam-putih (black and white magic) yang Secara umum disebut
dengan “rwa-bhineda” yaitu dua sifat yang berbeda yang selalu
kontradiksi tetapi tidak pernah akan hilang salah satunya dan menjadi
satu dalam kehidupan manusiai Ada laki-perempuan, siang-malam,
baik-buruk dan sebagaianya. ‘
I
Wayan Karji mengatakan konsep “kiwa-lengen” dalam budaya Bali
menyatakan; pengiwa berasal dari kata kiwa (kiri) yang mengandung arti
buruk, kasar. Sedangkan tengen (kanan) berarti kebaikan, halus dan
semacamnya. Konsep ini mengacu pada prinsip bipolar (dua kutub) yang
disebut rwa-bhineda; setiap hal memiliki sisi baik-buruk,
positif-negatif. Gambaran visual tentang ajaran ini nampak pada kain
poleng yang sering terampir pada patung-patung di Bali (1993:13). Yang
dimaksud kain poleng di Sini adalah kain kotak-kotak hitam putih, bukan
merah-putih atau warna lainnya. Putih sebagai simbol kesucian, kebajikan
sedangkan hitam sebagai simbol kekotoran, kejahatan
Nilai Estetika Gender (Musik) Wayang Bali
Pada
umumnya Wayang kulit Bali menggunakan iringan musik gamelan berupa
“gender” yang memiliki nada selendro. Setiap pertunjukan Wayang umumnya
terdiri dari empat buah “gender”, 2 buah gender “pengumbang" dan 2 buah
gender “pengisep”. Namun pada beberapa jenis wayang yang lain mempunyai
kekhususan seperti : Wayang Ramayana menggunakan 4 buah "gender", 2 buah
kendang lanang-wadon, sebuah cengceng, kelenang, kajar, kempur dun
suling. Wayang Gambuh menggunakan gamelan ; suling besar, kendang,
rehab, cengceng, kajar, kelenang, kempur. Wayang Calonarang menggunakan
gamelan ; 4 buah gender, dua buah kendang, cengceng, kelenang dan
kempur.
Gending-gending yang umum digunakan dalam pewayangan di Bali adalah :
- Pemungkah yaitu tabuh gender waktu mulai membuka “gedog”, tutup “gedog” ditebah-tebah dengan tapak tangan si dalang 3 kali.
- Paguneman pada waktu para tokoh Wayang mengadakan musyawarah
- Pamahbah pada saat ini Ki dalang tidak menyanyi tapi mengucapkan kata-kata yang isinya mohon ijin kepada Tuhan
- Tampak Silir pada saat Ki dalang mengucapkan kalimat-kalimat dalam rangka persiapan musyawarah dengan bahasa Kawi
- Babaluran selesai nyanyian tampak silir Ki dalang mengucapkan wayang musyawarah yang isinya apa maksud diadakan musyawarah
- Angkalan setelah selesai musyawarah para tokoh Wayang berangkat melaksanakan tugas masing-masing. Tabuh ini terdiri dari :
- Cakra gelar, lebah sepasar, abhimanyu, sekarginotan untuk goiongan kanan yang bemata segitiga.
- srikandi, Bima Krodha untuk golongan kanan yang bermata bulat dan golongan kurawa.
- Patra rubuh untuk golongan raksasa
- Lor-loran untuk mengeluarkan wayang wanita ksatria.
- Tunjang untuk durgha dan kalika.
- Mesem untuk tetangisan.
- Batel untuk perang.
- Rundah untuk musyawarah kedua.
- Pamempen untuk memasukan wayang ke dalam peti.
- Penganteb.
Nilai Seni dan Nilai Agama Hindu
Seni
adalah merupakan penciptaan dari segala macam bentuk atau benda yang
karena keindahan bentukuya/suaranya, orang akan senang melihat atau
mendengarnya (Musium Bali,l979:1). Orang yang menghasilkan karya seni
disebut seniman. Gaya yang nampak pada ciptaan Seorang seniman
berhubungan erat dengan dunia kebudayaan yang berkembang dalam
lingkungan hidupnya dan seni mampu berkembang dengan baik jika seorang
seniman mampu memenuhi kepuasan bathin penikmat seni. Mutu seni dapat
menggambarkan taraf kehidupan suatu bangsa dan melalui seni dapat
diketahui keperibadian bangsa. `
Fungsi
kesenian sebagai alat komunikasi adalah memperkuat keyakinan,
nilai-nilai, norma-norma yang membawa masyarakat kesuatu kemungkinan
untukberkomunikasi dengan hakekat tertinggi secara lebih tenang dan
tepat (daeng, 1992:198).
Nilai-nilai
yang terkandung dalam seni pertunjukan di Bali adalah nilai agama,
nilai logika, nilai estetika dan nilai etika (Atmaja, 1988:25).
Nilai-nilai ini diolah oleh para pencipta seni pertunjukan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat Bali dibidang upacara, seperti misalnya
pementasan Wayang Sapuleger bersifat religius, magis, dan spiritual.
Seni
merupakan pengungkapan cita, rasa dan karsa manusia sehingga
menimbulkan rasa indah, senang dan kagum. Seorang seniman mempunyai
kemampuan untuk menarik perhatian orang lain dengan mempergunakan
keahliannya dibidang seni. Kreativitas masyarakat Bali dibidang seni
tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan. yang bernafaskan agama, karena
untuk memuja Tuhan didominasi oleh seni. Seni direalisasikan dalam
pelaksanaan agama pada umumnya bersifat religius sebagai penunjang
semangat keagamaan yang dapat mendorong pikiran ke arah keindahan,
ketenangan dan akhimya menuju pada kesucian.
Estetika
berasal dari bahasa Yunani yaitu kata “Aesthetis'’ yang berarti
perasaan atau sensitivitas. Keindahan sangat erat hubungannya dengan
selera dan perasaan, akan tetapi saat ini diartikan sebagai segala
pemikiran filosofis tentang “seni” (Wadjiz Anwar, 1980:9).
Aktivitas
estetis masyarakat Bali pada mulanya berfungsi untuk
memenuhikebutuhannya dalam upaya memelihara keserasian hubungan antara
manusia dengan Tuhannya, manusia dengan lingkungan hidupnya, dam manusia
dengan sesamanya sehingga terwujud kesejahteraan yang seimbang antara
material spritual yang dikenal dengan istilah Tri Hita Karana (Geriya,
1993:93). Atas dasar konsep tersebut muncul kreativitasnya di bidang
kesenian sebagai pendukung upacara seperti seni ukir diwujudkan dalam
membuat patung-patung sebagai sesembahan, seni suara yang diwujudkan
dalam tembang-tembang yang disebut dengan kekawin, seni tabuh sebagai
pengiring upacara, seni pertunjukan dengan dipentaskannya Wayang Gedog
sebagai pengiring upacara dan berbagai macam perlengkapan upacara
sebagai alat persembahan.
Nilai
estetika atau keindahan merupakan perwujudan dari cita, rasa, dan karsa
manusia, sehingga tidak dapat dipisahkan dari kehidupannya. Bagi
masyarakat Bali nilai estetika yang dimilikinya dituangkan pada
aktivitas untuk memuja Tuhan, karena disadaria bahwa segala sesuatu yang
didapat untuk pendukung hidupnya merupakan karunia Tuhan dan manusia
diberikan kemampuan untuk mengolah unsur-unsur alam yang tersedia,
Penataan banten mulai dari reringgitan, anyam-anyaman, bentuk jajan,
buah-buahan ditata sedemikian rupa untuk dipersembahkan merupakan
perwujudan rasa seni. Selain dari persembahan banten juga dipersembahkan
berbagai macam seni seperti seni tari, Seni tabuh, seni pewayangan dan
seni suara.
The
Liang Gie, (1996:43) mengutip pendapat Beardsley yang menyatakan bahwa
ada tiga unsur sifat-sifat yang membuat suatu karya disebut estetis
yaitu pertama, Kesatuan yaitu suatu karya itu tersusun Secara baik atau
sempurna bentuknya, kedua, Kerumitan adalah suatu karya yang rumit dan
mengandung perbedaan-perbedaan yang halus, ketiga, Kesungguhan, adalah
suatu karya yang mempunyai kualitas tertentu yang menonjol. Pementasan
Wayang Gedog dalam upacara Bhuta Yadnya dan pembuatan alat-alat
upacaranya jika diruntut dari pembuatannya mengandung ketiga unsur
tersebut seperti, unsur Kesatuan, pembuatan banten yang ditata
sedemikian rupa untuk dipersembahkan merupakan satu kesatuan antara
berbagai macam jenis bahan seperti daun-daunan, buah-buahan, dan
berbagai jajan yang ditata dengan rapi, sehingga terbentuk, dan tersusun
secara sempurna. Kerumitan, membuat seperangkat sarana upacaranya
merupakan suatu karya yang sangat rumit dan merangkai sampai penataannya
sehingga selesai dengan sempurna. Kesungguhan, suatu yang menonjol
dalam pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya dan alat-alat upacaranya adalah
kerapian dan keunikan penataan bahan-bahan sesaji, sehingga menjadi satu
kesatuan bentuk yang khasa.
Setiap
orang mempunyai rasa keindahan terhadap sesuatu yang dilihatnya, Alam
dengan aneka ragam isinya mempunyai nilai keindahan tergantung pada cara
manusia memandangnya dan tergantung pada budaya yang merupakan hasil
cipta, rasa dan karsa suatu masyarakat.
Rasa
seni yang dimiliki oleh masyarakat Bali dituangkan dalam berbagai
bentuk seni sebagai sesembahan dan alat-alat upacara sebagai persembahan
untuk mewujudkan rasa baktinya kepada Tuhan (Raka, 1996:104).
Masyarakat
Bali dalam menuangkan rasa bakti kepada Tuhan tidak akan puas hanya
dengan sembahyang, tanpa ada wujud baktinya untuk mengungkapkan semua
perasaannya (wawancara tanggal 8 Mei 2001). Segala perasaan baktinya
diwujudkan dalam bentuk banten (sesaji) yang bahannya berasal dari alam,
sebagai wujud sesembahannya, sehingga perasaan dan pikiran yang abstrak
dapat dikonkritkan. Aliran naturalisme berpendapat bahwa watak etis dan
estetis manusia berakar dari fenomena alam sehingga manusia dapat hidup
Secara koperatif dan bahagia (Tim Penulis Rosda,1995:219-220).
Pelaksanaan
berbagai macam upacara merupaka perwujudan rasa seni, sehingga setiap
aktivitas keagamaan menghasilkan suatu seni tersendiri yang bertujuan
untuk menghibur sesembahnya agar memberikan keselamatan baik lahir mapun
bathin. Seni dari segi mitologi diciptakan oleh Dewa Brahma yang pada
suatu saat sedang menciptakan patung-pagatung wanita terbuat dari tanah
liat. Karena rasa kagumnya terhadap ciptaannya, akhirnya patung itu
dihidupkan menjadi Bidadari. Pada suatu hari dimana matahari baru muncul
dari upuk timur para bidadari beterbangan di atas laut sambil
menari-nari sehingga menambah kekaguman Dewa Brahma yang kemudian
menciptakan berbagai macam kesenian untuk hiburan di sorga. Para raja
yang ada di dunia mengetahui hal itu dengan bathinnya kemudian
menciptakan juga berbagai macam kesenian sebagai persembahan Sujud
baktinya kepada Tuhan (Pandji, 1971:2). Mitologi ini menjelaskan bahwa
setiap kegiatan memuja Tuhan untuk mendapatkan keselamatan baik lahir
mapun bathin diwujudkan dengan seni.
Seni dan agama khususnya di Bali tidak dapat dipisahkan seperti
senipewayangan yang bersumber dari ajaran agama Hindu merupakan tradisi
yang dipertahankan sebagai pelengkap dalam suatu upacara atas dasar
kepercayaan yangmendalam yang beraspirasikan rasa keagamaan. Pertunjukan
wayang Sapuleger di satu sisi sebagai curahan rasa seni, dan disisi
lain untuk memenuhi rasa baktinya yang méndalam demi keselamatan umat
manusia itu sendiri.
Pelaksanaan
upacara-upacara dengan dipentaskannya Wayang Sapuleger tidak seperti
yang disebutkan oleh aliran utilitarianisme, karena dalam melaksanakan
upacara tersebut masyarakat Bali tidak menghitung-hitung kesusahan baik
material maupun fisik dan mental dalam melaksanakan sujud baktinya
kepada Tuhan. Kebahagiaan yang ingin dicapai dalam melaksanakan upcara
Bhuta Yadnya adalah kebahagiaan spiritual yang bersifat batiniah dikenal
dengan islilah eudamonisme yaitu kebahagiaan batin merupakan tujuan
utama manusia.
Nilai
etis dari segi upacara lebih mengarah pada nilai eudamonisme karena
upacara yang dilaksanakan lebih menekankan kepuasan batin dari pada
kepuasan lahir sedangkan nilai etis dalam pementasan Wayang Sapuleger
lebih bersifat ketaatan terhadap Orang tua dalam menanamkan sifat
kesucian dan ketakutan terhadap hokum alam. Panugrahan yang muncul dari
Batara Kala kepada si dalang mendorong pikirannya untuk selalu waspada
dan taat pada putaran hukum alam atau hukum waktu (Kala).
Upacara-upacara
di Bali di samping bertujuan mengadakan keselarasan hubungan dengan
Tuhan juga bertujuan untuk mengadakan keselarasan hubungan dengan alam,
seperti yang disebutkan dalam Lontar Puja Gebogan berupa mantra (doa)
pada Saat melakukan upacara Macaru (upacara yang dilaksanakan untuk
keseimbangan alam semesta) :
Pakulun paduka Bhatara, sunggana mrtabhumi ningulun, luwaraken sarwamarana ring jagal, nugraha sarwa jagat. Paripurna sarwa tinandurpahalabungkah, pahalaganlung, anandhihaken tahun, wiryaning sarwa tumuruh ring jagat. Om, siddhirastu ya namah (Lonlar Puja Gebogan:5).
Terjemahan:
Ya Tuhan, anugrahilah hamba sumber hidup, enyahkanlah segala penyakit yang mengganggu dunia. Anugrahkanlah segala yang ada di dunia, sempurnakanlah hidup segala yang ditanam: buah-buahan, padi, semoga atas rahmat-Mu segala yang tumbuh di dunia hidup subur. Semoga berhasil atas berkat-Mu.
Puja
mantra (doa) di atas menunjukan betapa pentingnya pelestarian terhadap
alam bagi kelangsungan hidup manusia di bidang estetis, yang dalam hal
ini masyarakat Bali menggunakan upacara ngruwat (nglukat=anyupat)
sebagai media untuk melestarikannya.
Nilai
estetik dalam hal ini lebih ditekankan pada pembuatan alat-alat upacara
Caru Balik Sumpah sebagai persembahan yang bertujuan mengadakan
keselarasan hubungan dengan alam.
Rasa
estetis masyarakat Bali Iebih banyak digunakan untuk memenuhi
rasabaktinya kepada Tuhan, yang diwujudkan dalam membuat alat-alat
upacara, patung-patung, dan segala bentuk seni sebagai curahan rasa
baktinya yang mendalam kepada sesembahannya.
demikian sekilas tentang Sekilas Tentang Istilah Pewayangan di Bali, semoga beranfaat.
dulu klo ada aca hajatan pasti ada wayang, tapi sekarang udah jarang...
BalasHapus