Lontar Calonarang
Naskah lontar yang berisi Cerita Calon Arang itu ditulis dengan aksara Bali Kuna. Jumlahnya empat naskah, asing-masing bernomor Godex Oriental 4561, 4562, 5279 dan 5387 (lihat Catalogus Juynboll II. P. 300-301; Soewito Santoso 1975; 11-12).
Meskipun aksaranya Bali Kuna, tetapi bahasanya Kawi atau Jawa Kuna. Naskah yang termuda no. 4561,
Beberapa bagian dari naskah 4562-5279 dan 5287 tidak lengkap sehingga dengan tiga naskah ini dapat saling melengkapi. Sebenarnya naskah no. 5279 dan 5287 merupakan satu naskah; naskah no. 5279 berisi ceritera bagian depan, sedangkan no. 5387 berisi ceritera bagian belakang. Naskah tertua no. 5279 berangka tahun 1462 Saka (1540 M). Semua naskah tersebut disimpan di Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal – Land – en Volkenkunde van Ned. Indies di Leiden, Belanda.
Naskah Calon Arang pernah diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Prof. Dr. Poerbatjaraka (lihat “De Calon Arang” dalam BKI 82. 1926: 110-180) dan pada 1975 diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Dr. Soewito santoso (lihat “Calon Arang Si Janda Dari Girah”, Balai Pustaka 1975). Uraian di bawah ini disarikan dari tulisan Dr. Soewito Santoso tersebut.
berikut ini salah satu versi Lontar Calonarang yang beredar di bali:
[1b] Om awighnam astu nama sidam. (H)ana ta wuwusira sang mahatuwa, umujaraken ri katatwanira sira Sri Mpu Baradah, ri sedengira hana ng sramanira, i ngkana ng Lemah Tulis. Tan popama ri kasaktinira, mankanguni de nira angrasani darma. Telas sireng pangrasa, weruh pasuk wetu ning buwanatah. Antyanta de nira umulahaken kusutapanira. Ya ta maputri pwa sira sasiki, mangaran Sang edawati, kanya sedeng papangkas, antyanta ri hayunira, lwir tâpsaru angindarat. Ryuwus mahangkanâgering pwa sira, swaminira Sri Mpu Baradah, renanira Sang sira. Alara tangisira mangaran edawati, akusa ta ya ring sawa nikang renanya, sambat-sambatnya amelas arsa, “Wuduh indung(ng)hulun kita, sapa pwa ya asihenghulun kasyasih.”
[1b] Semoga tidak ada halangan. Ada perkataan orang-orang tua yang mengisahkan hakikat Sri Mpu Baradah ketika beliau tinggal di pertapaannya di Lemah Tulis. Tidak ada tandingan mengenai kesaktiannya, terutama dalam menghayati Dharma. Beliau sempurna dalam hal penghayatan, mengetahui ilmu kesempurnaan dunia. Demikianlah pelaksanaan kesempurnaan tapanya. Beliau mempunyai seorang putrid, bernama Sang Wedawati, gadis belum bersanggul, sangat cantik(nya), bagaikan bidadari turun ke bumi. Setelah itu sakitlah istri Sri Mpu Baradah, ibu Sang Wedawati itu. Akhirnya beliau meninggal. Wedawati sedih dan menangis. Dia memeluk mayat ibunya, keluh kesahnya mengharukan, “Aduhai, ibuku, siapakah yang akan mengasihi hamba lagi?”
