Google+

Ida Wang Bang Banyak Wide Menyunting Ida Gusti Ayu Pinatih

Ida Wang Bang Banyak Wide Menyunting Ida Gusti Ayu Pinatih

Diceriterakan sekarang, betapa bahagianya hati Ida Mpu Sedah, Ida Wang Bang Banyak Wide – putra angkatnya disayang benar. Singkat ceritera, sekarang Ida Bang Banyak Wide sudah berdiam di Geria Daha, di Geriya kakek beliau Ida Mpu Sedah.

Dikisahkan kemudian Ki Arya Buleteng, yang menjadi patih di Kerajaan Daha, mempunyai seorang putri bernama I Gusti Ayu Pinatih
 I Gusti Ayu Pinatih, tatkala itu sudah remaja putri, parasnya cantik nian, bagaikan Dewi Saraswati nampaknya, serta juga bijaksana dan memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi, cocok memang sebagai putri seorang bangsawan, serta sangat dimanja oleh ayah bundanya dan semua keluarganya. 

Puri Ki Patih Arya Buleteng itu tidaklah demikian jauh dari tempat tinggal Geria Ida Mpu Sedah, dan lagi pula sering Ida Mpu Sedah beranjangsana ke Puri sang Patih. Demikian juga putra sang Mpu, Ida Bang Banyak Wide, sering berkunjung ke Puri. Dan semakin lama semakin sering sang teruna remaja berkunjung ke Puri, untuk menghadap kepada sang patih, namun yang paling utama adalah untuk bertemu dengan I Gusti Ayu Pinatih. 
Lama-kelamaan semakin bersemi cinta kasih di antara sang teruna dan sang dara, tidak bisa dipisahkan lagi. Lalu diambillah I Gusti Ayu Pinatih oleh Ida Sang Bang.


Itu sebabnya marah besar Ki Arya Buleteng, disebabkan putri beliau diambil oleh Ida Sang Bang Banyak Wide. Kemudian datanglah Ki Arya menghhadap sang Mpu, menyampaikan prihalnya beliau memiliki anak hanya sorang. Disebabkan karena putra sang Mpu juga hanya seorang yakni Ida Sang Bang Banyak Wide, maka menjadi sangat prihatin perasaan keduanya, dan berkehendak akan memisahkan kedua teruna-daha itu. 

Tiba-tiba Ida Sang Bang Banyak Wide menghaturkan sembah di hadapan Ida Mpu seraya mengatakan bahwa sama sekali beliau tidak mau dipisahkan dengan I Gusti Ayu Pinatih. Kalau saja dipisahkan, tak urung mereka akan membunuh diri berdua. Itu sebabnya beliau tak bisa berkata-kata. 

Kemudian berkata Ki Arya Buleteng, menjelaskan keinginan beliau : 
“Aum sang mahapandita, jikalau begitu kehendak ananda sang Mpu, kalau menurut saya, kalau saja ananda sang Mpu mau menjadi putraku, sampai di kelak kemudian hari, saya berikan putri saya kepada ananda Sang Bang “
demikian atur Ki Arya Buleteng. 
Belum selesai perbincangan beliau berdua, segera menghaturkan sembah Sang Bang Banyak Wide:
”Duh, beribu maaaf, ayahanda Ki Arya Buileteng serta ayahanda sang Pendeta, jikalau demikian keinginan mertua nanda, ananda menuruti kehendak mertua hamba, dan jika nanti hamba memiliki keturunan, agar menjadi Arya “.
Semakin tak bisa berkata-kata lagi Danghyang Mpu Sedah mendengar atur putranya, namun sang Pandita menyadari bahwa semuanya itu adalah kehendak Yang Maha Kuasa, lalu berkatalah beliau: 
“Ah anakku, juwita hatriku Sang Banyak Wide, nah karena sekarang ananda berkehendak menjadi pratisentana – putera dari Ki Arya Buileteng, maka dengarkanlah ini, tanda cinta kasihku kepadamu anakku :”
Sloka : “ Wredhanam kretanugraham, jagadhitam purohitam, wacanam wara widyanam, brahmanawangsatitah, Siwatwam, pujatityasam, trikayam parisudham, kayiko, waciko suklam, manaciko sidha purnam. Puranam tatwam tuhwanam, silakramam, sirarya pinatyam maho, witing kunam purwa Daham.”

Berkatalah kemudian Ida Sang Pandita : 
“Aum, Sang bang, inilah merupakan titah Yang Maha Kuasa, berupa aturan sidhikarana yang kakek berikan kepadamu, perjalanan sejarah dari status brahmana yang dahulu, sekarang menjadi Arya Pinatih, ini ada tanda kasihku padamu berupa keris sebuah, bernama Ki Brahmana. Siwapakarana – peralatan pemujaan pendeta, pustaka weda, itu semua agar dipuja, sebagai pusaka yang berkedudukan bagaikan kawitan-leluhurmu, sebagai perlambang jati dirimu sebagai Arya Bang Pinatih, yang berasal dari brahmana dahulu. Ada nasehatku juga, kalau ada keturunan Arya Wang bang, tahu tentang Filfasat Kedharman, kokoh melakukan tapa-yoga brata, memiliki ilmu pengetahuan yang berguna, pandai akan ilmu kerohanian, serta selalu mengupayakan ketrentaman, menganut prilaku Brahmana Wangsa, dapat didiksa, menjadi pendeta maharesi. Ingatlah hal ini .

Serta ada pula anugerahku, kepada mu, jika ada yang tahu tentang siapa yang membawa pusaka ini di kemudian hari, menyucikan diri sanak saudaramu kelak, dan bila sesudah meninggal, bilamana sanak saudara yang telah menyucikan diri meninggal, jika melakukan upacara atiwa-tiwa – palebon, berhak memakai sarana upacara seperti seorang brahmana lepas, berhak mempergunakan padmasana, serba putih, serta segala sarana upacara sebagai sang brahmana, pendeta.

Bilamana yang meninggal adalah walaka, bilamana memperoleh kebahagiaan utama memegang kekuasaaan serta memiliki banyak rakyat, berhak mempergunakan bade bertumpang 9, petulangannya lembu, semua sarana yang dipakai ksatriya, terkecuali naga bandha, berhak dipakainya.

Serta bila walaka biasa meninggal, jika mengadakan upacara atiwa-tiwa –pitra yadnya, berhak mempergunakan bade tumpang 7, serta sarananya, demikian yang berlaku pada Arya Pinatih. 
Serta prihal keadaan kacuntakan bagi Ki Arya Pinatih, yang – karenanya- ingatlah sampai di kemudian hari, jika meninggal bayi belum kepus pungsed, cuntakanya 7 hari, jika meninggal bayi sesudah kepus pungsed, cuntakanya 11 hari, namun belum tanggal gigi. Jika ada yang meninggal sudah dewasa, remaja atau sudah tua, cuntakanya satu bulan 7 hari. Jangan lupa pada nasehatku ini.

Serta ada lagi nasehatku, di kemudian hari, dalam hal bersanak-saudara, jika ada orang luar desa datang, berkehendak untuk ikut menyungsung – menyembah Sanghyang Kawitan Ki Brahmana serta Siwopakarana nya, mengaku Sira Arya Pinatih, walaupun orangnya nista madhya utama, janganlah ananda kadropon, perhatikan dahulu, jikalau tidak mau anapak sahupajanjian Sanghyang Kawitan, bukan sanak saudaramu itu. Jika dia mau anapak Sanghyang Kawitan walaupun nista, madya utama, sungguh dia bersanak saudara dengannu, dan berhak ikut menyungsung bersama, bhatara Kawitan, walaupun jauh tempat tinggalnya. Serta sanak saudaramu si Arya Pinatih tidak boleh anayub dewagama lawan patunggalan dadya, jika melanggar nasehatku ini, hala tunggal, hala kabeh – satu menemui celaka, semuanya celaka. Serta kemudian tidak bisa disupat Sanghyang Rajadewa Kawitannya, oleh Pendeta Resi Siwa Budha, serta jika melanggar seperti nasehatku ini . OM ANG medhalong , ANG OM mepatang, ANG UNG MANG ti sudha OM NRANG OM . Semuanya paras paros, wetu tunggal, demikian pahalanya, jangan tidak periksa. Kukuhkan dirimu dalam mengamong kawitanmu, serta kukuh seperti nasehatku pada ananda, habis.”
Setelah mencari hari baik, maka diselenggarakanlah upara Perkawinan Agung di Puri Ki Arya Buleteng. Para raja-adipati, menteri-menteri serta sanak saudara se wilayah Daha semua diundang, dan yang terutama diundang adalah Ida Pendeta Siwa-Budha yang akan memimpin upacara Pawiwahan – Pernikahan Agung itu. Tidak bisa diperpanjang lagi prihal upacara Perkawinan itu, semua rakyat menjadi riang dan gembira.

Ida Sang Bang Banyak Wide sudah bertempat tinggal di Puri Patih Arya Buleteng, serta memakai nama Sang Arya Bang Banyak Wide. Kemudian I Gusti Ayu Pinatih melahirkan seorang putra laki-laki, dinamai Ida Bang Pinatih, mempergunakan nama sang ibu. 

 Pada hari tertentu, diceriterakan anak Ida Bang Banyak Wide diculik oleh seorang raksasa. Namun tiada berapa lama, ditemui I Raksasa beserta putranya di sebuah goa. Saat itu Ida Bang Banyak Wide menghunus kerisnya Ki Brahmana. Baru keris itu dihunus gemetar seluruh tubuh I Raksasa, kemudian memohon hidup. Katanya :
”Inggih, sekarang ini agar tuangku suka memberi hidup kepada hamba. Dari sekarang saya menaruh janji agar sampai kelak di kemudian hari turun temurun, sepanjang hidup keturunan Tuanku, semoga tidak akan pernah dibencanai oleh kaum Durga”. 
Demikian ucap I Raksasa yang bernama Buta Wilis itu, kemudian menghilang.

Singkat ceritera, Ida Bagus Pinatih sudah semakin besar, dewasa dan sudah mengambil isteri serta memiliki putra yang bernama sama dengan nama ayahandanya. Ida Bagus Pinatih juga bernama Pangeran Anglurah Pinatih atau Sira Kuda Anjampiani atau Sira RanggaLawe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar