Google+

Ida Wang Bang Manik Angkeran berpulang ke Sunialoka

Ida Wang Bang Manik Angkeran berpulang ke Sunialoka

Patut diketahui prihal kesaktian Sang Bidadari sehari-hari, menanak nasi dengan sebulir padi. Sehelai bulu ayam, jika dimasak, menjadi ikan ayam. Keadaan demikian itu jelas tidak boleh dilihat oleh orang Iain. Hal itu sudah dipermaklumkan kepada Sang Pendeta, agar beliau jangan mencoba kesaktian Sang Bidadari, agar kesaktian Sang Bidadari tidak hilang. Itu sebabnya keberadaan sehari-hari Sang Pen­deta dengan isteri dan puteranya di Besakih, tiada kurang suatu apapun.

Setelah berapa tahun lamanya, Ida Danghyang Bang Manik Angkeran melak­sanakan swadharma berkeluarga dengan istri beliau bertiga beserta puteranya tiga orang di Besakih, maka tibalah waktunya perjanjian Sang Bidadari harus kembali ke Sorgaloka. Keluar pikiran Ida Sang Pandhya mencoba kesaktian sang istri. Beliau mengintip istrinya Sang Bidadari sedang memasak, manakala istrinya menaruh sebulir padi. Setelah lama nian memasak, dibukanya kekeb-penutup alat masak- itu oleh Sang Bidadari. Dilihat padinya sebulir itu masih seperti sediakala. Saat itu, berpikir Sang Bidadari, kemungkinan memang sampai saat itu Sang Bidadari ber­suamikan Sang Pendeta. Kemudian beliau menghadap dan menghaturkan sembah: 
“Inggih kakandaku, Sang Pandita, rupanya sampai di sini dinda mengabdikan diri bersuamikan kanda. Sudah usai rupanya perjanjian kita. Dinda sekarang, akan memohon diri ke hadapan palungguh kanda, untuk pulang kembali ke Sorgaloka”.
Sang Pandita kemudian berkata halus : 
”Nah, kalau begitu silahkan adinda pulang Iebih dahulu, kanda akan mengikuti perjalanan dinda”. 
Sang Bidadari lalu kembali ke Indraloka.


Sejak saat itu Ida Sang Pendeta Danghyang Bang Manik Angkeran selalu melaksanakan Yoga Panglepasan untuk pulang ke alam baka. Dan lagi, beliau menyadari akan segera kembali pulang ke Sunyaloka, Ialu beliau memanggil putranya bertiga, memberitahukan bahwa puteranya bertiga memiliki kakek di Jawa, yang ber­nama Ida Danghyang Siddhimantra. Bersama isterinya yang dua orang ítu, beliau memberikan petuah yang sangat bermakna : 
“I Dewa, Bang Banyak Wide, I Dewa, Bang Tulusdewa, I Dewa, Bang Wayabiya, anakku bertiga yang sangat ayahanda cintai dan kasihí, ayahanda sekarang bersama ibu-ibumu berdua, akan meninggal­kan ananda Ayahanda akan pulang ke Sorgaloka. Satukan diri ananda dalam bersaudara. 
Ala ayu tunggal ! 
Duka maupun suka hendaknya tetap satu ! 
Kemudian juga agar selalu ingat kepada Bhatara Kawitan, serta senantiasa bhakti menyembah Ida Bhatara semua di sini dí Besakih serta Ida Bhatara Basukih. Tídak boleh ananda Ialai serta ingkar dengan petuah ayahandamu ini”. 
Demikian nasehat Ida Sang Pen­deta, dicamkan betul oleh para putranya bertiga.

Pada hari yang baik, beliau kemudian berpulang ke Nirwana, moksa dengan Adhi Moksah-moksa yang utama, diiringkan oleh isterinya berdua, karena keduanya memang setia dan bhakti kepada belìau.

Diceriterakan, beliau-beliau itu sudah menyatu dengan Tuhan. Tinggallah para puteranya bertiga, ditinggal oleh ayah serta bundanya. Namun demikian masyarakat se wilayah desa Bukcabe, masih tulus bhaktinya, karena ingat kepada petuah Ki Dukuh Sakti Blatung dahulu. Pada saat itu, putera Ida Bang Manik Angkeran yang nomor empat dari Ni Luh Canting yakni Sira Agra Manik, belum ada dan belum ber­diam di Besakih.

Tidak terhitung berapa tahun ketiga putera itu ditinggal oleh ayah ibunya semua, lIalu ada keinginan Ida Sang Bang Banyak Wide akan berbincang dengan kedua adiknya. Setelah semuanya duduk, maka berkatalah Ida Bang Banyak Wìde : 
”Inggih, adikku berdua, yang kanda kasihi dan cintai. Teringat kanda dengan petuah Ida I Aji, kata beliau Kakek kita yang bernama, mohon maaf, Ida Danghyang Siddhi­mantra, bertempat tinggal di Pulau Jawa, tepatnya di daerah Daha. Kalau sekiranya dinda berdua menyetujui, marilah kita pergi ke sana, bersembah sujud menghadap kepada Ida I Kakiyang- kakek kita, agar kita mengetahui keberadaan beliau, agar jangan seperti ungkapan yang mengatakan , tahu akan nama namun tidak tahu akan rupa. Lagi pula kalau Kanda pikir, mungkin sekali Ida I Kakiyang -kakek kita tidak tahu sama sekali akan keberadaan kanda dìnda, karena tidak ada yang menceriterakan perihal keberadaan ayahanda kita serta kita bertiga”.
Baru didengar perkataan kakaknya demìkian, maka menjawablah Ida Sang Bang Tulusdewa dengan sangat sopan : 
”Inggih palungguh kanda, mengenai prihal itu, perkenankanlah dinda menyampaikan pendapat, namun mohon dimaklumi, bila­mana ada yang tidak berkenan di hati kanda. Perihal keinginan kanda, disebabkan niat bhakti ke hadapan Ida I Kakiyang, memang wajar sekali. Dinda sangat berbesar hati. Namun bilamana kanda akan pergi ke Jawa, untuk menghadap kepada Ida I Kakiyang kakek kita, apalagi berkeinginan untuk bertempat tinggal di sana, mohon maaf dan mohon perkenan kakanda, bahwa dinda tidak bisa mengikuti kehendak kanda itu. Biarkanlah hamba di sini di Bali, agar ada yang melanjutkan yadnya dari ayahanda Ida Sang Pendeta, sebagai tukang sapu di sini di Besakih, sepertì menjadi petuah dari ayahanda”.
Kemudian Ida Bang Wayabiya menghaturkan sembah : 
”Inggih palungguh kanda Sang Bang Banyak Wide yang sangat dinda hormati, dinda juga, bukan karena kurang bhakti dinda kepada Ida I Kakiyang, walaupun belum dinda ketahui. Yang nomor dua, tidak kurang bhakti serta kasih dinda bersaudara dengan kakanda. Namun kalau berpindah tempat meninggalkan Bali ini, berat rasanya bagi dinda, karenanya, mohon maaf pula, dinda juga tidak ikut mendampingi kanda, seperti pula apa yang dikatakan kanda Tulusdewa baru. Dinda tidak sekali akan menghalangi niat Iuhur kakanda untuk pergi ke Jawa, menghadap kepada Ida I Kakiyang. Itu juga sangat pantas. Kalau kakanda berkehendak akan pergi, silahkan kakanda pergi sendiri, agar ada yang memberitakan keberadaan di Bali ke hadapan Ida I Kakiyang. Biarkan dinda berdua di sini di Bali ”.
Baru mendengar hatur adik-adiknya berdua, Iama Ida Sang Banyak Wide ber­diam, berpikir-pikir. Karena memang tidak pernah berpisah dan mereka saling mengasihi satu sama Ilainnya. Kemudian beliau berkata : 
”Inggih, kalau demikian pendapat dinda berdua, patut juga, di Bali agar ada, ke Jawa, menurut kanda, juga agar ada yang memberitahukan perihal keadaan kita di Bali ini, seperti yang dikatakan dinda Wayabiya baru. Itu sebabnya perkenankan kanda akan sendirian pergi ke Jawa, untuk menghadap kepada Ida I Kakiyang. Namun ada petuah kanda kepada dinda berdua. Walaupun kanda tidak Iagi berada di sini bersama dinda berdua, di mana saja mungkin kanda -dinda berdiam, kalaupun kanda -dinda menemui kebaikan atau keburukan, agar supaya tidak kita Iupa bersaudara sampai nanti kapada keturunan kita di kelak kemudian hari. Ingat betul nasehat suci dari Ayahanda kita : Ala Ayu Tunggal ! Ayu tunggal, ayu kabeh. Ala tunggal, ala kabeh ! Duka dan suka tunggal ! Kalau satu orang mendapatkan kegembiraan, agar semuanya bisa ikut menikmatinya. Demikian juga kalau salah satu rnengalami kedukaan agar semuanya merasakannya. Mudah-mudahan kita semuanya bisa bertemu kembali. Kalau tidak kanda yang bisa bertemu dengan dinda, semoga anak cucu kita bisa bertemu serta mengingatkan persaudaran kita di kelak kemudian hari”.

”Inggih, silahkan palungguh kanda pergi, dinda menuruti semua apa yang kanda katakan. Semoga kanda selamat, serta bisa bertemu dengan Ida I Kakiyang”. 
Demikian hatur adiknya berdua.

Pada hari yang baik, Ida Bang Banyak Wide mohon diri kepada saudaranya berdua, seraya berangkat.

Diceriterakan perjalanan Ida Bang Banyak Wide, demikian banyaknya desa, perumahan serta hutan dilewatinya, Iembah dan jurang yang dituruninya, jarang sekali berjumpa dengan manusia. Banyak sekali kesulitan yang ditemuinya di jalan tak usah diceriterakan, namun Ida Bang Banyak Wide, walau masih jejaka muda-belia, demikian teguhnya kepada tekadnya, tidak pernah takut dan khawatir menghadapi kesulitan dan hambatan di jalan.

Pada siang hari beliau berjalan, di mana beliau merasa lesu, di sana berhenti untuk beristirahat. Kalau hari sudah menjelang malam, beliau bermalam di mana saja beliau mendapatkan tempat. Kalau kemalaman di desa, berupaya beliau menum­pang di tempat orang, namun seringkali beliau berada di tengah hutan, dan ter­paksa tidur di pohon-pohon kayu. Setiap kali beliau berjumpa dengan orang, tidak lupa beliau menanyakan di mana negeri Daha itu.

Singkat ceritera, sampailah beliau di perbatasan negeri Daha. Terkesan beliau akan keadaan negeri itu yang demikian ramai dan indah. Berbeda sekali kalau dibandingkan dengan desa Besakih, yang sedikit bangunannya. Bangunan di sana semua besar-megah serta memakai tembok yang tinggi dari batubata. Orang di sana semuanya memakai pakaian yang bagus-bagus. Jalannya juga lebar, setiap beberapa meter ada lampu yang berderet di sisi jalan.

Setelah tenggelam sang mentari, kala itu nampak oleh beliau ada sebuah bangunan seperti Jero, bertembok bata dengan memakai pintu gerbang kori agung. Di bagian luar dari bangunan yang serupa jero itu, ada balai-balai kecil : bale patok, Iayaknya seperti tempat orang berteduh dan beristirahat. Di sana Ialu beliau berteduh dan beristirahat. Demikian gembiranya beliau, sebab mendapatkan tempat beristirahat yang nyaman.

Tidak Iama, karena demikian lesunya, sekejap beliau sudah terlelap. Tempat itu ternyata sebuah Griya -tempat seorang pendeta yang bernama Ida Mpu Sedah. Di sana, di bagian luar dari Griya Ida Pandita terdapat sebuah batu ceper yang ber­ukuran besar, sebagai tempat Pendeta Mpu Sedah duduk-duduk tatkala beliau beran­jangsana. Konon, dahulunya, di tempat batu itu, tak seorangpun berani bermain atau lewat di sana, apalagi untuk mendudukinya. Walau hanya seekor capungpun, kalau hinggap di tempat itu,.langsung akan hangus terbakar.

Singkat ceritera, ketika hari itu Ida Pandita keluar untuk berjalan-jalan di luar, tiba-tiba beliau berhenti sejenak ketika melihat ada seorang jejaka duduk di batu ceper itu. lalu didekatinya seraya berkata : 
“Uduh kaki, ndi sang kayeng tuan, agia tung­gal-tunggal, eman-eman warnanta masmasku. Mwang siapa puspatanira ? 
Warah duga-duga kawongane sira, dadine sira Kaki pasti maweruha. 
Nah, anakku, dari mana gerangan sebenarnya ananda ini datang sendirian ke mari. Kagum kakek menyaksi­kan prabawamu .Siapa namamu, serta apa keluarga dan kelahiran ananda ? Coba jelaskan agar kakek mengetahuinya !”
Kemudian Ida Sang Bang Banyak Wide berkata, seraya menghaturkan sembah bakti : 
”Singgih pukulun Sang Pendeta, hamba adalah cucu dari Sang Pendeta Siddhimantra, ayahanda hamba adalah Sang Pendeta Angkeran. Nama hamba Sang Banyak Wide, maksud tujuan hamba adalah ingin bertemu dengan kakek-Kakiyang hamba di Griya Daha, Ida Sang Pendeta Siddhimantra itu”.
Baru didengar hatur Ida Sang Banyak Wide demikian, menjadi sangat terharu perasaan Ida Pandita, seraya berkata : 
”Aum cucuku tercinta, kalau demikian maksud tujuan cucunda, ketahuilah bahwa kakek cucunda ini memiliki hubungan saudara dengan kakekmu itu yang kini sudah tiada. Karena itu sekarang yang paling baik, dengarkan kakekmu ini, jangan dilanjutkan keinginan cucunda pulang ke Griya kakekmu. Di sini saja cucunda berdiam, mendampingi kakekmu ini yang sudah tua renta. Cucuku menjadi pewaris keturunanku, sebab kakekmu ini tidak memiliki ketu­runan atau anak. Dulu putera kakek ada laki-Iaki seorang, bernama Sira Bang Guwi. Sudah dibunuh oleh sang raja, dosanya karena membangkang kepada raja. Sebab itu sekarang putung -tidak berketurunan kakekmu ini, semoga berkenan cucunda menjadi sentana-keturunan pewarisku, yang akan memelihara tempat kediaman ini kelak di kemudian hari. Sekarang cucunda yang memerintah di kawasan ini. Di samping itu ada petuah Kakek, sebab cucunda memakai pegangan Ke-Budhaan, sementara kakekmu ini melaksanakan Ke-Siwaan, karena itu sekarang cucunda jan­ganlah lagi menggelar Kebudhaan, gelaran Siwa yang cucunda jadikan pegangan ”. 
Demikian wacana Ida Mpu Sedah kepada Ida Bang Banyak Wide yang memahami dan menyetujui kehendak Ida Pandita, sehingga akhirnya Ida Bang Banyak Wide diresmikan sebagai putera angkat -kadharma putera.

Sangatlah sukacita perasaan Sang Pendeta, sangat dimanja putranya Ida Bang Banyak Wide. Singkat ceritera, sekarang telah berdiam Ida Sang Bang Banyak Wide di Griya Daha mendampingi kakeknya Ida Mpu Sedah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar