Japa
Antara Latihan Kesadaran dan Kultus Nama Pribadi
“Mantra adalah sarana untuk mencapai Keheningan. Bukan untuk memanggil batin pada satu nama.”
Apakah Japa Itu?
Secara bahasa, japa berasal dari akar kata Sanskerta:
“ja” = menghancurkan; “pa” = dosa
Artinya, japa adalah praktik pengulangan mantra suci untuk menyucikan batin dan menyingkirkan kegelapan spiritual. Semua tradisi dharma – baik Weda, Tantra, maupun Agama Hindu Nusantara – mengakui pentingnya japa. Namun, makna japa bukan semata-mata melafalkan satu nama pribadi (seperti Hare Krishna), melainkan mengolah batin menuju kesunyian, kemurnian, dan kesadaran murni ( cit ).
Japa dalam Bhagavad Gitā: Makna dan Konteks
Kalimat yang sering dikutip:
yajñānāṁ japa-yajño 'smi
“Di antara yadnya (pengorbanan), Aku adalah japa-yajña.”
— Bhagavad Gita 10.25
MAKNA seBENARnya: Krishna sedang menunjukkan keagungan aspek batiniah dari berbagai bentuk yadnya. Japa adalah bentuk yadnya non-kekerasan, non-materi , dilakukan dalam keheningan, sebagai pengantar menuju penyatuan kesadaran.
Krishna tidak mengatakan bahwa japa adalah melafalkan namanya sendiri. Terlebih lagi, dalam Gita tidak ada satu sloka pun yang menyuruh Arjuna untuk berjapa nama “Krishna.”
Bahaya Menjadikan Nama Pribadi sebagai Objek Mutlak
Mengulang nama Krishna, Rama, atau Wisnu bisa menjadi praktik simbolik jika digunakan sebagai lambang Brahman. Namun, jika didekati dengan kepercayaan dogmatis bahwa hanya satu nama itu yang sah , maka japa berubah menjadi persyaratan , bukan garansi.
Sebagai contoh, dalam artikel Hare Krishna tersebut dikutip:
“...bahkan jika mereka lahir dalam keluarga pemakan anjing, mereka lebih unggul karena mengucap Nama Suci Tuhan...”
— SB 3.33.7
Ini menciptakan hierarki palsu , seolah-olah pernyataan nama lebih tinggi dari moral, akhlak, atau pengetahuan. Dalam Vedānta, ini disebut upādhi-brahma — ilusi yang membatasi Brahman ke dalam bentuk atau nama tertentu.
Sruti: Tuhan Tidak Memiliki Nama Tetap
Ajaran Sruti (otoritas tertinggi dalam Hindu) menyatakan bahwa:
nāma-rūpa-vyākaraṇaṁ – nama dan bentuk hanyalah proyeksi maya (ilusi).
— Chāndogya Upaniṣad 6.3.2
na tasya pratimā asti
“Tuhan tidak memiliki bentuk atau nama tetap.”
— Yajur Weda 32.3
Maka, mengklaim bahwa “Hare Krishna” adalah satu-satunya japa yang menyelamatkan yang bertentangan dengan Sruti. Nama hanya bersifat upāya (alat), bukan upādhi (batasan Tuhan).
Japa dalam Teks Nusantara dan Sarasamuccaya
Sarasamuccaya 369 benar menyebut japa sebagai pengulangan mantra:
“Mapawaluy waluyning kojaran Sang Hyang Mantra, japa ngarania.”
Namun tidak ada penyebutan bahwa japa harus nama Krishna. Justru dalam tradisi Bali, mantra japa bersifat netral dan simbolik , seperti:
-
Om namo śivāya (nama samaran)
-
Om namo nārāyaṇāya
-
Om hrīm śrīm klīm
-
Atau mantra Dasa Aksara: IA-Ka-Sa-Ma-Ra-La-Wa-Ya-U
Fokusnya adalah resonansi getaran suara , bukan dogma nama pribadi.
Tiga Jenis Japa: Bukan untuk Memuja Nama Personal
Artikel Hare Krishna mengutip Nṛsiṁha Purāṇa tentang tiga jenis japa:
- Vācika (dilafalkan lantang)
- Upāṁśu (dilafalkan lirih)
- Mānasa (dilakukan dalam pikiran)
Namun, teks itu tidak pernah menyatakan bahwa japa harus berupa nama Krishna. Apalagi japa tertinggi adalah mānasa-japa — japa batin , yang tidak berpegang pada suara lahiriah, menuju samādhi dan kesunyian batin.
Bhakti dalam Gita Bukanlah Kultus Nama
Bhagavad Gita menyebut bhakti sebagai jalan pemujaan penuh cinta terhadap kesadaran tertinggi , bukan terhadap sosok .
yo mām paśyati sarvatra sarvaṁ ca mayi paśyati...
“Dia yang melihat Aku dalam segala, dan segala dalam Aku...”
— Bhagavad Gītā 6.30
Yang dilihat bukan “nama Krishna,” tapi kesadaran Krishna (kesadaran Krishna) yang berarti kesadaran Brahman – tak terbatas, tak bernama, melampaui formalisme agama.
Kesimpulan: Japa Adalah Jalan, Bukan Tuhan Itu Sendiri
Japa adalah sarana untuk:
- Menjernihkan batin
- Melatih konsentrasi
- Menyatu dalam keheningan (samādhi)
- Meleburkan ego ke realitas tertinggi (Brahman)
Namun japa tidak boleh dijadikan absolut sebagai bentuk pengultusan terhadap satu nama pribadi , karena hal itu menyalahi inti ajaran Vedānta dan Bhagavad Gita.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar