Google+

Kenapa Śruti Lebih Penting dari Kitab Cerita? (Purāṇa atau Itihāsa)

Kenapa Śruti Lebih Penting dari Kitab Cerita? (Purāṇa atau Itihāsa)

Beda Suara Tuhan dan Suara Penyair

Dalam spiritualitas Hindu, ada begitu banyak kitab—Veda, Upaniṣad, Purāṇa, Itihāsa, Smṛti, Āgama, Tantra. Tapi tidak semuanya memiliki status yang sama. Di puncak otoritas tertinggi ada Śruti: wahyu langsung dari kesadaran ilahi yang tidak diciptakan oleh manusia. Sementara Purāṇa dan Itihāsa adalah narasi buatan ṛṣi, penyair, atau penyusun sebagai ilustrasi dan ajaran moral.

Jadi pertanyaannya: mana yang harus jadi dasar utama kita dalam beragama?

Jawabannya tegas dan jelas: Śruti adalah fondasi utama. Kenapa? Yuk kita kupas dengan argumen filosofis dan tekstual.


Śruti Adalah Apa yang Didengar Langsung oleh Para Ṛṣi

Śruti (श्रुति) berasal dari akar kata śru, yang artinya mendengar. Maksudnya, ini adalah kebenaran yang langsung "didengar" dalam batin yang murni oleh para Ṛṣi, bukan dikarang atau disusun. Contohnya: Veda dan Upaniṣad.

"vedāḥ sarvāḥ aham eva vedyaḥ"Bhagavad Gītā 15.15
“Semua Veda berbicara tentang-Ku”

Artinya, semua wahyu suci bertujuan menuju kebenaran ilahi. Maka yang dikatakan Śruti adalah mutlak, tidak bisa dikoreksi oleh cerita, tradisi, atau pendapat pribadi.


Purāṇa dan Itihāsa Adalah Smṛti: Apa yang Diingat dan Ditafsirkan

Smṛti (स्मृति) berasal dari smṛ, yaitu "mengingat". Artinya: ini adalah hasil olah pikiran, penafsiran, atau narasi turun-temurun—bukan wahyu langsung.

"śrutistu vedo vijñeyaḥ dharmāśāstraṃ tu smṛtiḥ smṛtā"Manusmṛti 2.10
"Śruti adalah Veda; dan Smṛti adalah kitab hukum dan cerita."

Artinya, statusnya di bawah Śruti. Jadi kalau ada kisah dalam Purāṇa atau Itihāsa yang bertentangan dengan Śruti, wajib ditolak atau ditafsirkan ulang.

Contoh: Kalau ada kisah bahwa Tuhan lahir jadi manusia, tapi Śruti berkata “na jāyate na mriyate” (Ia tidak lahir dan tidak matiKaṭha Upaniṣad 2.18), maka jelas bahwa kisah itu simbolik, bukan literal.


Cerita Penuh Dengan Konflik, Sruti Penuh Dengan Keheningan

Purāṇa dan Itihāsa banyak bicara tentang:

  • Perang, perebutan tahta

  • Dewa yang cemburu, bertarung, membunuh

  • Inkarnasi dan mukjizat fantastis

Sedangkan Śruti berbicara tentang kesadaran murni, kedamaian, keabadian, dan kesatuan. Contohnya:

"ekam eva advitīyam"Chāndogya Upaniṣad 6.2.1
“Yang ada hanya satu, tanpa duanya.”

Sementara dalam Purāṇa, ada ribuan bentuk dan nama Tuhan yang saling bersaing. Maka cerita hanya bisa jadi alat bantu, tapi bukan dasar kebenaran.


Purāṇa Penuh Mitologi, Sruti Murni Filosofi

Kisah-kisah seperti:

  • Kṛṣṇa lahir di penjara

  • Śiva minum racun

  • Viṣṇu tidur di laut susu

...adalah mitos simbolis, bukan fakta teologis literal. Kalau dijadikan dasar keyakinan mutlak, akan menyesatkan. Sementara Śruti mengajak kita menyadari Diri, bukan menyembah wujud luar.

"ātmā vā are draṣṭavyaḥ"Bṛhadāraṇyaka Upaniṣad 2.4.5
“Sang Diri itulah yang harus dicari dan disadari.”

Jadi orientasi Śruti adalah ke dalam, sementara cerita banyak mengarah ke luar.


Sruti Adalah Puncak Otoritas dalam Semua Tradisi Vedānta

Semua aliran Vedānta—Advaita, Dvaita, Viśiṣṭādvaita, bahkan Bhāgavata sendiri—mengakui bahwa Sruti adalah sumber tertinggi.

“Vedānām pramāṇyam”Veda adalah tolok ukur tertinggi
– Ajaran umum semua ācārya

Maka bila Purāṇa mengatakan “Krishna adalah Tuhan” tapi Śruti menyatakan “Brahman tidak lahir dan tak berwujud”, maka Krishna hanyalah simbol manifestasi, bukan Tuhan hakiki.


Jangan Tertipu Cerita, Peganglah Wahyu

Cerita bisa berubah, ditulis ulang, atau dikultuskan. Tapi wahyu tak pernah berubah. Kalau kita ingin mendekati Tuhan yang sejati—bukan dewa fiktif hasil tafsir budaya—maka Sruti adalah satu-satunya pijakan murni.

"na tasya pratimā asti"Yajur Veda 32.3
“Tak ada gambaran atau perwujudan-Nya.”

Ini bukan hanya kritik terhadap mitologi, tapi ajakan untuk naik kelas spiritual: dari pemujaan bentuk ke penyadaran akan Kesadaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar