"Siapa 'Aku' yang Berbicara dalam Bhagavad Gitā? Bukan Sosok Pribadi, Tapi Kesadaran Sejati"
Makna 'Aku' dalam Bhagavad Gitā: Bukan Pribadi, Tapi Kesadaran Ilahi
Pengikut Hare Krishna sering mengutip ayat-ayat dalam Bhagavad Gītā seperti:
"Pujalah Aku" ,
"Datanglah pada-Ku" ,
"Aku-lah tujuan akhir" ,
sebagai pembenaran bahwa Krishna, sosok laki-laki dalam bentuk manusia, adalah Tuhan yang harus disembah secara pribadi. Namun apakah benar demikian? Apakah kata “aku” (aham) dalam Bhagavad Gitā menunjuk pada tokoh sejarah bernama Krishna? Mari kita menelusuri makna Vedantik dari "aku" dalam konteks filosofis Gitā.
Siapa 'Aku' dalam Bhagavad Gitā?
Kata “aham” dalam Bhagavad Gitā muncul lebih dari 150 kali, dan tidak seluruhnya menunjuk pada satu entitas yang sama secara harfiah. Dalam Advaita Vedānta , “aku” yang diucapkan oleh Krishna tidak merujuk pada pribadi manusia, melainkan pada Kesadaran Mutlak (Brahman) yang tak berwujud, tak terbatas, dan tak terikat pada tubuh jasmani.
📖 Muṇḍaka Upaniṣad 2.2.11 :
brahmaivedam amṛtaṁ purastād brahma paścād brahma dakṣiṇataś copariṣṭāc ca
"Brahman adalah segala sesuatu, di depan, di belakang, di kanan, di kiri, di atas dan di bawah. Segala yang ada adalah Brahman."
Ketika Krishna berkata “aku adalah permulaan, pertengahan, dan akhir dari semua makhluk” ( Gītā 10.20), itu bukan klaim pribadi, melainkan pengakuan dari Kesadaran Kosmis —sebuah prinsip universal, bukan individu.
Konteks Gita: Peran Krishna sebagai Jñāna-Guru
Krishna dalam Gītā adalah Jñāna-Guru —pengajar spiritual yang menuntun Arjuna dari simpanan pada bentuk menuju realisasi akan Sang Diri Sejati ( Ātman ). Dalam Bhagavad Gītā 4.34, Krishna sendiri menyuruh Arjuna untuk mendekati para guru sejati:
"Tad viddhi praṇipātena paripraśnena sevayā..."
Artinya: Pelajarilah kebenaran itu dari para guru yang tercerahkan, yang telah melihat kebenaran dengan mata batin.
Jika Krishna menganggap dirinya sebagai satu-satunya objek sembah, mengapa dia mengarahkan Arjuna untuk belajar dari guru lain?
'Aku' sebagai Brahman, bukan Figur Pribadi
Ketika Krishna berkata:
“Sarva-dharmān parityajya mām ekaṁ śaraṇaṁ vraja” (Bhagavad Gītā 18.66)
“Tinggalkan semua dharma dan berserahlah hanya kepada-Ku.”
Sloka ini adalah deklarasi kesatuan eksistensial , bukan perintah kultus. Kata mām (Kepadaku) di sini didukung oleh para guru Vedanta seperti Adi Śaṅkara sebagai penunjuk kepada Brahman , bukan pada figur Krishna sebagai manusia.
Komentar Adi Śaṅkarācārya atas Gitā 18.66:
“Yang dimaksud 'aku' adalah Brahman tak berwujud (nirākāra brahman), yang melampaui bentuk dan nama, bukan pribadi Krishna sebagai manusia.”
Sloka-Sloka yang Menunjukkan bahwa Krishna Bukan Sosok, Tapi Prinsipnya
Mari lihat beberapa sloka yang justru menyatakan bahwa Krishna dalam Gita bukan pribadi fisik:
🔹 Bhagawad Gita 7.24
avyaktaṁ vyaktim āpannaṁ manyante mām abuddhayaḥ
“Orang bodoh mengira Aku (Kesadaran Ilahi) telah menjadi pribadi yang terlihat.”
👉 Ini secara langsung menegaskan bahwa menyamakan Tuhan dengan sosok pribadi adalah pemahaman orang yang belum tercerahkan.
🔹 Bhagawad Gita 13.2
idaṁ śarīraṁ kaunteya kṣetram ity abhidhīyate
“Tubuh ini disebut medan (kṣetra), dan yang mengetahui medan ini disebut pengetahu medan (kṣetrajña).”
Krishna mengidentifikasi 'kṣetrajña' (sang pengamat) sebagai “aku”, namun bukan dalam tubuh artian Krishna, melainkan sebagai prinsip kesadaran murni dalam diri semua makhluk.
'Datanglah Padaku' Adalah Metafora Realisasi Diri
Ungkapan seperti:
“Datanglah pada-Ku” ,
“Pujalah Aku” ,
jika dibaca secara harfiah, menjadi dasar endokrinologi pribadi. Namun dalam filsafat Vedānta, “datang pada-Ku” adalah ajakan menuju pengetahuan Diri (ātma-jñāna) . Itulah sebabnya dalam Gitā 6.29, Krishna menyatakan:
sarva-bhūta-stham ātmānaṁ sarva-bhūtāni cātmani
“Orang yang telah tercerahkan melihat Sang Diri di semuamakhluk, dan semua makhluk di dalam Diri.”
Pengikut sekte tertentu sering mengangkat pertanyaan:
"Bukankah Krishna yang berbicara dalam Gītā?
Jika begitu, setiap kali Krishna berkata 'aku', 'diriku', atau 'datanglah kepada-Ku', bukankah itu berarti Krishna-lah Tuhan itu?"
Sekilas argumen ini tampak logis. Namun bila kita kaji secara filsafati , tekstual , dan spiritual , maka jelas bahwa ini adalah kesalahan identifikasi ontologis —sebuah reduksi sempit terhadap makna Tuhan yang melampaui bentuk.
Krishna Memainkan Peran: Sebagai Wahana Bagi Kesadaran Ilahi
Dalam Mahābhārata dan Bhagavad Gītā, Krishna bukan hanya manusia atau tokoh sejarah. Ia adalah guru spiritual (jñāna-guru) yang menyampaikan suara Brahman —Kesadaran Mutlak. Krishna berfungsi sebagai instrumen , bukan identitas eksklusif dari Tuhan pribadi.
Kaṭha Upaniṣad 2.1.15 :
na tasya pratimā asti
“Tidak ada bentuk atau wujud yang dapat menggambarkan-Nya.”
Dengan ini, kita tidak bisa menyamakan suara Krishna (yang bertubuh, berbicara di Kurukṣetra) dengan kepribadian Tuhan secara harfiah. Ia berpindah dari Hukum Kosmis , bukan individu yang meminta disembah.
Analogi Vedantik :
Seorang guru bisa berkata “aku adalah Atman” bukan karena egonya besar, tetapi karena ia sedang mewakili suara realitas yang mutlak. Begitu pula Krishna.
Siapa yang Bicara dalam Gitā? Krishna—Ya, Tapi Sebagai Cermin Brahman
Ketika Krishna berkata:
“Aham sarvasya prabhavo...” (Bhagavad Gita 10.8)
“Aku adalah asal segala sesuatu”
Ini bukan pengakuan pribadi dari Krishna anak Vasudeva. Ini adalah pernyataan Brahman melalui Krishna . Bahkan di sloka Gītā 11.38 , Arjuna menyebut Krishna sebagai:
“tvam akṣaraṁ paraṁ brahma”
“Engkau adalah Akṣara, Brahman Yang Tertinggi”
Tapi perlu dicatat: Krishna yang dimaksud bukan manusia historis , melainkan manifestasi sang Aku-Kesadaran (Ātman-Brahman) yang tak berbentuk.
Adi Śaṅkarācārya: “Aku” dalam Gitā adalah Brahman, Bukan Individu
Dalam komentarnya atas Bhagavad Gitā 18.66 , Adi Śaṅkara menyatakan:
“mām” iti nirguṇa-brahma-parāmarśaḥ
“Kata 'mām' (kepada-Ku) di sini menunjuk pada Brahman tanpa atribut (nirguṇa), bukan pada individu Krishna.”
❗ Ini sangat penting , karena Adi Śaṅkara bukan hanya komentator Gitā, tetapi penafsir otoritatif dari seluruh tradisi Vedānta .
Bentuk (rupa) dan Kesadaran (jñāna) Bukan Hal yang Sama
Banyak yang terjebak pada bentuk Krishna yang rupawan, lalu mengira bentuk itulah yang disebut sebagai Tuhan. Namun Krishna sendiri berkata:
Bhagavad Gita 7.24
“Orang mengira Aku, yang tak berbentuk, telah lahir menjadi manusia”
( avyaktaṁ vyaktim āpannaṁ manyante mām abuddhayaḥ )
Sloka ini membongkar sendiri kepercayaan pengikut yang menyembah Krishna sebagai sosok manusia . Krishna sedang memikirkan penyembahan terhadap wujud lahiriah-Nya.
Siapakah Krishna Menurut Bhagavad Gitā Sendiri?
Krishna tidak pernah menyuruh Arjuna untuk menampilkan sosok-Nya , melainkan mengarahkan Arjuna untuk:
-
Mengenali Ātman di dalam diri (Gītā 2.12–2.30)
-
Menyadari Brahman sebagai kebenaran tertinggi (Gītā 8.3)
-
Melampaui bentuk dan dualitas (Gītā 13.32)
-
Menjadi Yogi, bukan penyembah sosok (Gītā 6.29)
-
Menyatu dalam Kesadaran Murni (Gītā 6.8)
Maka, ketika Krishna berkata “Datanglah pada-Ku”, maksudnya adalah masuklah ke dalam kesadaran adhyātmika . Bukan datang ke Mathura lalu bersujud.
Jadi “Aku” dalam Bhagavad Gitā adalah Simbolik, Bukan Literal
“Krishna dalam Gītā bukan ingin disembah, tapi ingin kita menjadi sepertinya—berpikir sebagai Kesadaran, bukan tubuh dan ego.”
Jadi, siapakah yang berbicara dalam Gitā? Krishna—ya. Tapi Krishna bukan pribadi yang berbicara atas nama dirinya, melainkan mewakili suara Brahman universal yang berbicara melalui wujudnya sebagai Satguru .
Mereka yang menjadikan pernyataan “datanglah kepada-Ku” sebagai alasan untuk menyembah sosok Krishna, sesungguhnya:
-
Mengabaikan ajaran non-dualistik Gitā
-
Menyederhanakan filsafat tinggi menjadi ritual pribadi
-
Menyembah jari, bukan bulan yang ditunjuknya
Kesimpulan: Jangan Terkecoh oleh Pronoun
Kata “AKU” dalam Bhagavad Gitā bukanlah klaim egoistik atau identitas manusiawi . Ia adalah ekspresi universal dari Brahman yang sedang berbicara melalui Krishna—seorang guru yoga , bukan Tuhan dalam bentuk manusia yang minta dipuja.
Menyembah Krishna sebagai Tuhan pribadi karena “kata Krishna sendiri” adalah seperti menyembah jari yang menunjuk bulan, bukan bulan itu sendiri.
Jika kita ingin memahami Bhagavad Gitā sebagaimana mestinya, maka kata “aku” di dalamnya harus dimaknai secara Vedantik—sebagai Brahman yang tak berbentuk, bukan pribadi historis bernama Krishna. Penafsiran literalistik hanya akan menjadikan teks sakral ini sebagai alat sektarianisme, bukan sarana pencerahan jiwa.
Menyembah Krishna sebagai sosok berarti mengurung Tuhan dalam tubuh. Tapi Krishna dalam Gītā adalah titik temu antara manusia dan kesadaran tertinggi . Ia tidak minta disembah, tapi ingin kita melampaui dualitas, dan menyadari Brahman dalam diri kita sendiri .

ah massa
BalasHapus