Menelanjangi Mitos Ke-Tuhanan Krishnaberdasarkan Bhagavad Gita 18.64–66, 9.22, 7.7, 10.20, 4.7–8
Membongkar Klaim Hare Krishna Berdasarkan Mahabharata, Harivamsa, dan Sruti
Sloka yang Dijadikan Dalil oleh Kaum Hare Krishna:
sarva-guhyatamaṁ bhūyaḥ śṛṇu me paramaṁ vacaḥ | iṣṭo 'si me dṛḍham iti tato vakṣyāmi te hitam || 18.64
Terjemahan:
"Sekali lagi dengarkan sabda-Ku yang paling rahasia. Karena engkau sangat Kukasihi, Aku akan menyampaikan apa yang bermanfaat bagimu."
Kelompok Hare Krishna menafsirkan sloka ini sebagai pengakuan Krishna sebagai Tuhan Mutlak, dan menjadikan pernyataan ini sebagai dalil tertinggi. Mereka menyatakan bahwa Krishna-lah yang menciptakan Upanishad, dan hanya Bhagavad Gita dan Harivamsa-lah "wahyu Tuhan".
Tapi benarkah begitu?
Mari kita bongkar dari kitab yang mereka sendiri akui: Mahabharata dan Harivamsa.
1. Sloka Bhagavad Gita 18.64 = Sabda Guru, Bukan Sabda Tuhan Mutlak
Krishna menyampaikan kalimat ini dalam konteks dialog spiritual, bukan sebagai wahyu final seorang Tuhan kepada ciptaannya. Frasa "vakṣyāmi te hitam" artinya "Aku menyampaikan demi kebaikanmu", yang mencerminkan posisi seorang guru agung (mahāyogī), bukan Tuhan pencipta segalanya.
Bahkan dalam Mahabharata, Krishna disebut sebagai:
mahāyogī, yogeśvarya, nārāyaṇāvatāra — bukan Brahman itu sendiri.
2. Harivamsa Membongkar: Krishna Melakukan Pemujaan kepada Rudra
Dalam Harivamsa Parva 2.74.1–6 (Viṣṇuparva) Krishna pergi ke gunung Kailasa untuk melakukan tapas dan memohon kepada Mahadeva:
kailāsaṁ śraya kṛṣṇotkaṇṭhaṁ muninām api durlabham | tatrārādhya mahādevaḥ prāptum icchasi yad dhṛtam ||
Terjemahan: "Pergilah ke Kailasa yang sulit dijangkau bahkan oleh para muni. Di sana pujalah Mahadeva jika engkau ingin memperoleh yang sulit didapat."
Pertanyaan telak:
Jika Krishna adalah Tuhan tertinggi, mengapa ia harus memuja Mahadeva?
3. Krishna Meninggal dengan Cara Duniawi (Mausala Parva, Mahabharata Parva ke 16)
sa tasya nārācāgrahataḥ prapanno śareṇa viśaruddhena samarpitaḥ prabhuḥ | upāviṣṭaḥ prāñjaliṇāt samīdhaḥ puruṣottamaḥ ||
Terjemahan: "Krishna, yang tertusuk oleh anak panah pemburu, duduk bersila dan bersatu kembali dengan api agung, melepaskan bentuk jasmaninya."
Jika Krishna adalah Tuhan, bagaimana bisa Ia mati seperti manusia biasa?
Bukankah Brahman itu aja (tak lahir), avyaya (tak berubah), akṣara (tak musnah)?
4. Krishna Berasal dari Nara-Narayana, Bukan Brahman (Śānti Parva 349.67)
nara-nārāyaṇayor jātaḥ kṛṣṇo nārāyaṇa eva ca | bhīmo naraś ca vijñeyaḥ puruṣaṇāt parantapa ||
Terjemahan: "Krishna lahir dari Nara-Narayana. Bhima adalah Nara, dan Krishna adalah Narayana."
Berarti Krishna adalah bagian dari pasangan avatar, bukan Brahman yang mutlak.
5. Lanjutan: Bhagavad Gita 18.65–66
man-manā bhava mad-bhakto mad-yājī māṁ namaskuru | mām evaiṣyasi satyaṁ te pratijāne priyo 'si me || 18.65
sarva-dharmān parityajya mām ekaṁ śaraṇaṁ vraja | ahaṁ tvāṁ sarva-pāpebhyo mokṣayiṣyāmi mā śucaḥ || 18.66
Kedua sloka ini dijadikan basis oleh Hare Krishna untuk menyatakan bahwa Krishna mengajak umat manusia meninggalkan segala bentuk dharma untuk berserah total pada diri-Nya sebagai Tuhan.
Namun — mari kita uji ini dengan Mahabharata dan Harivamsa:
Harivamsa 2.125.1–6:
Krishna memohon kepada Durgā sebelum bertempur: “wahai Ibu Ilahi, berikanlah kemenangan padaku atas musuh-musuhku.”
Artinya? Krishna mengakui kekuatan ilahi lain di atas dirinya, bukan meminta makhluk berserah hanya pada dirinya sendiri.
Śānti Parva 302.3–6:
Bhīṣma berkata bahwa Tuhan sejati tidak punya rupa, tidak terikat pada nama, tidak lahir, dan tak bisa dilihat oleh mata biasa. Hanya lewat kontemplasi dan pengetahuan seseorang dapat menyatu dengan Yang Abadi.
Maka, perintah Krishna agar Arjuna berserah diri (śaraṇaṁ vraja) harus dipahami bukan pada bentuk Krishna, tetapi pada Brahman sebagai realitas sejati.
6. Pembongkaran Doktrin dari Sloka Gita 9.22
ananyāś cintayanto māṁ ye janāḥ paryupāsate | teṣāṁ nityābhiyuktānāṁ yoga-kṣemaṁ vahāmy aham || 9.22
Terjemahan: "Kepada mereka yang senantiasa tekun memuja-Ku dan merenungkan-Ku secara eksklusif, Aku pelihara kebutuhan mereka dan menjamin keselamatan mereka."
Kelompok Hare Krishna menafsirkan sloka ini sebagai jaminan bahwa Krishna secara pribadi menjaga dan menjamin keselamatan para penyembah-Nya. Tapi mari kita cermati lewat teks Harivamsa dan Mahabharata:
Harivamsa Parva 2.90.30:
svayam viṣṇur api bhūtvā yaḥ śivam arcayat purā | taṁ śivaḥ prītamanasaṁ varaṁ prādāt prajāpateḥ ||
Terjemahan: "Bahkan Viṣṇu sendiri, dahulu memuja Śiva dengan penuh cinta. Śiva, yang senang dengan pemujaan itu, memberikan anugerah agung kepadanya."
Ini menunjukkan bahwa Viṣṇu pun membutuhkan pemeliharaan, bahkan dari Śiva. Maka pernyataan dalam Gītā 9.22 adalah bentuk simbolik dalam lila avatāra, bukan jaminan literal dari Tuhan Mutlak.
Mahabharata Udyoga Parva 70.10:
satyena dharmam āpnoti vidyayā cātmadarśanam | atmanaḥ saṁyamenaiva tapaḥ svargaṁ ca vindati ||
Terjemahan: "Dengan kebenaran seseorang mencapai dharma, dengan pengetahuan ia melihat Atman; dengan pengendalian diri dan tapa, ia meraih surga."
Artinya: jalan keselamatan bukan lewat penghambaan pada sosok, tapi lewat pengetahuan diri dan tapasya.
7. Bhagavad Gita 7.7 dan Klaim “mattaḥ parataraṁ nānyat” dan Kontra Mahabharata
mattaḥ parataraṁ nānyat kiñcid asti dhanañjaya | mayi sarvam idaṁ protaṁ sūtre maṇi-gaṇā iva ||
Kelompok Hare Krishna mengklaim Krishna sebagai puncak tertinggi karena sloka ini. Tapi Mahabharata menyanggah:
Śānti Parva 348.51–52: brahmaṇaḥ parataraṁ na kiñcid asti | — "Tak ada yang lebih tinggi dari Brahman."
Bahkan Krishna dalam Mahabharata menyatakan bahwa Ia berasal dari Nārāyaṇa, bukan sebagai sumber semua.
Krishna mengklaim ini sebagai pengajar yoga, bukan sebagai deklarasi bahwa Ia adalah entitas tertinggi secara metafisik. Ia mengajarkan dari perspektif avatāra, bukan dari Brahman mutlak.
8. Gita 10.20 dan “aham ātmā” sebagai Pengajaran, Bukan Penciptaan
aham ātmā guḍākeśa sarva-bhūtāśaya-sthitaḥ | aham ādiś ca madhyaṁ ca bhūtānām anta eva ca ||
Ini adalah bahasa metaforis dari guru spiritual yang menyatu dengan kesadaran semesta. Dalam tradisi jñāna-yoga, ini adalah ungkapan dari realisasi diri, bukan penetapan keilahian pribadi.
Śānti Parva 204.8: "Seorang yogi murni yang telah menyatu dengan Brahman dapat berkata: Aham Brahmāsmi."
9. Gita 4.6–8 dan Doktrin Avatāra: Konteks Līlā, Bukan Pencipta Mutlak
ajo 'pi sann avyayātmā bhūtānām īśvaro 'pi san | prakṛtiṁ svām adhiṣṭhāya sambhavāmy ātma-māyayā || 4.6
yadā yadā hi dharmasya glānir bhavati bhārata | abhythānām adharmasya tadātmānaṁ sṛjāmy aham || 4.7
paritrāṇāya sādhūnāṁ vināśāya ca duṣkṛtām | dharma-saṁsthāpanārthāya sambhavāmi yuge yuge || 4.8
Klaim Hare Krishna: Krishna sebagai Tuhan turun dari dunia rohani ke dunia material demi menegakkan dharma. Tapi teks Mahābhārata dan Harivamsa menunjukkan sebaliknya:
Harivamsa 1.41.15–20: Para dewa memohon kepada Nārāyaṇa agar turun sebagai Krishna. Krishna adalah avatāra yang ditugaskan, bukan Tuhan yang menciptakan semua.
MB Ādi Parva 1.1.267–271: Para dewa dan rishi turun ke bumi dalam berbagai bentuk untuk membantu Krishna dan Arjuna. Krishna hanyalah bagian dari orkestrasi ilahi, bukan pusatnya.
Śānti Parva 339.76: "Para avatāra berasal dari Brahman dan kembali ke Brahman seperti percikan dari api agung."
10. Penegasan dari Śruti: Brahman Tak Berbentuk
na tasya pratimā asti (Yajurveda 32.3) "Tak ada gambar, rupa, atau bentuk bagi-Nya."
ajāyamāno bahudhā vijāyate (Rigveda 3.55.1) "Ia yang tak dilahirkan tampak seolah-olah lahir berkali-kali."
brahmaivedam amṛtam purastād (Muṇḍaka Upaniṣad 2.2.11) "Hanya Brahmanlah yang abadi, dahulu, sekarang, dan selamanya."
yasya nāma mahad yaśaḥ (Ṛgveda 1.164.46) "Nama-Nya agung, tapi Ia sendiri tidak dinamai."
nāyam ātmā pravacanena labhyo na medhayā na bahunā śrutena | yam evaiṣa vṛṇute tena labhyas tasyaiṣa ātmā vivṛṇute tanūṁ svām ||
(Muṇḍaka Upaniṣad 3.2.3)
"Atman tidak dapat dicapai melalui banyak bacaan atau pengetahuan; hanya bagi mereka yang sepenuhnya memilih-Nya, Atman menampakkan Diri."
Dan juga:
neti neti — Bukan ini, bukan itu (Bṛhadāraṇyaka Upaniṣad 3.8.8)
Artinya: Tuhan bukan sosok Krishna, bukan avatāra, bukan bentuk, tapi Kesadaran tak berbentuk yang melampaui segalanya.
Kesimpulan Final
Semua sloka yang dijadikan dasar pemujaan Krishna sebagai Tuhan literal, jika dikembalikan ke Mahabharata dan Harivamsa, justru menunjukkan bahwa Krishna:
Dilahirkan, menjalani masa kanak-kanak,
Belajar, bertarung, menikah, dan mati tertusuk panah,
Mendirikan kerajaan dan memohon kepada Durgā dan Śiva,
Dan akhirnya lebur sebagai roh seperti makhluk lainnya.
Tuhan sejati tidak mati oleh panah, tidak memuja dewa lain, dan tidak menyuruh manusia mencintai sosok. Ia hanya mengajak: Sadari Aku, sebagai Dirimu Sendiri.
Sloka-sloka Gita yang dijadikan dalih kultus figur Krishna justru bila ditelusuri dalam Mahabharata dan Harivamsa akan membongkar bahwa Krishna sendiri menyembah kekuatan ilahi lain, lahir, berubah, dan mati.
Krishna adalah cerminan kesadaran tinggi, bukan objek kultus. Ia menuntun ke Brahman, bukan ke dirinya sendiri sebagai Tuhan.
Brahmanlah satu-satunya realitas. Krishna hanyalah alat.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar