Google+

Tuhan Bukan Tokoh Cerita: Bantahan Pedas untuk Para Pemuja Puraṇa

 

“Tuhan Bukan Tokoh Cerita: Bantahan Pedas untuk Para Pemuja Purāṇa”

agar diingat kembali, Sruti (Veda dan Upaniṣad) adalah wahyu langsung, tidak diciptakan (apauruṣeya), disabdakan oleh Brahman sendiri, didengar oleh para ṛṣi. Sedangkan Puraṇa adalah Smṛti: karya naratif yang dibuat manusia, ditulis untuk menjelaskan filsafat kepada masyarakat umum melalui simbol dan cerita.

Puraṇa Bukan Sruti: Jangan Tukar Dongeng dengan Wahyu

Mari kita mulai dari dasar epistemologis Hindu:

Rigveda 10.90 (Puruṣa Sūkta) dengan jelas mengatakan:

"Vedāḥ asya etasmāt jātaḥ" – Veda berasal dari Puruṣa, bukan dari siapa pun selain Brahman itu sendiri.

Sedangkan Puraṇa?

Ditulis ratusan tahun setelah Mahābhārata, sering kali oleh pengikut sekte tertentu untuk menonjolkan avatāra atau dewa tertentu.

Kalau kalian menjadikan cerita seperti “Siwa menyembah Kṛṣṇa” dari Brahma Vaivarta Purana sebagai dalil teologis, itu sama saja seperti menjadikan komik Marvel sebagai hukum kosmologi. Serius, bro.


Kalau Mau Menyembah Tuhan, Jangan Salah Alamat!

Serius bro, ada satu penyakit spiritual kronis yang makin mewabah belakangan ini: menyembah tokoh dalam cerita, bukannya kembali kepada cahaya wahyu. Dan penyakit ini lagi naik daun lewat propaganda kelompok-kelompok yang dengan semangat mengutip Purāṇa murahan dan menyebutnya “bukti ilahi”.

Kamu pernah dengar ini?

“Siwa bersujud di hadapan Kṛṣṇa, penuh air mata haru…”

Wahai para pembaca dongeng religius… mari kita tabuh nalar kalian!


Puraṇa = Cerita Hiburan, Bukan Kebenaran Wahyu

Purāṇa itu Smṛti, bukan Sruti.
Artinya? Itu cerita buatan manusia, bukan sabda Tuhan.

Kalau kamu lebih percaya Brahma Vaivarta Purāṇa daripada Upaniṣad, sama aja kamu lebih percaya sinetron India ketimbang kitab hukum.

Dalam Śruti tidak ada satu sloka pun yang menyatakan Siwa bersujud di hadapan Krishna.

Tapi mereka bilang: “Lihat, dalam Brahma Vaivarta, Siwa menangis di depan Kṛṣṇa!”
Balas saja:

“Bro, kamu menyembah air mata fiksi?”

Tuhan Tak Menyembah Apapun: Apakah Kṛṣṇa Lebih Tinggi dari Siwa?

Logikanya begini:

  • Kalau Siwa menyembah Kṛṣṇa, maka ada hierarki antar Tuhan, padahal Veda tidak mengajarkan politeisme subordinatif.

  • Yang diajarkan adalah Ekaṁ sat viprā bahudhā vadanti – “Yang Satu itu disebut dengan banyak nama” (Rigveda 1.164.46).

Itu artinya, Viṣṇu, Śiva, Brahmā, semuanya adalah manifestasi dari satu Brahman, bukan saling menyembah satu sama lain.

Kalau kalian percaya bahwa Siwa “sujud” pada Kṛṣṇa karena cerita Puraṇa, itu artinya kalian sudah turun derajat spiritual: dari pencari kebenaran menjadi pemuja kisah fiktif.

Tidak ada satu pun sloka dari Veda atau Upaniṣad yang menyebut bahwa Śiva menyembah Kṛṣṇa. Yang ada justru menegaskan bahwa Tuhan sejati adalah nirākāra, melampaui bentuk, dan bisa dikenali hanya lewat jñāna (pengetahuan), bukan bentuk manusia.

Contohnya:

  • Śvetāśvatara Upaniṣad 6.11:

    "ekaḥ devo nityaḥ sarvavyāpī…"
    “Hanya ada satu Tuhan, kekal dan meresap ke mana-mana…”

  • Muṇḍaka Upaniṣad 1.1.6:

    "yasmin vijñāte sarvam evam vijñātam bhavati"
    “Dengan mengetahui-Nya, segalanya menjadi diketahui.”

Yang dijadikan sasaran japa dan bhakti bukanlah bentuk Kṛṣṇa sebagai manusia, tapi Paramātmā yang hadir dalam diri sebagai saksi sejati.


Sruti Itu Sumbernya Tuhan. Puraṇa Itu Fiksi Sektarian

Kebenaran itu lahir dari Sruti, bukan dari cerita karangan tukang dongeng bhakta fanatik. Mari kita ingat:

>>Rigveda 1.164.46: “Ekam sat viprā bahudhā vadanti” – Yang satu disebut dengan banyak nama.

Artinya Viṣṇu, Śiva, Brahmā, Kṛṣṇa semua adalah manifestasi dari satu prinsip ilahi, Brahman, bukan saling menyembah satu sama lain. Menyatakan Siwa menyembah Krishna itu tidak hanya sesat logika, tapi juga menghina tatanan metafisika Veda.


Kṛṣṇa Sendiri Menolak Disembah Sebagai Sosok Pribadi!

Dalam Bhagavad Gītā 7.24, Kṛṣṇa sudah ngomong sendiri:

"avyaktaṁ vyaktim āpannaṁ manyante mām abuddhayaḥ"
“Orang bodoh mengira Aku menjadi pribadi, padahal Aku tak berwujud.”

Tapi pemuja Purāṇa malah menjadikan avatāra sebagai Tuhan mutlak.
Itu bukan bhakti, bro, itu downgrade spiritual!


Siwa dalam Sruti adalah Yogi Agung, Bukan Bhakta Kṛṣṇa

Dalam Śvetāśvatara Upaniṣad, Siwa disebut sebagai Yogi tertinggi, sebagai wujud Brahman dalam bentuk kontemplasi—bukan sebagai pelayan istana kerajaan Dvārakā.

Yang disembah oleh para dewa adalah prinsip Brahman, bukan satu sosok avatāra manusia yang muncul dalam cerita rakyat.

Kalau Siwa bisa “menyembah Kṛṣṇa” dalam cerita Purāṇa, maka bisa jadi minggu depan ada cerita baru: Ganapati jadi sopir bajaj Narayana, atau Brahmā kerja paruh waktu jadi penjaga parkir Vaikuṇṭha. Serius, sampai kapan kalian hidup dalam komedi spiritual ini?


Itihāsa > Purāṇa: Mahābhārata Masih Waras

Kalau memang ingin belajar dari narasi, Mahābhārata dan Rāmāyaṇa (Itihāsa) jauh lebih bermutu dan jujur secara filosofis. 

Mahābhārata, yang disebut Itihāsa (sejarah), jauh lebih logis dan filosofis.

  • Kṛṣṇa tidak pernah memerintah agar dirinya disembah sebagai Tuhan. Kṛṣṇa tidak pernah menyatakan dirinya sebagai Tuhan tertinggi dalam bentuk pribadi—dia berulang kali menjelaskan bahwa semua ini adalah manifestasi dari Brahman.

  • Śiva tidak pernah diposisikan sebagai pengikut Kṛṣṇa.

  • Arjuna tidak berubah jadi pemuja avatāra, tapi menjadi pengabdi Brahman melalui Dharma.

Itulah kenapa Bhagavad Gītā diajarkan di medan perang—bukan di panggung pertunjukan seperti kisah Brahma Vaivarta Purāṇa.


Di Bali Saja Para Dewa “Dipekerjakan”—Tapi Ada Etika Spiritual

Dalam kawisesan Bali, benar bahwa mantra bisa “mengundang” para dewa. Tapi bukan untuk disembah sebagai yang tertinggi, melainkan sebagai fungsi kosmik. Bahkan dalam sistem itu, para dewa tidak disembah seperti fanatik sektarian, melainkan dimohonkan untuk menjadi perpanjangan kehendak Brahman.

Dalam tantra kawisesan Bali dewa bisa “dipekerjakan” untuk keperluan ritual, ini bukan karena dewa lebih rendah, tapi karena dalam sistem itu, mantra dan niat manusia (adhyatma śakti) menjadi alat untuk memanifestasikan aspek dewa sesuai kehendak Tuhan di dalam diri. Tapi jangan salah kaprah: ini bukan pembenaran untuk menyembah manusia atau mengangkat avatāra jadi atma tertinggi. Dalam kawisesan pun yang tertinggi adalah Sang Hyang Tunggal, Śunya, Brahman, Ida Sang Hyang Widhi Wasa—bukan avatāra.

Kalau orang Bali paham bahwa Atma itulah yang tertinggi,
kenapa kamu malah menyembah karakter Purāṇa yang bisa berubah-ubah tiap versi?


Jangan Jadi Pemuja Dongeng, Jadilah Pencari Kebenaran!

Kepada kalian yang masih memuja Kṛṣṇa sebagai Tuhan absolut berdasar cerita Siwa menangis di hadapan-Nya, coba tanya dirimu:

  • Apakah kamu menyembah kebenaran, atau menyembah skenario?

  • Apakah kamu menyembah Brahman nirākāra, atau aktor spiritual Purāṇa?

Beragama Jangan Menyembah Cerita, Kembalilah ke Cahaya Wahyu

Saudaraku yang masih mabuk Puraṇa dan berkhayal bahwa Tuhan punya wujud, mohon sadar:

  • Kalau kamu beragama dengan menyembah tokoh dalam cerita, kamu hanya menjadi pembaca kisah, bukan penyaksi kebenaran.

  • Belajarlah pada Veda dan Upaniṣad, di sanalah Tuhan (kesadaran) berbicara langsung.

  • Jangan jadikan devosi buta sebagai pengganti pengetahuan suci.

  • Dewa tidak menyembah siapa pun. Dewa adalah fungsi dari satu Brahman yang abadi. Kembali pada-Nya bukan dengan memuja nama, tapi mengenali kehadiran-Nya dalam diri.

Kalau kamu ingin kembali pada cahaya, tinggalkan cerita.
Kalau kamu ingin mengenal Tuhan, jangan baca narasi, dengarkan Sruti.

“na tasya pratimā asti” – “Tidak ada satu pun bentuk-Nya.” (Yajurveda 32.3)

Berhentilah menyembah bentuk.
Berhentilah menyembah air mata Siwa.
Mulailah menyembah yang tak berbentuk, tak bernama, tapi meliputi segalanya: Brahman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar