Google+

Kiamat dan Pralaya

Kiamat dan Pralaya

Photobucket 
Kiamat merupakan istilah agama-agama rumpun Yahudi (Abrahamic religions) dari setiap agama tersebut berkembang makna hari kiamat yang cukup banyak baik menurut Islam, Kristen maupun Yahudi. Secara umum kiamat dapat diartikan hari kehancuran alam semesta.

”..matahari akan menjadi gelap, dan bulan tidak lagi bercahaya. Bintang-bintang akan jatuh dari langit, kuasa-kuasa langit akan goncang, dan para penguasa angkasa raya akan menjadi kacau-balau. [Matius 24:29, Markus 13:24-25]

”..pada matahari, bulan, dan bintang-bintang akan kelihatan tanda-tanda. Di bumi, bangsa-bangsa akan takut dan bingung menghadapi deru dan ge-lora laut. Manusia akan takut setengah mati menghadapi apa yang akan terjadi di seluruh dunia ini, sebab para pengu-asa angkasa raya akan menjadi kacau-balau. [Lukas:21:25-26]

Surga? Pastilah…Neraka?? Mmm nggak pasti ya…

Surga? Pastilah…Neraka?? Mmm nggak pasti ya…

Photobucket

BIRMINGHAM, ALABAMA,USA: hanya 59 % warga Amerika yang percaya adanya neraka, dibandingkan dengan 74 % yang percaya dengan sorga, ini menurut hasil jejak pendapat terakhir dari Forum Pew tentang agama dan kehidupan masyarakat.

Pendeta Fred John, pastur Gereja Brookview Wesleyan di Irondale, Alabama berkata bahwa pastur berusaha menghindar dari topik tentang kutukan neraka abadi. “Kami khawatir kepercayaan tentang neraka abadi ini akan tidak relevan,” katanya.

Paus Yohanes Paulus II memancing diskusi hangat tahun 1999 ketika menggambarkan neraka sebagai “kondisi di mana seseorang bebas dan terpisah dari Tuhan, sumber dari segala kehidupan dan kebahagian.”

Namun sejumlah ahli Kristen AS menggambarkan akan terjadi salah persepsi sebagai akibat menggambarkan neraka sebagai perpisahan abstrak dari Tuhan dibandingkan dengan menggambarkan neraka sebagai danau kutukan dengan api sangat panas dan abadi, sebuah konsep yang mereka (kaum Kristen) lebih sukai.

HPI mencatat:
  • Kosmology Hindu sangat berbeda dengan Kristen,
  • Hindu menyebutkan tentang tingkatan-tingkatan alam rohani di mana para dewa dan Tuhan berstana, dan juga menggambarkan adanya tempat penghukuman yang disebut sebagai Neraka Loka.
  • menurut pandangan Hindu, seseorang tidak akan dikutuk abadi (selamanya seperti di kepercayaan Kristen), melainkan tiap jiwa hanya menempati alam-alam tersebut.
  • (sorga/neraka) secara sementara karena tiap roh akan ber-evolusi melalui reinkarnasi (lahir kembali ke bumi berulang-ulang) ].
Sumber: mediahindu.net/index.php/berita-dan-artikel/artikel-umum/52-surga-pastilah-neraka-mmm-nggak-pasti-ya.html 
baca juga artikel yang berkaitan dengan Surga dan Neraka berikut ini:
demikianlah sekilas copas artikel dari media hindu tentang pilahan umat, sorga atau neraka. senoga bermanfaat.

Karma

Karma
Oleh : Ngakan Putu Putra

Photobucket

Beberapa waktu yang lalu saya mengikuti suatu ceramah yang cukup serius: tentang bagaimana menentukan seseorang itu miskin? Apa kriteria seorang disebut miskin? Kriteria ini diperlukan oleh pemerintah untuk memberi bantuan langsung tunai (BLT) terkait dengan kenaikan harga BBM. Para ahli dari berbagai bidang dikumpulkan. Berbagai teori dibahas. Akhirnya disimpulkan seorang atau satu keluarga disebut miskin bila rumahnya masih berlantai tanah.

Bung Karno dan Bhagawadgita

Bung Karno dan Bhagawadgita

Photobucket

Dalam pidato pembelaannya di depan pengadilan kolonial Belanda pada tahun 1929/1930 Bung Karno mengutip Bagawad Gita sloka 23, 24 dan 25 sbb:

"Weapon do not cut This,
Fire does not burn This,
Water does not wet This,
Wind does not dry This.

Indeed : It is uncleavable
It is non-inflameable
It is unwetable and undryable also!
Everlasting, all-pervading, stable, immobile,
It is Eternal. The Soul and The Spirit


Bung Karno menerjemahkan sloka diatas sbb :

"Ketahuilah! Senjata tiada menyinggung hidup,
Api tiada membakar, tiada air membasahi,
Tiada angus oleh angin yang panas,

Tiada tertembusi, tiada terserang, tiada terpijak.
Dan merdeka, kekal-abadi, dimana-mana tetap tegak.
Tiada nampak, terucapkan tiada.
Tiada terangkum oleh kata, dan pikiran.
Senantiasa pribadi tetap!
Begitulah disebut Jiwa."

(Bung Karno dalam "KEPADA BANGSAKU" tahun 1948)

Setelah diucapkan di depan hakim kolonial di Bandung, sloka di atas sering diulang-ulang lagi dalam revolusi fisik untuk menggelorakan Jiwa dan semangat perjuangan melawan kekejaman dan ketidak-adilan.

Sangat menarik, bahwa sloka di atas diangkat kembali oleh Dr H Roeslan Abdulgani dalam tulisannya di Harian Rakyat Merdeka tanggal 23 April 1999 yang dikaitkan dengan makna tahun baru Hijrah (Islam) dan Suro (Jawa). Kita kutip pernyataan tokoh nasional dan intelektual ini sbb : "Kinipun Jiwa itu secara aktif dibangkitkan kembali oleh para pemimpin dan rakyat kita yang peduli untuk mengatasi krisis multi-dimensional sekarang. Jalan ini merupakan jalan moral dan etika yang religius-Tuhaniyah. Ia diarahkan ke alam bathin kita sendiri. Ke arah mawas diri sebagai langkah pertama ke arah self-koreksi yang sangat diperlukan dalam melaksanakan Reformasi sekarang.

Dalam persepsi kita, maka Baghawad Gita adalah suatu allegori. Suatu tamsil serta ibarat yang falsafati sangat mendalam dan luas sekali. Sangat religius dan penuh mistik.

Oleh: NP. Putra
Sumber: iloveblue.com/bali_gaul_funky/artikel_bali/detail/605.htm

Kita Semua Hindu Sekarang

Kita Semua Hindu Sekarang

Photobucket
Oleh: Lisa Miler
(Dari We Are All Hindus Now,NEWSWEEK 15 Agustus 2009. Diterjemahkan oleh Sang Ayu Putu Renny).

Amerika bukan satu bangsa Kristen.
Kita, adalah benar, satu bangsa yang dirikan oleh orang-orang Kristen, dan menurut survei tahun 2008, 76 persen dari kita terus mengidentifikasikan diri kita sebagai orang Kristen (tapi, itu adalah persentase terendah dalam sejarah Amerika). Tentu saja, kita juga bukan satu bangsa Hindu — atau Muslim, atau Yahudi, atau Wiccan. Satu juta lebih orang Hindu hidup di Amerika Serikat, satu bagian kecil dari semilyar yang hidup di atas Bumi. Tetapi data pengumpulan pendapat (poll) terakhir menunjukkan bahwa secara konseptual, paling tidak, kita secara perlahan-lahan semakin menjadi lebih sebagai orang Hindu dan semakin kurang sebagai orang Kristen tradisional dalam cara-cara kita berpikir tentang Tuhan, diri kita sendiri, hubungan dengan yang lain, dan keabadian.

Rig Veda, Pustaka Suci Hindu yang amat kuno, mengatakan ini: ”Kebenaran adalah Satu, tetapi para maharsi menyebutnya dengan banyak nama.”

Photobucket

Seorang Hindu percaya ada banyak jalan menuju Tuhan.
Yoga adalah satu jalan,
Jesus adalah satu jalan lain, Qur’an adalah jalan yang lain lagi.
Tidak satu pun lebih baik dari yang lain; semuanya sejajar. Orang-orang Kristen yang paling tradisional, paling konservatif tidak pernah diajarkan untuk berpikir seperti ini. Mereka belajar di sekolah Minggu bahwa agama mereka adalah benar, dan yang lain palsu. Jesus berkata, “Aku adalah jalan, kebenaran, dan hidup. Tidak seorang pun datang pada bapa kecuali melalui aku.”

Orang-orang Amerika tidak lagi membeli (percaya) dengan hal semacam ini.
menurut survei Pew Forum tahun 2008, 65 persen dari kita (orang Amerika, red) percaya bahwa “banyak agama dapat membawa kepada kehidupan abadi”—termasuk 37 persen orang-orang evangelikal putih (kelompok Kristen yang fanatik yang giat melakukan konversi, red), kelompok ini kebanyakan tampaknya percaya bahwa keselamatan adalah bagi mereka sendiri. Juga, jumlah orang-orang yang mencari kebenaran spiritual di luar gereja semakin bertambah. Tiga puluh persen (30%) orang Amerika menyebut diri mereka “spiritual, tidak religius,” menurut pengumpulan pendapat oleh NEWSWEEK tahun 2009, naik dari 24 persen dalam tahun 2005.

Stephen Prothero, profesor agama di Boston University, sejak lama membingkai kecendrungan orang Amerika untuk ”the livine-deli-cafeteria religion” (agama-kafetaria-manisansuci) sebagai ”sangat banyak dalam semangat atau spirit dari agama Hindu. Anda tidak sedang mencomot dan memilih dari agama-agama yang berbeda, karena mereka semua sama,” katanya. ”Ini bukan mengenai ortodoksi. Ini mengenai apa pun yang bekerja/berhasil. Bila pergi ke yoga berhasil, hebat dan bila pergi ke misa Katolik berhasil, hebat. Dan bila pergi ke misa Katolik ditambah yoga plus retreat Buddhist berhasil, itu pun hebat juga.”

Lalu ada pertanyaan tentang apa yang terjadi ketika kita mati.
Orang-orang Kristen secara tradisional percaya bahwa badan-badan dan jiwa-jiwa adalah suci, bahwa bersama mereka membentuk sang ”diri,” dan bahwa pada akhir jaman mereka akan disatukan di dalam Kebangkitan Tubuh (Resurrection). Kamu memerlukan keduanya, dalam kata lain, kamu memerlukan mereka untuk selamanya. Orang-orang Hindu tidak percaya dengan hal semacam itu. Pada waktu kematian, badan dibakar dalam api kremasi, sementara jiwa— di mana identitas berada (sang diri yang sebenarnya, red)— keluar dari badan. Dalam reinkarnasi, salah satu kepercayaan pokok agama Hindu, sang diri (jiwa, red) kembali ke bumi berulang kali dalam badan-badan yang berbeda.

Jadi inilah cara lain di mana orang-orang Amerika menjadi lebih Hindu: 24 persen orang-orang Amerika mengatakan mereka percaya akan reinkarnasi, menurut lembaga pengumpul pendapat Harris (Harris poll) tahun 2008. Demikian agnostiknya kita tentang nasib terakhir dari badan-badan kita bahwa kita membakarnya seperti orang Hindu setelah kematian. Lebih dari sepertiga orang-orang Amerika sekarang memilih kremasi, menurut Assosiasi Kremasi Amerika Utara (Cremation Association of North America), naik dari 6 persen pada tahun 1975. “Saya sungguh-sungguh berpikir semakin spiritual peran agama cenderung mengurangi penekanan beberapa dari interpretasi yang sangat kasar dari dogma Kebangkitan Tubuh (Resurrection),” kata Diana Eck, profesor perbandingan agama di Harvard University.

Jadi marilah kita semua katakan “Om.”
Photobucket

Sumber: mediahindu.net/index.php/berita-dan-artikel/artikel-umum/55-kita-semua-hindu-sekarang.html

Yajna yang Efektif, Efisien, Praktis dan Sattvika

Yajna yang Efektif, Efisien, Praktis dan Sattvika

Photobucket

“Kramanya sang kuningkin akarya sanista, madya, uttama. Manah lega dadi ayu, aywa ngalem druwenya. Mwang kemagutan kaliliraning wwang atuha, away mengambekang krodha mwang ujar gangsul, ujar menak juga kawedar denira. Mangkana kramaning sang ngarepang karya away simpanging budhi mwang krodha”
artinya:
Tata cara bagi mereka yang bersiap-siap akan melaksanakan upacara kanista, madya atau uttama. Pikiran yang tenang dan ikhlaslah yang menjadikannya baik. Janganlah tidak ikhlas atau terlalu menyayangi harta benda yang diperlukan untuk yajna. Janganlah menentang petunjuk orang tua (orang yang dituakan), janganlah berprilaku marah dan mengeluarkan kata-kata yang sumbang dan kasar. Kata-kata yang baik dan enak didengar itu juga hendaknya diucapkan. Demikianlah tata-caranya orang yang akan melaksanakan yajna. Jangan menyimpang dari budhi baik dan jangan menampilkan kemarahan. (Sumber: Lontar Dewa Tattwa)

Pustaka Suci Hindu memandang perempuan sejajar

Pustaka Suci Hindu memandang perempuan sejajar

Di dalam kebanyakan negara dewasa ini indikator sosial ekonomi umumnya memperlihatkan bahwa kaum perempuan tetinggal di belakang laki-laki. Mahatma Gandhi menulis bahwa cara kita memperlakukan kaum perempuan kita adalah salah satu indikator dari barbarisme. Laki-laki boleh saja memiliki enerji fisik yang lebih besar dari pada perempuan, tapi perempuan jelaslah mempunyai enerji internal dan emosional lebih banyak.

Catatan dokumenter mengenai perempuan dalam agama Hindu tergantung dari pustaka suci khusus dan konteksnya. Satu-satunya otoritas tertinggi dalam praktik-praktik agama Hindu adalah Veda.

Photobucket

Bahwa perempuan dan laki-laki adalah sejajar di mata dharma (kebenaran) dibuat eksplisit dalam satu mantra indah Rigveda: ”O perempuan! Mantra-mantra ini (japa suci) diberikan kepadamu secara sejajar (seperti kepada laki-laki). Semoga pikiranmu, juga, harmonis. Semoga sidang-sidangmu terbuka bagi semua tanpa diskriminasi.”

Arjuna, Perempuan dan Pragmatisme

Arjuna, Perempuan dan Pragmatisme

Pragmatisme. Orang mulai dekat dengannya sejak pertengahan abad 19, ketika William James juga John Dewey melambungkannya melalui simpul-pendapat filosofis. Tradisi pragmatisme memang belum terlalu tua. Tetapi di Timur, jauh sebelumnya, budaya yang satu ini telah dititipkan melalui Arjuna, tokoh penuh aksi dari dunia pewayangan.

Satu carang cerita ini kita mulai. Saat itu udara terasa mamung. Di bagian yang agak sepi Bhatara Narada tergopoh menemui Arjuna. Rupanya, hari itu ada kabar buruk menghampiri ksatria Pandawa ini.

“Cucuku, Putra Kunti, dengarlah,” utusan itu mendekat ke telinga Arjuna, “Niwatekwaca, raja raksasa itu, kian jauh terjerumus oleh kesaktiannya sendiri. Di tangannya kehancuran dunia menunggu. Bahkan saat ini ia tengah mengarahkan invasinya ke Indraloka, kerajaan dewata.”

Mendengar itu orang-orang tercenung. Arjuna kaget setengah mati dan menyela, “Maaf, apa yang hamba bisa haturkan, Paduka Guru?” tanyanya parau dalam nada bergetar.

“Cucuku, sudahilah keangkaramurkaan tak terampuni itu…” pesannya.

Arjuna bergegas. Ia mendekati gerbang Kerajaan Niwatekwaca. Bangunan itu tampak kukuh dan menjulang dari kejauhan, lambang megahnya kekuasaan Sang Raja. Arjuna termenung. Rupanya ia sedang menimbang-nimbang pikiran. Sesaat ia melonjak, seperti menemukan sesuatu, mungkin taktik, “Inilah waktunya,” pikirnya, “aku memerlukan campur tangan perempuan.”

Lantas ia minta dikirimi seorang bidadari, Dewi Supraba. Perempuan berparas ayu ini kemudian disusupkan mendekati Raja Niwatekwaca. Supraba berbicara dengan senyum dan mata menggoda, hingga raja segera jatuh cinta dan bernafsu memperistrinya. Sebelum setuju diperistri, Supraba mendesak Niwatekwaca menceritakan kesaktian sekaligus kelemahannya.

Perempuan memang kadang mudah membuat laki-laki ceroboh. Tanpa sadar raksasa ini menjelaskan secara detil rahasia kehebatannya.

“Kelemahan Niwatekwaca ada di pangkal lidahnya,” bisik Supraba kepada Arjuna yang telah menunggu di balik tembok istana.

Bila sebuah rahasia terbongkar di tangan yang salah akibatnya satu: fatal. Hanya lewat sebuah kesempatan, Arjuna membidikkan panahnya ke arah Niwatekwaca. Selanjutnya, mudah diduga, raksasa tangguh ini tersedak, muntah darah, tumbang berkalang tanah dengan sebilah Pasupati menerobos rongga mulutnya dan tertanam persis di pangkal lidahnya.

Dengan strategi demikian tampak licikkah Arjuna? Entah. Yang pasti sebuah misi telah diselesaikannya. Kewajiban ksatria adalah menjalankan tugas yang diletakkan di pundaknya. Apapun caranya, yang penting efektif. Dan toh setiap manusia, setiap zaman, memiliki ukuran nilainya sendiri soal ini. Barangkali ia semacam norma yang longgar, yang menghindar dari banyak keruwetan. Namun justru itu pragmatisme populer.

Pragmatisme datang karena intelektualisme dan logika formal tak dipercaya. Orang lebih menyukai manfaat praktis. Tak peduli apakah ia berasal dari pengalaman pribadi atau kebenaran mistis, yang penting bermanfaat. Kebenaran bisa datang dari segala sudut, dan juga berubah setiap saat, karena kita ini hidup di dunia yang belum selesai.

Kisah yang mirip, dimiliki para pembaca Injil. Samson, lelaki tangguh tak terkalahkan itu, juga akhirnya bertekuk lutut akibat perempuan. Delilah yang dikasihinya ternyata sewaan orang-orang Filistin, yang sebelumnya dikalahkan Samson saat mereka menyerang bangsa Ibrani. Perempuan ini berhasil membujuk Samson menceritakan rahasia kekuatannya yang terletak pada rambutnya yang panjang. Maka selagi Samson tidur Delilah memotong rambutnya. Akhirnya orang Filistin menangkap Samson, mencungkil matanya, serta menawannya di Gaza.

Praktis dan berdaya guna, itu kemudian yang dianggap penting. Meski juga tak berarti tujuan menghalalkan cara. Pragmatisme memang tak dengan sendirinya meniadakan sisi-sisi mulia kehidupan.

Dan Pasupati? Senjata kebanggaan Arjuna yang kelak menggentarkan nyali lawannya di perang Kuru itu juga didapat dengan cara yang praktis: bertapa. Syahdan, suatu hari, Arjuna bersamadi di Gunung Indrakila. Dewa Syiwa lalu mengujinya dengan mengirim tujuh bidadari dan seekor celeng ganas untuk membuat kekacauan, namun tapa Arjuna tak tergoyahkan. Atas ketekunannya, Syiwa kemudian menghadiahinya senjata pamungkas, panah Pasupati itu.

Pragmatisme macam ini memang menyenangkan. Mungkin karena ia dekat dengan wilayah ilusi kita. Cara kun fayakun (terjadilah atas kehendak Yang Kuasa) semacam itu, sebagai pegangan mistis dalam kebatinan Jawa, boleh jadi menggambarkan sisi lain dari pragmatisme kita, bahwa hasil yang baik akan dicapai dengan bertapa atau berdoa secara tekun.

Tapi tentu saja ini bukan saran agar kita rajin-rajin pergi ke gunung, lalu bersila dan bersamadi di sana untuk memperoleh hadiah dari dewa seperti halnya Arjuna. Sebab itu cuma cerita, kiasan, dan simbol! Dan pragmatisme adalah soal visi manajemen, cara berusaha dan bekerja efisien, siasat efektif manusia membuat dunia ini lebih baik dengan akal dan tenaganya.

Oleh: Nyoman Sukaya Sukawati, mediahindu.net/index.php/berita-dan-artikel/artikel-umum/3-arjuna-perempuan-dan-pragmatisme.html