Panca Wara
adalah nama dari sebuah pekan atau minggu yang terdiri dari 5 hari, dalam budaya Jawa dan Bali. Panca wara juga disebut sebagai hari pasaran dalam bahasa Jawa karena beberapa pasar tradisional pada zaman dahulu hanya buka pada hari tertentu saja, misalkan Pasar Legi dan Pasar Pon di Solo hanya buka pada hari Legi dan Pon saja dalam satu minggu kalender Jawa (siklus 5 hari).
Dalam sistem penanggalan Jawa dan Bali, terdapat 2 macam siklus waktu: siklus mingguan dan siklus pasaran. Dalam siklus mingguan (Sapta Wara), satu minggu dibagi menjadi 7 hari, seperti yang kita kenal sekarang (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Minggu). Dalam siklus pasaran, satu pekan terdiri dari 5 hari pasaran.
Pancawara adalah siklus lima harian dalam wewaran.
Unsur-unsurnya adalah Pon, Wage, Kliwon, Umanis dan Paing.
Sebagai wewaran yang berpengaruh langsung terhadap kehidupan manusia, sifat pancawara ini sangat unik. Nenek moyang kita mengumpamakan sifat hari ini sebagai sifat binatang. Bukan martabat kebinatangannya yang ditekankan disini, tetapi sebagai pencerminan agar yang bersangkutan dapat menganalisa, merenung sifat dan laku masing-masing yang di depan cermin. Asal muasal nama-nama ini sangat misterius. Konon simbolisasi dari posisi (patrap) bulan seperti:
- Umanis or Legi symbolizes retreat (mungkur) Rasa
- Paing or Pait symbolizes to face or appear in front of (madep) Cipta
- Pon or Petak symbolizes sleep (sare, tilem, sirep) Idep
- Wage or Cemeng symbolizes sit down (lenggah, negak) Angen
- Kliwon or Kasih symbolizes stand-up (jumeneng, mejujuk) Budi
Menurut kalender Jawa, tiap hari dan tanggal dalam sistem kalender Masehi selalu mempunyai dua macam nama hari. Misalnya 1 Januari 2001 adalah hari Senin - Paing, berikutnya tanggal 2 Januari 2001 adalah hari Selasa - Pon, kemudian diikuti hari Rabu - Wage, disusul hari Kamis - Kliwon, Jumat - Legi, Sabtu - Paing, Minggu - Pon, Senin - Wage, Selasa - Kliwon, dan seterusnya. Kombinasi dua macam hari ini sampai sekarang masih dipakai dalam penerbitan surat khabar berbahasa Jawa, seperti harian Kedaulatan Rakyat yang terbit di kota Yogyakarta, misalnya.
sifat - sifat Pancawara:
- Umanis (Legi) Sifatnya seperti kucing dan tikus. Sifat kucing: peka, jinak, periang seperti tidak punya beban. Jeleknya kalau dihalangi, sifatnya jadi penuh curiga. Bisa bergaul dengan siapa saja. Sifatnya tikus: Malam tidak tidur, waspada, sangat berhati-hati. Sering kebingungan oleh ulahnya sendiri. Makan hanya sedikit. Berbisa gigitannya, sebarang yang digigit cepat mati. Pendendam. Sering menjadi korban orang lain. Besar rejekinya tetapi juga besar tantangannya.
- Paing (Jenar) Sifatnya seperti harimau, jauh jarak jelajahnya, mandiri sekali, jarang makannya karena kuat menahan lapar sampai suatu saat menjadi piaraan raja. Banyak musuhnya, sangat berbahaya kalau didahului, tetapi kalau mendahului tidak merasa bersalah. Gemar kebersihan. Besar nafsu birahinya. Mudah diperdaya.
- Pon (Seta, Palguna) Sifatnya seperti kambing. Perginya tidak terlalu jauh, yang dimakan hanya rumput, tidak merugikan orang lain. Sering menanduk keluarganya sendiri, pendek pertimbangannya. Sering mengamuk, berani kepada penggembalanya. Kalau sedang marah sulit diredakan. Hidupnya tidak berlebihan tetapi berkecukupan.
- Wage (Cemeng, Kresna, Langking) Sifatnya seperti sapi. Menuruti apapun yang diperintahkan penggembalanya, tetapi makanannya harus disediakan, manja. Marah jika terlalu sering dicambuk. Kalau sampai menanduk resikonya besar. Tidak terlalu memburu makanan. Kalau sudah makan lupa kepada saudara. Lurus tindakannya tetapi sering kena fitnah.
- Kliwon (Kasih) Sifatnya seperti kera dan anjing. Kontroversial. Pandai berbicara, tajam ingatannya. Sifatnya kera: suka memanjat, galak, tidak bisa jinak. Daerah manapun dijelajahinya. Meskipun diberi makan, masih mau menggigit dan melecehkan si pemberi. Tidak bisa didekati dan diajak berkompromi. Sifatnya anjing: Setia dan menurut kepada tuannya, tetapi apapun dimakannya. Yang diburu kesenangan saja. Besar ambisinya. Tidak banyak rintangannya.
Dari salah satu sumber dikatakan bahwa Wariga-Bintang yang mengadakan Panca Wara di Bhuwana Agung, yang terdiri dari :
- Umanis, urip-nya 5, sebagai penggerak semesta, diayomi Sanghyang Iswara.
- Paing, urip-nya 9, sebagai pencipta semesta, diayomi Sanghyang Brahma.
- Pon, urip-nya 7, sebagai penguasa semesta, diayomi Sanghyang Mahadewa.
- Wage, urip-nya 4, sebagai pemelihara, diayomi oleh Sanghyang Wisnu.
- Keliwon, urip-nya 8, sebagai pelebur ( perubah ), diayomi oleh Sanghyang Siwa.
Selanjutnya, vibrasi Panca Wara di Bhuwana Agung ini akan turun ke Bhawana dan memasuki segala kehidupan yang ada di muka Bumi, serta mengarah kepada yang lebih baik dan benar. Nah, khusus pengaruhnya setelah masuk ke dalam tubuh manusia ( Bhuwana Alit ), maka keberadaannya menjadi sebagai berikut :
- Pengaruh Umanis ada pada sinar mata ( soca ), sebagai penglihatan.
- Pengaruh Paing ada pada mulut, khususnya kepada inti ( guna dari ucapan ),
- Pengaruh Pwon ada pada daya serap telinga, sebagai pendengaran,
- Pengaruh Wage ada pada guna hidung, penciuman ( penikmat bau ),
- Pengaruh Keliwon ada pada daya guna olahan lidah ( pengatur ucapan ).
Istilah Wariga berasal dari bahasa Bali Kuna yang artinya Bintang. Dan makna Bintang yang dimaksud dalam konteks ini adalah Bintang Lima, yang terdiri dari :
- Bintang Kartika dan Bintang Uluku yang pada masa itu dipakai acuan sebagai Tengeran Sasih.
- Bintang Siang yang saat ini dinamakan Bintang Timur, sebagai pertanda hari menjelang pagi.
- Bintang Erang-erang sebagai pertanda hari menjelang malam.
- Bintang Timbang dipakai sebagai tanda penunjuk arah Selatan, juga sebagai cermin untuk mengetahui Sang Waktu.
Sejak dulu, Bintang ini dikatakan sebagai salah satu sumber kehidupan di Alam Langit yang memberi pengaruh ambek kepada manusia. Bintang pada waktu malam hari menciptakan kelembaban hawa ( udara ) yang berbeda-beda. Dan dengan intensitas kelembaban udara yang berbeda-beda inilah menjadi penyebab timbulnya pusaran angin. Atas dasar itu Panca Wara disebut juga Uriping Angin.
Seperti ini kronologisnya. Vibrasi murni dari para Dewa ( Div, sinar ) bergerak dari Alam Langit ( Alam Swah ) menuju ke Alam Bhawana ( Alam Bhur ), dengan melintasi Bhuwana ( Alam Bwah, Embang ). Nah, pada saat melintas di Bhuwana, vibrasi para dewa ini berbaur dengan power alam raya, di antaranya dengan energi radikal yang melayang bebas dalam dimensi rupa warna : merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu.
Jadi, keberadaan rupa warna ini selalu memenuhi Bhuwana, dan sudah pasti terjadi pembauran. Berarti, terjadi perubahan atas kemurnian dari sifat-sifat para Dewa, yakni dari Dewa ( div ) menjadi Dewata, atau disebut juga Bhatara ( Bhat-ar-a ).
Maksudnya, kemurnian vibrasi sinar suci yang semula satwika ( transparan, tidak tampak secara kasat mata ), kini berubah diselimuti rupa warna yang selalu melayang bebas. Akibatnya berdampak pada meredupnya ke-satwika-an vibrasi sinar itu. Selanjutnya, secara nyata terlihat bak rupa warna yang mendominasi Alam Tengah, dan diberi tanda nama Panca Dewata.
Dari Bhuwana, sinar Panca Dewata ini bervibrasi turun melintasi ketujuh lapisan Embang ( Sapta loka, 7 lapisan atmosfer ) menuju ke Bhawana. Pada Bhawana vibrasi sinar ini akan terbilah dua : ada yang terbias ke bumi, serta ada yang terpantul kembali menuju Bhuwana. Begitu seterusnya, terjadi secara kodrati alam. Yang terpantul dari bhawana menuju bhuwana ini membawa unsur-unsur yang berasal dari bumi ( akibat penguapan oleh sinar matahari ). Siklus perputaran kodrati ini menyebabkan terjadinya perubahan sifat terhadap Panca Dewata/Panca wara yang ada di Bhuwana Agung dan mempengaruhi kehidupan, khususnya watak panca wara manusianya. Perubahan ini diberi kode ( signans ) Panca Gati, dengan penjelasan :
- Perubahan dari Umanis menjadi Sang Shrigati, di mana Shri yang artinya keinginan, dan Gati artinya instan. Maksudnya, suatu keinginan yang bersifat instan. Jelasnya, keinginan yang muncul dan berasal dari pikiran umumnya bersifat revolusi – ingin selalu cepat ( instan ). Akibatnya, seseorang sering mengalami ketidakselarasan antara pola pikir dengan ucapan, mau pun perilaku.
- Perubahan dari Paing menjadi Asuajag, merupakan keinginan yang selalu bersifat dinamis.
- Perubahan dari Pon menjadi Sang Empas, merupakan keinginan namun bersifat evolusi. Jadi, tidak seperti sifat Asuajag.
- Perubahan dari Wage menjadi Sang Gumarang, artinya sifat membutuhkan, namun perubahannya tepat waktu sesuai dengan ukuran standar waktunya. Contoh, seorang petani akan menunggu hasil panennya sesuai dengan jenis yang ditanam, yang waktu panennya mutlak berbeda–beda.
- Perubahan dari Keliwon menjadi Kala Kutila, adalah suatu keinginan untuk mendahului evolusi daripada alam. Misalnya mengakali dengan daya cipta yang tidak alami untuk memperdayakan menjadi sesuatu yang instan ( teknologi canggih ).
Pengaruh Panca Wara terhadap Watak Kelahiran
( Prewatekan manut Panca Wara )
Panca wara merupakan anugerah Dewata kepada kehidupan, khususnya manusia yang diberkahi unsur-unsur kesucian serta diberikan mandat berupa hak dan wewenang mengelola alam. Nah, akibat kesalahan di dalam mempertanggungjawabkan mandat sebagai manusia, maka ia terlahir kembali. Terlahir pada dina :
Umanis, dinaungi olah:
- Dewa Iswara,
- Rsi Kursika,
- Bhagawan Tetulak.
Sesungguhnya, pada dina Umanis para Dewa telah secara adil memvibrasikan anugerah berupa daya guna (kemampuan) kepada manusia. Nah, justru karena anugerah tersebut tidak diberdayakan secara baik dan benar pada kehidupan yang lalu, maka dia terlahir kembali pada hari Umanis. Pembawaan watak Umanis di antaranya, sebagai tenaga penggerak (mobilisator ), suka memberi nasehat, namun jarang mampu menyadarkan orang lain.
Paing, diayomi oleh:
- Dewa Brahma,
- Rsi Gharga,
- Bhagawan Mercukunda.
Dewa Brahma menganugerahkan Cipta kepada manusia. Seseorang yang terlahir pada waktu paing, jelas menandakan pada kehidupan yang lalu dia salah dalam menggunakan ciptanya, sehingga dia terbebani oleh ciptanya sendiri. Wataknya tidak pandang bulu, mudah dihasut dan diadu domba. Pembawaannya sering asal bunyi, tanpa mengetahui ujung pangkal permasalahannya.
Pon, diayomi oleh:
- Dewa Mahadewa,
- Rsi Maitri,
- Bhagawan Wrhaspati.
Seseorang yang dilahirkan dina pwon, akibat pada kehidupan terdahulu dia bergulat dengan keimanannya, seperti ucapannya sering tidak selaras dengan kata hatinya. Wataknya kaku, kukuh dengan pendapatnya sendiri, meskipun sahabatnya salah, tetap akan dibelanya. Suka membuat susah sendiri dan boros. Pendengarannya sensitif, mudah tersulut emosinya. Kelakuannya kadang sulit diterka.
Wage, dinaungi oleh:
- Dewa Wisnu,
- Rsi Kurusya,
- Bhagawan Penyarikan.
Kelahiran pada dina wage karena di masa lalu banyak keliru di dalam menempatkan kasihnya. Ibarat pohon kelapa yang ditanam di pekarangan sendiri, namun tumbuhnya miring, sehingga buahnya jatuh di tetangga. Terlahir dina wage, umumnya murah rejeki, namun tetap susah karena tidak bisa mengelolanya. Suka berulah dihadapan orang banyak, apalagi untuk menjatuhkan orang yang tidak disukainya. Sensitif dengan penciuman.
Kliwon, dinaungi oleh;
- Dewa Siwa,
- Rsi Prtanjala,
- Bhagawan Krtanjala.
Seseorang yang terlahir dina kliwon menandakan di kehidupan terdahulu sering menyalahgunakan kebenaran budhinya, suka pilih kasih, atau kurang berlaku adil. Kekeliruan itulah yang menjadi pemicu terlahir kembali. Berwatak di antaranya suka penasaran, namun menjadi pembosan dan pemalas bila telah berhasil memenuhi rasa penasaran tersebut.
Panca wara di Bhuwana alit terletak di rongga dada, yakni :
- Umanis, terletak di pepusuh, terkait dengan tingkat kemampuan,
- Paing, terletak di Hati, sebagai tempat cipta,
- Pwon, terletak di Ginjal, terkait dengan tingkat idealisme,
- Wage, terletak di Ampru ( nyali ) sebagai katalisator / penetralisir.
- Keliwon, terletak di Tungtunging hati, rumah dari sang buddhi luhur.
Panca Wara adalah suatu metoda pengenalan kasih-Nya alam yang diperpanjang oleh Sang waktu. Dan welas asih Tuhan ini bukan hanya untuk umat manusia saja, melainkan diberkatkan juga kepada semua kehidupan, yang disalurkan lewat dualitas sifat dengan ungkapan ala ayuning dina. Maksudnya, setelah gelombang inti kehidupan bergerak memenuhi cakrawala, terjadilah proses kodrati alam yang menghasilkan dualitas sifat. Di dalam pandangan para Rsi Agung terdahulu dikatakan bahwa proses pembauran di Embang tersebut merupakan perubahan panca wara menjadi panca gati, yang menghasilkan ala dan ayu. Kedudukan Panca Gati ini menentukan turunnya Amretha Bhuwana yang memasuki Bhawana, khususnya mental manusia.
Dikatakan lebih lanjut, bahwa naik-turunnya Amretha beserta sifat hidupnya diungkap dengan metoda Laku. Pengertian laku merupakan cerminan dari watak yang terbawa lahir sebagai bekal karma wasana dalam melakoni hidup. Itulah sejatinya keadilan serta kejujuran alam terhadap keberadaan kejiwaan manusia itu sendiri, untuk selanjutnya dipakai dasar menjalani kodrat hidup. Jika terlahir pada saat Sang Shrigati turun ke Bumi, akan berpengaruh kepada kejiwaannya, serta punya watak kasih terhadap sesamanya. Berikut penjelasannya :
- Sang Shrigati artinya santapan semua mahluk hidup. Khususnya pada manusia adalah santapan mata dan pikiran – Panca Karmendrya dan Panca Budindrya yang menikmati berkah Dewa Iswara.
- Sang Asuajag adalah santapan perut, keinginan untuk menyantap makhluk yang berdarah untuk diolah menjadi tenaga.
- Sang Empas adalah fisik – kesehatan, ingin santapan, ingin istirahat/tidur.
- Sang Kala Gumarang, santapan untuk batin/jiwa, seperti kenyaman, kedamaian.
- Sang Kala Kutila, rasa yang dikecap lidah yang memerlukan santapan. Kalau di dalam adalah Panca Bhudindrya yang menikmati.
Pengaruh Panca wara dan panca gati terhadap watak kelahiran dapat dipelajari, seperti penjabaran singkat berikut ini :
- Terlahir pada dina Umanis, ketika Sang Shrigati turun memasuki Bumi, memiliki watak penuh kasih sayang dengan lingkungannya. Sebaliknya, kalau kedudukan Sang Shrigati munggah berada di Bhuwana, cenderung berwatak tidak peduli kasih sayang, egois, serta mengutamakan kepentingan pribadi, dan suka menceriterakan atau mencari-cari kesalahan orang lain.
- Terlahir pada dina Paing, ketika Sang Asuajag turun berada di Bumi, cenderung suka membuat sakit hati orang lain, sering ditakuti di lingkungannya. Sedangkan kalau Sang Asuajag munggah berada di Bhuwana, dampaknya sering dicurigai atau kena fitnah, walaupun dia sesungguhnya dalam kondisi yang santun.
- Terlahir dina Pon, saat Sang Empas turun berada di Bumi, umumnya menunjukkan sikap tidak senang atau kurang ramah, berwatak pendiam ( bodri, bahasa Bali ). Sebaliknya, bila Sang Empas munggah berada di Bhuwana, tabiatnya akan senang berceloteh, sering menjadi pemicu kemarahan orang lain, suka memfitnah. Suka iseng atau jahil agar temannya menjadi susah, padahal hal tujuannya sekedar bercanda.
- Terlahir dina Wage, dan Sang Kala Gumarang turun berada di Bumi, tabiatnya suka merusak yang sudah baik dan benar, dan paling suka bikin onar. Sebaliknya, kalau Sang Kala Gumarang munggah berada di Bhuwana, orangnya berkharisma dan disegani orang lain, karena suka melindungi sesamanya.
- Terlahir dina Keliwon dan Sang Kala Kutila turun berada di Bumi, karakternya senang mempelajari ilmu hitam, cenderung banyak berbuat dosa. Sebaliknya, jika Sang Kala Kutila munggah ada di Bhuwana, cenderung punya rasa dendam, namun sesungguhnya orang tersebut suka dengan kebaikan dan kebenaran.
demikian sekilas tentang wewaran - Panca Wara, semoga bermanfaat
Salam
BalasHapusKenapa ya WAGE itu memiliki angka 4?
Angka 4 pada WAGE itu dasarnya dari apa saja?
Mohon pencerahannya njih..
Matur Nuwun..