Gusti Bija Pulagaan atau yang lebih dikenal dengan sebutan I Gusti Ngurah Bija Pulaga menjadi penguasa Bangli
Diceriterakan sebelum itu di wilayah Bangli. Ada penguasa di sana yang melawan pemerintahan Dalem. Kekuasaannya meliputi 17 desa. Itu sebabnya Dalem mengutus tanda mantrinya seperti:
- Ki Arya Jelantik,
- Ki Arya Pinatih Perot,
- Ki Gusti Nyoman Rai, menyelipkan keris bernama Ki Tanpa Kandang, diiringkan oleh balatentaranya.
Setibanya di Bangli, ramai perang di sana, Ki Gusti Ngurah Jelantik berhadapan melawan Ngakan Pog, juga berhadapan dengan Ki Gusti Nyoman Rai dan di tengah-tengah perang itu kalahlah Ngakan Pog serta balatentaranya semua.
Di sebelah selatan Bangli pasukannya dikalahkan oleh Ki Gusti Pinatih Perot. Takut semua orang Bangli, semua tidak berani melawan, maka amanlah kawasan Bangli itu, namun juga tidak ada yang berkuasa menjadi raja.
Diceritakan kemudian I Pasek Bendesa, Ki Pasek Telagi, Ki Pasek Kayu Selem, bermusyawarah pula mereka. Karena negara Bangli tidak memiliki raja. Keinginan semua warga Pasek itu, meminta kepada Raja Dalem Ketut Smara Kepakisan di Gelgel agar ada raja yang memerintah kawasan Bangli Singharsa.
Demikian perbincangan Ki Pasek semuanya, kemudian berjalanlah Ki Pasek semuanya menghadap kepada Dalem Gelgel. Tidak diceritakan di perjalanan. Setelah sampai di hadapan Dalem, Ki Pasek matur, memohon agar Dalem memberikan seorang penguasa yang memerintah kawasan Bangli itu.
Dikisahkan sekarang, sepeninggal Ki Pasek Bangli, dari Puri Gelgel, Dalem mengutus dua orang ke negara Badung. Segera berangkatlah utusan itu, tidak diceritakan di jalan, sampai pula utusan itu di Badung, menuju Puri Kerthalangu. Di sana utusan itu menghadap kepada putranya I Gusti Ngurah Pinatih Perot, yakni I Gusti Anglurah Pinatih Rsi serta I Gusti Anglurah Bija Pinatih.
Berkatalah utusan itu :
“Singgih Ki Gusti Ngurah, agar Cokor I Gusti segera menghadap ke Gelgel ke hadapan Dalem, hamba adalah utusan Bathara Dalem.”
Demikian hatur utusan itu. kemudian mereka segera kembali ke Gelgel.
Dikisahkan lagi, setelah mengadakan perbincangan berdua, maka I Gusti Anglurah Pinatih Rsi meminta adiknya I Gusti Anglurah Bija Pinatih agar menghadap Ida Dalem. Ki Gusti Ngurah Bija Pinatih, lalu berjalan menghadap ke Puri Gelgel. Tidak diceriterakan di jalan, sampailah beliau di Puri Gelgel. Kemudian menghadap Dalem. Berkatalah Ida Dalem:
“Ih Kyai Ngurah Bija, Ngurah saya perintahkan memerintah di Singharsa Bangli. Ngurah yang menguasai kawasan itu. Saudara Ngurahe, biarkan dia memerintah kawasan Badung”.
Demikian kata Ida Dalem. Kemudian menghaturkan sembah Ki Gusti Ngurah Bija Pinatih:
” Ainggih, kalau demikian perintah Bhatara Dalem, hamba hanya menuruti. Dan hamba memohon ampun, agar berkenan Cokor I Dewa memberikan hamba pariagem kawitan hamba yang dibawa dari Majapahit dahulu”.
Berkatalah Ida Dalem:
“Nah, ke sanalah Ngurah secepatnya, ini ada pariagem Ngurah silahkan bawa, tembaga serta lontar, serta keris sungsungan bernama Ki Loting, dan pedang, semua itu patut disungsung di kawasan Bangli kelak”.
Setelah dimohon pusaka serta kawitan itu, mohon dirilah Ki Gusti Ngurah dari Gelgel, pulang ke Badung.
Dikisahkan sekarang, sedatangnya I Gusti Ngurah Bija dari Gelgel, diselenggarakanlah pertemuan di Badung dengan kakaknya I Gusti Ngurah Pinatih Rsi, serta semua sanak keluarga. Sebagai hasil keputusan pembicaraan, ada putranya yang dibanggakan, yang menuruti kehendak Dalem bernama I Gusti Bija Mpulaga.
Setelah selesai pertemuan itu, ada hari baik : hari Senin Wage Julungwangi, bulan ke 5, penanggal 20, rah tenggek 7, tahun saka 1375 atau Masehi 1453. Pada saat itu berbicaralah I Gusti Ngurah Bija Pulaga kepada ayah serta sanak keluarga semuanya. Kata beliau :
“Sekarang ananda, putra ayahanda, memohon pamit kehadapan ayah, kakak serta adik. Di kemudian hari semoga tiada lupa kakak dan adik kepada diri saya. Sampai kepada keturunan kita nanti. Saya diperintahkan oleh Bhatara Dalem menjadi penguasa kawasan Singharsa Bangli”.
Setelah itu berkata kakak dan adik semuanya :
”Nah dinda Ngurah Bija Pulaga, kalau sudah perintah Ida Bhatara Dalem, kekak serta adik-adikmu di sini merasa sulit ditinggal oleh dinda yang meninggalkan Badung ini, namun semuanya sudah ikhlas. Kanda tidak akan putus bersaudara dengan dinda sampai kelak di kemudian hari. Dan juga ada hamba sahaya 455 orang. Itu akan menyertai dinda di Singharsa Bangli”.
Demikian akhir perbincangan yang berlangsung di Badung, di Puri Kerthalangu. Setelah itu, memohon diri Ida I Gusti Ngurah Bija Pulaga kepada ayahnya, kakak serta adiknya semua. Kemudian berjalanlah beliau disertai rakyat dengan menyelipkan keris bernama Ki Loting serta pariagem dan pedang.
Diceriterakan lancar perjalanan beliau diiringkan oleh rakyatnya semua.
Tidak diceriterakan di jalan, sampailah beliau di Singharsa Bangli. Langsung menuju sebelah selatan bukit, membuat istana beliau di desa Baleagung, Bangli, Semua rakyat beliau yang menyertai menyusup mencari tempat masing-masing.
Pada saat itu Ida Ki Gusti Ngurah Bija Pulaga bertemu dengan Ida Rsi Bang Bujangga Panulisan. Kemudian keduanya bertukar pikiran. Bertanyalah Ida Rsi Bujangga Panulisan kepada raja Bangli:
”Aum, anakku sang Prabu, Bapak ingin sekali bertanya kepada ananda, agar supaya Bapak tahu dengan keberadaan ananda. Siapakah yang mengadakan ananda. Beritahu Bapak, agar Bapak mengetahuinya”.
Kemudian matur Ida I Gusti Ngurah Bija Pulaga :
”Ainggih, ratu Peranda, maafkan saya berani menyampaikan kepada I Ratu mengenai keberadaan saya. Hamba adalah putra I Gusti Ngurah Pinatrih yang menguasai wilayah Badung. Sekarang saya diperintah oleh Bhatara dalem untuk menjadi penguasa di wilayah Bangli ini. Leluhur saya tiada lain Ida Bang Banyak Wide putra dari Danghyang Bang Manik Angkeran”.
Kaget Ida Rsi Bang :
“Uduh, ananda, seperti ditunjukkan oleh Yang Maha Kuasa, sangat kasih beliau Ida Hyang Parama Kawi, bisa Bapak bertemu dengan I Dewa. Bapak tiada lain , keturunan dari Ida Wang Bang Wayabiya, saudara kandung leluhur Ananda Ida Wang Bang Banyak Wide. Jadinya, kita ini berasal dari satu Ananda dengan Bapak”.
Sangat sukacita beliau berdua, tidak bisa digambarkan. Belakangan, lama kelamaan, karena sudah demikian erat persaudaraan beliau berdua, tidak bisa dipisahkan, maka ada pernyataan Ida Sang Pandita Rsi Bang Bujangga Panulisan kepada I Gusti Ngurah Bija Pulaga, agar satu keberadaan beliau berdua. Tatkala itu Ida I Gusti Ngurah Bija Pulaga kadharma putra atau diangkat putra oleh sang pendeta. Sejak itu se keturunan I Gusti Ngurah Bija Pulaga menjadi satu pungkusan atau warga dengan keturunan Ida sang pendeta, memakai pungkusan warga Arya Bang Wayabiya.
Lama kemudian diceritakan negara Singharsa Bangli, sentosa serta makmur, karena Arya Bija Pulaga yang menjadi penguasa Singharsa, seperti yang diperintahkan oleh Dalem Gelgel.
Semakin bijak sikap beliau memerintah daerah itu, sehingga keagungan kawasan Bangli semakin meningkat, karena beliau tiada lupa kepada Parhyangan, bhakti kepada Dewa Bhatara, kawitan, sungsungan. Itu semua membuat Dalem sukacita, mendengar kecakapan Ki Arya Bija Pulaga menjadi raja di Bangli.
Setelah lama, diceritakan Ki Arya Bija Pulaga berputra laki seorang, bernama:
- I Gusti Dawuh Baleagung bukan Dawuh Baleagung Panulisan.
Lama kemudian I Gusti Dawuh Baleagung berputra seorang laki bernama:
- I Gusti Ngurah Praupan.
Saat itu I Gusti Bija Pulanga, sudah tua beliau.
Diceritakan sekarang I Gusti Ngurah Dawuh Baleagung menggantikan menjadi raja di Singharsa Bangli. Semua tidak ada yang ganjil, karena kalau ayahnya memakai lungka sembilan, I Gusti Ngurah Dawuh Baleagung memakai lungka tujuh. Lengkap berbusana sebagai penguasa – Adhipati, disertai lante, sepayung.
Sesudah itu pada hari : Sabtu, Kliwon Landep (Tumpek Landep), keluar beliau di Balai Penghadapan, duduk pada pelataran yang tinggi, berkain wilis berkampuh sutra jingga, akeretan sutra gagulung. Di hadapan beliau ada berang pangawin, diapit dengan tamiyang, di belakang ada lelancang, lengkap dengan upacara adhipati. Penuh di balai penghadapan, dihadap oleh para manca, pepatih, para Bendesa Pasek Paling Wayah.
Setelah lengkap di Balai Penghadapan, berkatalah I Gusti Baleagung kepada I Pasek serta I Bendesa Paling Wayah. Sabda beliau :
”Bapa, Bapa Pasek Paling Wayah serta serta I Bendesa Paling Wayah, semuanya, apakah engkau setia padaku?Bila engkau setia kepadaku, maka saya kukuh pada para Bendesa Pasek semuanya”.
Lalu menjawablah I Pasek serta I Bendesa berlima, katanya :
“Inggih Gusti Ngurah, sejak semula memang hamba dikuasai oleh Cokor I Gusti”.
Gusti Baleagung berkata:
“Nah apabila engkau setia, sayapun kukuh terhadap ke-Pasekanmu. Sekarang Bapa, menguasai kerabat di desa-desa, sekawasan Singharsa Bangli. Supaya teguh Bapak, tidak boleh setengah-setengah, menyelesaikan permasalahan di jaba. Besar kecil nista madya utama. Sebagai sarana untuk memegang kerabat yaitu : Dewa Gama, Adi Gama, Agama. Itu semua agar teguh dijalankan di desa-desa, agar jangan para sanak saudara kerabat bertikai dengan saudara”.
Demikian kata I Gusti Ngurah. Saat itu I Pasek Bendesa berlima semuanya menyatakan setuju bersatu tidak ada yang menolak. Setuju dengan sabda I Gusti Ngurah Singarsa. Kemudian dimuat hal itu dalam lempengan piagam. I Pasek menanyakan kerabat 1525 orang. Semua mempunyai bukti karang.
Sesudah itu, demikian subur makmur kawasan Singharsa saat berkuasanya I Gusti Ngurah Baleagung. Sebagai Bhagawanta – pendeta istana tidak lain yang bernama Ida Rsi Bang Bujangga Panulisan, sebagai patokan tempat bertanya mencari nasehat, yang juga menjadi siwa patirtan-pendeta tempat memohon tirta dari para Arya Bang sekeluarga yang ada di Singharsa Bangli.
Ada juga tempat memohon tirta pembersihan sekala dan niskala di Tirta Arca namanya.
Tirta itu patut disungsung oleh Arya Bang semua.
Juga dibangun parhyangan tempat mamuja Ida Bhatara Susunan Sakti Dalem Bujangga serta Ida Danghyang Manik Angkeran. Parhyangan itu dinamai Pura Dalem Bujangga, di Bale Agung, disungsung oleh keturunan Arya Bang Wayabiya di kawasan Bangli.
Diceritakan sekarang di Suwecapura – Gelgel, Ida Dalem Ketut Smara Kepakisan yang memegang kekuasaan di Bali sudah meninggalkan dunia menuju Sorgaloka. Ada anak beliau bergelar Sri Aji Baturenggong, tidak berbeda dengan yang telah dilakukan sebelumnya. Ada kemudian keinginan Dalem akan menyelenggarakan yadya memuja Ida Bhatara di Besakih. Karena itu Dalem mengutus I Bandesa memberi-tahukan para manca semua supaya siap mengadakan pertemuan di Suwecapura – Gelgel.
Dikisahkan sekarang para Manca Dalem telah tiba di Suwecapura. Penuh di Paseban – tempat menghadap. Sesudah itu keluarlah baginda Dalem, duduk di tepas yang tinggi, yang dialasi permadani, diapit dengan lelancang dan pengawin. Sesudah itu muncullah para isteri Dalem semuanya membawa bokor gedah bertatahkan emas mirah permata. Menghaturkan sirih (canang) kepada Sang Raja.
Tiada beberapa lama datanglah I Pasek Paling Wayah, berbusana Empu kuturan. Membawa bokor menghaturkna canang kepada para Manca, menteri Dalem semua.
Setelah semua memakan sirih para manca itu, tiba-tiba datang di Balai penghadapan pramanca Bangli Singarsa. Terlihat menunggang kuda diiringi oleh bala. Segera menghadap menyembah ke hadapan Dalem. Tiba-tiba disana, disapa dengan kata-kata mengejek oleh I Dewa yang berkedudukan di Taman Bali bersama I Dewa Gede Pamecutan, katanya:
”Baru datang ki Arya Bangli Singharsa ?”.
Dijawab oleh I Gusti Ngurah Dawuh Baleagung:
“Inggih, baru datang kakakmu. Bagaimana, sudah lama menghadap kepada Ida Bhatara Dalem?”.
Dijawab dengan rada kesal oleh I Dewa Gde Taman Bali:
“Ah, mengapa Ki Arya berkata seperti itu?
Nanti akan kujadikan satu kawasan Taman Bali dan Bangli”.
Menjawab I Gusti Dawuh Baleagung:
“Walapun begitu, kalau hancur Bangli, akan rusak juga Taman Bali”.
Setelah peristiwa itu, keduanya berdiam. Pembicaraan kedunya kemudian diambil alih oleh Dalem, itu sebabnya maka dibubarkanlah penghadapan itu . Demikian ceriteranya di Suwecapura.
Diceriterakan sekarang Ida Rsi Bang Bujangga Panulisan, sudah tua, kemudian wafat menuju Sorgaloka. Demikian pula Ida I Gusti Ngurah Bija Pulaga, karena sudah tua kemudian meninggalkan dunia fana ini menuju Sunyaloka. Putra Ida Rsi Bang Bujangga Panulisan yang bernama I Gusti Dawuh Baleagung Panulisan kemudian menjadi pendeta menggantikan ayahanda beliau bergelar Ida Rsi Bang Dawuh Baleagung Panulisan. Ida Rsi menjadi pendetanya seluruh warga Arya Bang Wayabiya di Bangli. Memang tentram, subur makmur tidak kurang makan dan minum wilayah Bangli pada waktu pemerintahan Ida I Gusti Ngurah Dawuh Bale Agung.
Dikisahkan Ida Rsi Bujangga Dawuh Baleagung Panulisan sudah tua kemudian pulang ke Siwaloka. Tidak adalagi yang menggantikan beliau sebagai pendetanya warga Arya Bang Wayabiya. Ida I Gusti Ngurah Dawuh Baleagung juga sudah tua usia beliau, namun masih merasa handal dengan diri beliau. Kini ada yang menggantikan sebagai raja yakni I Gusti Ngurah Praupan.
Para menteri beliau adalah para putra Ida Rsi Bujangga Dawuh Baleagung Panulisan. Yang paling terkemuka:
- I Gusti Caling Lingker,
- I Gusti Dangin Pasar,
- I Gusti Delod Peken,
- I Gusti Lor Bancingah,
- I Gusti Batan Waringin,
- I Gusti Dawuh Panulisan yang paling akhir.
Setelah ganti berganti, sanak beranak, banyaknya mencapai 60, sampai kepada Arya Pamijian, tunggal bersuka-duka Ki Arya Bang semuanya, sekeluarga besar itu menjadi Arya Bang Kaja Kawuh atau Arya Bang Wayabiya.
Kembali diceriterakan prihal keadaan di Kraton Suwecapura – Gelgel, pada hari Selasa-Kliwon – Anggara Kliwon wuku Medangsiya, pada bulan Bali keempat : sasih Kapat, tanggal ping 13, keluarlah beliau Ida Dalem Sri Aji Baturenggong, dihadap oleh para Menteri beliau.
Menghaturkan sembah saat itu:
- I Gusti Ngurah Sidemen, didampingi oleh;
- Kriyan Patandakan,
- Kriyan Jelantik,
- Kriyan Tabanan,
- Kriyan Kebon Tubuh serta
- Kriyan Pinatih.
Atur para menteri itu tiada lain prihal pertikaian Kyai Taman Bali dengan Kyai Singharsa Bangli pada saat pertemuan lalu. Para menteri itu semuanya memohon agar supaya Dalem mengadakan utusan sebagai Bhagawanta yang dimintai nasehat dan pertimbangan, guna menyudahi pertikaian antara Singharsa Bangli dengan Taman Bali. Akhirnya merasa senang Ida Dalem, kemudian memenuhi keinginan para menteri semuanya. Setelah itu ditutuplah pertemuan itu .
Diceriterakan sekarang Ida Dalem memerintahkan bhagawanta – pandita istana – beliau yang bernama Ida Sang Brahmana Pandita Manwabha. Di sana kemudian sang brahmana setuju dengan perintah Dalem . Akan menjadi penasehat yang memberikan pertimbangan di bhumi Singharsa Bangli.
Terkisah sekarang Peranda Manuwabha, disertai dengan anak serta isteri beliau. Semua isi Griya beliau dibawa, berpindah dari Gelgel.
Pada hari yang baik yakni Sabtu Wage Julungwangi, bulan Bali ke 5, tanggal ping 13, berjalanlah beliau sang pendeta mengikuti Munduk Mina Nyalian.
Tidak diceriterakan di jalan, sudah dawuh pitu sang mentari, sampailah beliau di Singharsa Bangli, langsung menuju Puri Bale Agung.
Diceritakan sekarang raja Singharsa Bangli, setibanya Sang Pandita Manuaba, telah terdengar oleh I Gusti Ngurah Dawuh Baleagung serta I Gusti Ngurah Praupan, I Gusti Dangin Pasar, I Gusti Lod Peken, Kyai Ler Bancingah, Kyai Batan Waringin, semuanya sibuk menjemput Sang Pandita yang baru datang. Juga ikut menjemput I Gusti Dawuh Panulisan, serta semua putra Arya Bang Kaja Kauh . Serta para Bendesa dan Pasek semuanya.
I Gusti ngurah Dawuh Baleagung menyapa sang pendeta :
“Singgih Sang Panduwa sudah tiba. Silahkan duduk di balai pertemuan”.
Tak bedanya, bagaikan antara Bapak dengan anak. Semuanya sekarang sudah duduk. Datang permaisurinya membawa bokor arerempon, menghaturkan canang (sirih) kepada sang Pandita.
Setelah itu terlihat I Pasek berdua, membawa bokor mas berbintang, menghaturkan susuh kepada sang pandita, kemudian semuanya dipersilahkan menyantap sirih itu. Karena semuanya sudah dihaturi canang, kemudian sang pendeta bertanya kepada Kyai Baleagung.
Kata sang pandita :
“Benarkah ananda bersilang kata dengan I Dewa Taman Bali, seperti dikatakan Dalem? Kalau benar demikian sepatutnya ananda memberitahu Bapak ”.
Menjawablah I Gusti Baleagung:
“Singgih Sang Pandita, ingat saya dahulu ketika ada di Gelgel, anak Sang Pandita diejek oleh I Dewa Gde Taman Bali yang menjadi manca di Taman Bali. Pada saat itu ada pertemuan antar para menteri semua. Ada di sana Ki Ngurah Agung, Rakriyan Patandakan, Rakriyan Jelantik, tahu juga kakak hamba Arya Sidemen dan kakak I Gusti pinatih. Sangat kesal ananda serta para tanda mantri dan kakak ananda semua.”
Demikian atur Ki Gusti Dawuh Baleagung .
Kemudian berkata sang pendeta :
”Nanda Kyai Arya, sekarang karena Bapa diminta Dalem untuk datang di sini, Bapa meminta tempat kepada ananda. Ada keinginan Bapa bertempat tinggal di sebelah selatan, bernama desa Bebalang. Tidak jauh Bapa dengan ananda”.
Berkata Ki Gusti Ngurah :
“Singgih, memang berhak sang pendeta sebagai patirthan hamba sampai kelak di kemudian hari”.
Diceritakan sekarang I Gusti Dawuh Baleagung, bersabda kepada I Pasek Bandesa berlima. Diperintahkan I Pasek mengajak saudaranya, membangun tempat tinggal di desa Bebalang. Tidak diceritakan berdirilah sudah tempat kediaman itu. Diceritakan Sang Pandita sudah bertempat tinggal di Griya yang baru dibangun. Tingkah laku beliau sunguh-sungguh bagaikan Sanghyang Paramesti.
Sekarang berkatalah I Gusti Dawuh Baleagung kepada Pasek Bandesa.
“Bapa Pasek serta Bandesa, silahkan memilih saudaramu sebagai rakyat Sang Pandita. Saudara Ki Pasek 25, saudara Ki Bendesa, 25”.
Demikian kata Ida Ki Gusti Dawuh Baleagung. Semua yang diberitahu menyatakan setuju, semuanya menghaturkan keluarganya laki perempuan kepada sang pendeta, sebagai pembantu beliau .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar