Dewa Yama dalam Teologi Hindu
Dewa Yama (Dewa Kematian/Neraka) |
Dewa Yama merupakan manifestasi dari Brahman yang bergelar sebagai Dewa akhirat, Hakim Agung yang mengadili roh orang mati, untuk mempertimbangkan apakah suatu roh layak mendapat surga atau sebaliknya, mendapat neraka.
Dewa Yama dilukiskan sebagai seorang tua yang berkuasa di singasana neraka, memiliki dua wajah yang tidak terlihat sekaligus. Wajah yang sangar dan menyeramkan terlihat oleh roh orang-orang yang hidupnya penuh dengan perbuatan salah, sedangkan wajah yang lembut dan berwibawa terlihat oleh roh-roh yang hidupnya penuh dengan perbuatan baik.
Yama (Sanskerta: यम; Yama) adalah dewa akhirat juga sering disebut Dewa Kematian dalam agama Hindu. beliau bersenjata Danda, mengendarai Kerbau dengan sakti Dewi Yami atau Syamala.
Menurut kepercayaan umat Hindu, dialah dewa yang pertama kali dijumpai oleh roh orang mati saat berangkat menuju wilayah surgawi, sehingga dia juga bergelar dewa kematian. Tugasnya yang utama adalah mengadili roh orang mati, dengan didampingi oleh asistennya yang disebut Citragupta, pencatat karma manusia. Karena keadilannya, ia disebut pula Dharmaraja.
Yama memiliki wahana berupa seekor kerbau betina. Ia bersenjata gada atau danda dan membawa jerat. Dia memiliki dua anjing mengerikan bermata empat yang bertugas menjaga jalan yang dilewati roh orang mati menuju alam Yama.
Mitologi Dewa Yama
Menurut kitab Purana, Yama adalah putra Surya (dewa matahari) dan Saranya (putri Wiswakarma). Dia memiliki kakak bernama Waiwaswata Manu, dan saudara kembar perempuan bernama Yamuna. Selain itu, ia memiliki ibu tiri bernama Radnyi, Praba, dan Caya. Karena Caya lebih memperhatikan anak kandungnya sendiri daripada anak tirinya, Yama menendang kakinya. Hal itu membuatnya dikutuk bahwa kakinya akan digerogoti oleh cacing. Cacing-cacing tersebut juga akan menyebabkan kakinya bernanah dan berdarah.
Untuk mengurangi kutukan tersebut, Surya memberikan seekor burung kepada Yama untuk memakan cacing-cacing tersebut. Kemudian Yama memutuskan untuk pergi ke sebuah tempat suci yang bernama Gokarna. Disana ia memuja Siwa dengan cara bertapa selama ribuan tahun. Siwa berkenan dengan tapa yang dilakukan Yama, lalu ia diangkat sebagai dewa kematian. Ia diberi hak untuk menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang melakukan dosa, dan memberikan berkah kepada orang-orang yang berbuat kebajikan.
Dewa Yama, Manifestasi Tuhan sebagai Dewa Akhirat
Bhatara Yama adalah nama Dewa penjaga neraka dalam agama Hindu dan Buddha. Namanya sudah disebut dalam kitab Weda. Dalam ajaran Agama Hindu, Dewa Yama merupakan manifestasi dari Brahman yang bergelar sebagai Dewa akhirat, Hakim Agung yang mengadili roh orang mati, untuk mempertimbangkan apakah suatu roh layak mendapat surga atau sebaliknya, mendapat neraka.
Dewa Yama dilukiskan sebagai seorang tua yang berkuasa di singgasana neraka, memiliki dua wajah yang tidak terlihat sekaligus. Wajah yang sangar dan menyeramkan terlihat oleh roh orang-orang yang hidupnya penuh dengan perbuatan salah, sedangkan wajah yang lembut dan berwibawa terlihat oleh roh-roh yang hidupnya penuh dengan perbuatan baik.
Segala gerak atau aktivitas yang dilakukan, disengaja atau tidak, baik atau buruk, benar atau salah, disadari atau di luar kesadaran, kesemuanya itu disebut “Karma“.
Ditinjau dari segi ethimologinya, kata karma berasal dari kata “Kr” (bahasa sansekerta), yang artinya bergerak atau berbuat. Menurut Hukum Sebab Akibat, maka segala sebab pasti akan membuat akibat.
Demikianlah sebab dari suatu gerak atau perbuatan akan menimbulkan akibat, buah, hasil atau pahala. Hukum sebab akibat inilah yang disebut dengan Hukum Karma Phala. Di dalam Weda disebutkan:
“Karma phala ika palaing gawe hala ayu“ (Clokantra, 68)
artinya:
karma phala adalah akibat phala dari baik buruk suatu perbuatan atau karma .
Hukum karma ini sesungguhnya sangat berpengaruh terhadap baik buruknya segala makhluk sesuai dengan perbuatan baik dan perbuatan buruknya yang dilakukan semasa hidup. Hukum karma dapat menentukan seseorang itu hidup bahagia atau menderita lahir bathin. Jadi setiap orang berbuat baik (subha karma), pasti akan menerima hasil dari perbuatan baiknya itu. Demikian pula sebaliknya, setiap yang berbuat buruk, maka keburukan itu sendiri tidak bisa terelakkan dan pasti akan diterima.
Phala atau hasil dari perbuatan itu tidak selalu langsung dapat dirasakan atau dinikmati. Tangan yang menyentuh es akan seketika dingin, namun menanam padi harus menunggu berbulan-bulan untuk bisa memetik hasilnya. Setiap perbuatan akan meninggalkan bekas, ada bekas yang nyata, ada bekas dalam angan dan ada yang abstrak. Oleh karena itu hasil perbuatan yang tidak sempat dinikmati pada saat berbuat atau pada kehidupan sekarang maka akan ia terima setelah di akherat kelak dan ada kalanya pula akan dinikmati pada kehidupan yang akan datang.
Dengan demikian karma phala dapat digolongkan menjadi 3 macam sesuai dengan saat dan kesempatan dalam menerima hasilnya, yaitu Sancita Karma Phala, Prarabda Karma Phala, dan Kriyamana Karma Phala.
- Sancita Karma Phala: Hasil perbuatan kita dalam kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati dan masih merupakan benih yang menentukan kehidupan kita yang sekarang.
- Prarabda Karma Phala: Hasil perbuatan kita pada kehidupan ini tanpa ada sisanya lagi
- Kriyamana Karma Phala: Hasil perbuatan yang tidak sempat dinikmati pada saat berbuat, sehingga harus diterima pada kehidupan yang akan datang.
Jadi adanya penderitaan dalam kehidupan ini walaupun seseorang selalu berbuat baik, hal itu disebabkan oleh karmanya yang lalu (sancita karma), terutama yang buruk yang harus ia nikmati hasilnya sekarang, karena pada kelahirannya terdahulu belum habis diterimanya. Sebaliknya seseorang yang berbuat buruk pada kehidupannya sekarang dan nampaknya ia hidup bahagia, hal itu disebabkan karena sancita karmanya yang dahulu baik, namun nantinya ia juga harus menerima hasil perbuatannya yang buruk yang ia lakukan pada masa kehidupannya sekarang ini.
Tegasnya, cepat atau lambat, dalam kehidupan sekarang atau nanti, segala hasil perbuatan itu pasti akan diterima, karena hal itu sudah merupakan hukum perbuatan. Di dalam Weda (Wrhaspati Tatwa, 3), dinyatakan sebagai berikut:
“Wasana artinya semua perbuatan yang telah dilakukan di dunia ini. Orang akan mengecap akibat perbuatannya di alam lain, pada kelahiran nanti; apakah akibat itu baik atau yang buruk. Apa saja perbuatan yang dilakukannya, pada akhirnya kesemuanya itu akan menghasilkan buah. Hal ini adalah seperti periuk yang diisikan kemenyan, walaupun kemenyannya sudah habis dan periuknya dicuci bersih-bersih namun tetap saja masih ada bau, bau kemenyan yang melekat pada periuk itu. Inilah yang disebut wasana. Seperti juga halnya dengan karma wasana. Ia ada pada Atman. Ia melekat pada-Nya. Ia mewarnai Atman.”
Ada penyakit tentu ada penyebabnya, demikian pula penderitaan itu, pasti ada sebab musababnya. Tetapi kita harus yakin bahwa penyakit atau penderita tersebut pasti dapat diatasi. Seseorang tidak bisa menghindari hasil perbuatannya, apakah baik ataupun buruk, sehingga seseorang tidak boleh iri jika melihat orang lain hidupnya bahagia atau lebih baik. Demikian pula sebaliknya, seseorang tidak perlu menyesali nasibnya, karena apa yang ia terima merupakan tanggung jawabnya. Ini harus disadari, penderitaan di saat ini adalah akibat dari perbuatan kita sendiri, baik yang sekarang maupun yang telah lampau. Namun kita harus sadar pula, suatu saat penderitaan itu akan berakhir asal kita selalu berusaha untuk berbuat baik. Perbuatan baik yang dilakukan saat ini akan memberikan kebahagiaan baik sekarang maupun pada masa yang akan datang.
Jelasnya dengan itu seseorang tidak perlu sedih atau menyesali orang lain karena mengalami penderitaan dan tidak perlu sombong karena mengalami kebahagiaan, karena hal itu adalah hasil karma. Satu hal yang perlu diingat, hukum karma phala itu tidak terlepas dari kekuasaan Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Hyang Widhilah yang menentukan phala dari karma seseorang. Beliaulah yang memberi ganjaran sesuai dengan Hukum Karma.
Dewa Yama, Dewanya Keadilan
“Asing sagawenya dadi manusa, ya ta mingetaken de Bhetara Widhi, apan sira pinaka paracaya Bhatara ring cubhacubha karmaning janma”. (Wrhaspati Tattwa, 22)
Terjemahan:
Segala (apa) yang diperbuat di dalam penjelmaan menjadi manusia, (semua) itulah yang dicatat oleh Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), karena Dia sebagai saksi (dari) baik buruk (amal-dosa) perbuatan manusia.
“Bhatara Dharma ngaran ira Bhatara Yama sang kumayatnaken cubhacubha prawrti sekala janma”. (Agastya Parwa, 355.15)
Terjemahan:
Bhatara Dharma (juga) bergelar Bhatara Yama (sebagai Dewa Keadilan), adalah pelindung keadilan yang mengamat-amati (mengadili) baik buruk perbuatan manusia. Baik buruk dari (karma) itu akan memberi akibat yang besar terhadap kebahagiaan atau penderitaan hidup manusia.
Jadi segala baik dan buruk suatu perbuatan akan membawa akibat tidak saja di dalam hidup sekarang ini, tetapi juga setelah di akhirat kelak, yakni setelah Atma dengan suksma sarira (alam pikiran) terpisah dari badan (tubuh) dan akan membawa akibat pula dalam penjelmaan yang akan datang, yaitu setelah atman dengan suksma sarira memasuki badan atau wadah yang baru. Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) akan menghukum atman (roh) yang berbuat dosa dan merahmati atman (roh) seseorang yang berbuat kebajikan. Hukuman dan rahmat yang dijatuhkan Hyang Widhi ini bersendikan pada keadilan.
Pengaruh hukum ini pulalah yang menentukan corak serta nilai daripada watak manusia. Hal ini menimbulkan adanya bermacam-macam ragam watak manusia di dunia ini. Terlebih-lebih hukuman kepada Atman (roh) yang selalu melakukan dosa semasa penjelmaannya, maka derajatnya akan semakin bertambah merosot. Hal ini disebutkan dalam Weda sebagai berikut:
“Dewanam narakam janturjantunam narakam pacuh, Pucunam narakam nrgo mrganam narakam khagah, Paksinam narakam vyalo vyanam narakam damstri, Damstrinam narakam visi visinam naramarane.” (Slokantara 40.13-14)
Terjemahanya:
Dewa neraka (menjelma) menjadi manusia. Manusia neraka (menjelma) menjadi ternak. Ternak menjadi binatang buas, binatang buas neraka menjadi burung, burung neraka menjadi ular, dan ular neraka menjadi taring. (serta taring) yang jahat menjadi bisa (yakni) bisa yang dapat membahayakan manusia.
Demikianlah kenerakaan yang dialami Atman (roh) yang selalu berbuat jahat (dosa) semasa penjelmaannya di dunia. Jika penjelmaan itu telah sampai pada limit yang terhina akibat dosanya, maka ia tetap akan menjadi dasar terbawah dari kawah neraka.
Dewa Yama Dalam Asta Brata
Sebuah Sastra Weda yang telah digubah dengan bentuk Kakawin/Kakawin Ramayana Bab I Sloka 3 menyebutkan :
"Gunamanta Sang Dasaratha, Wruh Sira ring Weda, Bhakti ring Dewa Tan Marlupeng pitra puja, masih ta sireng swagotra kabeh."
Maksudnya :
Bahwa Raja Dasaratha adalah seorang pemimpin yang memahami pengetahuan suci Weda, taat beragama, Bhakti kepada Tuhan dan tidak melupakan leluhur/pendahulu-pendahulunya serta adil dan mengasihi seluruh rakyatnya.
Raja berputrakan Sri Rama ini adalah seorang pemimpin yang patut dijadikan panutan. Artinya seorang pemimpin harus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, agama, taat kepada Tuhan, hormat kepada para pahlawan dan pendahulu-pendahulunya, adil serta sayang kepada rakyatnya. Adapun ajaran yang diberikan tentang kepemimpinan adalah Asta Brata.
Asta Brata artinya delapan ajaran utama tentang kepemimpinan yang merupakan petunjuk Sri Rama kepada Bharata (adiknya) yang akan dinobatkan menjadi Raja Ayodhya. Asta Brata disimbulkan dengan sifat-sifat mulia dari alam semesta yang patut dijadikan pedoman bagi setiap pemimpin, yaitu :
- Indra Brata; Seorang pemimpin hendaknya seperti hujan yaitu senantiasa mengusahakan kemakmuran bagi rakyatnya dan dalam setiap tindakannya dapat membawa kesejukan dan penuh kewibawaan.
- Yama Brata; Pemimpin hendaknya meneladani sifat-sifat Dewa Yama, yaitu berani menegakkan keadilan menurut hukum atau peraturan yang berlaku demi mengayomi masyarakat.
- Surya Brata; Pemimpin hendaknya memiliki sifat-sifat seperti Matahari (surya) yang mampu memberikan semangat dan kekuatan pada kehidupan yang penuh dinamika dan sebagai sumber energi.
- Candra Brata; Pemimpin hendaknya memiliki sifat-sifat seperti bulan yaitu mampu memberikan penerangan bagi rakyatnya yang berada dalam kegelapan/kebodohan dengan menampilkan wajah yang penuh kesejukan dan penuh simpati sehingga masyarakatnya merasa tentram dan hidup nyaman.
- Vayu Brata (maruta); Pemimpin hendaknya ibarat angin, senantiasa berada di tengah-tengah masyarakatnya, memberikan kesegaran dan selalu turun ke bawah untuk mengenal denyut kehidupan masyarakat yang dipimpinnya.
- Bhumi (Danada); Pemimpin hendaknya memiliki sifat-sifat utama dari bumi yaitu teguh, menjadi landasan berpijak dan memberi segala yang dimiliki untuk kesejahteraan masyarakatnya.
- Varuna Brata; Pemimpin hendaknya bersifat seperti samudra yaitu memiliki wawasan yang luas, mampu mengatasi setiap gejolak (riak) dengan baik, penuh kearifan dan kebijaksanaan.
- Agni Brata; Pemimpin hendaknya memiliki sifat mulia dari api yaitu mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan, tetap teguh dan tegak dalam prinsip dan menindak/menghanguskan yang bersalah tanpa pilih kasih.
Implementasi Yama Brata dalam Asta Brata adalah sangat tepat jika diterapkan sekarang oleh pemerintah tentunya oleh penegak hukum, khususnya di Indonesia. Karena peranan pemerintah tidak mementingkan keberadaan masyarakat kecil melainkan mementingkan kehidupan pribadi dan kelompok, terbukti dengan banyaknya bupati, walikota, gubernur dan pejabat tinggi Negara melakukan korupsi pada instansinya.
Begitu kronisnya penyakit korupsi di Indonesia digambarkan oleh Prof. Dr. H. Syafe'i Ma'arif, akibat korupsi yang semakin merajalela kini bangsa Indonesia dalam kondisi yang sangat menyedihkan. Departemen Agama RI yang seharusnya mengurusi pembangunan mental (hati) bangsa adalah salah satu departemen terkorup di negeri ini. Kemudian Departemen Pendidikan RI yang seharusnya mengurusi usaha mencerdaskan bangsa juga merupakan salah satu departemen terkorup. Demikian juga Departemen Kesehatan RI yang seharusnya mengurusi kesehatan secara fisik Bangsa Indonesia juga salah satu Departemen Terkorup di negeri ini (http://research.amikom.ac.id/index.php/SSI/article/ view/6620).
Berdasarkan hal tersebut, perlu ketegasan seorang pemimpin bangsa ini, begitu pula penegak hokum sehingga memberikan efek jera bagi pelanggar hokum khususnya kasus korupsi ini. Sudah saatnya pula teori kepemimpinan Hindu seperti Yama Brata ini diterapkan dan ditegakan untuk menciptakan keamanan, kedamaian dan kesejahteraan bangsa ini.
Dewa Yama Dalam Katha Upanisad
Katha Upanishad mulai dengan satu kisah. Sekali peristiwa adalah seorang terpelajar bernama Vajasrabasa yang sedang mengorbankan segala yang dimiliknya, (seekor kerbau tua, pen) dengan harapan untuk mendapat anugrah suci (surga,pen). Di tengah-tengah upacara korban itu, salah satu dari putranya, Nachiketa, memohon kepada ayahnya untuk mempersembahkan dirinya kepada Dewa Kematian, Yama. Akhirnya ayahnya mengorbankan putra yang dicintainya itu kepada Yama. Ketika anak ini mencapai kediaman Yama, Dewa Kematian itu bingung dengan tindakan Nachiketa dan memintanya kembali kepada ayahnya. Percakapan teologis yang hidup antara Nachiketa dengan Yama (dialog manusia dengan kematian) adalah merupakan isi dari Katha Upanishad. Yama menjelaskan rahasia-rahasia tertinggi dari alam semesta dan hakikat dari Brahman (Tuhan) dalam Upanishad yang indah ini.
Dewa Yama Dalam Mahabharata
Akibat kesalahan Yudhisthira yang menerima tantangan Sengkuni untuk berjudi, Pandawa terpaksa harus mengasingkan diri ke Hutan Kamyaka selama 12 tahun dan 1 tahun panyamaran di Kerajaan Matsya. Selama 12 tahun pengasingan di Hutan Kamyaka para pandawa banyak mengalami kejadian unik salah satunya adalah pengalaman Pandawa di Telaga Ajaib yang hampir menewaskan seluruh Pandawa.
Tahun pengasingan keduabelas bagi Pandawa kini sedang mendekati akhirnya. Pandawa kini sedang sibuk berpikir serius untuk mencari jalan keluar bagaimana cara mereka akan melakukan pengasingan di tahun ketigabelas tanpa harus dketahui oleh siapapun. Dalam kesibukannya memikirkan hal tersebut, suatu hari datanglah seorang brahmana tua meminta bantuan pada mereka karena seekor menjangan telah melarikan tempat api pemujaannya.
Kejadian itu bermula ketika seekor menjangan datang ke dekat pedupaan di tempat api pemujaan. Mungkin karena gatal atau karena kedinginan ia menggosokan badannya di sana. Ketika brahmana datang untuk menghalaunya, menjangan itu kaget sehingga pedupaan tersangkut di tanduk menjangan dan dibawa lari.
“Ya Tuhan, menjangan itu telah membawa lari pedupaanku. Bagaimana aku bisa melakukan upacara persembahyangan sehari-hari? Wahai Pandawa, tolonglah aku yang tidak dapat mengejar menjangan itu”, demikian permintaan brahmana tersebut pada Yudhisthira.
Pandawa kemudian memburu menjangan itu beramai-ramai dari berbagai penjuru, tapi rupanya manjangan itu bukan sembarang menjanga. Ia terus berlari, dan tanpa disadari Pandawa ternyata telah terbawa masuk jauh ke dalam hutan. Menjangan itu hilang ditelan rimba raya. Pandawa yang merasa lelah, terpaksa berhenti di bawah sebatang pohon beringin yang amat rindang.
Nakula mengeluh, “Alangkah merosotnya keadaan kita sekarang. Menolong brahmana dalam kesulitan sekecil ini saja kita tidak mampu, apalagi yang lebih besar”.
“Benar demikian. Ketika Drupadi diseret ke persidangan, seharusnya kita bunuh manusia kurang aja itu (maksudnya adalah Dursasana)! Tapi apa? Kita tidak berbuat apa-apa. Dan sekarang, inilah akibatnya”, kata Bhima sambil memandang Arjuna.
Dengan sikap mengiyakan, Arjuna berkata, “Ya benar, aku juga tidak berbuat apa-apa ketika dihina oleh anak kereta kuda itu (maksudnya adalah Karna). Inilah upahnya sekarang!”
Yudisthira menyadari kesedihan yang meliputi hati saudara-saudaranya dan melihat wajah-wajah mereka yang nampak kehilangan kegembiraan dan merosotnya semangat juang mereka. Untuk mengalihkan pikiran, ia berkata pada Nakula, “Adikku, cobalah engkau naik pohon, dan lihat, barangkali di dekat-dekat sini ada sungai atau telaga. Aku merasa sangat haus”.
Nakula kemudian naik ke pohon tinggi, dan setelah melihat sekeliling, dari atas ia berkata, “Di kejauhan kulihat ada tanda-tanda air dan beberapa ekor burung bangau. Di sana pasti ada air!”.
Yudhisthira menyuruhnya turun dan pergi untuk mengambil air. Nakula lantas pergi dan memang menemukan sebuah telaga.
Karena ia sendiri juga sangat haus, ia berpikir untuk minum dulu sebelum membawakan air untuk saudara-saudaranya. Baru saja ia hendak memasukan tangannya ke dalam air, tiba-tiba terdengar suara, “Janganlah engkau tergesa-gesa. Telaga ini milikku, hai anak Madri Dewi. Jawablah pertanyaanku terlebih dahulu pertanyaanku, Jika kau bisa menjawab, barulah kau boleh minum”.
Nakula sangat terkejut mendengar suara itu, tetapi karena saking hausnya, ia tidak memperdulikannya dengan niat menjawab pertanyan itu setelah minum. Ia langsung mencelupkan tangannya, mengambil air dan meminumnya. Seketika itu juga ia jatuh tidak sadarkan diri. Setelah lama menunggu dan Nakula belum juga kembali, Yudhisthira yang gelisah kemudian menyuruh Sadewa mencari tahu apa sebab Nakula belum kembali.
Setelah mencari-cari beberapa lama, Sadewa terkejut melihat Nakula yang terbaring tak sadarkan diri di tepi telaga. Tetapi karena merasa sangat haus, ia memutuskan untuk minum dulu. Tiba-tiba suara tadi terdengar lagi, “Wahai Sadewa, telaga ini telagaku. Jawab dulu pertanyaanku, baru engkau boleh menghilangkan dahagamu”.
Sadewa tidak peduli dan langsung meminum air telaga itu. Sesaat setelah ia minum, saat itu pula ia tersungkur tidak sadarkan diri.
Bingung memikirkan kedua saudaranya yang belum kembali, Yudhisthira menyuruh Arjuna mencari Nakula dan Sadewa. “Tetapi jangan lupa untuk kembali membawa air”, ia mengakhiri katanya kepada Arjuna, karena kini ia betul-betul merasa haus.
Arjuna pergi berlari dan menemukan kedua saudaranya terbaring tak sadarkan diri. Ia sangat terkejut dan mengira mereka tewas dianiaya musuh. Ia marah dan ingin membalas dendam, menghancurkan siapapun yang telah membunuh saudara-saudaranya. Sambil merencanakan pembalasan dendam itu, Arjuna ingin minum terlebih dahulu.
Tapi lagi-lagi suara tadi terdengar lagi, “Jawab dulu pertanyaanku, sebelum engkau minum air telaga ini. Telaga ini punyaku. Kalau engkau tidak mau menurut, engkau akan mengalami nasib yang sama dengan kedua saudaramu”.
Arjuna sangat marah mendengar suara itu dan berteriak, “Hai, siapa engkau? Ayo muncul di hadapanku! Kubunuh kau!”.
Sambil berkata demikian, Arjuna membidikan panahnya ke arah datangnya suara itu. Suara itu tertawa mengejek, “Panahmu hanya akan melukai angin. Jawab pertanyaanku dulu, baru kau boleh memuaskan dahagamu. Bila engkau minum tanpa menjawab pertanyaanku, engkau akan tewas”.
Arjuna girang karena bisa berhadapan dengan pembunuh adik-adiknya, tapi sebelum itu ia ingin minum dulu. Apa lacur, setelah minum ia pun rebah ke tanah tidak sadarkan diri.
Setelah lama menunggu dan Arjuna belum juga kembali, Yudhisthira lantas berkata, “Bhimasena saudaraku, Arjuna pahlawan kita belum juga datang. Sesuatu yang aneh mungkin terjadi. Peruntungan bintang-bintang kita hari ini memang terlihat kurang baik. Carilah mereka dan bawakan air untukku. Aku haus sekali”.
Begitu mendapat perintah dari Yudhisthira, Bhima segera berangkat. Sampai di tepi telaga, bukan main sedih hatinya melihat ketiga saudaranya terbaring tidak berkutik. “Ini pasti perbuatan para jin dan raksasa jahat”, pikirnya.
“Akan kumusnahkan mereka ! Tetapi aku sangat haus. Setelah minum, akan kutamatkan pembunuh itu”.
Lalu ia turun ke tepi telaga. Suara aneh itu terdengar kembali, “Hati-hatilah, hai Bhimasena. Engkau boleh minum setelah menjawab pertanyaanku. Kamu akan tewas jika tidak mau mendengar kata-kataku”.
Mendengar itu Bhima berteriak, “Siapa engkau? Berani benar memerintah aku!”.
Lalu ia minum air telaga itu. Seketika itu juga otot dan tulang Bhima yang liat bagai kawat baja dan keras bagai besi perkasa menjadi lemas, dan ia pun seperti sudara-saudaranya, jatuh terbaring tidak sadarkan diri.
Yudhisthira menunggu dengan cemas. Dahaganya serasa tak tertahankan. Terbayang dalam pikirannya, “Apakah mungkin mereka terkena kutukan? Apakah mereka lenyap ditelan rimba dan tak tahu jalan kembali? Apakah mereka tewas karena kehausan?”.
Kemudian Yudhisthira bangkit tak habis pikir dan berjalan mengikuti jejak-jejak kaki saudara-saudaranya. Ia memperhatikan setiap semak yang dilaluinya dengan teliti. Ia melihat jejak kijang dan babi hutan, semuanya menuju arah yang sama. Burung-burung bangau dan sebangsanya mulai kelihatan, pertanda adanya air di dekat situ.
Setelah berjalan beberapa lama, ia sampai ke lapangan rumput hijau terbuka. Di depannya terbentang telaga. Airnya berkilau jernih bagaikan cermin muka yang indah cemerlang. Dan disanalah diketemuinya keempat saudaranya terbaring dingin, tidak bergerak lagi. Dihampirinya satu persatu, dirabanya kaki, tangan, dahi dan denyut jantung mereka. Yudhisthira berkata dalam hati, “Apakah ini berarti akhir dari sumpah yang harus kita jalani? Hanya beberapa hari sebelum berakhirnya masa pengasingan kita, kalian mati mendahului aku. Rupanya para dewata telah meninggalkan kita dari kesengsaraan ini”.
Menatap wajah Nakula dan Sadewa, yang di tadinya merupakan pemuda lincah perkasa, kini lemas, dingin terbaring tidak bergerak, hatinya berkata lagi, “Apakah hatiku harus terbuat dari baja agar aku tidak menangisi kematian saudara-saudaraku? Apakah hidupku masih ada gunanya setelah keempat saudaraku mati? Untuk apa aku hidup? Aku yakin ini bukan peristiwa biasa”, pikir Yudhisthira.
Ia tahu, tak seorang ksatriapun akan mampu membunuh Bhima dan Arjuna tanpa melewati pertarungan hebat. “Tak ada luka di badan mereka. Wajah mereka tidak seperti wajah orang kesakitan. Mereka kelihatan tenang, seperti sedang tidur dalam damai”.
Hatinya terus bertanya-tanya. “Sama sekali tak ada jejak kaki, apalagi bekas tanah atau rumput yang terinjak-injak dalam perkelahian. Ini pasti peristiwa gaib. Mungkinkah ini tipu muslihat Duryodhana ? Mungkinkah Duryodhana telah meracuni air telaga ini ?”.
Dengan berbagai pikiran di kepalanya, perlahan-lahan ia turun ke tepi telaga. Ia ingin melepaskan dahaganya yang sudah tak tertahankan lagi. Tiba-tiba suara gaib itu terdengar lagi, “Saudara-saudaramu telah mati karena tak menghiraukan kata-kataku. Jangan engkau ikuti mereka. Jawab dulu pertanyaanku, setelah itu baru puaskan hausmu. Telaga ini milikku”.
Yudhisthira yakin, suara itulah yang menyebabkan saudara-saudaranya mati. Ia berpikir, mencari cara untuk mengatasi situasi itu. Kemudian Yudhisthira berkata kepada suara yang tidak berwujud itu, “Silahkan ajukan pertanyanmu” dan suara gaib itu mulai mengajukan pertanyaan kepada Yudhisthira.
Suara Gaib : “Apa yang menyebabkan matahari bersinar setiap hari?”
Yudhisthira : “Kekuatan Brahman”
Suara Gaib : “Apa yang dapat menolong manusia dari semua marabahaya?"
Yudhisthira : “Keberanian adalah pembebas manusia dari marabahaya”
Suara Gaib : “Dengan jalan mempelajari ilmu apakah manusia menjadi bijaksana?”
Yudhisthira : “Bukan dengan jalan mempelajari kitab suci orang menjadi bijaksana, tapi dengan jalan bergaul dan bersatu dengan cendikiawan besar ia menjadi bijaksana”
Suara Gaib : “Apa yang lebih mulia dan lebih menghidupi manusia daripada bumi ini ?”
Yudhisthira : “Ibu, yang melahirkan dan membesarkan anak-anaknya, lebih mulia dan lebih menghidupi daripada bumi ini”.
Suara Gaib : “Apa yang lebih tinggi dari langit ?”
Yudhisthira : “Bapa”
Suara Gaib : “Apa yang lebih kencang dari angin ?”
Yudhisthira : “Pikiran”
Suara Gaib : “Apa yang lebih berbahaya dari jerami kering di musim panas ?”
Yudhisthira : “Hati yang menderita duka dan menyimpan dendam”
Suara Gaib: “Apa yang menjadi teman seorang pengembara?”
Yudhisthira : “Kemauan belajar”
Suara Gaib : “Siapakah teman seseorang yang tinggal di rumah?”
Yudhisthira : “Istri”
Suara Gaib : “Siapakah yang menemani manusia dalam kematian”
Yudhisthira : “Dharma, hanya dharma yang menemani jiwa dalam kesunyian perjalanan setelah kematian”
Suara Gaib : “Perahu apa yang terbesar?”
Yudhisthira : “Bumi ini, yang mengandung segala sesuatu yang ada padanya, adalah perahu yang terbesar”
Suara Gaib : “Apakah kebahagiaan itu ?”
Yudhisthira : “Kebahagiaan adalah buah dari tingkah laku dan perbuatan baik”
Suara Gaib : “Apakah itu, jika orang meninggalkannya ia dicintai oleh sesamanya ?”
Yudhisthira : “Keangkuhan. Dengan meninggalkan keangkuhan orang akan dicintai sesamanya”
Suara Gaib : “Kehilangan apakah yang menyebabkan orang bahagia dan tidak sedih ?”
Yudhisthira : “Amarah. Kehilangan amarah membuat kita tidak lagi diburu oleh kesedihan”
Suara Gaib : “Apakah itu, jika orang membuangnya jauh-jauh, ia menjadi kaya ?”
Yudhisthira : “Hawa nafsu. Dengan membuang hawa nafsu orang menjadi kaya”
Suara Gaib: “Apakah yang membuat seseorang benar-benar menjadi brahmana? Kelahiran, kelakuan baik, atau pendidikan yang sempurna? Jawab dengan tegas!”
Yudhisthira :“Kelahiran dan pendidikan baik tidak membuat seseorang menjadi brahmana, hanya kelakuan baik yang membuat seseorang benar-benar menjadi brahmana. Sepandai apapun seseorang jika ia masih diperbudak oleh sifat buruknya maka ia tidak akan menjadi seorang brahmana”
Suara Gaib : “Keajaiban apakah yang terbesar di dunia ini?”
Yudhisthira : “Tiap orang pergi menghadap pada Batara Yama, namun mereka masih berusaha untuk hidup selama-lamanya, tentu ini merupakan keajaiban terbesar”
Demikianlah suara gaib itu memberikan pertanyaan-pertanyan kepada Yudhisthira. Dan Yudhisthira menjawab semuanya tanpa ragu. Pertanyaan terakhir yang diajukan oleh suara gaib itu langsung berkaitan dengan saudara-saudaranya.
Suara Gaib : “Wahai Yudhisthira, salah seorang saudaramu boleh tinggal denganmu sekarang, siapakah yang engkau pilih ? Dia akan aku hidupkan kembali “.
Yudhisthira : (Berpikir sesaat, kemudian menjawab) “Aku memilih Nakula, saudaraku yang kulitnya bersih bagai awan berarak, matanya indah bagai bunga teratai, dadanya bidang dan lengannya ramping. Tetapi kini ia terbujur kaku bagai sebatang kayu jati”.
Suara Gaib : (Belum puas dengan jawaban Yudhisthira dan bertanya lagi) “Kenapa engkau memilih Nakula, bukan Bhima yang kekuatan raganya lebih besar dari kekuatan gajah ? Lagipula, kudengar engkau sangat mengasihi Bhima. Atau mengapa bukan Arjuna yang mahir menggunakan segala macam senjata, terampil olah bela diri dan jelas dapat melindungimu ? Jelaskan, mengapa engkau memilih Nakula!”
Yudhisthira : “Dewi Kunti dan Dewi Madri adalah istri ayahku dan mereka adalah ibuku. Aku, anak Kunti, masih hidup. Jadi dewi Kunti tidak kehilangan keturunan. Dengan pertimbangan yang sama dan demi keadilan, biarlah Nakula, putra Dewi Madri, hidup bersamaku”
Suara gaib itu puas sekali demi mendengar jawaban Yudhisthira yang membuktikan bahwa ia adil dan berjiwa besar. Ternyata, kijang dan suara gaib itu adalah penjelmaan dari Dewa Yama, Dewa Kematian, yang ingin menguji kekuatan batin Yudhisthira. Bhatara itupun lalu menghidupkan kembali semua saudara Yudhisthira.
Lalu di hadapan Pandawa, Batara Yama berkata, “Beberapa hari lagi masa pengasingan kalian di hutan rimba akan selesai. Di tahun ke tigabelas, kalian harus hidup dengan menyamar. Yakinlah, masa itupun akan dapat kalian lewati dengan baik. Tidak seorang musuhpun akan mengetahui keberadaan kalian. Kalian pasti lulus dalam ujian yang berat ini “.
Setelah berkata demikian, Batara Yama pun menghilang.
Dewa Yama Dalam Purana
Dalam mitologi Hindu, Sunita (Sanskerta: सुनीथा; Sunīthā) adalah putri Mertyu. Kisah mengenai Sunita dapat ditemukan dalam berbagai kitab purana, namun riwayatnya kurang dituturkan secara detail. Kitab Padmapurana menceritakan riwayat Sunita lebih detail, namun versi yang dituturkan agak berbeda dengan Purana lainnya.
Kitab Padmapurana menyatakan bahwa Sunita adalah putri Yama, karena Mertyu (bhs. Sanskerta; mṛtyu = kematian) diidentikkan dengan Yama, dewa kematian, padahal dalam purana lainnya Mertyu tidak diidentikkan dengan Yama. Purana lainnya menyebutkan bahwa Mertyu adalah tokoh yang bersifat jahat.
Kutukan Susangka
Menurut kitab Padmapurana, Sunita gemar pergi ke tengah hutan bersama teman-temannya. Pada suatu hari, saat sedang berada di tengah hutan, Sunita melihat seorang bidadara (gandarwa) sedang bermeditasi, namanya Susangka. Kemudian timbulah keinginan Sunita untuk menggoda Susangka. Namun, Susangka tidak marah saat Sunita menggodanya. Ia hanya ingin agar gadis itu menjauh. Karena merasa angkuh sebagai putri Yama, Sunita enggan meninggalkan Susangka.
Akhirnya Susangka tidak mampu bersabar lebih lama, lalu ia mengutuk bahwa kelak anak Sunita akan menjadi orang yang bersifat jahat. Kemudian, Sunita pergi menghadap ayahnya untuk menceritakan kutukan yang baru saja ditimpakan kepadanya. Yama menyalahkan Sunita, kemudian ia menyuruh Sunita pergi bermeditasi ke tengah hutan agar kutukan tersebut bisa diperingan. Meskipun kutukan yang diterima Sunita bisa diperingan, namun tidak ada laki-laki yang mau menikahinya setelah Sunita dikenal sebagai wanita yang akan melahirkan anak yang bersifat jahat.
Menikahi Raja Angga
Sunita memiliki beberapa teman yang memiliki ilmu menarik perhatian lelaki. Mereka mengetahui bahwa seorang raja bernama Angga menerima anugrah dari dewa Wisnu bahwa kelak anaknya akan menjadi orang yang baik. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, Sunita yakin bahwa dengan menikahi Angga, maka kutukan yang diterimanya dapat diterima. Maka dari itu, Sunita mencari Angga dan menarik perhatiannya. Strategi Sunita berhasil sehingga Angga jatuh cinta padanya, kemudian sang raja menikahinya. Dari hubungan mereka, lahirlah seorang putra yang diberi nama Wena. Setelah Angga tua, Wena diangkat menjadi raja.
Menurut kitab Padmapurana, Wena adalah orang yang berhati baik, sampai seseorang yang tidak mengakui Weda datang kepadanya dan mengajarkan agama baru. Akhirnya, Wena tidak lagi mengakui ajaran dalam kitab Weda dan melarang segala praktik keagamaan yang dianjurkan dalam kitab Weda. Karena kecewa dengan perubahan pada putranya, Angga dan Sunita berusaha mendidik Wena agar kembali pada jalan yang benar. Namun usaha tersebut tidak berhasil sama sekali. Karena dilanda rasa kecewa yang besar, Angga dan Sunita memutuskan untuk pergi ke hutan. Kemudian tidak diketahui bagaimana nasib mereka.
Dalam Narada Purana disebutkan nasihat Dewa Yama kepada Raja Bagirata yang ingin membebaskan dosa-dosa leluhurnya yang pernah menghina dan menyiksa Resi Kapila yang sedang bertapa. Salah satu nasihat Dewa Yama kepada Raja Bagirata adalah dengan jalan melanjutkan cita-cita suci dari leluhur. Cita-cita suci leluhur itu tidak semata-mata melakukan meditasi atau Dewasraya. Tetapi, dengan melakukan perbuatannya nyata seperti menjaga tetap lestarinya Sarwaprani (tumbuh-tumbuhan dan hewan). Menolong mereka yang sedang susah dan menderita. Membuka lapangan kerja bagi masyarakat yang memiliki keahlian dan keterampilan. Membangun pasar, tempat peristirahatan, menghormati mereka yang berjasa, dan menegakkan keadilan, serta memelihara tempat pemujaan, dst.
Dengan perbuatan baik itulah leluhur akan bebas dari dosa dan kemudian keturunan mendapatkan keselamatan. Untuk memelihara dan melestarikan tumbuh-tumbuhan dan hewan leluhur umat Hindu di zaman lampau meninggalkan warisan konsep kawasan suci. Kawasan suci itu disebut Alas Angker, Alas Rasmini atau Alas Arum. Salah satu cara melestarikan kawasan suci tersebut dengan membangun tempat pemujaan sederhana dengan areal yang tidak luas. Tempat pemujaan di hutan itu tidak perlu didatangi oleh banyak umat. Umat yang datang ke tempat pemujaan di hutan itu hanyalah orang-orang yang terpilih yang memang benar-benar bertujuan untuk melakukan pemujaan yang tulus. Bukan untuk rekreasi atau untuk mereka yang berkaul yang memohon atau melestarikan jabatan, mohon memenangkan tender proyek dan tujuan-tujuan duniawi lainnya. Karena itu, banyak leluhur kita di masa lampau meninggalkan hutan-hutan yang disebut alas angker.
Di Bali banyak hutan yang distatuskan sebagai Alas Angker. Tetapi, sekarang sudah banyak yang dirusak ditebangi pohon-pohon yang berfungsi sebagai waduk menahan air. Di Pulau Jawa pun masih banyak ada peninggalan Alas Angker seperti misalnya Alas Purwa di Jawa Timur. Alas Purwa ini juga merupakan peninggalan leluhur di masa lampau sebagai Alas Angker.
Arti hutan yang distatuskan sebagai Alas Angker oleh leluhur di masa lampau bertujuan menjaga hutan dengan menstatuskan hutan itu sebagai hutan yang keramat. Hutan yang disebut Alas Angker itu karena tempatnya dikeramatkan. Di sana tentu banyak vibrasi kesucian yang tersembunyi di balik lebatnya pepohonan di hutan tersebut. Oleh karena itu, orang-orang yang memiliki kepekaan rohani akan sangat tertarik untuk datang ke tempat-tempat yang seperti itu. Kita tentunya sangat mengharap siapa pun boleh datang ke hutan yang angker seperti itu, cuma yang perlu dijaga adalah niat suci dan tulus ikhlas. Janganlah datang dengan tujuan untuk rekreasi duniawi atau memanjatkan permohonan yang Rajasika dan Tamasika.
Kalau Alas Angker tidak lagi memancarkan keangkerannya maka orang-orang yang berniat jahat seperti pencuri kayu hutan akan tidak merasa takut datang ke hutan yang sudah merosot keangkerannya. Di sinilah kita tidak melanjutkan konsep Alas Angker yang ditinggalkan oleh leluhur kita. Kalau ini sampai terjadi tinggal kita menunggu balasannya. Balasan itu akan menyengsarakan rakyat seperti hutan gundul, banyak pohon yang tumbang, sumber air menghilang, udara terpolusi, cuaca menjadi makin panas.
Dari alam yang rusak itu manusia tinggal memetik buah penderitaan darinya. Dengan merusak alam seperti itu, leluhur dan keturunan pun tidak akan terbebaskan dari dosa-dosanya. Kita bersyukur kepada umat di Jawa Timur yang makin sadar untuk menjaga keangkeran hutannya seperti umat Hindu di Alas Purwa. Semoga hutan-hutan berserta isinya dijaga dengan cara niskala diikuti dengan cara-cara yang sekala yaitu dengan langkah nyata melestarikan hutan tersebut.
Yama Purwana Tattwa Pedoman Ngaben Di Bali
Naskah lontar ini berasal dari bahasa jawa kuno, yang dapat diartikan sebagai sebuah naskah yang mengandung nilai filsafat mendalam yang pada dasarnya telah terjadi sejak masa yang lalu yang diawali dari arah timurnya hutan sebagai arah terbitnya matahari yang merupakan sebuah kejadian awal suatu kejadian nyata oleh Dewa Yama adalah Dewa yang mengetahui tentang pitara, roh segala mahluk dialam mereka yang telah mati (Renawati, 2011), berikut petikan Yama Purwana Tattwa”
1b. “Om Awigenamastu. Iki sastra Yama Purwana Tattwa, sdeng bhatari Durgga ring gaganantara tumon atma sasar ring kawah agni, apalih warnna Bhatari marupa Sang Hyang Yama Dipati, angamel ala-ayuning atma, waneh ring yani loka tumdhun ring wanti pura, mandadi bhatari Uma Dewi, ri sdeng nira malinggih ring setragung mraga Bhatari Durga Dewi. Wasitakna padanda Antap Ender, jumujug ring linggih Bhattari, mangkrak mangkrik kadi singha Lodra, ling ira, wwang paran iki dateng tan pararapan, mangke dak tugel gulunta, ridas tinugel gulunya sang jumujung linggih bhatari, saksana dateng Bhatara Brahma, tka lesu
2a. Gleng Bhatari Durga, irika ta sang matapa Ender aminta nugraha ring Bhatari, ribwat kasadyaning ajnana ksttha siksa, mwah aminta kahilanganing letuh awaning wwang mati, mangda sidha molih swarggan bhuwana, irika Bhattari asiluman rupa, awarnna Sang Hyang Yama, krurarupatulia Rudra Murthi, sarika ta sira Sang Hyang Yama Maweh anugraha warah-warahsuksma ring antapan ender. Kalugra sipinihitan nira sahindik amahayu sawa, irika kalane ana sastra, nga, Yama Purwana Tattwa, sampun kabye de sang sdaya kuna-kuna, ring bumi pasurwan, blangbangan, sawengkoning Yamadwipa, Katkeng Balirajia, nihan daging kecap Yama Purwwana Tattwa, par
2b. Ssi tingkah angupakara sawa sang mati, agung, alit, nista, madya, utama, maka patuting wulah sang magama tirtha ring Bali rajia, kewala wang mati bener tan wnang mapendem, mangda mgeseng juga, saika supacarania, prasida sang atma polih ring bhatara brahma, apitwi tan pabia, swasta ring sang hyang agni sida amanggih rahayu sang hyang atma. Kunang upakaranya magseng, rawuhing setra tibaning tirtha pangentas.............
Terjemahan:
1b. “mudah-mudahan tidak mendapat rintagan. Ini adalah sastra Yama Purwana Tattwa, pada saat Dewi Durga sedang berada di awang-awang menjumpai roh manusia yang sedang menderita di kawah api, disana Dewi Durgaberubah wujud menjadi Sang Hyang Yamadipati untuk mengetahui baik dan buruknya atma (roh). Setelah beliau bosan di Yamaniloka kemudian beliau turun ke wantipura berwujud Uma Dewi. Pada waktu beliau bersemayam di kuburan, beliau berwujud Dewi Durgadewi. Kemudian disebutkan Pendeta Antap Ender mendatangi tempat Dewi Durga, disana beliau tercengang dan menjerit bagaikan singa yang garang, lalu beliau berkata, ”manusia apa ini datang dengan tiba-tiba, sekarang aku bunuh kamu”, hampir saja bhatari Durga memenggal leher orang tersebut, tiba-tiba datanglah Dewa Brahma menghadap dan seketika itupun kemarahan Dewi Durga menjadi hilang.
2a. Disana Sang Antapan Ender memohon anugrah kepada Dewi Durga memohon keberhasilan pikiranya (adnyana Kretasiksa), serta memohon untuk menghilangkan atau membebaskan penderitaan atau dosa roh orang meninggal, agar mencapai sorga/moksa. Pada saat itu Dewi Durga berubah wujud menjadi Dewa Yama yang berwajah seram seperti rudra murti, kemudian Sang Hyang Yama menganugrahkan segala permintaan Pendeta Antapan Ender untuk mengupacarai orang yang meninggal. Inilah sebabnya ada sastra yang disebut Yama Purwana Tattwa amat diutamakan dan dilaksanakan oleh Umat dari zaman kuno di daerah Pasuruan, Blangbangan dan diseluruh daerah jawa serta Bali. Inilah isi dari Yama Purwana Tattwa tersebut,
2b. Bila melakukan upacara kematian sesuai dengan kemampuan yang disebut sederhana, menengah dan utama. Agar tidak menyimpang dari petunjuk bagi umat yang beragama Hindu di pulau Bali. Hanya orang yang mati wajar tidak boleh dikuburkan, agar dibakar saja (ngaben), disertai dengan upacara agar roh orang tersebut mendapat tempat disisi Dewa Brahma, walaupun tanpa biaya, dengan jalan upacara swasta gni, atma akan berhasil mendapatkan kebahagiaan yang abadi. Adapun upacara pembakaran/ngaben setibanya dikuburan diperciki Tirta Pangentas.
Teks dari Yama Purana Tattwa ini sampai saat ini tetap relevan di pakai sebagai pedoman upacara pitra yajna bagi masyarakat Hindu khususnya di Bali. Karena dapat memberikan gambaran ataupun tata cara upacara kematian bagi masyarakat Hindu, terutama membakar mayat. Berarti tanpa adanya sebuah sumber dan pedoman, maka umat tidak berani melaksanakan upacara tersebut. Hal ini mesti diperkenalkan kepada umat Hindu, sehingga mampu meningkatkan sradha dan bhaktinya kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus